Metodologi Penafsiran dan Pemikiran Rasionalis Muhammad ‘Abduh (Tafsîr Al-Manâr)

2. Metodologi Penafsiran dan Pemikiran Rasionalis Muhammad ‘Abduh (Tafsîr Al-Manâr)

Menurut ‘Abduh, tafsir adalah metode pendekatan yang digunakan untuk pencapaian maksud, bukan sebagai tujuan akhir. Tafsir harus dapat menjadi media dakwah perbaikan sosial dan pemurnian agama dari bid‘ah dan keragu-keraguan serta khurafat sehingga al-Qur’an dapat dipahami secara utuh sebagai petunjuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat. Tampilan metodologi penafsiran ‘Abduh lebih bercorak dakwah ketimbang aturan-aturan dan metode yang lebih umum seperti yang telah menjadi karakteristik para ulama tafsir klasik. Hal ini disebabkan perhatian ‘Abduh kepada tujuan penafsiran al-Qur’an sebagai obat penawar permasalahan sosial masyarakat (‘ilâj lil-amrâdh al-ijtimâ‘iyyah) 16 dan menjelaskan tafsirnya

dengan cara yang sesederhana mungkin dengan memilih bahasa yang bisa dipahami oleh pendengarnya dengan menyesuaikan tingkat ntelelektualitas jama'ahnya. 17

Rasionalitas pemikiran tafsir ‘Abduh dapat dilihat kepada kehati-hatian beliau dalam menetapkan Sunnah sebagai sumber hukum, yaitu yang tidak bertentangan dengan akal. Menurutnya, akal dan agama tidak pernah bertentangan, tetapi saling melengkapi. Konsekuensi dari paradigma ini tak ayal 'meninggalkan' hadis, sekalipun shahih, karena dinilai bertentangan dengan akal. Sebagai contoh, 'Abduh tidak memberlakukan hadis shahih tentang ketentuan al-Haûl dan al-Nishab sebagai syarat

15 Al-Muhtasib, Ittij â hât..,

h. 124.

16 Al-Dzahab î , al-Tafsîr..., h. 604. 17 Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 598.

wajib zakat, hadis tentang Nabi Saw. terkena sihir orang Yahudi. Hadis yang dipeganginya hanyalah yang mempunyai dalâlah (petunjuk) sesuai dengan dalâlah

al-Qur’an. 18 Dalam bukunya; Risâlah Taûhid, ‘Abduh menyebut bahwa orang harus

menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada al-Qur’an dan Sunnah mutawâtirah. Seseorang hanya boleh menerima hadis-hadis ahâd yang didengarnya dan yang

diyakini ke-shahih-annya. Menurut Husaîn al-Dzahabî dalam kitabnya al-Tafsîr wa al-Mufassîrûn, penolakan ‘Abduh kepada hadis selain hadis mutawâtîr berimplikasi terhadap corak penulisan tafsirnya. Ia sedikit sekali menyebutkan hadis, baik dalam memperkuat suatu pendapat atau tidak karena pada masanya penulisan tafsir sudah terpisah dari

penulisan hadis. 20 Tafsir monumental ‘Abduh dapat dilihat pada Tafsîr al-Manâr Juz 'Amma-nya

yang dicetak khusus oleh al-Jam‘iyyah al-Khairiyah al-Islâmiyyah di Beirut yang selanjutnya menjadi hafalan wajib bagi siswa sekolah perkumpulan ini dengan tujuan membentuk kepribadian anak yang bermoral di kemudian hari. Cetakan buku ini selesai pada tahun 1321 H. yang diperuntukkan bagi murid-murid sekolah

perkumpulan ini sekaligus sebagai buku daras utama bagi ‘Abduh dalam mengajar. 21

18 ‘Abd al-‘ Â thî Muhammad Husaîn, al-Islâm wa Hadhârah al-Gharbiyah, (Beirût: Dâr al- Irsyâd, 1973), h. 118. 19 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Taûhid, dalam Muhammad Râsyid Ridha (ed.), (Cairo: tp., 1346 ), h. 223. 20 Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 315.

21 Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 593.

‘Abduh memulai tafsirnya sejak awal bulan Muharram tahun 1317 H. sampai pertengahan Muharram 1323 H., tepatnya sampai pada Q.S. al-Nisâ [3]: 126     

Artinya: Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu.

Tafsiran ‘Abduh langsung itu setara dengan lima juz al-Qur’an yang ia tulis

selama enam tahun. Tafsir itu diterbitkan dalam majalah al-Manâr sejak awal Muharram tahun 1318 H., tepatnya sejak edisi ketiga terbitan surat kabar al-Manâr.

