Setting Sosial Biografi Muhammad ‘Abduh

1. Setting Sosial Biografi Muhammad ‘Abduh

Paruh kedua abad XIX adalah masa yang gemilang bagi negara-negara Timur Arab. Mesir berhasil membebaskan diri dari pemerintahan kolonial tahun 1922 M. Libanon pun berhasil keluar dari kemelut dan krisis yang terjadi di dalam negerinya, sementara Semenanjung Arab diancam perpecahan akibat penyebaran pemahaman Wahabiyah yang meluas hingga ke negeri Irak yang juga sedang bergumul dengan pemerintahan Mamluk untuk mencari solusi atas pertikaian antara kelompok Kasad dan Waba’. Pergolakan yang terjadi di Sudan, Sahra‘, dan kelompok-kelompok revolusi yang bertikai di Maroko yang masih terus bergolak hingga kini menuntut suatu kesadaran akan pentingnya sebuah usaha reformasi.

Keterpurukan Mesir akibat kebodohan dan ketertinggalan dari negara-negara Barat membuka mata orang-orang Mesir akan kelemahan dan ketertinggalan mereka.

Semangat reformasi yang dihembuskan ‘Abduh, menurut Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd dalam bukunya ‘Abqarîyah al-Ishlâh wa al-Ta‘lîm: al-Imâm Muhammad ‘Abduh

“ Bahwa sepanjang sejarah lima puluh bahkan enam puluh tahun abad XVIII yang lalu, Mesir mengalami masa kegelapan dan keterpurukan yang berkepanjangan, namun tatkala kemunculan ide revolusi dan reformasi, ‘Abduh menjadikan Mesir kembali terang-benderang memperjelas penglihatan dan membuka mata yang selama ini buta dengan keadaan sekeliling. Inilah yang membedakan antara orang cerdas di pertengahan abad XIX dengan orang bodoh

yang hidup 50-60 tahun abad sebelumnya” . 1

‘Abduh dilahirkan pada masa kapitalis Barat dan gaya hidup kebarat-baratan mulai dipopulerkan bersamaan dengan hadirnya para delegasi studi ke Eropa. Pada periode ini, serangan kaum orientalis dan misionaris terhadap Islam dan Nabi Muhammad Saw. semakin gencar.

Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullâh. Lahir di Desa Mahallah Nashr, wilayah Syabrakhait, Propinsi al-Bahirah tahun 1849. ‘Abduh lahir dari latar belakang keluarga berekonomi mapan. Ia hidup di masa pemerintahan Kerajaan Utsmaniyah. Karena kekerasan dan pemerasan penguasa saat itu, sebagian anak-anak sebayanya bersama orang tua banyak yang dipenjara hingga umur dewasa.

Berikut ini penuturan ‘Abduh dalam kenangannya:

“ Perbuatan fitnah terhadap warga desa saya” . Di depan hakim, mereka menuduh kami telah melakukan pemerasan dengan cara mengacungkan senjata ke hadapan orang-orang pemerintah. Satu demi satu kami kemudian dijebloskan

1 'Abbâs Mahmûd al-'Aqqâd, ‘Abqârî al-Ishlâh wa al-Ta‘lîm: al-Imâm Muhammad ‘Abduh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arab î , 1971), h. 9-14.

ke penjara. Di antara kami ada yang meninggal dalam penjara, sementara dari

2 keluarga, hanya nenek bersama sepupu saya yang lolos dari penangkapan itu.

Pendidikan ‘Abduh diawali dengan pendidikan di rumah di bawah bimbingan ayahnya. ‘Abduh telah meng-khatam al-Qur’an dalam tempo dua tahun di umur tujuh tahun. Pada tahun 1862, lewat inisiatif ayahnya untuk memperdalam al-Qur’an, ‘Abduh kemudian dimasukan ke Madrasah Ahmadiah di Thantha. Selama dua tahun, ‘Abduh belajar ilmu tajwid al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-

Qur’an di madrasah tersebut. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena ‘Abduh jenuh dan bosan dengan metode pengajarannya yang kurang memuaskan sehingga ia meninggalkan madrasah itu.

