Landasan Teologis

1. Landasan Teologis

Landasan teologis ini mencoba mempertanyakan peran Islam dalam

memposisikan kepentingan laki-laki dan perempuan di hadapan wahyu. Hal tersebut dilakukan dengan kembali menengok kondisi saat turunnya wahyu serta mencermati interaksi para sahabat dalam menghadapi problematika sosial, budaya, dan politik, serta mengamati perkembangan generasi setelahnya hingga kini.

Untuk menjawab persoalan tersebut, penulis mengelompokkan kajian ini dalam dua bagian, yaitu: a) gerakan gender kaum perempuan masa awal Islam; dan b) gerakan gender kaum perempuan masa modern.

a. Gerakan Gender Kaum Perempuan Masa Awal Islam

Untuk menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu penulis mengutip pandangan Dr. Umaimah Ab û

Bakr 1 dalam bukunya al-Mar’ah wa al-Jindir: Ilghâ‘ al-Tamyîz al-Tsaqâfî wa al-Ijtimâî‘ baîna al-Jinsayn sebagai berikut:

1 Perempuan pemerhati sejarah perempuan dalam Islam kelahiran Mesir. Ia bekerja sebagai dosen sastra abad pertengahan dan kajian-kajian perbandingan sastra di Universitas Barceley Amerika

Serikat. Di samping itu, ia juga menjabat dosen sastra Inggris dan perbandingan sastra di Universitas Cairo. Umaîmah Abû Bakr dan Syirîn Syukr î , al-Mar’ah wa al-Jindir, Ilghâ‘ al-Tamyîz al-Tsaqâfî wa al-Ijtimâi‘ baîna al-Jinsayn , (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), h. 1.

Artinya: Peristiwa pertama (seperti yang dikutip dari kitab Shahih Muslim dalam Bâb al- Fadhâîl (kemulian) bahwa Ummu Salamah (istri Rasulullah Saw.) suatu hari mendengar Rasulullah Saw. memanggil seseorang dari atas mimbar (wahai sekalian manusia!). (Mendengar panggilan itu), Ummu Salamah bersiap-siap pergi memenuhi panggilan itu. Tiba-tiba tetangganya (perempuan) berkata kepadanya: Panggilan itu hanya ditujukan kepada kaum laki-laki tidak kepada

kaum perempuan. Spontan saja Ummu Salamah menjawab: "Saya ini juga adalah manusia".

Artinya: Peristiwa kedua terjadi saat Ummu Salamah mempertanyakan (kepada Rasulullah Saw.) tentang keistimewaan orang-orang yang berhijrah, dimana (al- Qur’an) mengkhususkan (penyebutan hijrah) hanya kepada laki-laki tanpa menyebutkan perempuan: (Wahai Rasulullah Saw., saya tidak pernah mendengar Allah Swt. menyebut perempuan (dalam al-Qur’an) tentang hijrah. Maka turunlah Q.S. Â li-'Imrân [3]:195

2 Muslim, Shah î h Muslim, (Bâb Itsbât Hawla Nabiyyin â wa Shifâtih), Jilid VII, h. 67. Lihat juga: ‘Abd. al-Halîm Ab û Syaqqah, Tahrir al-Mar’ah f î ‘Asr al-Risâlah, (Kuwait: Dâr al-Qalâm,

1999), Jilid I, h. 230. 3 Abû al-Hasan ‘Alî Ahmad al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Lub â b al-Nuq û l fî Asbâb al-Nuzûl, (Cairo: Maktabah al-Mutanabbî, t.th.), h. 103.

“ Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir

dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

Artinya: Peristiwa ketiga terjadi saat Asmâ‘ binti ‘Amîs bersama suaminya Ja‘far bin Abî Thâlib berkunjung bersama ke rumah isteri-isteri Nabi Saw. sepulangnya mereka dari al-Habasya. Dia (Asmâ‘ binti ‘Amîs) bertanya: Apakah ada ayat yang turun untuk kita (para perempuan)? Mereka (para isteri Nabi Saw.) menjawab: Tidak ada. Asmâ‘ binti ‘Amîs kemudian datang menemui Nabi Saw. lalu bertanya: Wahai Rasulullah, kami para perempuan benar-benar dalam keadaan kecewa dan merugi. Nabi (dengan penasaran) menjawab: Kenapa bisa demikian? Karena para perempuan tidak disebut-sebut dalam peluang melakukan kebaikan seperti halnya kaum laki-laki. Maka turunlah Q.S. al-Ahzâb [33]:35

4 Al-Naisâbûrî, Lub â b al-Nuq û l…,

h. 268.

