Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur’an Menurut Muhammad ‘Abduh

A. Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur’an Menurut Muhammad ‘Abduh

Untuk melihat pemikiran ‘Abduh terhadap beberapa ayat yang sering

dipahami gender dalam al-Qur’an, maka akan disorot pada masalah-masalah berikut, seperti poligami, waris, mahar, pakaian antara laki-laki dan perempuan serta perilaku keduanya dalam masyarakat, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, hak kerja dalam pentas politik dan legislatif, pernikahan, dan thalak.

1. Poligami

Salah satu kutipan ‘Abduh tentang poligami terdapat dalam buku al-Fikr al- Islâmî al-Had î ts yang mengatakan:

Orang-orang kaya dan miskin sekarang memilih cara poligami sebagai jalan pembolehan demi memenuhi kebutuhan biologisnya, sementara mereka tidak paham sama sekali maksud diadakannya poligami…, apa yang mereka lakukan bertentangan dengan syari‘at, dan bertentangan dengan rasio. Sebenarnya, mereka cukup menikahi satu isteri saja jika mereka tidak memiliki kemampuan untuk berlaku adil jika menilahi lebih dari satu perempuan. Tambahnya, ayat pada Q.S. al-Nisâ' [4]: 3

          Artinya:

Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.

Ayat ini dibatasi lingkupnya oleh sambungan ayat berikut:

Artinya: Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka (kawinilah) seorang saja.

Selanjutnya, ayat di atas dikaitkan dengan ayat lain yang menerangkan cara berlaku keadilan di antara para isteri yang merupakan perkara yang amat susah

bahkan mustahil, 1 seperti pada Q.S. al-Nisâ' [4]: 129

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.

‘Abduh pernah menulis sebuah artikel dalam majalah al-Waqâi' al-Mishriyah dengan judul Hukm al-Syar î ‘ah fî al-Ta‘addud al-Zawjât (hukum syari‘at tentang pembolehan poligami). Dalam makalah ini, ‘Abduh mengatakan:

Syari‘at Muhammad Saw. membolehkan laki-laki menikahi wanita hingga empat orang, jika ia tahu kemampuan dirinya untuk berbuat adil terhadap mereka. Jika tidak, maka cukup dia hanya menikahi satu orang saja. Keharusan berbuat adil ini merupakan syarat mutlak, dan tidak bisa dijelaskan atau ditafsirkan secara

1 Muhammad al-Bâhî, al-Fikr al-Islâmî al-Hadîts wa Shilatuh bi al-Isti‘mâr al-Gharbî, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1997), Cet. XIII, h. 115.

rasional (hermeneutis). Lalu bagaimana kita boleh mengumpulkan beberapa wanita yang kita sendiri tidak sanggup mengumpulkannya selain untuk memenuhi kebutuhan biologis sesaat, serta demi tercapainya kepuasan temporal, tanpa memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan, termasuk penolakan

syari‘at terhadap praktek tersebut. 2

Dalam kesempatan lain, ‘Abduh ditanya tentang praktek poligami yang dilakukan umat Islam pada era awal Islam. Ia mengatakan:

Praktek poligami pada era awal Islam, memang mempunyai banyak manfaat. Yang terpenting adalah menjalin keturunan dan kekeluargaan, yang dengan begitu akan menguatkan pertalian darah, yang tidak membahayakan seperti pada praktek poligami zaman sekarang ini. Agama ini telah menghujam dalam benak para wanita dan kaum pria, sehingga bahaya yang mengancam tidak sampai menemukan bentuknya. Sekarang justru ancaman tersebut berkembang dari sumber ancaman hingga ke anak dan seluruh keluarganya. Ia justru menguatkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, menguatkan permusuhan anaknya dengan saudara-saudaranya, menguatkan kezhaliman

suami atas hak-hak anaknya terhadap hak-hak yang lain 3 .

‘Abduh mengutuk realitas poligami setelah abad XIX M. karena telah menyimpang. Poligami telah dipraktekkan oleh generasi terdahulu kemudian berkembang menjadi praktek penyimpangan nafsu kaum lelaki tanpa rasa keadilan dan persamaan terhadap kaum perempuan. Tegasnya, poligami tidak lagi kondusif

bagi kesejahteraan masyarakat sekarang ini. 4

2 ‘Abd. al-Majîd ‘Abd. al-Salâm al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-'Asr al-Rahin, (Alih bahasa oleh Drs. Moh. Maghfur Wachid dengan judul Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an

Kontemporer ), (Bangil - Jawa Timur: AL-IZZAH, 1997), Cet. I, h. 190. 3 Al-Muhtasib, Ittijâhât…, h. 191.

4 Muhammad ‘Imârah, al-Mar’ah fî Ra‘y al-Imâm Muhammad ‘Abduh, (Cairo: tp., t.th.), h. 117-118.

Pandangan 'Abduh ini didukung oleh ulama-ulama Mesir, khususnya dari kalangan ulama bermadzhab Hanafiyah di Mesir, karena dinilai terlalu longgar dalam mensyaratkan pembolehan poligami bagi mayarakat Islam Mesir sehingga perlu kembali meninjau ulang pendapat-pendapat mereka dan menyesuaikannya dengan kondisi kekinian. Alasan penolakan ‘Abduh berpegang kepada kaidah ushul fiqih yang berbunyi:

Artinya: Menghindari bahaya lebih utama dari pada mengais kebaikan

‘Abduh berkesimpulan bahwa diharamkan poligami bagi para suami yang diragukan kapasitasnya untuk berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka. 5

Dari uraian di atas nampak bahwa pandangan ‘Abduh didasari oleh pertimbangan berbedanya zaman dan kepentingan serta kompleksitas masyarakat sekarang yang sangat jauh dengan kondisi saat dibolehkannya praktek poligami dalam Islam. ‘Abduh menyatakan bahwa poligami hanya dibolehkan pada era awal Islam karena poligami saat itu banyak mendatangkan manfaat, dapat menjalin pertalian darah, kekeluargaan dan tidak memiliki bahaya seperti sekarang ini. Bahaya yang dimaksud ‘Abduh di sini adalah poligami telah diartikan sebagai pelegalan untuk memuaskan kebutuhan biologis bagi laki-laki, lebih khusus poligami hanya memunculkan perkara baru antara sesama keluarga.

