Kinerja Aspek Sosial Kehutanan

3.3.3 Kinerja Aspek Sosial Kehutanan

Kinerja kehutanan dalam aspek sosial ini tergolong yang paling buruk. Problem dimulai ketika penunjukan kawasan hutan. Sejauh ini, masyarakat lokal masih menjadi penonton bagaimana hutan alam dieksploitasi dan bagaimana hutan tanaman dibangun. Konflik lahan, baik antara masyarakat lokal dengan perusahaan perkebunan maupun masyarakat lokal dengan perusahaan hutan tanaman, selalu hampir selalu berawal dari proses penunjukan yang kurang memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.

Kinerja pembangunan kehutanan pada aspek sosial ini tidak terlepas dari kebijakan kehutanan yang tidak pro rakyat kecil yang merupakan masyarakat miskin di pedesaan. Jadi kehutanan juga tidak pro poor, sebagaimana didengungkan/slogan, khususnya masa pemerintahan kabinet bersatu (periode I dan II) yaitu pro growth, pro poor, pro job dan pro environment. Fakta ini dengan jelas ditunjukkan pada RKTN 2011-2030, luas arahan pemanfaatan pada tahun 2030 di kawasan hutan efektif (112.34 juta ha) alokasi hutan untuk pemanfaatan skala kecil sebesar 5.57 juta ha (5%). Bisa juga terjadi skala usaha diasosiasikan dengan pelaku usaha, yang berarti jika pelaku pemanfaatan adalah masyarakat (umumnya badan usahanya koperasi dan kelompok tani hutan) sebagai skala kecil. Tabel 3.11 menunjukkan realisasi kebijakan yang tidak berpihak pada pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Bentuk HTR, HKm dan Hutan Desa hanya 2.8%. Lebih jauh jika setiap unit usaha

IUPHHK-HA dan HT masing-masing 81,000 dan 45,000 ha, maka untuk HTR rata-rata 600 ha/unit, HKm 6,500 ha/unit, Hutan Desa 2,000 ha/unit.

Tabel 3.11 Distribusi luas kawasan hutan menurut jenis hak pemanfaatan, 2012

Luas Jenis Hak

Luas

Unit

(ribu ha)

(ha/unit)

IUPHHK-HA *) 24,690

69.5 304 33.8 81,217 IUPHHK-HT *) 9,861 27.7 217 24.1 45,442

IUPHHK-HTR 163 0.5 264 29.4 619 HKm

745 2.1 114 12.7 6,531 Hutan Desa

83 0.2 39 4.3 2,116 Total

Note : *) data tahun 2010 Sumber

Diolah dari data Ditjen Planologi Kehutanan. 2012. Daftar penetapan HKm, Hutan Desa, HTR

sampai Juni2012

Epistema Institute (2011) menyebutkan berdasarkan data Kementerian Kehutanan dan BPS terdapat 31,957 desa yang berinteraksi dengan hutan, dan 71% desa-desa itu menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan. Ketika hasil hutan kayu mempunyai nilai komersial, masyarakat tidak mendapat kesempatan memperolehnya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Disisi lain, hutan yang telah dikelola untuk produk kayu, dan telah menimbulkan kerusakan sumberdaya hutan, maka berdampak pada penurunan hasil hutan non kayu. Penurunan produksi hasil hutan non kayu ini disamping faktor deplesi hutan juga karena kebijakan yang salah. Hal ini tampak pada kebijakan perdagangan rotan, yang tidak memberi insentif kepada petani rotan maupun pengumpul rotan di hutan alam, sehingga produksi rotan menurun, yang berimplikasi juga pada penurunan produksi rotan olahan. Kasus lain adalah penurunan atau hilangnya produksi tengkawang, dan damar mata kucing. Kebijakan kehutanan tidak mendorong peningkatan hasil hutan non kayu, karena pelakunya bukan pengusaha skala besar, masyarakat skala kecil tidak mendapat perhatian/ keberpihakan. Fakta jika hasil hutan ini dikelola secara baik akan memberikan nilai yang tinggi, dapat mengimbangi hasil hutan kayu.