Setelah ‘Abduh meninggal, Rasyid Ridha 22 (selanjutnya disebut Ridha) mulai mengerjakan tafsirnya sendiri dengan mengacu pada apa yang telah digariskan

‘Abduh secara umum, yaitu menghindari mitos dan unsur-unsur isrâ‘îliyât, 23 hadis- hadis maûdhu‘I, 24 uraian tata bahasa ayat, serta kontroversi ulama-ulama kalam dan

22 Muhammad Rasyid Ridha pertama kali berhubungan dengan ‘Abduh karena kekagumannya terhadap tulisan-tulisan al-Afghâni dan ‘Abduh yang termuat dilansir dalam surat kabar al-‘Urwah al-

Wûtsqâ. Keinginan bergabung dengan mereka pun tercapai pada tahun 1315 H. Selanjutnya, Ridha mengusulkan kepada ‘Abduh untuk membukukan tulisan-tulisan tafsirnya dalam setiap terbitan surat kabar al-‘Urwah al-Wûtsqâ ke dalam sebuah buku. Tak lama kemudian, al-Afghân î dan ‘Abduh akhirnya menyetujui usulan tersebut. ‘Abduh membuka pengajian tafsir di Mesjid al-Azhar sehingga tak satu kata pun yang tertuturkan olehnya kecuali disalin oleh Ridha. Hasil itu kemudian diterbitkan dalam surat kabar al-Manâr. Lihat: al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 618.

23 Isrâ‘iliyât adalah berita atau mitos orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam kitab Taurat dan Injil yang terintrodusir ke dalam penafsiran al-Qur’an melalui sebagian penafsir. Isrâ‘iliyât tersebut

terkait dengan masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara parsial dalam al-Qur’an namun dijelaskan dalam kitab mereka. Mann â ‘ al-Qatthân: Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ â n, (Saudi Arabia: Mansy û rât al- ‘Ashr al-Hadîts, t.th.), h. 354. Menurut Muhammad Husaîn al-Dzahab î , penamaan isrâilliyyât ini terambil dari nama bangsa Yahudi sebagai bangsa yang mayoritas dari bangsa Nashrani. Selain itu, berita atau mitos lebih banyak bersumber dari orang-orang Yahudi. Bukan hanya itu, mereka lebih dahulu melakukan interaksi dengan kaum Muslimin pada awal mula Islam di samping jumlah mereka saat itu lebih banyak ketimbang penduduk Kristen. Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 176.

24 Hadits Maudh û ‘i adalah riwayat yang mengada-ada yang sengaja dilakukan oleh sebagian periwayat pendusta yang menisbahkannya kepada Rasulullah Saw. Hadis dalam bentuk seperti ini 24 Hadits Maudh û ‘i adalah riwayat yang mengada-ada yang sengaja dilakukan oleh sebagian periwayat pendusta yang menisbahkannya kepada Rasulullah Saw. Hadis dalam bentuk seperti ini

kontroversi riwayat-riwayat dan hitung-hitungan ilmu kalam. 25 ‘Abduh sangat rasional dalam melihat cerita-cerita mitos bahkan tidak jarang

memberi komentar bantahan terhadap sebagian penafsir karena memuat cerita-cerita mitos dalam tafsirnya, seperti pada Q.S. al-Hâjj [22]: 52-54

Artinya: Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,

Agar dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat,

Dan agar orang-orang yang Telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati

merupakan riwayat yang paling buruk dan berbahaya. 'Umar H â syim, Mabâhits fî al-Had î ts al-Syarîf, (Cairo: Maktabah al-Syurûq, 2000), Cet. I, h. 22.

25 Al-Bann â , Tafsîr al-Qur' â n,

h. 126.

mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.

Termasuk mengingkari cerita-cerita al-Gharânîq (cerita pemuda tampan) dalam Q.S. al-Ahzâb [33]: 37 yang mengisahkan tentang Zaîd dan Zaînab:

Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah

limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Dalam penilaian Ridha, saat bertemu dengan ayat-ayat seperti di atas, gurunya lebih melihat kepada jalur pikiran salaf. Namun di saat bertemu dengan ayat- Dalam penilaian Ridha, saat bertemu dengan ayat-ayat seperti di atas, gurunya lebih melihat kepada jalur pikiran salaf. Namun di saat bertemu dengan ayat-

Menurut Ridha, metode penulisan tafsir ‘Abduh mengacu kepada tiga ciri, yaitu: pertama, memberi tambahan keterangan terhadap ayat yang berkonotasi kurang jelas atau membubuhi penjelasan terhadap keterangan yang sengaja diringkas oleh penafsir-penafsir sebelumnya; kedua, menghindari terjebak pada penjelasan kaedah-

kaedah kebahasaan seperti nahwu, sharaf, dan balaghah, tetapi hanya memberi

penjelasan seperlunya saja; 28 ketiga, tidak tekstual dalam memahami konteks ayat. Akan tetapi, Ridha tidaklah serasional dan sebebas ‘Abduh dalam berpikir. Hal

tersebut dikarenakan Ridha lebih banyak dipengaruhi pemikiran salafiah. Namun demikian, ia tetap mengangkat beberapa persoalan penting yang menjadi konsep utama al-Qur’an seperti fleksibilitas al-Qur’an dan hukum-hukumnya, serta dapat berinteraksi dengan kondisi dan perkembangan kontemporer. Di samping itu, Ridha berhasil menonjolkan prinsip-prinsip sosial yang menentukan masyarakat. Titik perhatiannya terpusat pada usaha perlawanan terhadap kediktatoran sambil

menekankan pada prinsip syûrâ. 29

26 Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 597.