5 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Jilid IV, h. 350.

Pendapat ‘Abduh menarik untuk disoal, Apakah hukum Islam hanya layak pada masa tertentu, dan tidak berlaku pada masa yang lain? Atau, Apakah penolakan poligami bagi ‘Abduh didasari oleh dari kekecewaan, kebodohan, dan kebobrokan moral masyarakat Mesir saat itu?

2. Waris

Tema sentral yang sering dijadikan ruang untuk menghujat Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan adalah masalah waris. Masalah ini acapkali diekspos Barat dan para pemujanya dalam perdebatan seputar kesetaraan gender. Dasar perdebatan ini adalah ayat farâid (hukum perkara pusaka) Q.S. al-Nisâ' [4]: 11

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam menafsirkan ayat waris ini, ‘Abduh lebih condong kepada pendapat al- Râzi dalam memaknai al-Îshâ (wasiat) kepada makna al-Îshâl (menyampaikan) atau pendapat al-Zujjâj sebagai suatu kewajiban ketimbang pendapat yang mengartikannya dengan wasiat. Secara keseluruhan, ayat ini bermakna, “ Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan pemenuhan hak-hak anak-anak (sama mereka laki-laki atau perempuan) kamu sepeninggalmu” .

Menanggapi redaksi ayat yang dapat saja dinilai sebagai redaksi bias itu karena pembagian waris perempuan setengah lebih kecil dari bagian laki-laki. Bagi ‘Abduh, hal itu bukan tanpa alasan. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk hal itu:

a. Ketentuan al-Qur'an tentang warisan ini merupakan bantahan kepada masyarakat Jahiliyah sebelum Islam yang menolak pemberian waris kepada perempuan.

b. Allah Swt. membebankan hak nafkah perempuan kepada laki-laki (suami) mereka, sementara perolehan perempuan (isteri) dapat mereka nikmati sendiri.

Dengan demikian, terlalu salah untuk menyudutkan Islam lewat pandangan ketidakadilan pembagian warisan ini. 6

Muhammad ‘Al î al-Shâbûn î 7 dalam buku al-Mawârîts fî al-Syar î 'ah al- Islâmiyah fî Dhaû‘ al-Kitâb wa al-Sunnah mengemukakan beberapa alasan pelebihan bagian warisan laki-laki dari perempuan, seperti berikut:

a. Kebutuhan-kebutuhan perempuan dibebankan kepada anak laki-laki, ayah, suami atau selainnya.

b. Perempuan tidak dibebankan memberi nafkah kepada orang lain. Berbeda dengan laki-laki, mereka dibebankan memberi nafkah kepada keluarga dan kerabat dekat dan selainnya.

c. Besarnya bagian laki-laki disesuaikan dengan besar beban nafkah yang ditanggung dari kebutuhan perempuan.

d. Laki-laki dibebankan kewajiban mahar dalam perkawinan, termasuk harus menyiapkan rumah, makanan, serta pakaian untuk isteri dan anak-anaknya.

e. Laki-laki dibebankan biaya pendidikan anak dan obat-obatan untuk keluarga, yang bukan menjadi kewajiban bagi perempuan.

6 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 404-406. 7 Dosen mata kuliah Tafsir dan Farâid pada Fakultas Syariah dan Dirâsât Islamiyah di

Mekkah.

Besarnya bagian laki-laki dari perempuan dilihat sebagai hikmah pensyari‘atan Islam dalam pembagian warisan ini, sekaligus sebagai simbol keadilan,

rahmat, dan kasih sayang Allah Swt. 8 Ayat ini termasuk mempertegas bagian yang harus diperoleh perempuan,

termasuk anak-anak yang memiliki pertalian kerabat dekat kepada pewaris. Bagian mereka dapat dibagi menjadi dua bagian, seperti berikut:

Pertama, apabila anak perempuan berbagi bersama dengan anak laki-laki, maka:

a. Perempuan mendapatkan 1/2 dan laki-laki mendapatkan 1 (dua orang perempuan bersama satu orang laki-laki).

b. Perempuan mendapatkan 1/3 dan laki-laki mendapatkan 2/3 (satu perempuan bersama dua orang laki-laki).

c. Perempuan mendapatkan 1/2 dan laki-laki mendapatkan 1/2 (dua orang perempuan bersama beberapa laki-laki). Kedua , apabila anak-anak perempuan berbagi bersama dengan sesama mereka

sendiri tanpa disertai anak laki-laki, maka:

a. Perempuan mendapat 1/2 (anak tunggal).

b. Perempuan mendapat 1/3 (apabila bersaudara lebih dari dua orang).

c. Jika perempuan bersaudara sebanyak dua orang, ulama tidak satu pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa masing-masing dua anak perempuan itu

8 Muhammad 'Alî al-Shâbûni, al-Mawârîts fî al-Syarî'ah al-Islâmiyah fî Dhau' al-Kitâb wa al-Sunnah, (Mesir: Dâr al-Hadîts, t.th.), h. 18.

mendapatkan 1/2. Pendapat ini berpegang pada riwayat Ibn 'Abbâs bahwa keduanya mendapat nishfun wâhidah (setengah). Pendapat lain dari jumhur ulama menyebut bahwa keduanya mendapat 1/3 seperti bagian anak-anak perempuan yang banyak. Pendapat ini berpegang pada prinsip li al-dzakar mitslu hazzh al-untsayain bahwa bagian sepertiga bagi dua orang anak perempuan diambil dari sepertiganya dari setengah bagian dua orang anak

perempuan.

