Metodologi Penafsiran dan Pemikiran Rasionalis Muhammad Syahrur (al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu‘âshirah)

2. Metodologi Penafsiran dan Pemikiran Rasionalis Muhammad Syahrur (al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu‘âshirah)

Di antara karya Syahrur yang paling dikenal dan mengundang banyak kontroversi adalah al-Kitâb wa al-Qur’ â n: Qirâ’ah Mu‘âshirah yang dicetak di Beirut-Libanon oleh Syirkah al-Mathbu‘ât li al-Tauzi‘ wa al-Nasyr tahun 2000. Karya ini merupakan karya spektakuler Syahrur yang ditulis dalam kurun waktu dua

puluh tahun dengan ketebalan 819 halaman. Sub judul karya ini menegaskan posisi awal penulisannya dalam proses pemahaman kontemporer terhadap al-Qur’an yang paling otoritatif dalam tradisi Islam. Tujuan Syahrur menggunakan istilah kontemporer ini adalah untuk

kata ءﺎﺴﻨﻟا berarti ﺮﯿﺧﺄﺘﻟا yang artinya "sesuatu yang datang terakhir" seperti pada penjelasan pada Q.S. al-Nis â ' [4]: 1

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari

seorang diri, dan dari padanya (Adam) Allah menciptakan isterinya (Hawa). Lihat: Syahrur, al-Kitab …,

h. 643.

Para penafsir klasik seperti Jal â ludd î n al-Suy û th î , Ibnu Kats î r dan al-Qurthub î , bahkan al- Zamakhsyar î (tokoh utama Mu‘tazilah yang tergolong penafsir rasionalis) sepakat bahwa perempuan merupakan bagian dari laki-laki. Mereka berpendapat bahwa Hawa (perempuan) tercipta dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Mereka tidak menyebutkan mengapa Allah Swt. selalu meletakkan lafazh perempuan setelah lafadz laki-laki sebagai maksud ta‘khir (pengahiran) sebagaimana pendapat Syahrur tentang ayat di atas. Lihat: Fatimah Umar Nasif, Women in Islam, (Alih Bahasa: Burhan Wirasubrata dan Kundang D. Nuryakien dengan judul Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 1999), h. 68.

Dalam soal fiqih, sanksi bagi pencuri sebagaimana ditetapkan al-Qur’an adalah potongan tangan. Ini merupakan sanksi maksimal. Akan tetapi, sanksi tersebut dimungkinkan untuk lebih minimal dari itu sesuai kondisi masyarakat. Al-Bann â , Tafsîr…, h. 210.

50 Syahrur, al-Kitâb…, h. 46-48.

menekankan perlunya menjaga keterbukaan wacana epistemologi meskipun harus bersinggungan dengan warisan penting (turâts) Arab Islam. 51 Dengan jelas dan tegas

ia menyatakan bahwa karyanya merupakan pemahaman analisis kebahasaan kontemporer (linguistik modern) dan tidak layak dikatakan sebagai sebuah karya

tafsir atau fiqih. 52 Dalam judul ini, Syahrur ingin menjelaskan kepada pembaca perbedaan arti

al-Kitâb (mushaf) dan al-Qur’an (ajaran). Dengan sengaja ia meletakkan huruf pengikut (‘athaf) di antara kedua lafazh tersebut dengan huruf waw. Menurutnya,

qirâ’ah 54 berarti pemahaman dan hasil dari sebuah penelitian, sementara mu‘âshirah

51 Menurut Syahrur, kelemahan umat Islam di abad XXI ini adalah akibat tidak berani membuat turats (hasil kreativitas berfikir) sendiri. Padahal al-Qur’an mewanti-wanti sikap mengikut secara membabi-buta dengan cara men-jumud-kan diri sebagaimana tersebut dalam firman-Nya Q.S. al-Zukhruf [43]: 22

Artinya: Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu

agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".

Lanjut Syahrur, sikap ini harus terus dihidupkan dengan prinsip bahwa apa yang dihasilkan oleh ulama dahulu dapat saja salah seperti halnya mereka juga dapat benar. Ia mengutip ucapan populer ‘Abu

Hanifah al-Nu‘mân,          .

52 Syahrur, al-Kitâb..., h. 45. Lihat juga: Syahrur, Metodologi..., h. 24. 53 Al-Kitab adalah kumpulan masalah-masalah (ghaib, ibadat, dan akhlak) yang dibingkai dalam ayat-ayat dari awal surah al-F â tihah hingga penghujung surah al-N â s berupa wahyu yang

diwahyukan Allah Swt. kepada Muhammad Saw. Adapun al-Qur’an lebih diartikan sebagai ajaran (al- risâlah) . Lihat: Syahrur, al-Kitab…, h. 54.

