80
maupun musta’jir boleh memilih antara membatalkan akad jual beli atau tidak membatalkannya dan jual beli diteruskan.
134
Dapat disimpulkan bahwa khiyar dalam akad berarti hak memilih bagi pihak- pihak yang bersangkutan dalam suatu transaksi perdata untuk tetap melanjutkan akad
tersebut atau membatalkan akad yang telah diadakan bila hal dimaksud menyangkut khiyar asy-syarat, khiyar rukyat atau khiyar aib. Adapun maksud dari ditetapkannya
khiyar dalam syari’at Islam adalah untuk menjamin agar akad yang diadakan tersebut benar-benar
terjadi atas
dasar kerelaan
penuh masing-masing
pihak yang
bersangkutan, mengingat sukarela merupakan asas bagi sahnya suatu akad.
B. Perdamaian Al Sulh Di Antara Para Pihak
1. Pengertian Perdamaian Al-Sulh
Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan- kesimpulan dari nash dan ijtihad. Kalangan Hambaliyah dan ibnu Syurmah serta
bagian para pakar hukum Islam di kalangan malikiyah berpendapat lain. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas.
135
Namun demikian telah disepakati bahwa asal perjanjian itu adalah keridhaan kedua belah pihak,
konsekuensinya apa yang telah disepakati bersama harus dilakukan.
134
Ibid.
135
Abdullah al Muslih dan Shalah Ash Shawi, Ma la Yasa’ut jahluhu, terjemahan Abu Umar Basyir, fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, hal: 58
Universitas Sumatera Utara
81
Terhadap perselisihan yang terjadi di antara pihak yang berakad dalam upaya penyelesaian perselisihan tersebut maka dapat menggunakan jalan perdamaian sulh
antara kedua pihak. Secara bahasa, ‘sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah
“sulh” berrati
suatu jenis
akad atau
perjanjian untuk
mengakhiri perselisihanpertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai.
136
. menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara
sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam Surat An-nisa Ayat 126 yang artinya :”Perdamaian itu adalah hal yang baik”.
Sulh juga mempunyai bentuk lain yaitu Al Islah yang memilki arti memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Islah
merupakan kewajiban umat Islam, baik secara personal maupun sosial. Penekanan islah ini lebih terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam rangka
pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.
137
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kemudian hari di antara
mereka. Untuk penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang memilih hanya dengan perdamaian al suhl
dan ada juga yang memilih untuk langsung ke lembaga Pengadilan. Selain itu, dalam
136
AW Munawir, Kamus Al Munawir, pondok pesantren Al Munawir, Yogyakarta, 1984, hal:843 dalam Rachmansyah Purba, Penyelesaian Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-
undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Tesis, Pascasarjana Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2009, hal: 27
137
Hasballah thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an V, Medan: Pustaka Bangsa, 2008, hal: 147-148
Universitas Sumatera Utara
82
klausul yang dibuat para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila di kemudian hari terjadi sengketa di antara mereka. Bagi
mereka yang sepakat mengadakan Akad pada perbankan Syari’ah sudah tentu hukum yang dipakai menggunakan prinsip Syari’ah
Bagi para pihak yang ingin melakukan upaya hukum melalui perdamaian shulh harus memperhatikan
rukun perdamaian shulh yang dikemukakan oleh jumhur ulama,yang terdiri dari empat rukun, yaitu:
a. ‘aqidain, yaitu mushalihain, yakni dua orang yang melakukan perdamaian; b. Mushalah ‘anhu, yaitu hak yang disengketakan;
c. Mushalah ‘alaih, yaitu benda yang menjadi pengganti sulh, dan d. Shighat, yaitu ijab dan qabul
138
Dan juga memperhatikan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
damai yang dapat diklasifikasi kepada beberapa hal, yaitu: 1. Hal yang menyangkut subyek
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu orang yang melaksanakan
perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam
perdamaian tersebut. Belum tentu setiap orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan atau wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut
hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk mewakili seperti pertama: wali atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya, kedua:
pengampu atas harta benda orang yang berada dibawah pengampuannya, ketiga: nazir pengawas wakaf atas hak milik wakaf yang ada dibawah
pengawasannya.
2. Hal yang menyangkut obyek Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni pertama:
berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dpat diserahterimakan dan
bermanfaat, kedua: dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan
138
Wahbah Zuhaili, op. cit., juz 5, hal :299
Universitas Sumatera Utara
83
kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap obyek yang sama.
3. Persoalan yang boleh didamaikan disulh-kan Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh
didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat di nilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat di ganti. Dengan kata
lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat
didamaikan.
4. Pelaksanaan perdamaian Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar
sidang pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Diluar sidang pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan oleh mereka sendiri yang
melakukan perdamaian tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah wasit, itulah kemudian yang disebut
dengan arbitrase, atau dalam syariat Islam disebut dengan hakam.