“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki

dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,

Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” . 5

Kritik yang dilontarkan para feminis perempuan di atas dinilai sebagai hal yang wajar dan tidak berlebihan sebagai pengakuan Sang Pencipta terhadap eksistensi

dan potensi kaum perempuan. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa perempuan dalam al-Qur’an memang hampir semuanya diungkapkan dalam bentuk dan kedudukan sebagai objek (maf’ûl bih) dan umumnya menjadi pihak ketiga (ghaibah), sedangkan kaum laki-laki lebih banyak berkedudukan sebagai pelaku (fâ'il) dan pihak kedua (mukhâthab). Namun demikian, itu tidaklah berarti hak-hak perempuan tidak inferior di hadapan teks yang acapkali secara khusus dialamatkan kepada laki-laki. Imam Muhammad al-Ghazâli dalam bukunya Manhûl min Ta‘lîqât al-Ushûl – sebagaimana yang dikutip Nasaruddin Umar- mengungkapkan bahwa penggunaan bentuk mudzakkar dalam suatu khitâb juga mencakup kaum perempuan, kecuali ada qar î nah (hubungan) yang mengkhususkannya, seperti kata   mencakup juga kata  , kecuali kalau ada qarinah yang mengkhususkannya hanya kepada laki- laki. Pendapat jumhur ini, termasuk al-Ghazâli, sejalan dengan pandapat ahli bahasa yang menyebut bahwa jika kelompok laki-laki berkumpul dengan kelompok

5 Abû Bakr, al-Mar’ah wa al-Jindir..., h. 14 -15.

perempuan maka cukup menggunakan bentuk mudzakkar kepada kelompok tersebut  6               

Umaîmah Abû Bakr dalam bukunya al-Mar’ah wa al-Jindir mencoba memberi kesimpulan dari ketiga peristiwa di atas sebagai berikut: Pertama , perhatian besar kaum perempuan pada masa turunnya ayat (‘ashr al-

risâlah ) dengan turut berperan serta dalam ketentuan urusan publik kaum

perempuan sampai diabadikannya usaha mereka dalam al-Qur’an yang mengakibatkan mereka sejajar dengan kaum laki-laki, baik dalam ranah agama maupun sosial.

Kedua , menolak anggapan opini umum perempuan (saat itu) bahwa mereka adalah kelompok yang kurang memperoleh perhatian dan penghargaan serta kelompok yang terbelakang dalam bidang pendidikan.

Ketiga , pengakuan Islam atas kesamaan hak dan peluang setiap individu baik laki- laki atau perempuan untuk mewujudkan kesetaraan peran sosial dan agama.

Keempat, bukti Maha Kasih Allah Swt. terhadap hamba-Nya. yang mau mendengar setiap keluhan dan tuntutan hamba-Nya yang mempertanyakan keadilan- Nya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bukti sejarah bahwa suara

6 Nasaruddin Umar, Teologi Gender: Antara Mitos dan Teks Kitab Suci, (Jakarta: Pustaka Cicero, 2003), Cet. I, h. 168-169.

perempuan telah tercatat dalam lembaran sejarah melalui peran aktif mereka dalam risalah Islam. 7

Pendapat miring kalangan orientalis yang sering dialamatkan kepada teks al- Qur’an, bahkan yang kerap datang dari umat Islam itu sendiri, seperti saat umat Islam di Indonesia sedang memperjuangkan disahkannya undang-undang pelarangan

pornoaksi dan pornografi yang mendapat dukungan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perjuangan tersebut mendapat tantangan dari seorang pemimpin bangsa ini yang juga masih berstatus ulama. Dia mengatakan, mengomentari isi teks al-Qur’an dalam salah satu pertemuan, bahwa al-Qur’an adalah Kitab Suci yang paling banyak mengandung pornografi dan pornoaksi, tanpa diketahui apa motif pengucapan itu. na‘ûdzu billâh min dzâlik! Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan keterangan sebab turunnya ayat dan kegelisahan para sahabat perempuan di atas yang merasa kepentingan mereka tidak ikut diperjuangkan dalam al-Qur’an.