Kedua pendapat di atas sama-sama dikuatkan ‘Abduh. Ia berpendapat bahwa ayat ini sengaja meninggalkan hukum mereka tanpa memberi penegasan hukum untuk bagian dua orang anak perempuan bersaudara tanpa disertai saudara laki-laki. Menurut Ridha, pembagian mereka dapat dikelompokkan dalam pembagian anak

perempuan lebih dari dua orang, dengan merujuk kepada akhir surat ini. 10 Lewat ayat waris ini, ‘Abduh menolak kalau maksud pembagian yang tidak

berimbang ini dijadikan sebagai penyudutan Islam lewat pandangan ketidakadilan. Menurutnya, pelembagaan waris dalam Islam memberi pembelaan hak-hak dan perlindungan serta tanggungan nafkah kepada perempuan, seperti lazimnya perempuan sebelum datangnya Islam. Mereka hidup tanpa perlindungan dan jaminan nafkah bahkan keamanan karena hanya perempuan yang tidak mampu mengangkat

9 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 414-415. 10 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 415.

senjata dan maju ke medan perang, sementara hak pewarisan saat itu didasarkan pada keperkasaan.

3. Mahar

Islam meletakkan bangunan perkawinan atas dasar mahar atau maskawin. Ketentuan pemberian mahar ditetapkan atas persetujuan kedua pihak karena

pemberian itu harus dilakukan dengan cara ikhlas. Di antara ayat yang menegaskan bahwa mahar adalah milik perempuan dan bukan milik siapapun adalah Q.S. al-Nisâ' [4]: 4

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.

Ayat ini adalah perintah untuk memberi mahar dan sebagai ketentuan hukum pernikahan atas perempuan-perempuan yatim disebut pada ayat-ayat sebelumnya. Ulama berbeda pendapat tentang pergertian kata nihlah. Di antara mereka ada yang memaknainya sebagai keharusan yang diwajiban bagi laki-laki seperti dalam riwayat Qutâdah. Ibnu Jarîr memaknainya sebagai penyebutan kewajiban. Riwayat lain menyebutnya sebagai agama. Ibn Jarîr dalam riwayat Ibnu Abbâs menyebutnya sebagai mahar. Berbeda dengan ‘Abduh, kata nihlah baginya adalah pemberian yang

diberikan kepada perempuan dengan cara sukarela tanpa mengharap balasan. 11

11 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 375-376.

Kata shaduqât merupakan jâma‘ (plural) dari kata shadaqah dengan memberi tasydid pada huruf dâl-nya. Sebagian ulama qira'at membacanya dengan al-shadâq dengan memberi tambahan alif sebelum qâf yang berarti sesuatu persembahan yang diberikan kepada perempuan dengan cara sukarela sebelum melakukan hubungan badan. Pendapat ‘Abduh ini menanggapi penafsiran beberapa ulama fiqih yang menafsirkan kata al-shadâq dan al-mahr yang hanya memaknainya sebagai materi

dan bayaran bagi seorang laki-laki tanpa memisahkan kedua arti kata tersebut. Menurutnya, hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan lebih mulia dan terhormat dari sekedar hubungan seseorang dengan tetangganya. Atas dasar ini, kata nihlah (pemberian) muncul sebagai bentuk ekspresi kasih sayang dan kekerabatan yang wajib dan tak dapat ditawar-tawar atas laki-laki yang hendak menikahi perempuan seperti layaknya pada jual beli. Hal yang sering terjadi dalam masyarakat dimana laki-laki hanya semata-mata memberi mahar seperti layaknya hadiah biasa

tanpa disertai perasaan kasih sayang dan rasa kekerabatan. 12 Ridha menjelaskan ayat ini bahwa selain di-khithâb-kan kepada para suami,

juga lebih dikhususkan kepada para wali (karib dekat) semisal orang tua, paman, dan kerabat yang memiliki hak asuh atau pemeliharaan yang menikahkan anak yatim atau selainya agar tidak mengambil pemberian mahar tanpa seizin dan kerelaan mereka. Hal tersebut disinyalir dalam Q.S. al-Nis â ' [4]: 4

12 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 376.

Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Menurut Ridha, kerelaan pemberian perempuan kepada para wali ditandai oleh beberapa hal, di antaranya: pemberian itu tidak dilakukan dengan rasa kebencian, keterpaksaan, dan perangai buruk. Sebaliknya, para wali tidak boleh mengambil harta (mahar) mereka dengan cara mempermalukan dan dengan cara menipu. Menurut ‘Abduh, dalam pandangan sehari-hari dan secara kasat mata, terkadang ada orang berpenampilan shaleh dan senantiasa membasahi bibir dan lidahnya dengan apa yang mereka sebut dengan dzikir, namun mereka memakan harta (mahar) perempuan-perempuan mereka dengan cara-cara seperti disebutkan di atas dengan alasan para perempuan itu telah menyerahkan hartanya kepada kami secara sukarela. Itu adalah yang terlihat jelas, meskipun hanya Allah Swt. satu- satunya yang mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam hati-hati mereka. Lanjut ‘Abduh, kalau saja Allah Swt. memberi peringatan tegas kepada para suami agar berhati-hati jika ingin mengambil harta yang telah diberikan kepada isterinya yang akan mereka ceraikan, bagaimana halnya dengan harta perempuan-perempuan yang diberikan dengan alasan sosial, kekerabatan, dan kasih sayang? Tentu mereka harus berpikir beberpa kali sebelum mengambil dan memakannya. Seperti dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 20

Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta

13 dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

Perasaan kasih sayang harus disertakan dalam pemberian mahar kepada perempuan yang akan dinikahi, dan perempuan itu memiliki hak penuh dalam menggunkan harta (maharnya). ‘Abduh sengaja menegaskan hal ini karena masih rendahnya pemahaman agama orang tua di masanya dan perempuan ibarat hanya berpindah dari satu mulut buaya ke mulut buaya lainnya. Hal ini karena perempuan tidak pernah memiliki haknya, di samping rendahnya pendidikan perempuan Mesir saat itu.

4. Pakaian antara Laki-Laki dan Perempuan serta Perilaku Keduanya dalam Masyarakat

Pembahasan pakaian dalam al-Qur’an juga dikenal dengan dua istilah yaitu kata libâs dan tsiyâb. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an membedakan keduanya. Kata libâs digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir

13 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 377.

maupun bathin, sedangkan kata tsiyâb digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir saja. 14

Pakaian (libâs) selain digunakan sebagai penutup aurat, pakaian acapkali dimaksudkan sebagai kedekatan dan keakraban relasi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an mengunakan istilah ini dalam arti hubungan kedamaian, (seperti dalam pemaknaan Ibnu ‘Abbâs) dan kebutuhan biologis (seperti pemaknaan Zamakhsyari

yang dipilih oleh ‘Abduh). Hal tersebut sebagaimana Q.S. al-Baqarah [2]: 178

Artinya: Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun (suami-suami) adalah pakaian bagi mereka .

Pakaian (libâs) juga dapat berkonotasi sesuatu yang menutupi dan menyelimuti tubuh. Menurut ‘Abduh, gambaran malam dengan gelapnya adalah menyelimuti tubuh manusia atau menutupinya dari terik matahari. Allah menerangkannya dalam Q.S. al-N â zi‘ â t [79]: 3

14 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. VIII, h. 178.

15 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 176. 16 Muhammad ‘Abduh, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, Juz ‘Amma, (Cairo: Dâr al- Sya‘b, t.th.), h.

Jilbab (hijâb) adalah satu di antara bentuk pakaian untuk menutup dan menjaga aurat perempuan dari pandangan orang yang bukan muhrim. Ayat yang lebih khusus menunjuk masalah ini diterangkan dalam Q.S. al-Ahzâb [33]: 59 dan Q.S. al- Nûr [24]: 31

Artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

L ebih rinci dijelaskan dalam Q.S. al-Nûr [24]: 31

Artinya:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan

perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan

bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Q â sim Amîn, penulis buku Tahrîr al-Mar’ah, menolak pemakaian jilbab bagi perempuan Mesir karena dinilai bertentangan dengan cita-cita modernitas terutama terkait hak-hak ideal kaum perempuan. Kemunculan buku tersebut telah menjadi wacana perdebatan di antara para pemikir dan menuai banyak kritik.

Amîn memandang konsep hijab bertentangan dengan cita-cita modernitas tentang hak-hak ideal kaum perempuan. Jilbab merupakan pembatasan kaum perempuan yang terlembagakan, tercakup di dalamnya segregasi rumah tangga dan penutup wajah. Sekslusi domestik dan penutup wajah menjadi point utama dalam

serangan Amîn terhadap sistem sosial Mesir yang dianggap keliru pada zamannya. 17

17 Qâsim Amîn adalah seorang politikus, pengacara, jurnalis Mesir yang pro Barat, dan dididik di Prancis abad XIX. Ia sangat lantang berbicara dan berambisi membawa Mesir menuju

“peradaban” dan “modernitas”. Ia menyerang konsep hijâb sebagai penyebab kebodohan, takhyul, penyakit obesitas, anemia, dan ketuaan dini pada perempuan. Qâsim Amîn, Târîkh al-Mar’ah 1999 dalam "al-A'mâl al-Kâmil fî Qâsim ‘Amîn", Vol. II, (ed.) Muhammad ‘Imarah, (Beirut: Mu’ssasah Sahl al-‘Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nasyr, 1976), h. 20.

Menjelang akhir hayatnya, ia menyesali semua yang mengarah kepada kebebasan perempuan. Namun penyesalannya itu tidaklah berarti. Seruannya terlanjur telah menyebar karena didukung oleh kolonial Barat dan media cetak. Patut dicatat juga bahwa istrinya tidak pernah meninggalkan cadarnya,

Buku ini telah memicu kontroversi dalam pers Arab. Lebih tiga puluh buku dan artikel terbit yang menanggapinya. Buku itu banyak mendapat kecaman, sekalipun buku itu membuat senang sebagian pembacanya, terutama anggota-anggota administrasi Inggris dan faksi-faksi pro-Inggris. Bahkan surat kabar pro-Inggris al- Muqattam mengelu-elukan buku itu sebagai buku yang terbaik dalam beberapa

tahun. 18

Dalam buku karya Muhammad 'Imarah disebutkan bahwa 'Abduh menolak pemakaian jilbab bagi perempuan muslimah dengan memaparkan beberapa argumentasi. Namun demikian, kutipan tulisan 'Abduh dalam buku Tahrîr al-Mar’ah ini telah banyak mengundang kecurigaan banyak kalangan terutama penisbahan tulisan tersebut kepada ‘Abduh. Atau Qasim Amîn adalah penutur pandangan itu sendiri?