Perjanjian perdamaian sulh yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktek di beberapa negara Islam,
terutama dalam hal perbankan syari’ah disebut dengan “tafawud” dan “taufiq” perundingan dan penyesuaian. Kedua hal terakhir ini biasanya dipakai dalam
mengatasi persengketaan antara intern bank, khususnya bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan perdamaian di sini adalah menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang diadakan
oleh para pihak yang dapat diklasifikasikan kepada
139
: 1. Perdamaian di luar sidang pengadilan
Telah kita ketahui bahwa dalam setiap persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang sedang bertikai. Di dalam penyelesaian persengketaan, dapat
saja mereka menyelesaikan sendiri, misalnya mereka minta bantuan kepada sanak keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari
penyelesaian persengketaan ini di luar sidang secara damai sebelum
139
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Op. Cit. hal: 30-32
Universitas Sumatera Utara
84
persengketaan itu
diajukan atau
bahkan selama
proses persidangan
berlangsung, dengan cara ini banyak yang berhasil. Namun sering pula terjadi, dikemudian hari sengketa yang sama mungkin
timbul lagi, misalnya dalam hal sengketa tanah sawah, di mana mereka telah berjanji untuk mengadakan perdamaian, dan salah satu pihak telah pula
menyerahkan kembali tanah itu secara damai, namun beberapa waktu kemudian diambil dikuasai kembali oleh pihak yang menyerahkan.
Untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka dalam praktik sering perjanjian perdamaian itu dilaksanakan secara
tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian. Agar akta perjanjian perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum tentulah harus dibuat secara
autentik, yaitu dibuat di hadapan Notaris. Akta asli perjanjian perdamaian itu lazimnya disimpan oleh Notaris sebagai
minut, dan pihak-pihak yang mengadakan perdamaian diberikan turunan atau salinan dari akta tersebut sebagai pegangan. Dan jika kelak di kemudian hari
salah satu pihak dapat saja keturunannya melanggar kesepakatan yang telah diadakan tentunya dengan alasan tidak ada perdamaian maka pihak yang
lainnya dapat menunjukkan bukti yang autentik bahwa perdamaian telah dilangsungkan. Dan dia dapat mengemukakan bahwa suatu perjanjian
perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
2. Melalui Sidang Pengadilan Perdamaian melalui sidang pengadilan berlainan caranya dengan perdamaian
di luar
sidang pengadilan,
perdamaian melalui
sidang pengadilan
dilangsungkan pada saat perkara tersebut di progres di depan sidang pengadilan gugatan sedang berjalan. Di dalam ketentuan perundang-
undangan ditentukan, bahwa sebelum perkara itu diproses dapat juga selama diproses, bahkan sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap hakim harus
menganjurkan agar para pihak yang bersengketa berdamai. Dalam hal ini tentunya peranan hakim sangat menentukan.
Andainya hakim berhasil untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak yang bersengketa di
hukum untuk menaati isi dari akta perjanjian perdamaian tersebut. Lazimnya dalam praktik di istilahkan dengan “Akta Dading”. Dapat ditambahkan
bahwa, karena perdamaian ini bersifat kerelaan atau mau sama mau, maka terhadap akta perdamaian yang dibuat melalui sidang pengadilan tingkat
terakhir, diajukan banding dengan kata lain telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penyelesaian perselisihan dengan jalan musyawarah ini merupakan prinsip penyelesaian dalam hukum Islam, lagipula penyelesaian sengketa dengan jalan
perdamaian atau musyawarah merupakan suatu penyelesaian yang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
85
kultur masyarakat yang beradat dan bersendikan syara’. Namun untuk menangani perselisihan dengan menempuh jalan perdamaian ini, diperlukan sumberdaya manusia
yang berilmu, professional, jujur, adil dan bijaksana, sehingga nilai-nilai terkandung dalam syariat Islam dilaksanakan secara utuh kaffah.
140
C. Menggugat Ke Pengadilan
Dalam pelaksanaan kontrak atau akad pada perbankan syariah ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, seperti pada perbankan umum maupun lembaga
keuangan konvensional lainnya sering terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam implementasi isi perjanjian. Adanya kesalahan penafsiran
maupun dalam pelaksanaan perjanjian ini tentunya berakibat terjadinya sengketa yang memerlukan adanya upaya penyelesaian. Dan penyelesaian ini tentunya harus segera
dilakukan yang tentunya agar terciptanya keadilan untuk para pihak. Mengingat hubungan hukum yang tercipta dibuat berdasarkan prinsip syariah
tentunya diperlukan adanya metode dan cara penyelesaian yang juga mengikuti prinsip syariah. Oleh karena itu terhadap para pihak dalam perikatan atau perjanjian
dengan prinsip syariah tidak dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syariah melainkan harus menggunakan instansi
peradilan agama. Hal ini disebabkan karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda.