b. Gerakan Gender Kaum Perempuan Masa Modern

Di dua abad terakhir ini, peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat Islam seringkali menjadi topik utama diskusi-diskusi terutama yang terkait dengan modernisasi dan kemajuan. Laju perkembangan ekonomi dan perubahan kondisi politik merupakan akibat dari modernisasi. Kondisi demikian merupakan konsekuensi dari dinamika sebuah masyarakat. Wacana gender hadir sebagai implikasi dari laju

7 Abû Bakr, al-Mar’ah wa al-Jindir…, h. 15-16.

perubahan zaman yang semakin tak terbendung. Dalam beberapa hal, ketertinggalan perempuan dalam ranah domestic maupun publik turut dipicu oleh cara pandang

terhadap eksistensi perempuan dalam risalah keagamaan. 8 Survei yang dilakukan oleh Naseef Nassar memperlihatkan fenomena

perundang-undangan di beberapa Negara, terutama dalam hal politik. Nassar mengidentifikasi tiga bentuk undang-undang tersebut, yaitu: Pertama, tradisional (al-

Taqlidiyyah), yaitu bentuk undang-undang ini dipraktekkan oleh Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Qatar, dan Yaman Utara. Nassar mencatat bahwa Omman dan Saudi Arabia memiliki undang-undang yang sama dengan negara-negara ini. Dalam undang-undang negara ini, perempuan sebagai isteri dan ibu memiliki batas dalam hal hubungan keluarga; Kedua, kelompok negara-negara yang dikenal memiliki tingkat kemajuan dalam hal cara pandangan terhadap perempuan. Undang-undang di negara- negara ini menyebutkan bahwa perempuan yang sesungguhnya adalah mereka yang berpendidikan dan berbudaya. Implementasi ketentuan tersebut dapat dilihat di Suriah, Yaman Selatan, dan Irak; Ketiga, kelompok negara ketiga yang disebut Nassar sebagai negara yang akomodatif terhadap kaum perempuan. Contoh yang paling baik terlihat di Maroko dan Mesir. Undang-undang Mesir dikeluarkan saat Anwar Sadat memegang tampuk pemerintahan dengan mengamandemen undang- undang yang ditelorkan pemerintahan Gamal Abdul Nasser tahun 1971 yang mempertahankan peran tradisional perempuan hanya sebagai ibu dan isteri. Di masa

8 Yvonne Yazbeek Haddad & John L. Esposito, Islam Gender, and Social Change, (New York: Oxford University Press, 1998), h. 3.

Sadat, perempuan diberi jaminan kesempatan untuk berkiprah dalam bidang politik, sosial, dan budaya. 9

Dari kajian yang ada terungkap bahwa pada paruh kedua abad XIX M. mulai tumbuh kesadaran gender di kalangan umat Islam. Sebuah konferensi antar agama yang berlangsung di Doha, Qâtar (25/4/2006) menghadirkan banyak tokoh agama. Hal yang mereka bahas sangat beragam yang salah satunya adalah soal peran

perempuan dalam Islam. Tema yang sangat menarik ini disampaikan oleh Dr. Rajâ Nâwi Makawî, tokoh wanita Muslim dari Law School of Maroko. Dalam sesi tanya- jawab, beliau mengutarakan bahwa Islam sangat menghargai perempuan dan menempatkan mereka dalam posisi yang sangat terhormat. Menurutnya, hal tersebut telah dicontohkan pada masa Rasulullah Saw. Pada masa itu, banyak kaum perempuan memiliki peran dan posisi luar biasa, seperti Khadijah, isteri Rasulullah Saw., yang sangat hebat dan senatiasa mendukung perjuangan Nabi. Pada saat yang sama, beliau adalah pedagang yang ulung. Menurutnya, perempuan bisa menjalankan peran ganda, baik sebagai isteri, ibu, maupuan pekerja. Contoh lain dari isteri Nabi adalah ‘Âisyah yang sangat masyhur kerena kecerdasannya. Nabi bahkan pernah mengatakan, "Ambillah sebagian agama dari perempuan ini!". Hal tersebut menunjukkan penghargaan beliau yang sangat tinggi pada kecerdasan ‘Âisyah.