Ada tiga pendapat tentang keterlibatan ‘Abduh dalam penulisan buku ini, tetapi ketiga pendapat itu tidak dapat menentukan secara pasti penulis sebenarnya apakah ‘Abduh atau Amîn.

Uraian Muhammad Rajab al-Bayûmi dalam buku Tahrîr al-Mar’ah baîna Muhammad ‘Abduh wa Qâsim Amîn mengutip tiga pendapat yang mengukuhkan keterlibatan ‘Abduh dalam penulisan buku tersebut. Pertama, salah satu surat kabar

dan menentang seruan suaminya. Media pun membisu sehingga orang tidak mengetahui sikap terakhir Qâsim Amîn bersama istrinya. Muhammad 'Alî al-Bar, 'Amal al-Mar’ah fî al-Mîzân, (Alih Bahasa oleh Amir Hamzah Fachruddin dengan judul Wanita Karir dalam Timbangan Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), h. 96.

18 Leila Ahmed, Women and Gender in Islam, (United States of America: Yale University, 1788), h. 162.

harian Nadwah Adabiyah menyebutkan bahwa Ahmad Hasan al-B â qûr î dalam sebuah diskusi berpendapat bahwa ‘Abduh adalah penulis kitab Tahrîr al-Mar’ah. Namun hal itu disangkal oleh penulis lain bahwa al-B â qur î saat kejadian itu sedang sakit lumpuh. Kedua, kutipan salah satu surat kabar Sya‘ab edisi 29/5/1983 yang menurunkan tulisan bertemakan                            , (Qasim Amîn menolak pemakaian jilbab bagi perempuan kemudian menarik

ulang pernyataannya setelah Ratu Nâzil î ikut campur tangan) . Berita yang tersebar saat itu menyebut bahwa tiga tokoh reformis Timur-Tengah yaitu: ‘Abduh, Sa‘ad Zaghl û l, dan Muhammad Mawilh î . Ketiganya merekomendasikan surat pernyataan maaf Amîn kepada Raja Nâzil î . Ketiga, Majalah al-Azhar Shaut al-Azhar edisi 10/12/1999 menulis artikel dengan tema Tashwîb al-Akhtha‘ Haula Qâsim Amîn wa Kitâbuh Tahrîr al-Mar’ah” . Dalam artikel ini, ia menunjuk ‘Abduh telah mempengaruhi ide Amîn dalam punulisan buku ini. Menurutnya, Amîn hanya berperan dalam penyusunan dan pengeditan saja.

Terakhir, penulis mencoba mempertanyakan sikap ‘Abduh yang dinilai penakut untuk mempertanggungjawabkan tulisannya dan memilih berlindung di balik nama Amîn. Untuk lepas dari kritikan, ia rela menorehkan namanya atas karya yang

ditulis oleh orang lain. 19 Tidak ada keterangan yang pasti mengenai pendapat ‘Abduh tentang

penanggalan jilbab ini karena alasannya bertentangan dengan cita-cita modernitas

19 Muhammad Rajab Bayûmî, Tahrîr al-Mar’ah baina Muhammad ‘Abduh wa Qâsim Amîn: (Majalah al-Hilâl), (Cairo: Dâr al-Hilâl, 2000), h. 28-30.

tentang hak-hak ideal kaum perempuan. Q.S. al-Ahzâb [33]: 59 dan Q.S. al-Nûr [24]:

31 yang menjadi dalil perintah jilbab tidak sempat ditafsirkan oleh ‘Abduh karena keburu meninggal sebelum sempat menyelesaikan tafsir al-Manâr-nya. Sepeninggal ‘Abduh, tafsir yang sempat terhenti sampai pada Q.S. al-Nisâ' [4]: 125 ini diteruskan oleh muridnya, Ridha. Berpegang pada metodologi tafsir gurunya, Ridha meneruskan tafsirnya hingga akhir hayatnya. Akan tetapi, belum sempat ia menyelesaikan

tafsirnya, Ridha juga keburu meninggal sehingga ia hanya sempat manafsirkan hingga Q.S. Y û suf [12]: 52

5. Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga

Hikmah al-Qur’an tidak mengumpulkan beberapa ayat dalam satu susunan bahasan masalah seperti pernikahan, poligami, thalak, dan sebagainya dimaksudkan agar pembacaan dan perenungan pembacanya mendapatkan hidayah dan pengajaran, menambah iman dan ketakwaan kepada Allah Swt., memperoleh pengajaran lewat ciptaan, perenungan di balik perintah-perintah, dan menambah pengaguman dan cinta

kepada-Nya. 20 Al-Qur’an berbicara relasi laki-laki dengan perempuan, pertama-tama melalui

pengenalan tugas dan keistimewaan masing-masing, seperti dalam Q.S. al-Nisâ' [4]:

20 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 442-443.

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Aspirasi itu banyak ditemukan dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, di antaranya Q.S. al-Baqarah [2]: 228

Artinya: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.