140
Syahrizal, Tesis “Dualisme kewenangan Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah antara Mahkamah Syari’ah dan Pengadilan Negeri Di Kota Banda Aceh”, Medan: Fakultas Hukum,
2012, hal: 92
Universitas Sumatera Utara
86
Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, setiap sengketa ekonomi syariah
diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS yang didirikan secara bersama oleh
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. Oleh karena itu sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
para pelaku ekonomi di bidang perbankan syariah, bank dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah dengan serta merta akan melangsungkan hubungan
dengan kemitraan dengan system syariah pula. Oleh karena itu, bilamana hubungan tersebut terjadi atau berkhir dengan sebuah kecederaan perilaku salah satu pihak
dalam istilah lain disebut perselisihan, maka kedua belah pihak dapat menunjuk seorang atau lembaga yang diyakini mampu untuk adil dalam menyelesaikan perkara
mereka.
141
Dalam suatu hubungan hukum yang didasarkan pada prinsip syariah dalam penandatanganan akad selalu dilakukan dengan lebih dahulu dimusyawarahkan, akan
tetapi tak bisa dipungkiri bahwa perselisihan yang diakibatkan kesalahan dalam pemahaman terhadap akad dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan akad yang
berpeluang tetap saja terjadi dan tentunya memerlukan adanya cara penyelesaian yang saling menguntungkan bagi para pihak yang terlibat didalamnya.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh perdamaian maupun secara tahkim arbitrase akan diselesaikan melalui lembaga pengadilan.
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,
secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada empat lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara,
dan Peradilan Militer.
141
Syahrizal, Op. Cit., hal: 80-81
Universitas Sumatera Utara
87
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan hukum acara yang diterapkan dalam menangani perkara-perkara di bidang ekonomi syariah di lingkungan peradilan
agama adalah ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang berlaku sebagaimana umumnya di lingkungan peradilan umum.
Seperti diketahui salah satu asas hukum acara perdata adalah ”hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya”.
142
Asas ini bersumber dari ketentuan Pasal 16 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang
menyatakan bahwa: 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa terhadap perkara perdata yang diajukan ke pengadilan, termasuk dalam hal ini perkara perbankan syari’ah
yang diajukan ke pengadilan agama, pengadilan tersebut tidak punya pilihan selain harus menyelesaikannya. Ia tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan hukum tidak ada atau tidak jelas karena ia justru yang dianggap tahu hukum ius curia novit
142
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal: 13
Universitas Sumatera Utara
88
Terhadap perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan, sesuai dengan ketentuan tersebut penyesaiannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu: Pertama,
diselesaikan melalui perdamaian Sulh yang telah di jelaskan diatas, atau apabila upaya damai tersebut tidak berhasil; Kedua, diselesaikan melalui proses persidangan
litigasi seperti biasa sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Kedua cara ini lah yang harus ditempuh pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara-perkara di bidang ekonomi syariah umumnya dan bidang perbankan syariah khususnya yang diajukan kepadanya,
Dalam konteks ekonomi syari’ah, lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang:
1. Perkawinan; 2. Waris;
3. Wasiat; 4. Hibah
5. Wakaf 6. Zakat
7. Infaq 8. shadaqah dan ekonomi syari’ah.
Universitas Sumatera Utara
89
Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian
syari’ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari’ah, dan lembaga keuangan mikro syari’ah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis ekonomi syari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai
keselarasan antara hukum materiil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga Peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam,
dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam.
Dalam perbankan Syariah, tidak menutup kemungkinan bagi orang-orang non-muslim untuk berakad, demikian juga dalam hal terjadi sengketa diantaranya
maka Pengadilan Agama tetap berwenang mengadili sengketa perbankan syariah dengan nasabah yang non-muslim, tetapi tidak menutup kemungkinan penyelesaian
sengketa di Pengadilan Umum karena hal ini tergantung pada kesepakatan para pihak yang berakad yang dituangkan dalam redaksi akad tersebut. Hal ini berdasarkan Pasal
55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang berbunyi:” Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”.
