Ijtihad Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam

31 keduanya berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang di antara keduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan keduanya”. b. Hadist Nabi Muhammad Saw Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw, berkata, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi, dan berhala”. Pendengar bertanya, “Bagaimana dengan lemak bangkai, ya Rasulullah? Karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit, dan minyak lampu”. Jawab beliau, “Tidak boleh, semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya”. c. Hadits Nabi Muhammad Saw, dari Abu Hurairah Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain”. d. HR Muslim dari Abu Hurairah Bahwasanya Rasulullah Saw, pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalam jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata, “Apakah ini?” Jawab yang punya makanan,”Basah karena hujan, ya Rasulullah”. Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku”. e. HR Ahmad dan Baihaqi Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayarnya”. f. HR Bukhari dan Muslim Siapa saja yang melakukan jual-beli Salam salaf, maka lakukanlah dalam ukuran takaran tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu. g. HR Abu Ya’la, Ibnu Majah, Thabrani, dan Tarmidzi Berilah upahjasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya.

3. Ijtihad

Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah Swt menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan sesuatu dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petunjuk itu telah diatur oleh Allah Swt yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad Saw seperti yang terdapat pada Hadits Mu’az bin Jabal, bahkan juga terdapat dalam Universitas Sumatera Utara 32 ketentuan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59., Mohammad Daud Ali memberikan definisi ijtihad adalah: “ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang ahli hukum yang memenuhi syarat untuk merumus-kan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”. Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan diantara kalangan ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan, sebagaimana mereka juga menyebutkan arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian. 48 Menurut Dictionary of Business Term, 49 memberikan definisi akad yaitu “aqd or contract is Transaction involving two or more individuals whereby each becomes obligate to the other, with reciprocal rights to demand performances of what is promised” Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut: “akad adalah sebuah persetujuan yang mengikat secara umum antara dua pihak atau lebih yang sama, untuk pertimbangan, satu atau lebih pihak setuju untuk melakukan sesuatu”. Sementara itu, Hashim Ma’ruf al- Husaini 50 , memberikan definisi akad atau kontrak: 48 Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010, hal:16 49 Alexander Hamilton Institute, A Dictionary of Business Terms, 1987 dalam Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2012, hal: 72 Universitas Sumatera Utara 33 “a contract is an agreement and the consequence is an obligation and binding upon the contracting parties” Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut: “akad adalah sebuah kontrak yang merupakan suatu persetujuan dan konsekuensinya adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat”. Pengertian Akad sendiri juga terdapat dalam Kompilasi Hukum ekonomi Syariah Bab I Pasal 20 yang menyebutkan: “akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan danatau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam suatu akad atau perjanjian ataupun kontrak menurut hukum Islam yaitu adanya pertalian ijab qabul yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad tersebut dan dengan sedirinya memiliki kewajiban dan hak yang melekat pada akad tersebut yang mengikat para pihak. Akad tersebut juga harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak boleh membuat suatu akad terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.

B. Rukun dan Syarat Suatu Akad

Akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri demi terwujudnya suatu 50 Hashim Ma’ruf al-Husaini, Nazriyah al-Aqd fi Fiqh al- Zafarin.d, hal:100 dalam Mohd Ma’sum Billah, Shari’ah Standart of Business Contract, Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 2006, hal: 3 Universitas Sumatera Utara 34 tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing, harus diungkapkan dalam suatu pernyataan yaitu dengan ijab dan qabul. Dalam melaksanakan suatu akad terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya akad yang dibuat oleh para pihak. Begitu juga dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu”. 51 Sedangkan syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”. 52 Pendapat mengenai rukun akad dalam Hukum Islam sendiri beraneka ragam dikalangan para ahli fiqh. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-‘aqidain subjek akad dan mahallul ‘aqd objek akad. Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf akad perbuatan hukum akad. Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad. 51 Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hal: 1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005 hal: 50 52 Ibid Universitas Sumatera Utara 35 Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Kharakhi, bahwa al- aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad. Sedangkan menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad 53 :

1. Subjek Akad al-‘aqidain