54 Dalam pandangan Syahrur, kata mu‘ â shirah (masa) tidak identik dengan arti waktu dan zaman karena ia mengingkari padanan arti dalam suatu bahasa. Menurutnya, satu kosakata hanya

memiliki satu pengertian. Pendapat ini berdasarkan kajian analisis bahasa ‘Arab kontemporer (al- Khashâish al-Binawiyyah li al-‘Arabiyah fî Dhaû’ al-Dirâsât al-Lisâniyah al-Had î tsah) yang terambil memiliki satu pengertian. Pendapat ini berdasarkan kajian analisis bahasa ‘Arab kontemporer (al- Khashâish al-Binawiyyah li al-‘Arabiyah fî Dhaû’ al-Dirâsât al-Lisâniyah al-Had î tsah) yang terambil

hidup. Masa lalu, sekarang, dan akan datang akan memunculkan aneka pemahaman. 55

Karya al-Kitâb wa al-Qur’ â n: Qirâ’ah Mu‘âshirah ini terdiri dari empat bab. Bab pertama diletakkan sebagai pengenalan tentang isi buku. Pertama-tama,

pengarang ingin mengajak pembaca mengenal metode linguistik bahasa yang digunakan oleh Dr. Ja‘far Dik al-Bâb -penasihat linguistik kebahasaan Syahrur-. Dalam bab pertama ini, Syahrur memilih judul al-Dzikr yang merupakan judul penting dalam pandangan pengarang. Untuk bab ini, Syahrur menyusun selama satu tahun, dari tahun 1986-1987. Pada bab ini, pengarang membatasi bahasannya pada pengistilahan yang digunakan dalam al-Dzikr seperti al-Kitâb, al-Qur’an, al-Dzikr, al-Furqân, al-Nubuwah, al-Risâlah, al-Inzâl, serta al-Tanzîl.

Pada bab kedua, Syahrur mengangkat judul Jadal al-Kaûn wa al-Insân. Dalam bab ini, ia banyak dibantu oleh Dr. Ja’far Dik al-Bab. Bab ini seperti bab

dari metode kebahasaan Abû ‘Al î al-F â rîsî yang juga mengadopsi teori kebahasaan yang digunakan oleh Ibnu Jinny dalam bukunya al-Khasâish dan Imâm al-Jurjâny dalam bukunya Dalâil al-I‘jâz. Menurut al-Jurjân î , pengertian satu kosakata tidak ditemukan arti yang sama pada kalimat lain sekalipun dalam satu bahasa yang sama atau bahasa yang berbeda. Lihat: Syahrur, al-Kitâb..., h. 20-21.

Syahrur agak sulit membedakan antara pengertian term al-turats (hasil kreativitas berpikir orang-orang dahulu yang diwariskan kepada generasi sesudahnya yang sangat berperan dalam pembentukan kepribadian orang-orang modern) sehingga karya tulisnya sepuluh tahun yang lalu -bagi Syahrur- termasuk turâts. Adapun term al-mu‘ â shirah adalah hasil kreativitas berpikir orang-orang modern. Dengan demikian, keduanya mengandung kemiripan arti kecuali perbedaan kurun waktu saja. Syahrur, al-Kitâb...., h. 32-33.

55 Maham î Munîr Muhammad Thâhir al-Syawwâf, Tâhâfut al-Qir â ’ a h al-Mu‘ashirah, (Cyprus: al-Syawwâf li al-Nasyr wa al-Dirâsât, 1993), Cet. I, h. 29-30.

sebelumnya yang ditulis selama setahun. 56 Bab ini mengetengahkan tentang jadal, dialog bantahan tentang alam materi dan diri manusia. Dalam pemaparan ini

terkadang Syahrur tidak merumuskan keputusan apa-apa. Pada kebanyakan uraiannya, ia hanya mengungkapkan pesan-pesan harmonis atau perdamaian daripada

kekerasan dan kebencian. 57 Pada bab ketiga, Syahrur membahas tentang ‘Umm al-Kitâb. Menurut

Syahrur ‘Umm al-Kitâb adalah kumpulan ayat yang beredaksi hukum, seperti dalam Q.S. Â li-'Imrân [3]: 7

Artinya: Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkam â t. Itulah pokok-pokok isi al- Qur'an.

Dan Q.S. Hûd [11]: 1           

Artinya: Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapih serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.