Universitas Sumatera Utara
90
Namun perlu diperhatikan sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu
perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansi serta hal ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna
menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang
ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan di persidangan. Berkaitan dengan hal tersebut sebelum proses di persidangan dimulai, ada beberapa hal penting
yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh hakim sebelum mengambil keputusan terhadap perkara ekonomi syariah khususnya perbankan syariah. Adapun hal-hal
penting yang harus dilakukan terlebih dahulu tersebut antara lain: 1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang
mengandung unsur Klausula Arbitrase Inilah hal penting yang pertama kali harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
memeriksa lebih lanjut perkara perbankan syariah yang diajukan ke pengadilan agama, yakni memastikan terlebih dahulu bahwa perkara perbankan syariah yang
ditangani tersebut bukan termasuk perkara perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase arbitration clause. Hal ini penting dilakukan, tidak lain
dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata diluar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara
pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus. Padahal seperti yang telah kita ketahui, bahwa
kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausul arbitrase. Oleh karena
itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan
seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut ternyata merupakan sengketa perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk
wewenang absolute lingkungan
peradilan agama. Termasuk dalam hal
mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Universitas Sumatera Utara
91
Untuk mengetahui apakah perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, baca terlebih dahulu secara
cermat perjanjian atau akad agreementcontract tertulis yang mereka buat dan mereka sepakati sebelumnya berkaitan dengan kegiatan usaha yang mereka
jalankan. Jika dalam perkanjian atau akad tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa
disputes di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti
perjanjian tesebut jelas mengandung apa yang dinamakan klausula arbitrase. Dengan demikian jelas secara absolut
lingkungan peradilan agama tidak berwenang dan mengadilinya.
143
Bahkan para pihak itu sendiri, menurut ketentuan Pasal 11 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, tidak dibenarkan
lagi mengajukan perkara semacam itu ke pengadilan.
144
Penyelesaian perkara tersebut menjadi kewenangan absolut forum arbitrase itu sendiri. Adapun sikap
yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih
jauh adalah menjatuhkan putusan negatif berupa pernayataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara tersebut.
145
Setelah dipastikan bahwa perkara tesebut bukan merupakan sengketa perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase barulah tindakan
selanjutnya yang harus dilakukan hakim adalah menyelesaikan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian proses
penyelesaian perkara tersebut akan dilakukan dengan mengupayakan perdamaian bagi para pihak.
2. Pelajari secara cermat Perjanjian Akad yang mendasari kerja sama antar para Pihak.
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula aribitrase, lalu
dilanjutkan dengan mengupayakan perdamaian bagi para pihak sesuai dengan langkah-langkah yang dikemukakan di atas. Selanjutnya apabila upaya damai
tersebut ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerja sama para
pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Akan tetapi ada satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan dalam menghadapi suatu kasus perdata dalam hal perjanjian atau kontrak ataupun akad
tersebut, yaitu harus bisa mengidentifikasi apakah telah terjadi penipuan atau
143
Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
144
Lihat Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999
145
Lihat Pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
92
justru yang terjadi adalah wanprestasi. Hal ini kerap terjadi misalnya, ketika realisasi dari suatu akad atau perjanjian berupa hutang piutang yang dilakukan
antara dua orang tersebut tidak sesuai dengan rencana semula yang tertera dalam akad atau telah terjadi “pengkhianatan” diantara mereka, seringkali berubah
menjadi kasus-kasus pidana sebagai penipuan, penggelapan, dan sebagainya. Jika sudah demikian, maka pengetahuan dan kehati-hatian tentang aspek-aspek
hukum dalam suatu tindakan hukum menjadi sangat urgen dipahami oleh setiap manusia sebagai subyek hukum. Lemahnya pemahaman para penegak hukum
tentang karakteristik wanprestasi dan delik penipuan juga menjadi penyebab terjadinya missprosedural dalam penanganan kasus-kasus yang timbul dari
hubungan kontraktual. Hal itu sering terjadi karena ada beberapa unsur dalam penipuan yang memiliki kemiripan dengan wanprestasi dalam suatu perjanjian.
Sehingga jika tidak dilakukan penelitian secara cermat terhadap sifat dan subtansinya, maka akan tersesat pada kesimpulan bahwa antara wanprestasi dan
delik penipuan memiliki unsur perbuatan materiil yang sama. Wanprestasi
timbul dari
persetujuan agreement.
Artinya untuk
mendalilkan suatu subjek hukum telah melakukan wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa :”Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat syarat yaitu:
adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya; adanya kecakapan
Universitas Sumatera Utara
93
untuk membuat suatu periakatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang tidak terlarang”.
Menurut Subekti, Wanprestasi biasanya terjadi karena orang yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian tidak memenuhi isi
perjanjian yang telah disepakati yaitu dapat berupa: 1. tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan;
2. melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; 3. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
338 KUHPidana tentang perbuatan curang bedrog yang berbunyi: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun” Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka secara yuridis delik penipuan harus
memenuhi unsur-unsur pokok berupa:
146
1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasasl undang-undang dengan kata-kata:”dengan
146
http:pkbh.uji.ac.idanalisa-hukumanalisa-hukumtinjauan-yuridis-tentang-perbedaan- wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html, diakses terakhir tanggal 14 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
94
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”; dan
2. Unsur Obyektif Delik yang terdiri dari: a.
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum.
b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya
member hutang maupun menghapuskan piutang; c.
Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan.
