Upaya Penyelesaian yang Sedang Dilaksanakan

4.3. Upaya Penyelesaian yang Sedang Dilaksanakan

Permasalahan tumpang tindih kepentingan, khususnya dalam penggunaan kawasan hutan sebagaimana diuraikan sebelumnya telah disadari sejak lama. Namun upaya penyelesaiannya terbentur dengan kewenangan masing-masing kementerian/ Lembaga yang semuanya didasarkan atas undang-undang. Dalam penyusunan peraturan pelaksanaan dari undang-undang dimaksud, seringkali hanya terfokus kepada sektor/bidang masing-masing sehingga banyak terjadi disharmoni, baik pada tingkat peraturan pemerintah maupun peraturan menteri/kepala lembaga. Sebagai akibatnya banyak konflik lahan/tenurial yang berkembang menjadi konflik horisontal karena tidak dapat diselesaikan secara tuntas hanya oleh satu kementerian/lembaga yang dianggap paling berkepentingan atau bertanggung jawab terhadap lahan yang menjadi sumber konflik.

Perencanaan dan penatagunaan kawasan hutan yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan didasarkan atas RPPH (Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan)/TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) yang disusun sejak awal 1980-an, yaitu pada saat sebagian besar daerah di luar Pulau Jawa masih belum berkembang dan merupakan hutan. Kesepakatan yang dibuat pada saat itu hanya didasarkan pada kepentingan masing-masing sektor di daerah dan belum memproyeksikan peningkatan/perkembangan kebutuhan di masa yang akan datang. Terbitnya UU Tata Ruang menuntut adanya paduserasi antara peta TGHK dengan tata ruang yang disusun berdasarkan kepentingan daerah. Namun di banyak daerah terdapat kecenderungan untuk mengubah kawasan hutan menjadi kawasan Perencanaan dan penatagunaan kawasan hutan yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan didasarkan atas RPPH (Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan)/TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) yang disusun sejak awal 1980-an, yaitu pada saat sebagian besar daerah di luar Pulau Jawa masih belum berkembang dan merupakan hutan. Kesepakatan yang dibuat pada saat itu hanya didasarkan pada kepentingan masing-masing sektor di daerah dan belum memproyeksikan peningkatan/perkembangan kebutuhan di masa yang akan datang. Terbitnya UU Tata Ruang menuntut adanya paduserasi antara peta TGHK dengan tata ruang yang disusun berdasarkan kepentingan daerah. Namun di banyak daerah terdapat kecenderungan untuk mengubah kawasan hutan menjadi kawasan

Pada tahun 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, dan menemukan banyak masalah mendasar, diantaranya: 1) Disharmoni kebijakan dan regulasi antar sektor; 2) Pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang belum optimal; dan 3) Belum adanya mekanisme penyelesaian konflik kawasan hutan yang memberikan keadilan bagi seluruh pihak. Selanjutnya, dalam surat No. B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013, disampaikan bahwa belum ada komitmen bersama antar kementerian/lembaga untuk menyelesaikan permasalahan pengukuhan kawasan hutan secara terintegrasi yang memerlukan dukungan dan sinergi seluruh elemen kementerian/lembaga. Dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan, maka diajukan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia” yang kemudian ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2013 oleh:

1) Menteri Dalam Negeri; 2) Menteri Hukum dan HAM; 3) Menteri Keuangan; 4) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 5) Menteri Pertanian; 6) Menteri Kehutanan; 7) Menteri Pekerjaan Umum; 8) Menteri Lingkungan Hidup; 9) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 10) Kepala Badan Pertanahan Nasional; 11) Kepala Badan Informasi Geospasial; dan 12) Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Penandatanganan NKB ini bertujuan untuk: 1) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan, dan (2) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam mendorong percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi. Agenda utama NKB adalah:

(1) Harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan, diperlukan untuk memecahkan berbagai masalah sebagai berikut:

1. Belum selarasnya berbagai regulasi yang mengatur urusan sumberdaya alam sehingga menghambat rekonsiliasi terhadap wilayah usaha pemanfaatan SDA untuk masing-masing sektoral.

2. Mekanisme penerbitan izin terfragmentasi

3. Lemahnya kewenangan fungsi pengendalian pusat (2) Penyelarasan teknis dan prosedur, diperlukan untuk menyelesaikan

permasalahan berikut:

1. Lemahnya kualitas peta penunjukan kawasan hutan

2. Adanya perbedaan dalam penggunaan peta dasar

3. Inventarisasi hutan belum dilaksanakan untuk memastikan pengukuhan kawasan hutan dapat berjalan optimal

4. Data kawasan hutan belum secara efektif terbuka untuk umum

5. Tidak seluruh areal dapat dilakukan tata batas

6. Mekanisme penyelesaian hak masyarakat atas tanah dan hutan dalam kegiatan penataan batas belum diatur dengan jelas

7. Regulasi mengatur pengakuan hak atas tanah dan hutan yang ada belum memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

8. Penetapan kawasan hutan yang ada tidak diterbitkan dalam skala operasional

9. Penetapan hutan yang ada saat ini tidak memisahkan status kawasan hutan

10. Adanya peluang penentuan kawasan hutan tanpa penyelesaian hak masyarakat.

(3) Resolusi konflik perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Tidak ada basis data dan informasi terkait konflik kehutanan yang menyeluruh

2. Tidak ada lembaga yang secara khusus mempunyai kewenangan untuk menangani konflik agraria

3. Proses pengukuhan hutan tidak mampu menjadi jalan bagi penyelesaian konflik

4. Opsi-opsi pengaturan pengelolaan hutan oleh masyarakat atas hutan belum mampu menjadi jembatan bagi legalitas bagi hak masyarakat atas sumberdaya hutan.