Khiyar ar- Ru’yah atau hak pilih melihat, yakni hak pilihan untuk meneruskan

72

4. Khiyar ar- Ru’yah atau hak pilih melihat, yakni hak pilihan untuk meneruskan

akad atau membatalkannya, setelah barang yang menjadi objek akad dilihat oleh pembeli. Hal ini terjadi dalam kondisi dimana barang yang menjadi objek akad tidak ada di majelis akad, kalaupun ada hanya contohnya saja, sehingga pembeli tidak tahu apakah barang yang dibelinya itu baik atau tidak. Setelah pembeli melihat langsung kondisi barang yang dibelinya, apabila setuju, ia bisa meneruskan jual belinya dan apabila tidak setuju, ia boleh mengembalikannya kepada penjual, dan jual beli dibatalkan, sedangkan harga dikembalikan seluruhnya kepada pembeli. 110 Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang- barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya, namun ada juga yang melarangnya. Ulama yang membolehkannya itu membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya. Jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah memboleh khiyar ar-Ru’uyah ini, dengan alasan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:” Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu.” Atas dasar tersebut jumhur ulama membolehkan jual barang yang ghaib tidak ada di majelis akad, tanpa menyebutkan sifat, dan kepada pembeli diberikan hak khiyar ar-Ru’yah, atau dengan disebutkan sifatnya yang dikehendaki, dan kepadanya pembeli diberikan khiyar sifat. Dalam konteks ini apabila pembeli telah melihat barang yang menjadi objek akad jual beli, maka ia boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya dan 110 Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hal: 236 Universitas Sumatera Utara 73 barang dikembalikan kepada penjual, baik barangnya sesuai dengan sifat yang dikemukakan atau tidak. 111 Lain halnya dengan ulama kalangan Syafi’yah dalam qaul jadid mengatakan bahwa jual beli yang ghaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu kontrak dilaksanakan atau tidak disebutkan. Oleh karena itu lah menurut mereka khiyar ar-Ru’yah tidak berlaku, karena kontrak itu mengandung unsur penipuan yang boleh membawa kepada perselisihan. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung penipuan. 112 Disamping mengandung unsur ghara penipuan karena ketidakjelasan objek, jual beli tersebut juga termasuk jual beli barang yang tidak ada pada tangan seseorang, yakni tidak ada di majelis akad dan tidak bisa di lihat oleh pembeli. Jual beli semacam ini jelas dilarang berdasarkan hadis: “Dari Hakim bin Hizam ia berkata: Saya berkata, Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku menanyakan tentang jual beli, saya tidak memiliki barang yang bisa dijual, kemudian saya beli dari pasar. Nabi kemudian bersabda: Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada disisimu”. HR. lima ahli hadis 113 111 Wahbah Zuhaili, Loc.cit., dalam Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit , hal: 237 112 Abdul Manan, Op. Cit., hal : 104 113 Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nayl Al-Authar, Juz 5, Dar Al-Fikr, t.t., hal: 252 dalam Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit, hal: 238 Universitas Sumatera Utara 74 Namun Hanafiah menyanggah alasan yang dikemukakan oleh Imam Asy- Syafi’i dengan mengatakan bahwa ketidakjelasan objek akad yang tidak dilihat, tidak akan menimbulkan perselisihan secara mutlak, selama pembeli berhak mengembalikannya, apabila setelah dilihat barangnya tidak sesuai dengan seleranya, dan dengan demikian akad menjadi batal. Di samping itu, hadis yang melarang jual beli barang yang tidak ada di tangan manusia, maksudnya adalah larangan jual beli barang yang belum dimiliki, sedangkan larangan tentang jual beli gharar, berlaku untuk jual beli barang yang tidak diketahui zatnya. 114 Adapun syarat berlakunya khiyar ar-Ru’yah adalah sebagai berikut: a. Objek akad harus berupa barang, bukan uang. Dengan demikian dalam jual beli uang khiyar tidak berlaku. b. Objek akad belum dilihat. Apabila objek akad sudah dilihat sebelum dibeli maka khiyar tidak berlaku. Cara melihat objek akad ini berbeda- beda tergantung jenis barangnya. Untuk membeli kambing yang tujuannya untuk diambil dagingnya maka perlu dipegang untuk bisa dirasakan banyak atau sedikit dagingnya. Khiyar ar-Ru’yah tidak gugur karena pernyataan yang tegas, berbeda dengan khiyar syarat dan khiyar aib. Adapun yang menggugurkan khiyar ar-Ru’yah adalah: a. Perbuatan ikhtiari, hal ini ada dua macam: 1. Kerelaan persetujuan secara jelas sharih, seperti ungkapan pembeli: “Saya teruskan jual beli , atau saya setuju”. 2. Kerelaan secara dilalah petunjuk, yaitu adanya suatu tasarruf tindakan terhadap objek akad setelah dilihat bukan sebelumnya. Seperti tindakan pembeli untuk menerima barang setelah dilihat, karena penerimaan 114 Wahbah Zuhaili, Op. cit., Hal: 252 dalam Ahmad Wardi muslich, Op. cit., hal: 238 Universitas Sumatera Utara 75 barang setelah dilihat menunjukkan persetujuan atas lazimnya mengikat jual beli. b. Perbuatan dharuri, yaitu setiap keadaan yang menggugurkan khiyar dan mengikatnya jual beli tanpa perbuatan si pembeli. Misalnya meninggalnya pembeli menurut Hanafiah. Atau rusaknya barang yang dijual, baik seluruhnya atau sebagiannya. 115 Akad jual beli yang di dalamnya berlaku khiyar ru’yah dapat batal atau fasakh karena: a. Adanya pernyataan yang tegas yang isinya membatalkan atau memfasakh akad jual beli, seperti ungkapan pembeli, :” Saya batalkan jual beli, atau saya kembalikan barang ini”. b. Rusaknya objek akad jual beli sebelum diterima oleh pembeli. 116 Adapun syarat sahnya fasakh adalah: a. Khiyar masih tetap ada. Apabila khiyar tidak ada maka akad jual beli menjadi lazim mengikat, dan akad tidak bisa dibatalkan. b. Tidak ada pemisahan akad atas barang-barang yang dijual, misalnya mengembalikan sebagian dan meneruskan sebagian yang lain. Hal tersebut dikarenakan pemisahan tersebut dapat merugikan penjual. c. Penjual mengetahui adanya pembatalah fasakh. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, penjual tidak disyaratkan harus mengetahui adanya pembatalan fasakh 117 .

5. Khiyar al-‘Aib Cacat yakni hak untuk membatalkan atau melangsungkan