Kinerja Aspek Ekosistem Hutan

3.3.2 Kinerja Aspek Ekosistem Hutan

Secara umum luas lahan kritis di luar kawasan hutan lebih besar daripada luas lahan kritis di dalam kawasan hutan. Pada tahun 2000, luas lahan sangat kritis dan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15.106.234,00 ha, sedangkan luas lahan kritis untuk kategori yang sama di dalam kawasan hutan mencapai 8.136.647,00 ha. Luas lahan kritis cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2004, luas lahan sangat kritis mencapai 13.497.449,42 ha, sedangkan luas lahan yang tergolong kritis mencapai 20.077.185,43 ha. Selama empat tahun terjadi peningkatan lahan kritis sebesar kurang lebih 10 juta ha. Pada tahun 2007 luas lahan kritis meningkat menjadi 30.196.801 ha, dan pada tahun 2011 lahan kritis menurun menjadi 27.294.842 ha (Tabel 3.10), secara rinci pada Lampiran 3.3

Tabel 3.10 Luas dan penyebaran lahan kritis sampai tahun 2011

Luas Lahan Kritis Hasil Inventarisasi 2007

2011 No

Provinsi

Tingkat Kekritisan

Tingkat Kekritisan

Lahan

Total (ha)

Lahan Total (ha)

Sangat

Sangat

Kritis (ha)

Kritis

Kritis (ha)

191,814 1,353,772 Bali, NTB, 3 NTT

Sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, kawasan konservasi dikelompokkan menurut fungsinya, yaitu: Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam) dan Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), serta satu kategori menurut UU No. 41 Tahun 1999, yaitu Taman Buru. Persentase luasan masing-masing kategori kawasan konservasi disajikan pada Gambar 3.3. Berdasarkan data jumlah unit kawasan konservasi, terdapat 50 taman nasional yang luasannya mencapai 65 % dari luas total kawasan konservasi.

Grand Forest

Strict Nature

Wildlife Sanctuary 15%

Game Reserve

National Park

Gambar 3.3 Persentase luas masing-masing kategori Kawasan Konservasi di

Indonesia.

Berdasarkan kondisi ini, taman nasional memegang peranan yang sangat penting dalam konservasi sumberdaya alam hayati di Indonesia. Namun demikian, kinerja pengelolaan taman nasional dilihat perspektif kondisi penutupan lahan kurang menggembirakan. Kompilasi data penutupan lahan di 48 taman nasional disajikan pada Gambar 3.4.

Berdasarkan dokumen RKTN 2011-2030 juga diskenariokan bahwa 20% atau sekitar 14,28 juta hektar kawasan hutan dari ketiga arahan pemanfaatan di dalam hutan lindung dan hutan produksi dialokasikan untuk mengakomodasi kebutuhan pembangunan hutan rakyat, kepentingan sektor non kehutanan serta penyediaan lahan permukiman. Skenario ini merupakan bagian dari resolusi konflik tenurial yang selama ini terjadi. Total kawasan yang dialokasikan untuk mendukung hal tersebut diatas sampai dengan tahun 2030 diperkirakan akan mencapai 18,34 juta ha. Berdasarkan hal skenario ini diproyeksikan bahwa pada tahun 2030 kawasan hutan Indonesia tinggal 112,34 juta hektar atau 85% dari luas kawasan saat ini. Berdasarkan skenario ini juga diketahui akan terjadi pengurangan luas hutan lindung dan hutan produksi, sedangkan sebagian besar hutan produksi yang dapat dikonversi diarahkan untuk diubah fungsinya menjadi hutan produksi tetap.

Keterangan:

Mining

LAND COVER Area (ha)

Primary Forest 5322251

Water Body

Secondary Forest 3999556

Plantation Forest 83957

Agricultural Land 713341

Mining

1712 Water Body

Cloud

6272 TOTAL (48 NPs)

Gambar 3.4 Kondisi penutupan lahan di 48 Taman Nasional di Indonesia Dalam konservasi sumberdaya alam hayati, pendekatan UU 5 Tahun 1990

menterjemahkannya menjadi alokasi kawasan konservasi (KPA dan KSA) untuk perlindungan ekosistem atau spesies unik dan terancam kepunahan. Pada tingkat konservasi spesies, Indonesia telah menetapkan perlindungan hukum melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Noerdjito dan Maryanto (2001) dalam buku ”Jenis-Jenis yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia” mencantumkan daftar panjang dari flora dan fauna Indonesia yang dilindungi hukum berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan sejak jaman

Belanda sampai tahun 1999. Daftar tersebut mencakup 130 jenis mamalia, 390 jenis burung, 48 jenis reptilia, 8 jenis ikan, 19 jenis serangga, 12 jenis moluska, 9 jenis krustasea dan satwa lainnya, dan 110 jenis tumbuhan. Selain itu, Indonesia telah menandatangani konvensi CITES dan mendaftarkan sebanyak 1.053 spesies tumbuhan dan 1.384 spesies satwa dalam Appendix I dan II. Beberapa spesies penting yang menjadi perhatian dunia telah memiliki Rencana Aksi Konservasi yang dituangkan dalam beberapa Peraturan Menteri Kehutanan atau dokumen kebijakan, antara lain:

1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018

2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P. 43/Menhut-II/2007 tentang Rencana Aksi Konservasi Badak di Indonesia Tahun 2007-2017

3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 53 / Menhut-IV/ 2007 tentang Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007 – 2017

4. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 58/Menhut- II/2011 Tentang Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos Javanicus) Tahun 2010 -2020

5. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera & Gajah Kalimantan Tahun 2007-2017

6. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera Tahun 2007-2017 Pemikiran yang melandasi perlindungan spesies menyebabkan alokasi pendanaan

yang sangat besar untuk tindakan pengamanan dan penegakan hukum, sedangkan sebagian besar populasi spesies dilindungi menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, terutama yang habitatnya berada di luar kawasan konservasi. Upaya awal untuk mengarusutamakan pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari telah dilakukan baik ditingkat global maupun lokal. Di tingkat global, Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH atau United Nations Conventions on Biological Diversity/UNCBD) merupakan salah satu produk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio

de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No. 5/1994. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adalah focal point nasional untuk UNCBD. Tujuan utama dari KKH yaitu: (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai. Sesuai dengan tujuannya KKH mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia, untuk:

1. Membuat strategi dan rencana aksi nasional (seperti BAPI 1993 dan IBSAP 2003);

2. Memfasilitasi partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pelaksanaan KKH;

3. Mendukung pengembangan kapasitas bagi pendidikan dan komunikasi keanekaragaman hayati;

4. Menerapkan pendekatan ekosistem, bilamana memungkinkan, dan memperkuat kapasitas nasional serta lokal;

5. Mengembangkan peraturan tentang akses pada sumber daya genetis dan pembagian keuntungan yang adil.

Kesepakatan lain yang ditandatangani oleh pemerintah di tingkat internasional antara lain: CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terancam/ Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) melalui Keppres No. 43/1978 dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah melalui Keppres No.48/1991. Ditingkat nasional, kebijakan mengenai pelestarian sumberdaya hayati dan ekosistemnya (dalam hal tertentu identik dengan keanekaragaman hayati) adalah UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya melalui:

1. Penetapan kawasan konservasi (KPA dan KSA) yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

2. Perlindungan spesies yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

3. Pemanfaaatan jenis secara berkelanjutan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

4. Pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata alam yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

5. Perburuan satwa liar yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.

6. Karantina hewan dan tumbuhan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

Pada awal 1990an, ada beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menjadi panduan komprehensif bagi pengelolaan keanekaragaman hayati. Misalnya, tahun 1993 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH sekarang Kementrian Lingkungan Hidup, KLH) menerbitkan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Pada saat yang hampir bersamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menerbitkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia ( Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 - BAPI 1993). Dokumen BAPI ini direvisi menjadi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) juga diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 2003. Dokumen ini telah didokumentasikan oleh sekretariat UNCBD sebagai dokumen nasional Indonesia.

Berkaitan dengan ekosistem/lahan gambut yang menjadi perhatian dunia dalam kerangka perubahan iklim, maka perlu dilakukan penanganan khusus terhadap Berkaitan dengan ekosistem/lahan gambut yang menjadi perhatian dunia dalam kerangka perubahan iklim, maka perlu dilakukan penanganan khusus terhadap

Menurut FWI (2011) sebaran gambut Sumatera, Kalimantan dan Papua yang diterbitkan oleh Wetlands International Indonesian Program, FWI melakukan digitasi dan pengkelasan ulang dengan mengabaikan data kedalaman gambut untuk menghasilkan data spasial lahan gambut. Sebaran lahan gambut di Indonesia yang teridentifikasi berada di Sumatera, Kalimantan dan Papua seluas 20,80 juta ha. Sampai dengan tahun 2009, lahan gambut yang memiliki tutupan hutan adalah 10,77 juta ha atau 51 persen dari luas lahan gambut di Indonesia. Tutupan hutan yang berada di lahan gambut Papua adalah sekitar 79,59 persen, Kalimantan 47,22 persen dan Sumatera 25,56 persen.

Pada kurun waktu 2000-2009, tutupan hutan di lahan gambut telah terdeforestasi seluas 2 juta ha. Deforestasi di lahan gambut yang terbesar terjadi di Sumatera seluas 986.663, 27 ha atau sekitar 49,29 persen, diikuti Kalimantan seluas 884.029,68 ha atau 44,17 persen, sedangkan Papua menyumbang deforestasi di lahan gambut seluas 130.917,62 ha atau 6,54 persen. Analisis lahan gambut berdasarkan fungsi kawasannya menunjukkan bahwa pada tahun 2009 tutupan hutan di lahan gambut yang terbesar berada di Hutan Produksi yaitu seluas 4,00 juta ha, kemudian di Hutan Produksi Konversi seluas 2,27 juta ha, di Kawasan Konservasi seluas 2,25 juta ha dan di Hutan Lindung seluas 1,01 juta ha. Dalam rentang waktu antara tahun 2000 –2009, deforestasi lahan gambut yang terbesar berada di Hutan Produksi yakni sebesar 704,89 ribu ha.

Kerusakan ekosistem hutan terkait juga dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997). Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing- masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar

(Tacconi, 2003). Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktorat Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar.

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milyar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.