147
Pada penipuan ada unsur kesengajaan pada diri pelakunya dan adanya niat yang sudah ada untuk melakukan penipuan tersebut. Sedangkan pada wanprestasi
bisa saja orang yang dituduhkan melakukan wanprestasi tidak memiliki niat untuk melakukan wanprestasi. Mungkin saja ia tidak bisa melaksanakan perjanjian karena
hal-hal di luar kemampuannya. Misalnya, dalam perjanjian, pada tanggal 4, A harus menyerahkan sekwintal beras kepada B. Namun karena desa tempat tinggalnya
dilanda banjir, A tidak bisa menyerahkan beras tersebut. Dalam hal ini A telah wanprestasi terhadap B.
Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya. Terlebih jika antara “pelaku” dengan
“korban” penipuan semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana
dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada seseorang
kemudian orang tersebut tergerak ingin menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut
menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi
informasi tadi tergerak menyerahkan bendahartanya dan seterusnya, informasi bisnis tersebut adalah palsubohong dan ia dengan semua itu memang bermaksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Di samping itu, karena sifatkualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil-materil, maka secara yuridis
teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit
berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan sebagaimana
147
Satrio Abdillah
Kunin, http:satrioabdillah.blogspot.com201204apakah-kasus-
wanprestasi-bisa.html, diakses terakhir pada hari Minggu, tanggal 11 Agustus 2013, pukul 10.15 WIB
Universitas Sumatera Utara
95
ditentukan dalam pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di pengadukan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasis
wanprestasi pun seharunya tidak secara simplifistik sederhana ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.
148
Seperti diketahui setiap perkara di bidang ekonomi syariah khususnya bidang perbankan syariah tidak akan terlepas dari sengketa yang terjadi antara pihak bank
syariah dengan nasabahnya mengenai suatu kerja sama atau kegiatan usaha yang dilakukan para pihak itu sendiri. Sedangkan setiap kerja sama atau kegiatan usaha apa
saja yang dilakukan tersebut, senantiasa mempunya atau didasari dengan suatu perjanjian atau akad agreement yang telah dibuat dan disepakati sebelumnya oleh
para pihak itu sendiri. Oleh karena itu, fokus pemeriksaan dalam hal ini tidak lain harus berangkat dari perjanjian atau akad yang mendasari kerja sama yang menjadi
sengketa antarpara pihak tersebut. Oleh karena fokus pemeriksaan dalam hal ini adalah perjanjian atau akad para pihak, maka harus dijadikan acuan dalam memeriksa
perjanjian atau akad para pihak tersebut tidak lain adalah hukum perjanjian. Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang
diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam
KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak joint venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain-lain yang disebut dengan
perjanjian innomonaat, yakni perjanjian
yang timbul, tumbuh, hidup, dan
148
http:pkbh.uji.ac.idanalisa-hukumanalisa-hukumtinjauan-yuridis-tentang-perbedaan- wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html, diakses terakhir tanggal 14 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
96
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.
149
Inilah paling tidak dasar hukum perjanjian yang harus dijadikan acuan dan harus betul-betul dipahami dalam
memeriksa perjanjian atau akad para pihak tersebut dalam rangka menyelesaikan sengketa perbankan syariah di pengadilan agama.
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Islam baik
yang diatur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah atau pendapat fatwa ulama di bidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan hukum perjanjian
tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum
perjanjian yang sesuai menurut hukum perjanjian dalam Islam.
150
Adapun prosedur untuk setiap permohonan atau gugatan ke Pengadilan Agama menurut Hasballah Thaib yaitu:
1. Gugatanpermohonan dapat diajukan secara langsung atau berwakilmemberi kuasa, demikian pula dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis.
2. Bila gugataanpermohonan
itu diajukan
secara lisan
maka panitera
merumuskannya menjadi
secara tertulis,
kemudian ditandatangani
PenggugatPemohon dan Panitera tersebut. 3. Dalam hal ini PenggugatPemohon memberi kuasa kepada seseorang tertentu
maka harus dilengkapi dengan surat Kuasa Khusus. 4. Materi gugatanpermohonan harus berisikan tiga hal:
a. Identitas PenggugatPemohon dan TergugatTermohon;
b. Penjelasan tentang duduk perkaranya;
c. Tuntutan yang dikehendaki.
5. Gugatanpermohonan yang telah diajukan dapat ditarik kembali sebelum pemeriksaan dimulai
atau sebelum Tergugat Termohon memberikan
jawabannya. 6. Apabila pihak lawan telah memberikan jawabannya, maka perkara itu dapat
ditarik kembali atas persetujuan pihak lawan tersebut. 7. Sekiranya PenggugatPemohon mencabut gugatanpermohonannya dalam hal
pihak lawan telah memberikan jawaban dan pencabutan tersebut tanpa persetujuannya, maka dalam hal sedemikian hakim memberi putusan dalam
bentuk penetapan.