Masalah sosial akibat kebijakan pembangunan kehutanan yang terkait dengan penetapan kawasan hutan dan pemberian izin kepada pengusaha skala besar (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT), menimbulkan konflik lahan maupun konflik sumberdaya untuk memperoleh manfaat ekonomi. Huma (2011) sebagaimana dikutip pada Epistema Institute (2011) menyebutkan 85 kasus konflik terbuka di kawasan hutan. Tabel di bawah ini menyajikan data kasus konflik di unit manajemen HTI yang diolah dari data kasus konflik HTI yang dicatat oleh Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman (BUHT) 15 Feb 2012, sebanyak 103 kasus yang dialami oleh 50 unit atau 23% unit HTI. Problem konflik ini kurang mendapat prioritas Kementerian Kehutanan penyelesaiannya, meskipun upaya penyelesaian dilakukan, tetapi tidak sampai pada solusi akhir. Kasus di atas yang dapat dituntaskan satu kasus di Sumut (kesepakatan bagi hasil), sedangkan kasus lainnya masih status proses penyelesaian. Proses penyelesaiannya pada Masalah sosial akibat kebijakan pembangunan kehutanan yang terkait dengan penetapan kawasan hutan dan pemberian izin kepada pengusaha skala besar (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT), menimbulkan konflik lahan maupun konflik sumberdaya untuk memperoleh manfaat ekonomi. Huma (2011) sebagaimana dikutip pada Epistema Institute (2011) menyebutkan 85 kasus konflik terbuka di kawasan hutan. Tabel di bawah ini menyajikan data kasus konflik di unit manajemen HTI yang diolah dari data kasus konflik HTI yang dicatat oleh Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman (BUHT) 15 Feb 2012, sebanyak 103 kasus yang dialami oleh 50 unit atau 23% unit HTI. Problem konflik ini kurang mendapat prioritas Kementerian Kehutanan penyelesaiannya, meskipun upaya penyelesaian dilakukan, tetapi tidak sampai pada solusi akhir. Kasus di atas yang dapat dituntaskan satu kasus di Sumut (kesepakatan bagi hasil), sedangkan kasus lainnya masih status proses penyelesaian. Proses penyelesaiannya pada

rekomendasi, usulan penyelesaian/rekomendasi DKN, dan tindaklanjut penyelesaian oleh pihak-pihak terkait.

pembahasan

alternatif

Tabel 3.12 Kasus konflik antara unit IUPHHK-HT dengan masyarakat 2012

No Lokasi

Unit HTI

Perkembangan hutan rakyat masih sangat terbatas. Perluasan hutan rakyat terbanyak justru terjadi di Pulau Jawa yang sudah sangat padat penduduk, sedangkan perluasan hutan rakyat di Luar Jawa yang banyak menyediakan lahan justru lebih lambat (Tabel 3.13). Beberapa faktor yang sangat berperan dalam mendorong perluasan hutan rakyat adalah (1) kejelasan hak atas tanah, (2) aksesibilitas, dan (3) harga kayu bulat. Di Pulau Jawa, hak atas tanah sudah sangat jelas, yakni umumnya tanah milik, aksesibilitas yang sangat baik, dan harga kayu bulat yang sangat menarik. Lahan yang belum tergarap di luar Pulau Jawa sangat banyak, tetapi umumnya belum ada kejelasan atas hak, aksesibilitas wilayah yang sangat terbatas, dan harga kayu bulat yang kurang menarik. Banyak industri veneer atau plywood di luar Pulau Jawa tutup atau dipindahkan ke Pulau Jawa untuk mendekati sumber bahan baku. Ini sebuah ironi yang sangat nyata.

Kegiatan pembangunan kehutanan yang banyak berhubungan langsung dengan masyarakat, khususnya yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (PDAS dan PS). Berdasarkan Statistik Kehutanan (2011), kegiatan dimaksud mencakup: 1) Reboisasi; 2) Penghijauan; 3) Pembangunan Hutan Bakau; 4) Pengembangan Hutan Rakyat; 5) Persuteraan Alam; 6)

Perlebahan; 7) Hutan Kemasyarakatan; 8) Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan; dan 9) Perbenihan Tanaman Hutan.

Kegiatan reboisasi lahan kritis telah dilaksanakan, berdasarkan Statistik Kehutanan 2011, pada tahun 2010 telah dilaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan seluas 157.588 ha di dalam kawasan hutan dan seluas 966.924 di luar kawasan hutan. Kegiatan penghijauan adalah upaya yang dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan tanam menanam dan bangunan konservasi tanah. Kegiatan penghijauan antara lain pembangunan hutan/kebun rakyat, kebun bibit desa, pembangunan Dam pengendali, hutan rakyat dan lain-lain. Hutan rakyat selama periode 5 tahun terakhir sejak tahun 2006 s.d. tahun 2010, mencapai 660.798,80 ha. Pembangunan Dam Pengendali/Dam Penahan selama periode 5 tahun terakhir sejak tahun 2006 s/d tahun 2010 telah dilaksanakan sebanyak 2.665 unit. Pada tahun 2010 tercapai 273 unit. Sejak tahun 1997 pemerintah telah mendorong/memfasilitasi pembangunan hutan rakyat melalui kredit bunga lunak yaitu Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) yang sekaligus mempercepat penanganan lahan kritis yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tabel 3.13 Penanaman Hutan Rakyat/Kebun Rakyat Lima Tahun Terakhir.

No PROVINSI/Province

JUMLAH Total (ha) 1 2 3 4 5 6 7 8

8.717.00 2 Sumatera Utara

16.463.00 3 Sumatera Barat