Al-Kitâb sebagai kumpulan ayat-ayat hukum ini, bagi Syahrur, disebut juga risâlah Muhammad Saw . Risâlah ini meliputi hudûd, ‘ibadât, akhlâq dan ta’l î mât al-

56 Syahrur, al-Kitâb..., h. 48. 57 Syahrur, al-Kitâb..., h. 445.

mmah 58 dan al-risâlah. Dalam bab II ini, Syahrur mencoba mengklarifikasi permasalahan al-Risâlah Muhammad Saw., lewat ajakan realisasi ajaran dengan

pendekatan pemahaman keuniversalan ajaran Muhammad Saw. sebagai nabi rahmatan li al-‘âlam 59 î n .

Permasalahan al-Risâlah Muhammad masih terus bergulir pada keilmuan dan hukum Islam dewasa ini lantaran masih berbelit-belitnya pemahaman dan

pelaksanaan al-Risâlah ini serta tidak efisiennya ajaran yang teradopsi dari risalah- risalah sebelumnya. Syahrur juga mengkritik para ulama fiqih klasik yang bertanggung jawab atas warisan pemahaman kenabian Muhammad Saw. Menurut Syahrur, kesalahan pemahaman sunnah kenabian ini merupakan bias dari kerumitan pemahaman al-Risalah Muhammad Saw. yang erat kaitannya dengan pemahaman al-

Sunnah al-Nabawi 60 .

Memasuki bab keempat, Syahrur melengkapi karya spektakulernya ini dengan mengangkat judul syahwât ins â niyah dan qishâsh fî al-Qur’ â n . Kedua tema ini dibingkai dalam judul bab fî al-Qur’ â n . Dalam bab ini, Syahrur menekankan bahwa perekonomian dalam dalam Islam dikenal dengan prinsip matâ‘ al-hayât al-dunyâ (kesenangan kehidupan dunia). Sedangkan pemenuhan kebutuhan manusia, menurut Syahrur, diistilahkan dengan al-ghâr î z î (insting) yaitu saat manusia lebih menonjolkan sifatnya sebagai basyar (manusia). Adapun jika lebih menonjolkan sifat

58 Syahrur, al-Kitâb..., h. 445. 59 Syahrur, al-Kitâb..., h. 447. 60 Syahrur, al-Kitâb..., h. 446.

insân, maka pemenuhan kebutuhannya diistilahkan dengan syahwatiyah (keinginan). Kedua sifat ini ada pada diri manusia dan saling terkait antara satu dengan yang lain sehingga sangat sulit membedakan keduanya.

Dalam kasus qishâsh, Syahrur secara terbuka mengakui kebenaran semua isi al-Qur’an sebagai al-haq, termasuk dalam konteks qishash dalam Q.S. al-Kahfî [18]:

Artinya: Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar.

Dan Q.S. al-An‘âm (6): 57:           

Artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang

sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.

Lebih lanjut, Syahrur mengelompokkan qishâsh dalam al-Qur’an kepada dua potongan sejarah, yaitu: Satu, al-târikh al-qadîm, yaitu fase yang dimulai sejak masa penciptaan manusia pertama hingga ditemukannya sebuah linguistik bahasa dan komunitas sehingga mereka mampu menerima sebuah wahyu; Dua, al-târikh al- had î ts, yaitu masa yang dimulai sejak diturunkannya sebuah bahasa komunikasi yang digunakan oleh kelompok manusia sampai sekarang. Lebih tegasnya, Syahrur Lebih lanjut, Syahrur mengelompokkan qishâsh dalam al-Qur’an kepada dua potongan sejarah, yaitu: Satu, al-târikh al-qadîm, yaitu fase yang dimulai sejak masa penciptaan manusia pertama hingga ditemukannya sebuah linguistik bahasa dan komunitas sehingga mereka mampu menerima sebuah wahyu; Dua, al-târikh al- had î ts, yaitu masa yang dimulai sejak diturunkannya sebuah bahasa komunikasi yang digunakan oleh kelompok manusia sampai sekarang. Lebih tegasnya, Syahrur

Sebagai penutup dalam karya ini, Syahrur tak lupa memberikan kesimpulan akhir dari penelitian dalam bukunya ini, yaitu:

1. Rincian penjelasan tentang pengistilahan yang digunakan dalam al-Kitâb (al- Qur’an).

2. Syahrur mengakui bahwa al-Burh â n (al-Qur’an) menyatakan bahwa kenabian Muhammad Saw, sh â lih li kulli zamân wa makân, Sedangkan al-risâlah (ajaran) yang benar juga eksis sepanjang bergulirnya ruang dan waktu.

