Tujuan Akad Maudhu’ul ‘Aqd

38 d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini perikatan dapat dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’ahi atau mu’athah saling memberi dan menerima. Adanya perbuatan memberi dan menerima dari pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada proses jual-beli di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir, menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan perikatan jual-beli.

4. Tujuan Akad Maudhu’ul ‘Aqd

Maudhu’ul ‘Aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT, dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw dalam hadits. Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. Sebagai contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan yang berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan hukum Islam dengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya. Sebagai contoh lain, A menjual anggur kepada B, A mengetahui, bahwa tujuan B membeli anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan dijual untuk dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan, karena minuman keras adalah haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut kepada B berarti A turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan demikian, jual beli tersebut haram hukumnya. Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2, bahwa: dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” 60 . Namun, apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan B membeli anggur tersebut, maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan. 61 Setiap akad yang dibuat oleh para pihak atau subyek hukum, pasti memiliki tujuan tertentu, sebagaimana halnya dalam KUHPerdata yang menyatakan bahwa 60 Lihat Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 61 Yenti Salma Barlinti, Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organizatation dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta: Universitas Indonesia, 2001 dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal: 63 Universitas Sumatera Utara 39 suatu perjanjian tanpa disertai suatu klausa dianggap tidak ada, atau batal demi hukum. Hal serupa juga terjadi di dalam Hukum Perjanjian Islam. Bahwa setiap akad perjanjiankontrak yang dibuat harus senantiasa memiliki tujuan yang jelas, dan satu lagi rambu-rambu yang harus diperhatikan yaitu jangan sampai melanggar ketentuan-ketentuan syara’. Mengenai tujuan akad ini, Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu: 62 1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan; 2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad; 3. Tujuan akad harus dibenarkan syarak. Masing-masing rukun unsur yang membentuk akad diatas memerlukan syarat-syarat agar unsur rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Sedangkan menurut pendapat Mazhab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah shahih, rusak fasid dan syarat yang batal bathil dengan penjelasan sebagai berikut 63 : 1. Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat ‘urf. Misalnya harga barang yang diajukan oleh penjual dalam jual beli, adanya hak pilih khiyar dan syarat sesuai dengan ‘urf, dan adanya garansi. 62 Ahmad Azhar Basyir, Op.cit., hal: 99-100 63 Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, Gema Insani: Jakarta, 2011, hal: 517 Universitas Sumatera Utara 40 2. Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat sahih. Misalnya, memberi mobil dengan uji coba dulu selama satu tahun. 3. Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat sahih dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya. Adapun syarat pembentukan akad yang akan dibahas dalam penelitian ini ada empat macam, yaitu: 64 1. Syarat in’iqad terjadinya akad Syarat in’iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal. Syarat ini ada dua macam: a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad. Syarat ini meliputi : 1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak; 2. Yang dijadikan objek akad menerima hukumannya; 3. Akad itu diizinkan oleh syari’ah selama dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukan walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang. 4. Tidak boleh melakukan aqad yang dilarang oleh syariah, seperti jual beli, mulasamah; 5. Akad dapat memberikan faedah sehigga tidak sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah. 6. Ijab tidak boleh dicabut sebelum terjadinya qabul. Maka, bila orang yang ber ijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal. 7. Ijab dan qabul harus bersambung sehingga bila orang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal. b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bisa disebut syarat tambahan idhafi yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan. 2. Syarat sah, Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibat- akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual beli disyariatkan oleh Hanafiah, terbebas dari salah satu ‘aib cacat yang enam, yaitu: 64 Ibid Universitas Sumatera Utara 41 a. Jahalah ketidakjelasan b. Ikhrah paksaan c. Tauqit pembatasan waktu d. Gharar tipuanketidakpastian e. Dharar f. Syarat yang fasid 65 3. Syarat nafadzkelangsungan akad Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat 66 : a. Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang menjual objek akad, atau mempunyai kekuasaan perwakilan. Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan perwakilan, maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf ditangguhkan, bahkan menurut Asy-Syafi’i dan Ahmad, akadnya batal. b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf, tidak nafidz. Hak orang lain tersebut ada tiga macam, yaitu sebagai berikut: 1. Hak orang lain tersebut berkaitan dengan jenis barang yang menjadi objek akad, seperti menjual barang milik orang lain. 2. Hak orang lain tersebut berkaitan dengan nilai dari harta yang menjadi objek akad, seperti tasharruf orang yang pailit yang belum dinyatakan mahjur ‘alaih terhadap hartanya yang mengakibatkan kerugian kepada para kreditor. 3. Hak tersebut berkaitan dengan kemashlahatan si aqid, bukan dengan barang yang menjadi objek akad. Seperti tasarruf orang yang memiliki ahliyatul ada’ yang tidak sempurna naqishah yang telah dinyatakan mahjur ‘alaih. 4. Syarat luzum Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat lazim. Untuk mengikatnya lazim-nya suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar pilihan, yang memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar ru’yat, maka akad tersebut tidak mengikat lazim bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya.