Pada tahun 1865, ‘Abduh memutuskan kembali ke kampung halaman dan memilih bekerja di kebun keluarga dan menikah. Namun ayahnya menyarankan agar kembali lagi melanjutkan pendidikan di tempat semula. Saran tersebut tidak ia acuhkan. ‘Abduh dalam perjalanan pulang ke Thantha berbelok haluan ke kampung halaman keluarga Gereja “Arwin” dan memutuskan untuk tinggal di sana. Di tempat

ini, ‘Abduh kemudian berkenalan dengan Syekh Darwîs 3 , teman dekat ayahnya. Ia banyak melakukan rihlah ilmiah ke beberapa negara Arab sehingga keilmuan dan

2 ‘Abd al-‘Âth î Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâs î li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, (Mesir: Haiah al-Mishriyah al-‘ Â mmah li al-Kitâb, 1980), h. 65. 3 Syekh Darwîs Khadar adalah guru spiritual ‘Abduh dan merupakan sosok pendidik yang sukses. Menurut Darwîs, hal terpenting yang patut diperhatikan dalam mendidik sebelum proses

belajar-mengajar berlangsung adalah pengenalan cara mendidik kepada anak asuh. Teori ini telah dipraktekkan oleh tokoh-tokoh sufi yang menanamkan perasaan cinta dalam jiwa para pengikutnya. Penyampaian pelajaran dilakukan dengan memperlihatkan keteladanan dan senantiasa memberi nasihat yang lembut. Syekh tersebut tidak mempraktekkan teori pidato dan hafalan. ‘Abdull â h Mahmûd Syahâtah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’ â n al-Karîm, (Mesir: al-Rasâil al- Jâmi‘ah, t.th.), h. 14.

pengalamannya selama dalam perantauan itu berhasil merubah cara pandang dan arah hidupnya. Kedalaman ilmu Darwîs dalam bidang tasawuf aliran al-Wahabiyah dan al-Sunusiyah menarik minat ‘Abduh untuk berguru kepadanya. Oleh Darwîs, ‘Abduh diajarkan metode pengajaran yang baik, cepat, dan mudah sehingga semangat belajarnya bangkit kembali setelah mengalami kekecewaan akibat metode belajar

yang jelek. 4

Berbekal semangat belajar baru, pada tahun 1865 ‘Abduh kembali belajar ke Madrasah Ahmadiyah di Thantha. Di tempat ini, ‘Abduh tidak jarang diminta mengajar teman-teman kelasnya untuk menjelaskan pelajaran Syarh al-Zarqânî, khususnya saat guru-guru senior madrasah itu berhalangan hadir.

Tahun 1866, ‘Abduh melanjutkan pendidikan S1-nya ke Universitas al-Azhar. Untuk kedua kalinya, ‘Abduh bertemu kembali dengan guru spritualnya Syekh

Darwîs 5 . Tahun 1877, beliau mendapat gelar sarjana ‘Alamiah (sekarang Lc.) dengan hanya meraih predikat baik (darajah tsaniyah) lantaran kesan negatif oleh beberapa

4 Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi..., h. 65-66. 5 Setiap kesempatan ‘Abduh manfaatkan untuk menanyakan hal-hal yang terkait dengan pelajaran di kampus. ‘Abduh diarahkan untuk mendalami ilmu filsafat, ilmu logika (manthiq),

penghitungan (hisâb), dan dasar-dasar arsitektur (handasah). Pada saat itu, materi-materi tersebut belum menjadi masuk dalam kurikulum al-Azhar seperti sekarang ini. Di bawah bimbingan Syekh Thâwîl, ‘Abduh diajarkan kitab Ibnu Sinâ dan Manthiq Aristoteles. Usaha tersebut membuahkan hasil karena dalam usia yang relatif muda (26 tahun), ‘Abduh telah mampu menulis resensi buku filsafat Syarh al-Jalâl al-Dawwâny li al-‘Aqâid al-‘Adhadiyah. Ketika terlibat dalam perdebatan, ‘Abduh lebih berpihak kepada aliran pikiran tokoh-tokoh kalam, filsafat, dan kesufian. Syahâtah, Manhaj....., h. 22.

pemeriksa ujian terkait pengaruh ide dan pemikiran pergaulannya dengan al- Afghâni 6 .

Setamat dari Universitas al-Azhar, ‘Abduh diangkat menjadi dosen di universitas tersebut untuk materi pelajaran seperti ilmu logika dan filsafat kalâm, ilmu yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh buku-buku dan tulisan al-Afghâni. Pada tahun 1878, ‘Abduh pindah ke Universitas Dâr al-‘Ulûm dan diangkat menjadi

dosen sejarah (târikh) di tempat ini, 7 di samping mengajar bahasa Arab di Madrasah al-Alsan. 8

Ketertarikan ‘Abduh dengan pemikiran bermula pada tahun 1876 dari kegemarannya mengirim tulisan artikel ke surat kabar seperti al-Ahram (surat kabar nasional Mesir). Di usianya yang kedua puluh tujuh, dia diminta menulis resensi pada surat kabar itu. Dalam setiap tulisannya, ia menekankan orientasi dakwah terhadap