3. Syahrur mengakui bahwa keberadaan Allah, alam akhirat, hisab, serta surga dan

neraka akan muncul setelah kehancuran dunia ini. 62

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an khususnya yang berkaitan dengan wasiat, pembagian harta warisan, kepemimpinan, poligami, dan pakaian wanita, Syahrur mengunakan dua macam metode inti, yaitu pertama, analisis linguistik semantik, dan kedua, menerapkan ilmu-ilmu eksakta modern, seperti matematika analitik, teknik analitik, dan teori himpunan. Berkaitan dengan metode pertama, Syahrur menerapkan teori linguistik yang pernah dikemukakan oleh al-Jurj â n î - sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Andreas Christ Maun- dalam hal sinonimitas dan “komposisi” (al-nazhm). Dalam hal menganalisis makna kata-kata dalam al-

61 Syahrur, al-Kitâb..., h. 675. 62 Syahrur, al-Kitâb..., h. 714.

Qur’an, Syahrur menggunakan analisis pradigmo sintagmatik. Istilah ini digunakan oleh 63 Osborne dalam bukunya The Hermeneutical Spiral .

Dalam hal kepemimpinan, Syahrur menyatakan bahwa perempuan tidak hanya dapat menjadi pemimpin, melainkan memiliki potensi yang sama dengan kaum laki-laki. Dengan demikian, marginalisasi kaum perempuan sebagai akibat dari hegemoni patriarki yang menyerukan slogan bahwa perempuan itu lemah dan tak

pantas menjadi pemimpin menjadi terpatahkan. Baginya, perbedaan laki-laki dan perempuan hanya terletak pada fisik yang memang bersifat kodrati, tetapi dalam hal slain, laki-laki dan perempuan adalah sama. Tak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa perempuan lebih rendah dan lemah dari laki-laki.

Dalam hal poligami, Syahrur membolehkan poligami asal memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama, isteri kedua, ketiga, dan keempat disyaratkan dari perempuan janda yang memiliki anak yatim; Kedua, adanya rasa khawatir tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak yatim. Dengan tegas Syahrur menyatakan –sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an- bahwa seseorang dilarang berpoligami jika isteri kedua, ketiga, dan keempatnya masih perawan atau janda. Menikahi perempuan yang tidak memiliki anak, bagi Syahrur, bukanlah poligami yang dianjurkan oleh Allah Swt. karena maksud perintah poligami adalah mendatangkan perbaikan sosial bagi umat Islam secara umum, dan lebih khusus sebagai penghormatan terhadap perempuan dan anak yatim. Seperti maksud dalam kutipan berikut:

63 Analisis sintagmatik adalah makna sebuah kata yang dipengaruhi oleh hubungan linier dengan kata-kata lain yang turut membangun sebuah kalimat. Syahrur, Metodologi..., h. 11.

Artinya: (dalam melakukan poligami) dari segi bilangan (al-kam) dibolehkan hingga empat (isteri), namun dari segi cara (al-kaif) dibatasi bahwa calon isteri kedua hingga keempat diharuskan memilih dari perempuan-perempuan janda yang telah memiliki anak yatim. Maka bagi suami yang akan menikahi mereka hendaklah menjadikan mereka (janda-janda yang akan dinikahi) sebagai isteri seperti layaknya isteri-isteri pada umumnya dan menjadi bapak bagi anak-anak

mereka. 64

Dalam pemahaman terhadap hukum at-Tanzîl al-Hakîm (al-Qur’an), pengetahuan Rasulullah Saw. terhadap al-Qur’an hanya bersifat juz‘ î (partikuler) dan bukan secara kull î (garis besar). Menurut Syahrur, tidak ada seseorang yang dapat

mengetahui makna-makna al-Qur’an baik yang bersifat kull î (garis besar) maupun juz‘ î (partikuler) secara sempurna, bahkan seorang Nabi atau Rasul sekalipun. Alasannya, orang yang dapat memahami seluruh kandungan makna al-Qur’an berarti orang itu dengan sendirinya menjadi sekutu bagi Tuhan dalam pengetahuan-Nya yang

bersifat kulli dan “keberadaannya” pada zat-Nya (kain 65 û nah fî dzâtih ). Dengan pandangannya yang melawan arus itu, Syahrur harus menghadapi

banyak tantangan dari hampir seluruh ahli yang profesional di bidang agama. Pada saat yang sama, dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun “pesantren” (lembaga pendidikan Islam). Lingkaran ini

64 Syahrur, Metodologi..., h. XV. 65 Syahrur, Metodologi..., h. 5.

menyebabkannya dianggap telah dibayar oleh institusi asing tertentu untuk merusak otoritas dan persatuan umat Islam. Ia juga dituduh menciptakan agama yang benar- benar baru melakukan penjiplakan atau berkomitmen melakukan pengaburan arti teks dalam wilayah penafsiran.

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6