75
barang setelah dilihat menunjukkan persetujuan atas lazimnya mengikat jual beli.
b. Perbuatan dharuri, yaitu setiap keadaan yang menggugurkan khiyar dan
mengikatnya jual beli tanpa perbuatan si pembeli. Misalnya meninggalnya pembeli menurut Hanafiah. Atau rusaknya barang yang dijual, baik
seluruhnya atau sebagiannya.
115
Akad jual beli yang di dalamnya berlaku khiyar ru’yah dapat batal atau fasakh karena:
a. Adanya pernyataan yang tegas yang isinya membatalkan atau memfasakh
akad jual beli, seperti ungkapan pembeli, :” Saya batalkan jual beli, atau saya kembalikan barang ini”.
b. Rusaknya objek akad jual beli sebelum diterima oleh pembeli.
116
Adapun syarat sahnya fasakh adalah: a.
Khiyar masih tetap ada. Apabila khiyar tidak ada maka akad jual beli menjadi lazim mengikat, dan akad tidak bisa dibatalkan.
b. Tidak ada pemisahan akad atas barang-barang yang dijual, misalnya
mengembalikan sebagian dan meneruskan sebagian yang lain. Hal tersebut dikarenakan pemisahan tersebut dapat merugikan penjual.
c. Penjual mengetahui adanya pembatalah fasakh. Ini menurut Imam Abu
Hanifah dan Muhammad. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, penjual tidak disyaratkan harus mengetahui adanya pembatalan fasakh
117
.
5. Khiyar al-‘Aib Cacat yakni hak untuk membatalkan atau melangsungkan
kontrak bagi kedua belah pihak yang mengadakan kontrak, apabila terdapat suatu cacat pada objek kontrak dan cacat ini tidak diketahui pemiliknya ketika
kontrak berlangsung. Misalnya seorang membeli satu kilogram kurma, tetapi sebagian dari kurma ini sudah busuk dan tidak diketahui oleh si pembeli
kurma ini sebelumnya. Dalam kasus ini, para ahli hukum Islam sepakat untuk
115
Ibid, hal: 239
116
Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hal: 238
117
Ibid
Universitas Sumatera Utara
76
ditetapkan khiyar bagi pembeli. Dasar hukumnya adalah Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Ubaqah Ibn Amir, Rasulullah SAW bersabda bahwa:” sesama
muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seseorang menjual barangnya kepada muslim lainnya, padahal pada barang itu terdapat cacat aib yang
tersembunyi.
118
Dasar hukum untuk khiyar ‘aib ini adalah Hadis Nabi SAW
119
: a. Hadis ‘Uqbah Ibnu ‘Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang muslim adalah saudaranya muslim yang lain, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual barang jualan kepada saudaranya yang
didalamnya ada
cacatnya melainkan
ia harus
menjelaskan memberitahukan kepadanya.
b. Hadis Abu Hurairah : “Bahwa rasulullah SAW lewat atas setumpuk makanan kemudian beliau
memasukkan tangannya kedalam makanan itu lalu jari-jarinya terkena basah. Beliau berkata:”
Wahai pemilik makanan, apa ini? Ia
menjawab:” Terkena air hujan ya Rasulullah”. Nabi bersabda:”Kenapa tidak engkau tempatkan di atas makanan supaya kelihatan oleh orang-
orang?” Nabi kemudian bersabda:” Barang siapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami.”
c. Hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa membeli kambing yang diikat teteknya musharrah,
maka ia berhak untuk melakukan khiyar dalam waktu tiga hari. Apabila ia mau maka ia menahannya meneruskan jual belinya, dan apabila ia
mau maka ia bisa mengembalikannya ditambah dengan satu liter kurma”.
Khiyar al-‘Aib ini, menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh
ahli waris pemilik hak khiyar. Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur
yang merusak obyek jual beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi
118
Abdul Manan, Op. Cit., hal: 102
119
Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hal: 233-234
Universitas Sumatera Utara
77
para pedagang. Tetapi, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah seluruh cacat yang menyebabkan niali barang itu berkurang atau hilang unsur yang
diinginkan daripadanya. Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar al- ‘Aib, menurut para pakar fiqh
setelah diketahui ada cacat pada barang itu, adalah: a.
Cacat itu diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima barang dan harga; atau cacat itu merupakan cacat lama.
b. Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad
berlangsung. c.
Ketika akad berlangsung, pemilik barang penjual tidak mensyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan.
d. Cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.
120
Dampak hukum khiyar al’aib ini terhadap akad adalah bahwa akad itu menjadi tidak lazim bagi pihak yang memiliki khiyar al-‘aib yaitu pembeli.
Dalam kondisi demikian ia memiliki dua pilihan apakah ia rela dan puas terhadap barang yang akan dibeli. Kalau ia rela dan puas, maka khiyar tidak
berlaku baginya dan ia harus menerima barang. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal
atau dengan kata lain tidak ada transaksi.
121
Namun yang perlu diperhatikan dalam hal pengembalian barang yang ada cacatnya itu,berdasarkan khiyar al-‘Aib ini boleh terhalang, karena:
a. pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang, baik kerelaan
itu ditunjukkan secara jelas melalui ungkapan maupun melalui tindakan.
120
Ibid, hal: 136-137
121
Ikhwan Abidin
Basri, Fikih
Muamalat “Khiyar”,
http:ashabulkhahfi- its.blogspot.om201205fikih-muamalat-khiyar_26.html, diakses pada tanggal 16 Juli 2013
Universitas Sumatera Utara
78
b. Hak khiyar digugurkan oleh yang memilikinya, baik melalui ungkapan
yang jelas maupun melalui tindakan. c.
Benda yang menjadi obyek transaksi itu hilang atau muncul cacat baru disebabkan perbuatan pemilik hak khiyar, atau barang itu telah berubah
tital ditangannya, dan
d. Terjadi penambahan materi barang itu di tangan pemilik hak khiyar,
seperti apabila obyek jual belinya berupa tanah dan tanah itu telah dibangun atau telah ditanami berbagai jenis pohon, atau apabila obyek
jual beli itu adalah hewan, maka anak hewan itu telah lahir di tangan pemilik khiyar. Akan tetapi, apabila penambahan itu bersifat alami,
seperti susu kambing yang menjadi obyek jual beli atau buah-buahan dari pohon yang dijualbelikan, maka tidak menghalangi hak khiyar.
122
6. Khiyar Sifat, yaitu suatu khiyar di mana pembeli diberi kesempatan untuk