6 Muhammad Jamaluddin al-Afghânî bin al-Sayyid Shaftar lahir tahun 1838 M/1254 H. di Bait Syarif Desa As‘ad Abâd, Kâbul Afghanistan. Silsilahnya bersambung dengan Imam Husain bin ‘Ali

bin Abi Thâlib R.a. Beliau banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti India, Eropa, dan Timur-Tengah. Beliau bertemu dengan Muhammad ‘Abduh saat kunjungannya yang kedua ke Mesir tahun 1871. Keduanya sering bertemu di hampir semua tempat ceramah dan majlis ilmu. Al-Afghânî melepaskan ‘Abduh dari orientasi tasawuf sempit yaitu pertapaan (durûsah), penjauhan dari perbuatan dosa (tahannuts), dan latihan-latihan kebatinan (riyâdhah) kepada arti tasawuf yang modern seperti revolusi, reformasi, dan perjuangan Islam, serta penajaman pikiran dan insting untuk menghadapi serangan-serangan orientalis. Al-Afghânî meninggal tahun 1897 M. di Istanbul ketika kekerasan yang dilancarkan oleh panjajah Barat sedang berkecamuk. Pendudukan Barat di kawasan tersebut berlangsung selama 30 tahun. Kematian al-Afghânî sebagai titik awal kemajuan umat Islam lewat penyebaran pikiran-pikirannya dalam dunia Islam. Syahâtah, Manhaj….., h. 14.

7 Di sela-sela aktivitasnya sebagai dosen sejarah di Universitas tersebut, ‘Abduh menyempatkan diri menulis buku rangkuman ilmu-ilmu sosial dan filsafat sejarah. Dalam proses penulisannya, ia

banyak mengkritik pemikiran Ibnu Khaldun dan mengupas tentang ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan (thab î ‘ah al-ijtimâ‘) pada masanya dengan berkaca pada teori-teori peradaban masa silam. Lihat: Syahâtah, Manhaj….., h. 24.

8 Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi…, h. 68.

ilmu modern dan perlunya suatu pembaharuan metodologi dalam pelajaran bahasa ‘Arab.

Keterlibatan ‘Abduh dalam bidang politik dimulai saat pertemuannya dengan al-Afghâni. Keduanya bergabung dengan organisasi-organisasi radikal, seperti kelompok tragis (al-Mahâfilah al-Ma‘sûniyah). Namun keterlibatan keduanya dalam kelompok ini tidak berlangsung lama. Keduanya memutuskan keluar dari organisasi

ini setelah terjadi perbedaan ideologi perjuangan. Organisasi ini dirasa tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak berorientasi pada kepentingan politik yang memperjuangkan masyarakat Mesir. Di samping itu, organisasi ini tidak

menggaungkan prinsip kebebasan, demokrasi, dan persaudaraan. 9

Pada tahun 1879, al-Afghâni diusir dari Mesir. ‘Abduh pun berhenti menjadi dosen di Dâr al-‘Ulûm dan memutuskan kembali ke kampung halaman. Selang setahun kemudian, tahun 1880, ia kembali menggeluti kegemarannya mengirim tulisan artikel ke surat-surat kabar seperti al-Waqâi‘ al-Mishriyyah. Di tempat ini, ‘Abduh diangkat menjadi pimpinan redaksi dan penanggung jawab penerbitan pada surat kabar itu.

Tahun 1881, ‘Abduh diangkat kembali menjadi Anggota Dewan Tinggi Pendidikan Publik (Majlis al-‘Alâ al-‘Ulûmiah al-‘Ammah). Keterlibatannya menjadi anggota dewan mengantarnya kembali aktif dikancah politik dan kewartawanan, Namun, keterlibatannya kali ini jauh berbeda saat bergabung dengan oraganisasi

9 Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi…, h. 68.

radikal sebelumnya. Kali ini, pikiran-pikiran reformisnya sampai ke negara-negara sekitar Arab lainnya. Tanpa disadari, pikiran-pikiran ‘Abduh berhasil mempengaruhi masyarakat Arab dan memegang peran penting dalam pembentukan opini publik khususnya ide-ide ‘Abduh tentang kenegaraan, pendidikan, hak asasi politik, dan