Dalam penilaian ‘Abduh, ayat ini sebagai kata kunci kesetaraan antara laki- laki dan perempuan dalam segala hak dan kewajiban; laki-laki dan perempuan sama

dalam hal penciptaan, panca indera, perasaan, dan akal. 21 Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam urusan iman, amal shaleh, ibadah, dan mu‘âmalah.

Nabi dalam perjuangan dakwahnya bersama sahabat membai‘at perempuan bersama laki-laki dan memberikan hak yang sama dalam pendidikan. Al-Qur’an dan hadis

21 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu’âshir, (Cairo: Jam’iyah al-Khairîyah al-Islâmiyah, 1996), Cet. I, h. 182.

sama-sama menyebutkan pahala dan balasan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan baik di dunia maupun di akhirat. 22

Hal senada ditemukan dalam hadis bahwa seorang perempuan bernama Asmâ‘ binti ‘Amîs mencoba mempertanyakan hak mereka (kaum perempuan) kepada

Rasulullah Saw. untuk mendapatkan kebaikan seperti layaknya kaum laki-laki. 23

                         

                                                             

                          

                        ٢٤      

22 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 376. 23 Penolakan ‘Abduh terhadap beberapa hadis shahih, seperti Rasulullah terkena sihir orang

Yahudi, terasa pengaruhnya dalam Tafsîr al-Manâr ini -yang ditulis dan dilengkapi kemudian oleh muridnya Ridha. ‘Abduh kurang sekali menyebutkan hadis untuk mendukung pendapatnya. Hal tersebut dilakukan dengan alasan jangan sampai ketetapan Sunnah bertentangan dengan akal, sementara akal dan agama baginya tidak pernah bertentangan. Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Taûhid, (ed.) Muhammad Rasyîd Ridhâ, (Cairo: t.p., 1346 H), h. 223.

24 Abû al-Hasan ‘Alî Ahmad al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, (Cairo: Maktabah al-Mutanabbî, t.th.), h. 268.

Artinya: Saat Asmâ‘ binti ‘Amîs bersama suaminya Ja‘far bin Abî Thâlib berkunjung bersama ke rumah isteri-isteri Nabi Saw., sepulangnya mereka dari al- Habasyah, dia (Asmâ‘ binti ‘Amîs) bertanya: Apakah ada ayat yang turun untuk kita (para perempuan)? Mereka (para isteri Nabi Saw.) menjawab: Tidak ada. Asmâ‘ binti ‘Amîs kemudian datang menemui Nabi Saw. lalu bertanya: Wahai Rasulullah, kami para perempuan benar-benar dalam keadaan kecewa dan merugi. Nabi (dengan penasaran) menjawab: Kenapa bisa demikian? Dijawab: Karena para perempuan tidak disebut-sebut punya peluang melakukan kebaikan seperti halnya kaum laki-laki. Maka turunlah Q.S. al-Ahzâb [33]: 35 “ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka

ampunan dan pahala yang besar” . 25

Bagi 'Abduh, pembatasan hak perempuan dalam pendidikan agama, ibadah kepada Allah Swt., hak berkeluarga, berketurunan, dan hak menjalin silaturahim dengan keluarga dekat, serta menjadi bagian dari kelompok sosial umat adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama. Di tengah pesatnya perkembangan ilmu dan zaman, diperlukan penyesuaian-penyesuaian seperti layaknya tinjauan hukum terhadap beberapa hal yang setiap saat perlu disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakatnya. 26 Sementara redaksi ayat Q.S. al-Baqarah [2]: 228

25 Umaîmah Abû Bakr dan Syirîn Syukrî, al-Mar’ah wa al-Jindir, Ilghâ‘ al-Tamyîz al-Tsaqâfî wa al-Ijtimâi‘ baîna al-Jinsayn , (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), h. 15.

26 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 377.

Artinya: Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.

Konteks ayat ini, menurut ‘Abduh, menunjukkan bahwa jika terjadi selisih

paham untuk memutuskan sesuatu perkara, maka diambil pendapat laki-laki. Hal ini dibutuhkan apabila suatu instansi yang membawahi kepentingan orang banyak atau dalam lingkup keluarga. Alasan ‘Abduh memberi hak kepemimpinan laki-laki lebih besar dari perempuan karena laki-laki lebih tahu pertimbangan yang mendatangkan kebaikan dan lebih mampu memikul tugas dan tanggung jawab serta sudah menjadi

tanggung jawab laki-laki untuk melindungi perempuan. 27 ‘Abduh tidak menolak kepemimpinan perempuan atas laki-laki, bahkan

memberi peluang yang sama. Namun, dalam hal tertentu, seperti pemberian putusan perkara, ‘Abduh cenderung mendahulukan laki-laki. ‘Abduh mengingatkan bahwa kepemimpinan laki-laki yang kejam terhadap perempuan dan menobatkan dirinya sebagai penguasa dalam rumah tangganya hanya akan melahirkan hamba-hamba yang

hina. 28 Peng-kelas-an ini hanya dalam masalah kepemimpinan dan tanggung jawab

rumah tangga          . Namun demikian, hal itu harus dijalankan

27 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 182. 28 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 182.

dengan rasa tanggung jawab yang tinggi dan tidak menganiaya perempuan dan tetap memberi hak-hak yang sepatutnya diperoleh, seperti dalam sabda Nabi Saw.:

Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin… dan perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanyai atas apa yang

dipimpin. 29

Peng-kelas-an perempuan setingkat dengan laki-laki dalam hal meraih pahala merupakan sikap yang egaliter dari ‘Abduh sehingga kaum laki-laki dengan kekuatan

dan otoritasnya tidak boleh memperdayakan perempuan. Upaya untuk senantiasa lebih dekat kepada Allah dari pada perempuan merupakan bentuk pemikiran ‘Abduh

yang telah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dan nilai-nilai standar kehidupan Barat.

