Kebijakan Pembangunan Kehutanan

6.2 Kebijakan Pembangunan Kehutanan

6.2.1 Kebijakan Umum

Secara umum, kebijakan yang perlu dirumuskan untuk pembangunan kehutanan ke depan adalah dengan mengoptimalkan berbagai fungsi hutan yang mencakup fungsi ekosistem/lingkungan, fungsi sosial-budaya dan fungsi ekonomi, termasuk fungsi produksinya dalam jangka panjang. Dengan demikian, sektor pembangunan kehutanan dapat menjadi tulang punggung ( backbone) bagi sektor pembangunan lainnya yang juga terus berkembang dari atau berkaitan dengan perkembangan sektor kehutanan dan tercipta keseimbangan sektoral secara keseluruhan yang optimum (Darusman, 2012). Oleh karena itu, kebijakan umum pembangunan kehutanan harus mencakup upaya:

1. Optimalisasi fungsi ekosistem hutan untuk meningkatkan kualitas tata lingkungan wilayah dan nasional ( pro environment).

2. Optimalisasi fungsi sosial-budaya (cultural services)

3. Mengoptimalkan fungsi ekonomi untuk membangun wilayah dan masyarakat ( pro growth, pro job, pro poor).

6.2.2 Kebijakan prioritas

1. Pemantapan kawasan dan aset hutan Difokuskan pada terwujudnya basis legal bagi kawasan hutan tetap yang

mampu memisahkan secara tegas kawasan hutan negara, hutan adat, dan hutan hak agar keberadaan dan fungsinya tetap dapat dipertahankan sebagai sistem penopang kehidupan dan modal dasar pembangunan nasional. Pemantapan kawasan dan aset hutan harus mampu mengelola konflik tenurial dan mempertegas ruang kelola masyarakat adat di dalam kawasan hutan. Beberapa program pengaturan kawasan hutan, yaitu hutan negara, hutan hak, hutan adat agar keberadaan dan fungsinya tetap dapat dipertahankan termasuk, namun tidak terbatas pada:

1) Pelaksanaan mediasi dan resolusi konflik;

2) Penguatan kapasitas Panitia Tata Batas dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan;

3) Pembahasan dan penetapan kebijakan hutan sebagai aset negara;

4) Percepatan beroperasinya KPH, antara lain melalui:

a. Pengembangan dan redistribusi SDM dan karier pengelola KPH

b. Review dan penyempurnaan kebijakan (53 peraturan menteri)

untuk memfungsikan KPH

c. Penguatan fungsi Sekretariat Nasional KPH

5) Menyelesaikan pelanggaran tata ruang, penataan hak dan akses masyarakat adat/lokal;

6) Menguatkan fungsi penegakan hukum dan kelembagaan perlindungan kawasan hutan.

2. Penguatan ekonomi kehutanan Pada dasarnya ekonomi kehutanan tidak akan berkembang apabila

persoalan kawasan hutan tidak terselesaikan. Secara spesifik pengembangan ekonomi kehutanan, seperti industri berbasis hutan tanaman, sangat tergantung pada dijalankannya sejumlah agenda yang telah dituangkan dalam Roadmap oleh Kementerian Kehutanan. Di samping itu, pelaksanaan dan sinergi dari rencana-rencana pembangunan yang terkait secara langsung akan sangat memperngaruhi kinerja ekonomi kehutanan ke depan. Keberhasilan program ini sangat tergantung efisiensi pelaksanaan perizinan —mengurangi peraturan yang tidak perlu— bagi pelaksanaan teknis kehutanan. Perizinan dan pelaksanaannya harus merupakan kesatuan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memfungsikan peran KPH. Harmonisasi kebijakan produksi hasil hutan (barang dan jasa lingkungan) dengan kebijakan perdagangan, yang memberikan insentif untuk peningkatan investasi pada sumberdaya hutan dan sekaligus investasi industri pengolahan (hilirisasi).

3. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Difokuskan pada kemandirian pengelolaan kawasan konservasi, baik KPA

maupun KSA, dan hutan lindung untuk melestarikan keanekaragaman hayati di dalamnya, serta pengelolaan sumberdaya hayati, termasuk sumberdaya genetik, yang berada di luar kawasan konservasi. Kebijakan konservasi sumberdaya alam hayati perlu didukung dengan kebijakan mengenai restorasi ekosistem untuk memulihkan fungsi hutan alam yang saat telah mengalami degradasi. Dalam operasionalnya, kebijakan ini mencakup pengendalian kebakaran hutan dan tindakan illegal bidang kehutanan.

4. Rehabilitasi dan reklamasi lahan Difokuskan pada rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan di dalam kawasan

hutan untuk mengoptimalkan pembangunan ekonomi kehutanan dan peningkatan jasa ekosistem hutan, termasuk dalam pemeliharaan tata air pada skala DAS. Penguatan kelembagaan untuk menjalankan kebijakan ini harus menjadi prioritas utama. Kapasitas kelembagaan bukan hanya organisasi tetapi juga aturan pelaksanaan yang lebih mandiri dan terpusat pada unit-unit kerja di lapangan.

5. Penguatan kelembagaan KPH KPH merupakan lembaga pengelola hutan yang memegang peran sangat

vital bagi mempertahankan fungsi publik hutan dan menjembatani fungsi privat hutan yang ditetapkan mandatnya oleh peraturan perundang- undangan dan dijabarkan melalui kebijakan operasional. Penguatan kelembagaan KPH bukan hanya mencakup struktur organisasi, tetapi juga kapasitas pelaksanaan yang mandiri bagi seluruh unit kerja di lapangan.

Untuk itu, beroperasinya KPHK, KPHL dan KPHP sebagai unit kerja di tingkat tapak,yang didukung oleh insfrastuktur, pendanaan dan SDM profesional, merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar guna mewujudkan tujuan pembangunan kehutanan berkelanjutan. Wilayah KPH merupakan lokus sentral bagi implementasi program prioritas kehutanan lainnya.

6. Penguatan tata kelola (organisasi, kualifikasi SDM, kualitas pelayanan) Difokuskan pada penguatan kapasitas tata kepemerintahan kehutanan yang

didasarkan atas evaluasi terhadap hubungan antara organisasi Kementerian Kehutanan dan dinas kehutanan provinsi/kabupatendengan efektivitas pengurusan/penyelenggaraan kehutanan. Pada tahap selanjutnya, tata hubungan kelembagaan antara Kementerian Kehutanan dengan seluruh kementerian teknis yang terkait dengan hutan dan lahan perlu memperoleh pencermatan yang menyeluruh untuk menetapkan intervensi yang tepat.

Beberapa program prioritas yang terkait, antara lain:

1) Penetapan target pencapaian pembangunan kehutanan yang lebih terbuka —dan ditetapkan dengan basis ekosistem-spasial. Jika perlu disampaikan ke publik untuk memperoleh asupan semestinya (sejalan dengan prinsip PADIATAPA);

2) Penetapan sistem ketenagakerjaan kehutanan —termasuk kepastian jenjang karier, insentif dan keamanan kerja — yang memungkinkan penguatan kapasitas kehutanan di tingkat tapak dan kabupaten/kota;

3) Akuntabilitas dan transparansi penetapan dan penggunaan anggaran pembangunan kehutanan;

4) Pengembangan sistem karier SDM sesuai standar profesionalitas, serta penetapan pejabat yang terbuka bagi publik;

5) Proses pengurusan dan pelaksanaan —termasuk mekanisme pembayaran iuran, pajak, dll. — serta penilaian izin yang terbuka bagi publik.

6) Akses yang lebih terbuka atas data/informasi yang dikelola oleh K/L terkait hutan.