27 Lihat: Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 599. Sudah menjadi kebiasaan ‘Abduh bahwa setiap kali akan menyampaikan halaqah tafsirnya, ia tidak merujuk kepada buku-buku tafsir pendahulunya agar

tidak terpengaruh oleh pemahaman tokoh tertentu dalam tafsir tersebut. Namun saat ‘Abduh menemukan kalimat yang asing baginya, ia merujuk kepada beberapa tafsir sebelumnya sekedar melihat cara pemahaman penafsir itu. Berikut petikan komentar ‘Abduh:

28 Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, h. 598. 29 Al-Bann â , Tafsîr al-Qur’an ..., h. 127.

Bagi ulama-ulama penafsir klasik, tafsir menjadi tujuan pencapaian yang diinginkan saat menafsirkan al-Qur’an. Tafsir-tafsir mereka dicirikan dengan masuknya beragam disiplin ilmu pengetahuan pada abad ini yaitu abad kedua dan ketiga. Para mufassir saat ini lebih terkonsentarai kepada tafsir-tafsir keilmuan, ahli fiqih lebih tertarik kepada tafsir ayat-ayat hukum, ahli tata bahasa (nahwu) lebih terkonsentarasi kepada bentuk-bentuk bacaan yang shahih dan dhaif, sementara

ulama-ulama kâlam lebih banyak menulis ayat-ayat kâlam, dan sebagainya. Corak penafsirkan yang digunakan penafsir-penafsir klasik ini, menurut ‘Abduh, telah melenceng dari tujuan al-Qur’an dan telah terjerumus ke dalam bingkai aliran tertentu sehingga tanpa disadari menghilangkan pesan penting yang dimaksud oleh ayat al- Qur’an.

Lebih lanjut, ‘Abduh menilai penafsiran klasik ini lebih disebabkan pengaruh kelompok-kelompok penafsir al-ma'tsûr 30 yang lebih mengedepankan penggalian arti

ayat ketimbang kemungkinan arti di luar teks. Sementara ulama mufassir bi al-ra‘yi 31 lebih menyoroti perlunya ijtihad dan penggunaan kapasitas akal dalam memaknai

ayat dengan bertopang pada pengetahuan-pengetahuan Islam yang berkembang. Di suatu sisi, corak penafsiran ‘Abduh lebih mengarah pada usaha menangkis serangan- serangan orientalis yang melemahkan kekuatan umat Islam lewat peragu-raguan

30 Tafsîr bi al-Ma‘tsûr adalah keterangan atau penjelasan suatu ayat apakah melalui ayat dengan ayat lain, ataukah lewat keterangan riwayat yang sama dari Nabi, sahabat, atau tâbi‘in yang

menerangkan tentang maksud ayat-ayat al-Qur'an. Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, Jilid I, h. 163. 31 Tafsir bi al-Ra‘yi adalah pemahaman ayat yang bertumpu pada kekuatan akal dan hasil ijtihad seorang penafsir atau orang lain dengan dukungan ilmu-ilmu seperti bahasa, ‘ulum al-Qur’an, fiqh, dan sebagainya. Al-Dzahab î , al-Tafsîr…, Jilid I, h. 157.

pemahaman hukum dalam al-Qur'an. Jamak dimaklumi bahwa kemunduran pemikiran umat Islam diakibatkan oleh kedangkalan ilmu mereka terhadap pemahaman Islam. Sebagai reaksinya, ‘Abduh mengajak kembali kepada pemahaman ayat yang benar sebagai simbol penolakannya terhadap sistem kapitalis yang berlaku

di Mesir dan beberapa negara Islam lainnya. 32 Bagi ‘Abduh, corak tafsir dapat diklasifikasi lewat dua bentuk, sebagai

berikut: Pertama, tafsir ‘ilmîah (keilmuan), yaitu corak tafsir yang hanya mengupas tentang arti lafazh, perubahan bacaan, dan uraian-uraian keilmiahan. Corak tafsir ini, menurutnya, tidak layak disebut sebagai karya tafsir karena kering akan pesan arti utama al-Qur’an.

Kedua, tafsir ta‘l î qî (kritik), yaitu tafsir yang menonjolkan kredibilitas kritik penafsir dalam memahami ayat. Penafsir mengutarakan sejumlah argumentasi, memikat hati pembaca, serta memberi motivasi untuk beramal, petunjuk, serta nasihat yang dibingkai secara atraktif. Bentuk tafsir ini bertujuan untuk menawarkan analisis

terhadap ayat al-Qur'an. 33 Dari uraian di atas disimpulkan bahwa bentuk penafsiran da‘wah harakî serta

fungsi penalaran akal dalam memahami maksud al-Qur’an sebagai petunjuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan pilihan metode tafsir yang baik menurut

32 Al-Muhtasib, Ittijahât al-Tafsir..., h. 125.

33 Al-Muhtasib, Ijtij â h â t al-Tafsîr...,

h. 124-125.

‘Abduh karena metode ini senantiasa fleksibel untuk setiap masa dan menerima perubahan.

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6