motivasi untuk revolusi. 10

Pada tahun 1883, ‘Abduh dituduh bersekutu dengan orang-orang

revolusioner. Ia dijatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun dan diasingkan ke Suriah, sesuai negara pilihannya. Setelah setahun dalam pengasingan, ‘Abduh meninggalkan Suriah menuju ke Eropa. Setelah delapan bulan di Paris, mereka menerbitkan surat kabar al-'Urwah al-Wutsqâ. Sasaran ide penerbitan surat kabar ini adalah sebagai media dakwah bagi oraganisasi-organisasi Islam, pembelaan terhadap Timur-Tengah, penolakan terhadap penjajah, dan lebih khusus pembebasan Mesir dari penjajahan Inggris. Surat kabar al-'Urwah merupakan surat kabar Arab yang

pertama kali terbit di Eropa. 11

Keberpihakan ‘Abduh kepada orang miskin, sikap kritis terhadap orang kaya, serta kebenciannya terhadap pemerintah otoriter, mendapat banyak tantangan. Menjelang wafatnya pada tanggal 7 Juli 1902, ia menulis artikel berisi kecaman

10 Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi…, h. 69. 11 Syahatah, Manhaj..…, h. 27.

terhadap pemerintahan Muhammad ‘Ali dan tidak pernah mengakui adanya implikasi sosial dari proyek-proyek yang dibangun rezim Muhammad ‘Ali. 12

Tahun 1888, ‘Abduh kembali ke Mesir dan seperti biasanya, ‘Abduh kembali mengajar. Akan tetapi, perhatian ‘Abduh kali ini terfokus pada pelahiran fatwa yang terkait dengan kompleksitas masyarakat Mesir saat itu. Al-Khadiwîh Taufiq, lebih menginginkan ‘Abduh bekerja sebagai hakim di pengadilan negeri sipil ketimbang

menjadi guru. Pilihan itu sebagai implikasi kekhawatiran yang pikiran dan jiwa konfrontasinya dapat saja ia tularkan kepada murid-muridnya. ‘Abduh kemudian diangkat sebagai hakim di Banha kemudian dipindahtugaskan ke Zaqâzîq.

Tahun 1890, ‘Abduh dilantik menjadi penasihat senior di pengadilan Apel 13 (mahkamah isti‘nâf). Tahun 1312 H, ‘Abduh dilantik menjadi Anggota Dewan

Pengurus (majlis idârah) Universitas al-Azhar. Dewan tersebut pertama kali dibentuk oleh al-Khadewy ‘Abbâs yang bertugas membuat perbaikan-perbaikan dalam institusi al-Azhar. Akhirnya, pada tahun 1899 keluar surat perintah pengangkatan ‘Abduh sebagai mufti di Mesir. Dalam perjalanan karirnya sebagai pegawai pengadilan dan mufti, fatwa ‘Abduh lebih cenderung kepada persoalan toleransi (tasâmuh), kebebasan berfikir (istiqlâl al-ra‘yi), dan pembebasan.

Dalam bidang keluarga, ‘Abduh memperjuangkan konsep rekonstruksi (ishlâh). Konsep ishlah-nya bertujuan memperjuangkan nasib kaum wanita sebagai

12 Muhammad ‘Abduh, ‘Ashr Muhammad ‘Al î fî Mishr, dalam Muhammad ‘Imârah (ed.), (Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, t.th.), Jilid I, h. 726.

13 Pengadilan Apel berwenang menyelesaikan perkara yang diminta banding.

basis utama dalam keharmonisan keluarga yang kemudian menjadi ciri perjuangan dan revolusi selanjutnya. Sebagai realiasasinya, ‘Abduh menitikberatkan ishlâh-nya pada tiga pokok, yaitu: a) peningkatan tarap pendidikan kaum wanita; b) thalak; dan

c) dan poligami. Dalam pandangan ‘Abduh, sebab kemunduran wanita Mesir adalah lemahnya

pendidikan dan telah mengakarnya tradisi pemahaman agama yang sempit. Saat

‘Abduh menjabat hakim sipil, ia berhasil mengamandemen kewenangan hakim untuk menjatuhkan thalak bagi isteri dalam tiga hal, yaitu: pertama, isteri ditinggal pergi oleh suami tanpa alasan hukum; kedua, isteri yang mengalami tindak kekerasan rumah tangga; dan ketiga, konflik keluarga yang tak kunjung selesai. Sementara dalam hal poligami, ‘Abduh memfatwakan pengharaman poligami, kecuali dalam kondisi darurat. Pembolehan poligami bagi suami hanya hanya jika isteri tidak dapat

memberi keturunan. 14

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan pribadi ‘Abduh yang mencerminkan sikap, pemikiran, dan kepekaan sosial dan politik dalam mengangkat Mesir dari keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan tak lepas dari perhatian besar keluarga dan guru-gurunya dalam pendidikan.

14 ‘Imârah, al-‘Am â l...,

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6