149
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal :7
150
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syari’ah, Jakarta: Lencana, 2009, hal: 145-148
Universitas Sumatera Utara
97
8. Setiap mengajukan perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya dikenakan biaya yang meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan,biaya sidang, dan
biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan untuk penyesaian perkara tersebut. 9. Setelah itu Pengadilan akan memanggil para pihak dengan surat panggilan
tersebut. Khusus bagi penggugat akan didengar tuntutannya. Surat-surat panggilan ini akan disampaikan secara langsung.
10. Dalah hal para pihak tidak dapat dijumpai maka panggilan akan disampaikan melalui Lurah atau Pejabat yang disamakan dengan itu.
11. Apabila tergugat tidak diketahui alamatnya, maka panggilan dilakukan dengan menempelkan Surat Panggilan di papan pengumuman ataupun melalui mass
media. Dan apabila Tergugat berada di luar negeri maka panggilan dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
12. Apabila tergugat telah dipanggil secara patut, tetapi ia tetap tidak datang, maka hakim dapat memutuskan perkara itu dengan verstek.
13. Setelah perkara itu di putus, maka masing-masing pihak diberikan salinan putusan tersebut.
151
Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam lembaga Pengadilan Agama tidak menutup kesempatan bagi mereka yang beragama non-Islam. Hal ini
disebabkan karena transaksi yang menjadi mitra usaha di perbankan syariah tidak hanya pihak yang beragam Islam saja melainkan juga yang non-Islam. Oleh sebab itu
dengan sendirinya menundukkan diri secara sukarela untuk tunduk dalam aturan syari’ah di lembaga perbankan syari’ah tersebut termasuk dalam hal penyelesaian
sengketa yang kemungkinan terjadi dikemudian hari yang dalam hal ini menjadi kewenangan peradilan agama.
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
menyebutkan adanya satu asas penting yang baru diberlakukan. Asas ini terdapat dalam Pasal 49 Undang-Undang tersebut yang dalam penjelasannya “yang dimaksud
dengan antara orang-orang yang beragama Islam”: adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum
151
Hasballah Thaib, Hukum Islam Di Indonesia, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2006, hal:10
Universitas Sumatera Utara
98
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
152
Akan tetapi berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
tidak menutup kemungkinan juga penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui lembaga lain seperti Pengadilan Umum ,hal ini dapat
terjadi karena kesepakatan para pihak yang berakad hendak diselesaikan dilembaga mana apabila terjadi sengketa dikemudian hari dan tentu harus dituangkan dalam
redaksi akad tersebut.
152
http:repository.usu.ac.idbitstream1234567893Chapter20II.pdf., diakses terakhir pada tanggal 1 Agustus 2013, pukul 16.00
Universitas Sumatera Utara
99
BAB IV AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN JIKA TERDAPAT KHIYAR
DALAM AKAD MENURUT HUKUM ISLAM A. Batal Dengan Putusan Pengadilan
Islam merupakan ajaran yang mengatur kehidupan dalam dimensi aqidah, ibadah, dan semua bentuk transaksi, khususnya pada hal-hal yang berkaitan dengan
masalah ekonomi. Hidup merupakan ibadah kepada Allah dan setiap aktivitas, baik dalam skala mikro maupun makro, merupakan bagian dari hidup untuk ibadah itu.
Dengan kata lain, tuntutan perbuatan ini dan pelaksanaannya tidak lain hanyalah ibadah kepada Allah SWT semata.
Islam memberikan aturan terhadap semua gerak langkah dan Islam juga memberi aturan terhadap barang-barang yang menjadi objek untuk kebutuhan hidup
manusia. Dengan kata lain, Islam mengatur bagaimana seseorang harus berekonomi atau bagaimana cara seseorang melakukan aktivitas ekonomi. Salah satunya, Syariat
Islam mengatur salah satu tingkah laku perekonomian yaitu dalam berakad. Menurut para ulama fiqh, setiap akad
mempunyai akibat hukum,yaitu tercapainya sasaran yang hendak dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik
dari penjual kepada pembeli dan pada dasarnya akad itu bersifat mengikat bagi pihak- pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang
dibenarkan syara’, seperti terdapat cacat pada obyek akad atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.
153
153
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu, hal: 231
99
Universitas Sumatera Utara
100
Akad yang dapat dibatalkan karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’. Seperti akad yang rusak karena tidak memenuhi rukun dan syaratnya. Akad
perjanjian ini harus dibatalkan, baik oleh para pihak itu sendiri maupun dengan
putusan putusan pengadilan. Para pihak yang memiliki khiyar didalam akad berhak untuk membatalkan
akad tersebut apabila dia merasa dirugikan dari akad tersebut karena menurutnya akad tersebut mengandung unsur penipuan dan juga selain itu terjadinya pelanggaran
terhadap perjanjian yang dibuat oleh mitra janjinya itu sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak yang memiliki khiyar tersebut, Khiyar yang digunakan tentu
khiyar yang dibenarkan oleh syara’ untuk melakukan pembatalan akad yang telah dilakukannya seperti misalnya khiyar majlis, khiyar asy-syarat atau pun khiyar al-aib
dan khiyar lainnya yang telah disebutkan sebelumnya. Dan menurut sebagian para ahli hukum Islam, pembatalan akad ini hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan
atau dengan putusan hakim. Namun pembatalan akad ini alangkah baiknya tidak hanya sekedar kerelaan para pihak, tetapi perlu dilakukannya pembatalan total
terhadap akad yang dibuat demi kebaikan dan kepastian hukum untuk para pihak yang berakad.