6. Hak Kerja dalam Pentas Politik dan Legislatif

Jika kembali mencermati al-Qur’an, akan ditemukan ayat-ayat yang secara gamblang menuturkan bagaimana Islam memberikan perlindungan kepada

perempuan, seperti pemberian hak waris, dan hak kerja baik dalam pentas politik atau legislatif.

29 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 381.

Kalau pencarian nafkah dan kehidupan dalam Islam dapat ditempuh melalui hak waris dan cara kerja, maka Islam juga memberi peluang yang sama dalam kesempatan kerja tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disinggung dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 32

Artinya: Bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan

bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan 30 .

Pembagian tugas laki-laki dan perempuan pada ayat ini, menurut ‘Abduh, tidak dimaksudkan untuk menimbulkan saling cemburu, melainkan sebagai tanggung jawab sesuai kodrat masing-masing. Laki-laki ditakdirkan dengan pekerjaan kasar dan berat, sementara perempuan dengan kodratnya ditakdirkan bekerja dalam rumah, dan masing-masing berusaha bekerja dengan penuh keikhlasan. Redaksi   dalam

ayat ini, tidak tepat diartikan sebagai ganjaran    karena tidak semua jenis pekerjaan selamanya harus dinilai materi, namun sebaiknya pekerjaan itu seharusnya

dinilai dari keikhlasan pekerjanya. 31 Dalam sejarahnya, perempuan pernah memegang tampuk kepemimpinan dan

penentu kebijakan politik dan legislatif, bahkan perempuan sempat disebut dalam al- Qur’an sebagai pemimpin yang sukses dan berpengaruh di masanya. Dia adalah Ratu

30 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 180. 31 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 48.

Balqis pemimpin Kerajaan Sabâiyah yang diabadikan dalam al-Qur’an sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Naml [27]: 23

Artinya: Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

7. Pernikahan

Ada dua kata yang sering digunakan dalam al-Qur’an dalam menjelaskan perihal pernikahan, yaitu nikâh dan zawwaja. Kata pertama dengan segala derivasinya terulang sebanyak 23 kali dalam al-Qur’an. Sementara kata kedua dengan

segala derivasinya terulang sebanyak 80 kali. 32 Kata nikâh pada awalnya diartikan “menghimpun”, sedangkan kata zawwaja

terambil dari kata zaûj yang berarti “berpasangan”. Kedua kata ini memiliki cakupan makna yang tinggi dan mendalam serta memiliki implikasi hukum. Dalam Q.S. al- Nabâ’ [38]: 8

Artinya:

Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan

32 Hamka Hasan, Temukan 10 Pintu Menuju Surga Pernikahan, (Jakarta: LeKAS, 2006), Cet. I, h. 3.

‘Abduh menafsirkan kata azwâj sebagai pasangan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya dicipta untuk saling menyempurnakan sifat kemanusiaan, saling bekerjasama demi meraih kebahagiaan hidup. Di samping itu, keduanya dimaksudkan agar dapat menurunkan keturunan kemudian bersama-sama

memberikan pendidikan yang baik kepada anak mereka kelak. 33

Menurut ‘Abduh, pernikahan adalah istilah yang sering dipakai orang untuk

menggambarkan perasaan cinta kepada lawan jenisnya sesuai fitrah manusia, sebagai perekat kasih sayang suami kepada isteri, menyatukan perasaan dan kepentingan bersama sehingga keduanya menjadi bagian penting dari yang lain.

Dalam ayat lain, penikahan adalah sebuah hubungan yang mempunyai talian akar yang dalam dan kuat antara suami dan istri, seperti dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 21

Artinya: Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang

kuat.

Manurut ‘Abduh, perjanjian yang kuat yang diambil perempuan dari laki-laki pada ayat ini, dijelaskan pada Q.S. al-Rûm [30]: 21

33 Muhammad ‘Abduh, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, Juz ‘Amma, h. 5.

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Menurut ‘Abduh, pernikahan harus didasari oleh rasa cinta dan ridha, tidak boleh ada unsur keterpaksaan dari salah satu pihak. Bagi perempuan, penting baginya memastikan ikatan perjanjian dengan calon suaminya telah kuat sehingga nantinya tidak salah dalam menjatuhkan pilihan. Hal ini ditunjukkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 232

          Artinya:

Janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.

Lanjut ‘Abduh, pernyataan kerelaan bagi perempuan merupakan penentu kesempurnaan sebuah perkawinan. 34

34 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 183.

Beberapa hadis Rasulullah Saw. menerangkan tata cara relasi suami isteri yang baik dalam keluarga. Hadis berikut tentang pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga:

Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, dan perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan akan dimintai tanggung jawab atas apa yang ia pimpin.

Nabi berpesan kepada para suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik seperti pada hadis berikut:

Artinya: Saya berpesan (kepada para suami) hendaklah memperlakukan istrinya dengan cara yang baik.

Artinya: Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik (pelayanannya) kepada keluarganya (istrinya), dan saya adalah yang terbaik (pelayanan) di antara kalian kepada keluargaku.