C. Macam-Macam Akad Perjanjian

Akad PerjanjianKontrak dapat diklasifikasikan sesuai dengan beberapa perspektif. Berkenaan dengan keabsahan atau kesesuaiannya dengan peraturan 65 Ibid, hal: 228 66 Ahmad Wardi muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010, hal: 152 Universitas Sumatera Utara 42 Syariah, para fuqaha secara umum membagi akad menjadi dua jenis, yaitu akad yang sah Sahih dan tidak sah batil. Akad yang sah adalah yang memenuhi semua persyaratan, sementara akad yang tidak sah ialah yang di dalamnya salah satu persyaratan atau lebih untuk keabsahan dilanggar. 67 Menurut Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah 68 , macam-macam akad terdiri dari: 1. Akad munjiz, ialah akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad. 2. Akad mu’alaq, ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang- barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran. 3. Akad mudhaf, ialah akad yang dalm pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam yang terdapat dalam berbagagi penggolongan dilihat dari beberapa sudut pandang 69 : 1. Ada tidaknya bagian qismah pada akad, terbagi dua bagian: a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syarat dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah; dan b. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syariah dan belum ditetapkan hukum-hukumnya. 2. Disyariatkan dan tidaknya akad, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’, seperti gadai dan jual beli; dan 67 Ibnul Qayyim, 1995, hal 3, dalam Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal: 183 68 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hal: 47 69 Ismail Nawawi, Op. Cit., hal: 27-29 Universitas Sumatera Utara 43 b. Akad mamnu’ah, akad-akad yang dilarang syariah, seperti menjual anak binatang dalam perut ibunya. 3. Sah dan batalnya akad dapat ditinjau dari dua segi menjadi dua, yaitu: a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum; dan b. Akad fasidah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera, karena kurang salah satu syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpa wali. 4. Sifat benda akad dapat ditinjau dari dua sifat, yaitu: a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyariatkan dengan penyerahan barang- barang seperti jual beli;dan b. Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang karena tanpa penyerahan barang-barang pun akad sudah berhasil, seperti akad amanah. 5. Cara melakukan akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah; dan b. Akad ridha’iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya. 6. Berlaku dan tidaknya akad, dapat ditinjau dari dua segi yaitu: a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang- penghalang akad; dan b. Akad mauqufah, yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan- persetujuan seperti akad fudhuli akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta. 7. Luzum yang dapat membatalkan akad dapat ditinjau dari empat hal, yaitu: a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin. Manfaat perkawinan tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’, seperti talak dan khulu; b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya; c. Akad lazim yang menjadi hak dari salah satu pihak, seperti rahn orang yang menggadai suatu benda, ia punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya; dan d. Akad lazima yang menjadi hak dari dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan, atau yang menerima boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menitipkan. 8. Tukar menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian: a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli. Universitas Sumatera Utara 44 b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibah; dan c. Akad yang tabarru’at, yaitu akad pada awalnya menjadi akad mu’awdhah, namun pada akhirnya seperti qardh dan kafalah. 9. Harus dibayar ganti dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian: a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda itu diterima, seperti qardh; b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan ida’; dan c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan amanah, seperti rahn gadai. 10. Tujuan akad dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya: a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli; b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama perkongsian, seperti syirkah dan mudharabah c. Bertujuan tautsiq memperkokoh kepercayaan saja, seperti rahn dan kafalah; d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah; dan e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ‘ida atau titipan. 11. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli; dan b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti ‘ariyah. 12. Ashliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian: a. Akad ashliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual beli dan I’arah; dan b. Akad, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn yang tidak dilakukan bila tidak ada utang. 13. Berdasarkan maksud dan tujuan akad dapat dibedakan oleh beberapa hal, yaitu: a. Kepemilikan; b. Menghilangkan kepemilikan; c. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya; d. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas secara mutlak kepada wakilnya; e. Penjagaan. Universitas Sumatera Utara 45

D. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Hukum Perjanjian Islam

Salah satu dasar mutlak untuk sahnya akad perjanjian adalah keadaan suka sama suka atau saling rela. Oleh karena itu, rusaknya kualifikasi ini akan menyebabkan batalnya suatu akad. Para ulama fiqh juga sudah membahas secara detail tentang sebab-sebab yang dapat merusak keadaan rela sama rela taradhin. Secara umum, dalam masalah pentingnya rasa rela dan saling memuaskan, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 tentang keharusan pemilikan dan konsumsi dengan cara yang benar: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan hartamu di antara kamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang terjadi atas dasar saling ridha suka sama suka darimu”. Ini adalah sebuah ayat yang sangat umum dan luas dalam penerapan hak-hak konsumen, Atas dasar ayat inilah banyak sekali muncul hukum-hukum ekonomi Islam yang terinci tafshiliy. Para ahali tafsir mengemukakan bahwa ungkapan “jangan makan harta di antara kamu” mengandung suatu pengertian sangat umum, dimana ia mencakup pelarangan pengkonsumsian harta milik diri sendiri atau harta orang lain dengan cara yang batil. Kata “cara yang batil” bermaksud cara yang haram, atau segala cara yang tidak sesuai dengan ketentun syara’, atau cara yang tidak benar, atau cara-cara yang tidak dihalalkan syara’, seperti riba, judi, paksaan dan penipuan. Penafsiran kata” batil” ini sesuai pula dengan makna yang terdapat dalam bahasa yang berhubungan dengan haqiqah syar’iyah. Kata “perniagaan” secara bahasa berarti perbuatan tukar menukar atau jual beli karena perniagaan adalah cara tukar Universitas Sumatera Utara 46 menukar yang paling umum. Kata “saling ridha” memberi implikasi bahwa suatu kegiatan tukar menukar itu dilakukan dua pihak yang berakad, yang selanjutnya kedua pihak harus saling rela secara sempurna, tidak ada paksaan atau kekesalan yang terjadi. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa tidak semua bentuk saling rela diakui oleh syara’, namun yang diakui adalah kerelaan yang berada dalam batas-batas ketentuan hukum syara’. Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan suatu kesepakatan haruslah diberikan secara bebas atau adanya kerelaan dari masing-masing pihak. Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat persetujuan tadi menjadi tidak bebas yaitu tiga hal: paksaan, kekhilafan dan penipuan. 70 Sedangkan dalam ilmu fikih Islam terdapat empat hal perusak keadaan saling rela, yaitu: 1. Paksaan 2. Kekhilafan 3. Penipuan;dan 4. Adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang dipertukarkan karena adanya perdayaan atau tipuan al-Ghubn al-Fahisy ma’a al-Taghrir 71 Penipuan Tadlis adalah penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak yang tidak diketahui oleh pihak mitra janji unknown to one party dengan memberikan keterangan-keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak mitra janjinya agar memberikan perizinannya di mana jelas bahwa 70 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1998, hal: 23 71 Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, hal: 174 Universitas Sumatera Utara 47 kalau tidak karena tipu muslihat itu dia tidak telah membuat perikatan bersangkutan atau paling tidak, tidak dengan syarat yang telah disetujuinya. 72 Menurut Abdul Halim Mahmud al-Ba’ly, yang dimaksud dengan penipuan tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada objek kontrak dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibatkan merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. Lebih lanjut Abdul Halim al-Ba’ly menjelaskan bahwa penipuan tadlis ada tiga macam yakni 73 : 1. Penipuan yang bentuk perbuatan yaitu menyebutkan sifat yang tidak nyata pada objek kontrakakad; 2. Penipuan yang berupa ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang yang berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan kontrak. Penipuan juga dapat terjadi pada harga barang yang dijual dengan menipu memberi penjelasan yang menyesatkan; 3. Penipuan dengan menyembunyikan cacat pada objek kontrak, padahal ia sudah mengetahui kecacatan tersebut. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia juga melarang kontrak yang dilakukan dengan penipuan dan tipu muslihat. Semua akad kontrak yang dilakukan dengan penipuan dan tipu muslihat, maka akad kontrak tersebut dianggap tidak ada. Penipuan itu harus berupa “muslihat licik” kunstgrypen, sehingga sesuatu yang tidak benar terkesan merupakan gambaran keadaan yang sesungguhnya pada objek kontrak yang dilakukan. Suatu penipuan dan tipu muslihat apabila hal itu merupakan kebohongan yang diatur rapi dan harus dilihat dari orang yang ditipu. Jadi harus dilihat segala aspek timbulnya penipuan dan tipu muslihat itu. 74 72 Syamsul Anwar, Op. cit., hal: 168 73 Abdul Manan, Op. Cit., hal: 94-95 74 Ibid, hal: 95 Universitas Sumatera Utara 48 Sehubungan dengan hal tersebut, Yahya Harahap 75 mengatakan bahwa antara salah sangka dwaling dengan penipuan bedrog hampir bersamaan dalam perwujudannya. Sangat sulit untuk membedakan keduanya. Perbedaan keduanya hanya dapat diketahui pada unsur “kesengajaan”. Pada penipuan, pada diri yang melakukan penipuan terdapat unsur “sengaja” yaitu sengaja mengatur kebohongan yang teratur rapi, sehingga memberi kesan yang benar bagi pihak lain. Adapun pada salah sangka dwaling tidak ada unsur kesengajaan untuk memberi tanggapan salah sangka pada pihak lain. Dalam kaitan ini, para hakim harus berhati-hati dalam menentukan tentang penipuan dan tipu muslihat ini, sebab apabila salah dalam menilai tentang wujud dari penipuan ini, maka salah pula dalam menetapkan hukum. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa unsur-unsur penipuan dalam Hukum Perjanjian Islam adalah: 76 1. Penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh pihak mitra akadjanji unknown to one party dengan perkataan atau perbuatan. 2. Adanya tipu muslihat 3. Adanya kebohongan. 4. Menyembunyikan keterangan. Dasar pelarangan penipuan dalam perjanjian menurut hukum Islam adalah Hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, ia mengatakan: rasulullah SAW pernah lewat ada seseorang yang sedang menjual bahan makanan, lalu Rasulullah 75 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1996, hal: 26 76 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal:169 Universitas Sumatera Utara 49 memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu. Maka Rasulullah Saw bersabda, :”Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”. 77 Dalam Hadis lain dinyatakan: “Dari “Abdullah Ibn Dinar, ia mengatakan: Pernah seorang laki-laki menerangkan kepada Rasulullah Saw bahwa ia ditipu dalam jual-beli lalu Rasulullah Saw mengatakan:”Barangsiapa yang engkau melakukan jual-beli dengannya, maka katakan: “ Tidak ada penipuan.” 78 Penipuan yang mengandung tipu muslihat dalam hukum Islam dikenal dengan istilah penipuan dengan perbuatan at-tagrir al-fi’li, yaitu suatu penipuan melalui perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dan mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketidakseimbangan prestasi, sekalipun ketiadaan keseimbangan prestasi itu kecil. Hal ini dapat dilihat dalam Hadist Nabi yang terdapat contoh mengenai kasus perbuatan tipu muslihat ini, yaitu larangan menahan air susu binatang unta, sapi atau kambing untuk memperlihatkan bahwa binatang tersebut banyak susunya pada saat dilihat oleh pembeli sehingga ia terdorong untuk membelinya. Menurut Hadis tersebut, apabila seseorang tertipu dengan cara demikian, ia memiliki hak khiyar pengembalian khiyar a-rad, dengan arti ia dapat membatalkannya, tetapi apabila ia menerimanya dengan rela, maka akad semacam itu sah.