Secara umum tentang pembatalan akad tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut. Namun demikian pembatalan akad fasakh dapat dilakukan apabila: 1. Jangka waktu perjanjian telah berakhir;
2. Salah satu pihak menyimpang dari apa yang di perjanjikan; dan
Universitas Sumatera Utara
101
3. Jika ada bukti kelancaran dan bukti pengkhianatan penipuan.
154
Lazimnya suatu perjanjian akad selalu didasarkan kepada jangka waktu tertentu mempunyai jangka waktu yang terbatas, maka apabila telah sampai kepada
waktu yang telah diperjanjikan, secara otomatis langsung tanpa ada perbuatan hukum lain batallah akad yang telah dibuat oleh para pihak. Hal ini berdasarkan
ketentuan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 4 yang berbunyi: “Kecuali orang-orang yang musyrikin, yang kamu telah mengadakan
perjanjian dengan mereka, dan mereka tidak mengurangi sesuatupun dari isi perjanjianmu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang
memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
Dari ketentuan ayat diatas, khususnya dengan kalimat “Penuhilah janji sampai batas waktunya”, terlihat bahwa kewajiban untuk memenuhi perjanjian itu hanya
sampai batas waktu yang telah di perjanjian dengan demikian setelah berlalunya waktu yang diperjanjikan maka akad itu batal dengan sendirinya.
Dalam hal terjadinya penyimpangan dari akad yang diperjanjikan yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian
tersebut fasakh. Terhadap pembolehan untuk membatalkan akad oleh salah satu pihak apabila pihak lain menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan adalah
didasarkan kepada ketentuan Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 7 yang artinya berbunyi:
154
Chairuman Pasaraibu dan Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hal: 4
Universitas Sumatera Utara
102
“Maka selama mereka berlaku jujur lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertakwa” Dari ketentuan ayat di atas, khususnya dalam kalimat “ Selama mereka
berlaku lurus terhadapmu hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka”, dalam hal ini terkandung pengertian bahwa apabilah salah satu pihak tidak berlaku
lurus, maka pihak yang lain boleh membatalkan perjanjian yang telah disepakati. Ketentuan hukum lain yang dapat dijadikan sebagai landasan pembatalan ini adalah
surat At-Taubah ayat 12 dan 13 yang artinya berbunyi sebagai berikut: Ayat 12: “Jika mereka merusak janji, sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin orang-orang yang ingkar tersebut kafir, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang
yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti”. Ayat 13: “Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak janji,
padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangimu. Apakah kamu takut
kepada mereka?, padahal Allah yang lebih berhak untuk kamu takuti jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
Dari ketentuan hukum yang terdapat dalam ketentuan Surat At-Taubah ayat 12 tersebut bahwa boleh mengadakan pembatalan perjanjian didasarkan kepada
kalimat “Perangilah pemimpin-pemimpin orang yang ingkar tersebut”. Sedangkan dalam Surat At-Taubah ayat 13 pembolehannya tergambar dalam kalimat
“Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak janji”. Dalam hal pembatalan akad karena terjadinya kelancangan dan adanya bukti
pengkhianatan penipuan oleh salah satu pihak terhadap akad yang diperjanjikan, maka akad kontrak yang telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak lainnya.
Universitas Sumatera Utara
103
Dasar hukum tentang hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 58 yang berbunyi:
“Dan jika kamu khawatir akan terjadinya ada pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”. Pembolehan
pembatalan dalam
hal adanya
kelancangan dan
bukti pengkhianatan ini dapat dipahamkan dari bunyi kalimat:” Jika kamu khawatir akan
terjadinya pengkhianatan…, maka kembalikanlah perjanjian itu”. Dari bunyi kalimat yang demikian berarti perjanjian itu dapat dibatalkan apabila ada suatu bukti
telah terjadinya pengkhianatan penipuan. Sebelum di prosesnya pengajuan untuk pembatalan akad tersebut oleh hakim
pengadilan, terlebih dahulu kepada pihak yang tersangkut dalam akad perjanjian tersebut diberitahu, bahwa akad perjanjian atau kesepakatan yang telah diikat akan
dibatalkan, hal ini tentunya harus juga diberitahu alasan pembatalannya. Terhadap akad yang batal dengan putusan hakim harus terlebih dahulu
melewati proses peradilan . Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa untuk perkara ekonomi syariah, maka pengadilan agama adalah lembaga peradilan yang
berwenang untuk menangani perkara tersebut. Bagi hakim-hakim agama juga perlu meningkatkan pengetahuannya agar mereka mapu memahami ekonomi syariah
secara baik. Hakim sebelum mengambil keputusan untuk membatalkan akad, terlebih
dahulu akan melakukan pemeriksaan terhadap akad yang menjadi dasar dari adanya
Universitas Sumatera Utara
104
suatu kesepakatan kerja sama diantara para pihak. Oleh karena itu, fokus pemeriksaan dalam hal ini tidak lain berangkat dari perjanjian atau akad yang mendasari kerja
sama yang menjadi sengketa antarpara pihak tersebut dengan menggunakan acuan hukum perjanjian syariah. Jika dari akad tersebut terbukti bahwa terdapat unsur-unsur
penipuan dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka hakim akan memutuskan untuk membatalkan akad tersebut.
