Pendapat tentang ‘Abduh
3. Pendapat tentang ‘Abduh
Seruan ‘Abduh kepada pemahaman teks al-Qur’an dengan cara kembali kepada teks asli yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw.
berimbas pada penolakannya kepada beberapa buku tafsir yang ada dan buku-buku produk abad sebelumnya. Menurutnya, karya-karya itu tak lebih dari jiplakan karya-
karya tafsir klasik sebelumnya yang banyak diperselisihkan di antara mereka. 34 Ia menolak sikap bertaklid buta kepada mazhab tertentu karena telah menjadi salah satu
penyebab kemunduran umat Islam. Untuk menyejajarkan diri dengan kemajuan yang dicapai oleh Barat, ‘Abduh menyerukan optimalisasi ijtihad sehingga ia diidentikkan
sebagai penganut Mu‘tazilah. 35 ‘Abduh juga dikenal sangat berhati-hati dalam menetapkan sunnah sebagai sumber hukum, yaitu jangan sampai bertentangan dengan
akal. Menurutnya, akal dan agama tidak pernah bertentangan, bahkan saling melengkapi. Konsekwensi dari cara pandang ini adalah ‘Abduh tidak segan-segan
meninggalkan hadis, sekalipun shahih, jika dinilai berkonfrontasi dengan akal. 36
34 Al-Dzahab î , al-Tafsîr..., h. 598. 35 Syahatah, Manhâj al-Im â m...,
h. 83. Lihat juga: ‘Abdul Kadir Ahmad, Studi Pemikiran Muhammad ‘Abduh tentang Kehujjahan Sunnah, (Thesis 2003, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 15.
36 Abd al-' Â th î Muhammad Husaîn, al-Islâm wa Hadhârah al-Gharbiyah, (Beirut: Dâr al- Irsyâd, 1973), h. 118.
Menanggapi cara pandang ‘Abduh di atas, Muhammad al-Ghazâli dalam bukunya Kaîfa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ â n menilainya sebagai cara pandang yang keliru. Bagi al-Ghazâli, bertaklid kepada ulama mazhab tertentu lebih baik dari keadaan seperti sekarang. Sikap menomorsatukan akal dari pendapat ulama-ulama klasik hanya mendatangkan sifat kekanak-kanakan, memusuhi para ulama, dan mendangkalkan moral, termasuk akan menyalahkan sejarah yang dilakukan hanya
demi sebuah ketenaran. Pemikiran ulama-ulama klasik terbatas pada masa dan ruang yang melingkupi hidup mereka, sementara keadaan telah berubah sehingga menuntut penyesuaian pemahaman. Bukan hanya itu, tidak ada jaminan otoritas kebenaran pendapat sehingga pendapat-pendapat mereka berpeluang dibenarkan dan
disalahkan. 37 Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi (disingkat al-Marâghi) juga
berkomentar tentang ‘Abduh. 38 Meskipun al-Marâghi tidak pernah duduk belajar tafsir bersama Ridha di hadapan ‘Abduh, ia mendukung pemikiran reformasi dan
penolakan 'Abduh terhadap sikap taklid kepada ulama-ulama klasik. Bukan hanya itu, al-Mar â
ghi berani mengadopsi cara pandang ‘Abduh ke dalam tafsirnya. 39 Al- Mar â ghi sangat menyanjung ‘Abduh sebagai sosok ulama penafsir yang banyak
menyentuh problematika sosial yang dianjurkan oleh al-Qur’an. Hal tersebut terbaca ketika menafsirkan ayat-ayat sosial seperti pada Q.S. al-M â ‘ û n [107]: 3
37 Muhammad al-Ghazâl î , Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ â n , (Virginia: al-Ma‘had al-‘ Â lam î li al-Fikr al-Islâm î ), Cet. I, h. 166.
38 Syekh Muhammad Musth a f â al-Mar â gh î (1881-1945)
39 Al-Dzahab î , al-Tafsîr..., h. 633.
Artinya: Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 40
Nama lain yang memuji beliau adalah Ahmad Amîn. Sosok ‘Abduh baginya adalah pelopor reformis (zu‘amâ al-ishlâh). Dr. Usman Amin menyebutnya sebagai
pelopor kemajuan pemikir Islam. ‘Abbas Mahmûd al-‘Aqqâd menyebutnya sebagai si jenius kemajuan dan pendidikan (‘abqâr al-ishlah wa al-ta‘lîm). Muhammad Husain al-Dzahab î penulis kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn juga menyebutnya sebagai pelopor warna sastra sosial tafsir masa kini.
Kritikan dan pujian terhadap satu tokoh merupakan hal yang wajar dan dapat saja terjadi kepada siapapun. Namun demikian, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa ide kemunculan tafsir bercorak modern yang muncul setelah abad XIX M. mengambil ide dari tafsir ‘Abduh. Tidak heran jika tafsir reformis ‘Abduh kemudian diikuti oleh sekumpulan penafsir modern berikutnya, seperti Muhammad Râsyid Ridha, Muhammad Mustafa al-Marâghi, ‘Abdul Azîz Jawisî, Jamaluddin al-Qâsimî, ‘Abdul Karîm al-Khatib, dan Muhammad al-Mubârak ‘Abdullah, dan selainnya.