Seperti Nabi berpesan kepada para suami, beliau juga berpesan kepada para isteri:

Artinya: Perempuan (isteri) siapa saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha atasnya (kematiannya), maka akan dimasukkan ke dalam surga.

Artinya: Seandainya saja saya (Rasulullah) diperbolehkan memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka aku akan perintahkan perempuan (istri) untuk bersujud kepada suaminya. 35

Dari keterangan-keterangan di atas ditemukan bahwa pernikahan adalah sebuah institusi yang sengaja diciptakan Tuhan kepada laki-laki dan perempuan untuk saling menyempurnakan fitrah kemanusiaan mereka dan saling memberikan bantuan satu sama lain. Sementara itu, pemaksaan penikahan karena keinginan sepihak masih sering dijumpai dalam masyarakat, padahal pemaksaan seperti ini bertentangan dengan maksud luhur syari‘at untuk berumah tangga dan akan sulit melahirkan keharmonisan keluarga sebagai pendidikan awal bagi anak-anak.

8. Talak

Secara harfiah, thalak sering berkonotasi dukungan dan legitimasi terhadap kaum laki-laki sebagai the superior class, sedangkan kaum perempuan sebagai inferior class, bisa saja menceraikan isterinya atau tetap membiarkannya tinggal di

35 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 183.

rumah, sementara isteri hanya bisa bersabar dan menerimanya. Sekilas, pandangan ini logis tetapi tidak argumentative dan lahir dari pemahaman yang parsial terhadap konsep thalak dalam Islam.

Al-Qur’an berbicara tentang thalak dalam beberapa ayat, seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 228-232. Namun, penulis membatasi uraian ini hanya dalam ayat 228 yang dinilai mengurai pendapat-pendapat ‘Abduh dalam menjawab penilaian di atas.

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami- suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam pandangan ‘Abduh, yang dimaksud dengan perempuan-perempuan ter-thalaq      ialah mereka yang telah melangsungkan hubungan pernikahan dan sedang dalam masa-masa putusan thalak, serta berencana menikah dengan laki-laki lain setelah jatuhnya thalak.

Sementara    adalah saat penantian perempuan yang ditalak hingga tiga kali quru‘. Dalam pengertian bahasa, quru‘ dapat diartikan dengan haidh perempuan Sementara    adalah saat penantian perempuan yang ditalak hingga tiga kali quru‘. Dalam pengertian bahasa, quru‘ dapat diartikan dengan haidh perempuan

pendapat mereka juga didukung oleh argumentasi kebahasaan. Pengikut-pengikut Imam Malik, Syafi‘i dan ulama Syi‘ah berpandangan bahwa quru‘ bermakna masa bersih, sementara pihak lain mengartikannya sebagai haidh. Adalah pengikut Imam

Hanafi dan Imam Hanbal yang berpegang pada pendapat terakhir. 36

Dari ayat ini terlihat sikap ‘Abduh tentang thalak. ‘Abduh memperjuangkan konsep ishlâh (perdamaian) dan kepentingan bersama dalam menjaga keutuhan keluarga ketimbang jalan pemutusan hubungan pernikahan lewat thalak.

Di antara hikmah Allah Swt. menetapkan masa tarabbush yaitu masa penantian (‘iddah), menurut ‘Abduh, adalah membuka peluang kedua pasangan untuk mengintrospeksi diri dan membuka diri untuk dapat berbaikan lagi dengan pertimbangan pengasuhan anak. Dengan menyadari kekurangan masing-masing,

36 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 370-371.

khususnya kepada suami setelah hilangnya rasa kesal dan amarah yang berganti dengan niat perbaikan diri disertai dengan penyesalan yang mendalam, maka akan terasa kasih sayang Allah Swt. atas hamba-Nya bahwa suami lebih berhak untuk kembali merujuk isterinya dan memetik hikmah dari kesalahan dan kekurangan

masing-masing. 37 Realisasi konsep ishlah dapat dilihat saat ‘Abduh dilantik menjadi mufti di

Mesir tahun 1899. Ada beberapa hal yang perlu dicatat terkait dengan kebijakannya dalam hal keluarga. ‘Abduh memperjuangkan konsep rekonstruksi (ishlâh), sebuah konsep yang bertujuan memperjuangkan nasib kaum wanita sebagai basis utama keharmonisan keluarga yang kemudian menjadi ciri perjuangan dan revolusi selanjutnya. Sebagai realisasinya, ‘Abduh menitikberatkan ishlâh-nya pada tiga hal pokok, yaitu: (a) peningkatan tarap pendidikan kaum wanita; (b) thalak; (c) dan poligami.

Dalam pandangan ‘Abduh, sebab kemunduran wanita Mesir adalah akibat lemahnya pendidikan dan mengakarnya tradisi pemahaman agama yang sempit. Saat ‘Abduh menjabat sebagai hakim sipil, ia berhasil mengamandemen kewenangan hakim menjatuhkan thalak bagi isteri dalam tiga perkara, yaitu: Pertama, isteri yang ditinggal pergi oleh suami tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum syari'at; Kedua, isteri yang mengalami tindak kekerasan rumah tangga; Ketiga, konflik keluarga yang berkepanjangan yang tak kunjung selesai. Sementara dalam hal poligami, ‘Abduh

37 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 374.

memfatwakan haramnya poligami kecuali dalam kondisi darurat. Pembolehan poligami hanya bagi isteri mereka yang tersandung masalah biologis seperti tidak

dapat melahirkan anak. 38

38 Muhammad ‘Imârah, al-A‘mâl al-Kâmil..., h. 174.

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6