B. Sah, Tapi Mengandung Unsur Penipuan
Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak, diantaranya dalam Ensiklopedia hukum Islam
dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh pada objek perikatan. “Sesuai dengan kehendak syariat” yang dimaksud disini adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak
boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan
pemilikan dari satu pihak yang melakukan ijab kepada pihak lain yang menyatakan qabul.
Akad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi dan tidak sah apabila rukun dan syarat-syarat akad tidak terpenuhi . Dengan kata lain
bahwa suatu akad haruslah merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri yang diwujudkan dengan ijab dan qabul yang
Universitas Sumatera Utara
105
merupakan perwujudan dari adanya kesukarelaan secara timbal balik dan tentunya harus sesuai dengan syariat Islam.
Asasnya adalah bahwa akad wajib dilaksanakan dalam semua kandungannya. Namun terdapat perjanjian di mana salah satu pihak tidak dapat membuat penawaran
atau mengungkapkan keinginannya terlebih dahulu karena klausul perjanjian itu telah dibakukan sedemikian rupa dan pihak tersebut tidak punya pilihan kecuali
menerimanya. Inilah yang terjadi dengan akad baku ‘aqd al-iz’am. Tidak mustahil bahwa klausul tersebut justru malah memberatkan pihak yang menerima, tanpa dapat
menawar terlebih dahulu. Untuk sahnya suatu akad atau perjanjian harus merupakan bukanlah perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab segala akad yang bertentangan dengan syari’ah adalah tidak sah, dan dengan
sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu
merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah, maka perjanjian diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Selain itu, akad yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridharela akan isi
perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak masing- masing pihak. Dan juga terhadap apa yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut
haruslah tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka
Universitas Sumatera Utara
106
perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian pada saat pelaksanaanpenerapan akad atau perjanjian itu, masing-masing pihak yang mengadakan akad atau yang
mengikatkan diri dalam akad haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan
oleh akad tersebut. Terhadap suatu akad yang mengandung unsur penipuan, dari segi keabsahan
terbentuknya akad tersebut apabila rukun dan syaratnya telah terpenuhi dia tetaplah merupakan akad yang sah. Namun mempunyai akibat bagi yang membuat terciptanya
akad tersebut menjadi suatu dosa karena adanya unsur penipuan dalam akad tersebut yang sangat jelas dilarang oleh syariat Islam. Sebagai contoh sederhana, dalam akad
jual beli sekarung beras, pembeli dengan itikad baik dan kepercayaan terhadap penjual membeli sekarung beras. Dalam proses ini, rukun dan syarat akad jual beli
tersebut terpenuhi yaitu ada subjek akad yaitu penjual dan pembeli, ada objek akad yaitu sekarung beras tersebut dan adanya ijab qabul antara pembeli dan penjual. Tapi
ternyata beras yang dijual tersebut merupakan beras yang stok lama yang kualitasnya pun sudah tidak layak lagi untuk di konsumsi. Hal ini tentu saja merupakan suatu
perbuatan dosa karena adanya unsur penipuan dalam hal kualitas barang yang tidak sesuai dengan harga yang telah dibayar. Tetapi jika dilihat dari terbentuknya akad
tersebut telah terpenuhi rukun dan syarat itu sendiri, maka akad tersebut adalah sah, akan tetapi akad tersebut berdosa karena adanya unsur penipuan di dalamnya.
Setiap aktivitas muamalat yang dilakukan oleh setiap muslim haruslah berdasarkan prinsip-prinsip utama muamalah Islam. Ini merupakan dasar etika dalam
Universitas Sumatera Utara
107
perbuatan manusia. Prinsip tersebut menjamin agar setiap tindakan yang dilakukan senantiasa tepat dengan kehendak Islam dan sesuai dengan keinginan manusia yang
senantiasa menginginkan kebaikan dan kenyamanan dalam kehidupan. Prinsip-prinsip itu adalah
155
:
1. Prinsip Kebenaran.