26
kamus fiqih, majalah, surat kabar, kamus bahasa Indonesia, internet, jurnal- jurnal.
3. Analisis Data
Didalam penelitian hukum normatif, maka analisa data hakekatnya berarti kegiatan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat
klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut. Untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.
39
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan primer, sekunder, maupun
tersier untuk mengetahui validitasnya, setelah itu, keseluruhan data tersebut akan disistimatisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.
40
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif
terhadap data sekunder.
41
Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis secara kualitatif adalah
42
a.
Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian. c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah, asas atau doktrin
d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada.
e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
39
Soejono Soekanto, Op. Cit., hal: 251
40
Bambang Sunggono, Op. Cit., hal: 106
41
Zainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum Nasional, Ind-Hill, Jakarta hal: 105
42
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal: 45
Universitas Sumatera Utara
27
BAB II KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM
KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam
Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittida, atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak
ataupun perjanjian, perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”.
43
Dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian
44
yaitu kata akad al-‘aqdu dan kata ‘ahd al- ‘ahdu, Al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian
45
, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan,
dan janji atau perjanjian. Akad atau al-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan, atau perjanjian dan kesepakatan. Kata ‘aqdu atau al’aqd sendiri mengacu pada terjadinya
dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan
dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut
perikatan ‘aqd.
43
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K, Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal: 1.
44
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2001, hal: 247
45
Al-Qur’an, Surat Al-Maidah ayat 1
27
Universitas Sumatera Utara
28
Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang
perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalam ijab dan qabul
yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya
bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perjanjian yaitu terjadinya pemindahan
kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya. Sebagaimana Hukum Islam yang berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-
Qur’an, Hadits sebagai dua sumber utama, serta ar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Saw,
yang dikenal dengan Hadits Mu’az
46
maka sumber hukum Perjanjian Islam sendiri berasal juga dari Al-Qur’an, al- Hadits, dan Ijtihad.
47
46
“Pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman dari Madinah untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, Nabi menguji sahabatnya yang bernama
Mu’az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunkannya kelak untuk memecahkan
berbagai masalah
dan atau
sengketa yang
mengatakan bahwa
dia akan
mempergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan baru itu dijawab Mu’az dengan mengatakan bahwa dia akan
mempergunakan Al-Qur’an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: Jika tidak terdapat petunjuk khusus mengenai suatu masalah dalam Al-Qur’an bagaimana? Mu’az menjawab: saya akan
mencarinya dalam Sunnah Nabi. Nabi bertanya lagi: Kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam Sunnah Nabi, bagaimana? Mu’az menjawab” Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari
sumber pemecahannya dengan mempergunakan ra’yu atau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi sangan senang atas jawaban Mu’az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah
Universitas Sumatera Utara
29
1. Al-Quran