Menyinggung tentang perempuan masa modern saat ini, Dr. Rajâ Nâwi Makawî mengatakan bahwa seiring perjalanan waktu dan sejarah, kebebasan gerak

9 John L. Esposito, Islam Gender, and Social Change, h. 6.

perempuan Islam terenggut oleh tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya peperangan dan ketidakamanan yang pernah terjadi selama beberapa kurun waktu dalam sejarah umat Islam. Kondisi itu turut mendangkalkan pemahaman mengenai posisi Islam dan perempuan yang akhirnya berdampak pada merosotnya peran perempuan yang hanya dibatasi pada ruang tertentu. Akan tetapi, menurut beliau, perlakuan itu tidak bersumber dari kitab suci al-Qur’an. Tegasnya, Islam sangat

menghargai perempuan. Namun melirik perempuan Islam ke depan saat ini, diperlukan usaha maksimal dari berbagai kalangan untuk mengembalikan kebebasan gerak yang pernah Islam berikan pada masa awal turunnya risalah ini. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan pemahaman yang orisinal dengan kembali kepada al-

Qur’an. 10

Perjuangan gender diusung oleh beberapa aliran yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang gender, seperti liberal, radikal, marxis, pembela hak-hak perempuan Kristen, serta aliran-aliran Prancis lainnya. Menurut Umaîmah Abû Bakr, perjuangan gender yang mereka gulirkan tidak sesuai dengan tuntutan gender perempuan Islam dewasa ini. Mereka menuntut persamaan hak seksual dan kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan nilai moral agama, sementara perempuan Muslimah menuntut hak kelayakan dan kebutuhan yang berlandaskan ajaran Islam, baik dalam hal kesetaraan, keadilan, maupun kepemimpinan sosial yang

seimbang. 11

10 Republika, Islam Sangat Menghargai Perempuan (International), (Jum‘at, 28 April 2006) 11 Abû Bakr, al-Mar’ah wa al-Jindir…, h. 47.

Dia menambahkan bahwa di antara tuntutan persoalan perempuan yang mendesak untuk mendapat perhatian dewasa ini adalah pemberdayaan perempuan seluas-luasnya dalam hak-hak sipil, politik, dan undang-undang. Yang tak kalah pentingnya adalah perbaikan mutu pendidikan, kesempatan kerja, masalah khitan, kekerasan dan pembedaan kelas sosial dalam masyarakat. Namun, semua itu harus dilakukan dengan tidak bertentangan dengan semangat agama dan fitrah

keperempuanan. Dia sedikit menyinggung perlunya meninjau ulang hasil-hasil karya agama, seperti tafsir, hadis, ushul fiqih, dan perbedaan pandangan ulama seputar pemikiran dan budaya. Dia menghimbau untuk menghentikan segala bentuk penuduhan atas nama agama Islam dan mengajak untuk bersama-sama membentuk dasar-dasar keadilan yang berlandaskan kepentigan bersama melalui budaya dan peradaban yang menghormati prinsip-prinsip agama Islam dan Kristen dalam

masyarakat sekarang ini. 12 Gerakan gender dimaksudkan untuk mengembalikan kebebasan dan pemilikan

hak yang pernah dimiliki kaum perempuan di masa awal Islam yang kemudian hilang di tengah-tengah masyarakat patriarki yang memposisikan mereka sebagai nenek, ibu, bibi, isteri, adik, anak, dan pembantu. Seiring perkembangan zaman, sudah saatnya umat Islam menyadari dan memberi penghormatan sesuai ketentuan syari‘ah Islam.

12 Abû Bakr, al-Mar’ah wa al-Jindir…, h. 57-58.

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6