E. Kriteria Akad Yang Mengandung Unsur Penipuan

Penipuan yang mengandung tipu muslihat dalam hukum Islam dikenal dengan istilah penipuan dengan perbuatan at-tagrir al-fi’li, yaitu suatu penipuan melalui 77 Ibid 78 Ibid, hal: 170 Universitas Sumatera Utara 50 perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dan mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketidakseimbangan prestasi, sekalipun ketiadaan keseimbangan prestasi itu kecil. Disamping penipuan dengan perbuatan tipu muslihat yang disebut at-tagrir al-fi’li hukum Islam mengenal pula penipuan dengan bohong tanpa perbuatan tipu muslihat, yang dikenal dengan istilah at-tagrir al-qauli penipuan dengan perkataan. Hanya saja penipuan dengan perkataan atau dengan bohong at-tagrir al-qauli ini berbeda dengan dari penipuan dengan perbuatan at-tagrir al- fi’li dimana yang terakhir ini penipuan ada bila terjadi perbuatan tipu muslihat tanpa melihat apakah penipuan itu mengakibatkan pihak tertipu mengalami ketidakseimbangan prestasi yang menyolok al-gabn al-fahisy atau tidak. Sedangkan dalam penipuan dengan bohong at-tagrir al-qauli, penipuan baru ada apabila terjadi ketidak seimbangan yang prestasi yang menyolok. Penipuan dengan bohong ini dalam hukum Islam mempunyai perbedaan pemberlakuannya antara wilayah perjanjian amanah dan wilayah di luar perjanjian amanah. Di luar perjanjian amanah, para ahli hukum Islam tidak memperoleh kesepakatan tentang kedudukan penipuan dengan bohong sebagai suatu cacat kehendak yang dapat menjadi alasan pembatalan perjanjian akad 79 . Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa wilayah utama berlakunya terhadap adanya kebohongan tersebut sebagai suatu penipuan yang dapat membatalkan perjanjian adalah apa yang dinamakan perjanjian amanah kepercayaan. Akad perjanjian kepercayaan amanah ini terdapat dalam akad jual beli yang dalam Hukum Islam dikenal dengan nama buyu’ al-amanah jual beli kepercayaan, yaitu suatu bentuk jual-beli di mana pembeli diberitahu secara jujur oleh penjual mengenai harga pokok barang dan cara ia memperolehnya apakah melalui pembelian utang atau tunai atau sebagai penggantian dalam kasus perdamaian. Dengan demikian, pembeli mengetahui besarnya keuntungan yang diambil oleh penjual. Adanya bentuk jual-beli jenis ini dimaksudkan untuk 79 Ibid, hal: 172 Universitas Sumatera Utara 51 mempertegas penerapan nilai-nilai etika bisnis Islam yang menghendaki adanya kejujuran sedemikian rupa dalam transaksi serta tidak membenarkan adanya penipuan dalam bentuk apa pun, sehingga suatu kebohongan semata dianggap sebagai pengkhianatan dan penipuan yang berakibat dapat dibatalkannya transaksi tersebut. Bentuk jual beli ini bertujuan untuk melindungi orang yang tidak berpengalaman dan kurang informasi dalam transaksi, sehingga dengan demikian ia terlindungi dari penipuan. Disebut jual-beli amanah kepercayaan, karena pembeli bersandar kepada kejujuran si penjual semata tentang informasi harga barang yang dibelinya. 80 Disini penjual dituntut untuk berlaku sejujurnya dalam menjelaskan harga asli barang karena pengetahuan tentang harga pokok asli ini menjadi dasar ditutupnya perjanjian. Oleh karena itu, apabila penjual berbohong dengan memberikan informasi yang tidak benar yang dalam hal ini disebut sebagai suatu pengkhianatan, kemudian diketahui oleh si pembeli, maka semata bohong si penjual dalam kasus ini memberikan khiyar kepada pembeli untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli. Begitu juga ketika menyembunyikan keterangan dimana diam dalam arti menyembunyikan keterangan dan tidak menjelaskannya kepada pihak mitra janji dalam hukum Islam juga dianggap sebagai penipuan dalam beberapa hal. Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa adanya tipu muslihat, kebohongan dan menyembunyikan keterangan dalam hukum Perjanjian Islam merupakan unsur-unsur 80 Asy-Syirazi, al-Muhazdzab Mesir:’has al-Babi al- Halabi, t.t., I:292 dalam Syamsul Anwar, Op. Cit., hal:173 Universitas Sumatera Utara 52 dari penipuan. Hal ini juga yang menjadi kriteria dari akad yang mengandung penipuan itu. Dalam ilmu hukum, penipuan ini dikenal dengan misrepresentation yaitu dimana terjadi ketidaksesuaian diakibatkan terjadinya pemahaman yang keliru dari pihak yang menerima penawaran representee akibat penyampaian atau penyajian fakta yang keliru dari pihak yang memberi penawaran perihal informasi melalui representasi yang diminta lawannya bernegoisasi. 81 Sedangkan dapat kita lihat bahwa suatu akad perjanjian dalam hukum Islam memiliki asas-asas yang terdiri dari 82 :

1. Asas Ibahah Mabda’ al-ibhah