Kajian Ayat Gender

c. Kajian Ayat Gender

Dalam kajian ayat-ayat gender ini, penulis membandingkan pemikiran tafsir antara ‘Abduh dan Syahrur dengan melihat sisi persamaan dan perbedaan keduannya, termasuk sebab-sebab yang membedakan atau yang mereka perselisihkan. Tentunya, ini tak lepas dari tinjauan kelayakan metodologi mereka dalam memahami ayat-ayat yang sering dinilai bias gender. Masalah-maslah yang diperbandingkan di sini ada delapan masalah. Kedelapan masalah ini adalah poligami, waris, mahar, pakaian antara laki-laki dan perempuan dan perilaku keduanya dalam masyarakat, interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, hak kerja dalam pentas politik dan legislatif, pernikahan, dan thalak.

94 Al-Dzahabî, al-Tafsîr…, Jilid I, h. 533.

1. Poligami Adil adalah keseimbangan dua sisi (al-musâwâh). Dalam hal tertentu, keadilan terkadang diukur lewat penglihatan seperti putusan hukum namun juga terkadang lewat perasaan seperti berat timbangan, jumlah bilangan, dan selainnya.

al-Qur’an menerangkan tentang ketentuan balasan yang serupa, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 194

Artinya: Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.

Keadilan dalam putusan hukum akan berbeda dengan tuntuan keadilan dalam poligami. Tuntutan keadilan dalam poligami adalah kemampuan suami membagi hak nafkah kepada isteri secara merata dan seimbang, bukan dalam hal perasaan kasih sayang dan cinta karena sifat manusia tidak akan pernah mampu berlaku adil dalam soal perasaan, seperti yang dinyatakan dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 129

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. 95

95 Al-Râghib al-Ashfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1999), Cet. II, h. 329.

Dalam persoalan keadilan inilah pandangan ‘Abduh dan Syahrur sedikit berbeda. Perbedaan keduanya terletak pada pemaknaan keadilan. Keadilan bagi

‘Abduh adalah sesuatu yang mutlak dan tidak dapat dihermeneutikkan 96 dengan arti lain. Perpecahan keluarga yang berpoligami banyak diakibatkan oleh suami yang

tidak mampu memberi perlakuan adil secara materi sehingga memicu permusuhan antara anggota keluarga, sementara dari segi keadilan biologis sudah tentu akan

berlainan antara satu isteri dengan isteri yang lain. Dasar konsep al-dharâr wa al- dhirâr (bahaya dan membahayakan) menjadi ilham penolakan ‘Abduh terhadap poligami karena telah bertolak belakang dengan maksud utama diturunkannya al-

Qur’an sebagai mashlahah li al-n 97 s (kepentingan perbaikan umat). Sementara dalam pandangan Syahrur, kata ‘âdil yang dimaksudkan dalam ayat

poligami ini adalah perlakuan adil suami (orang tua) kepada anak-anaknya dalam dua pihak, yaitu anak-anak kandung sendiri dan anak-anak yatim dari perempuan- perempuan yang ditinggal mati oleh suami mereka. Pandangan Syahrur ini diambil dari hasil teori batas (hudûd) yang ia pahami dalam menafsirkan ayat poligami. Teori batas ini adalah: Pertama, teori batas kadar minimal maksimal (al-kam), bahwa laki-

96 Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah tafsîr, ta‘wîl, dan

bayân. Hal tersebut tidak mengherankan sebab istilah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang digunakan belakangan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an. Istilah tersebut diintrodusir secara definitif antara lain oleh Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoun, Abû Zayd, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan Farid Esack. Metodologi hermeneutika tersebut digunakan untuk menjelaskan metodologi penafsiran al-Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis. Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, h. 47.

97 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, h. 350.

laki dibolehkan berpoligami dengan menikahi satu perempuan sebagai batas minimal, atau menikahi mereka lebih dari satu hingga empat orang sebagai batas maksimal. Kedua, batasan al-Kayf, yaitu menikahi perempuan-perempuan yang ditinggal mati oleh suami mereka (arâmîl), dan bukan menikahi perempuan-perempuan perawan atau janda yang tertalak oleh suami mereka. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan kaidah syarth (syarat) dan jawâb syarth (jawaban syarat) yang

menitikberatkan kepada perintah berlaku adil kepada anak-anak yatim. Menurut Syahrur, kata wâhidah dalam ayat poligami ini dimaknai dua, bukan satu seperti yang umum dipahami. Artinya, anjuran berpoligami yang disyari‘atkan adalah menikahi perempuan yang ditinggal mati suaminya yang memiliki anak

sekurang-kurangnya satu. 98 Namun, ‘Abduh dan Syahrur sama-sama menolak praktek poligami yang

hanya memanfaatkannya sebagai ajang pelampiasan hawa nafsu dan penelantaran hak-hak wanita yang seharusnya dimiliki oleh wanita.

2. Waris Menurut ‘Abduh, pernilaian keadilan dalam waris tidak bisa dilihat secara kasatmata dalam pembagian ini dengan dua alasan, yaitu: pertama, laki-laki dituntut memberi mahar saat menikah dan tidak ada tuntuan bagi perempuan; kedua; setelah menikah, perempuan tidak dibebankan kewajiban hak nafkah kepada suami dan

98 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 432.

keluarganya, bahkan pendapatan isteri ia bisa gunakan sendiri. Akan tetapi, hak nafkah hanya dibebankan kepada laki-laki (suami). Tambah ‘Abduh, Islam mengangkat derajat perempuan lebih tinggi. Sebelum datangnya Islam, para perempuan tidak memiliki hak waris dari keluarganya karena penilaian waris saat itu dinilai dari keperkasaan dalam mengangkat senjata melawan musuh dalam medan

peperangan. 99

Sementara menurut Syahrur, prinsip-prinsip yang ditetapkan Tuhan untuk menegakkan keadilan dalam pembagian harta warisan adalah didasarkan atas prinsip keadilan (al-‘adl) dan kesetaraan atau persamaan (al-musâwâh) antara komunitas- komunitas sosial yang beragam. Maka dengan memperhatikan aturan-aturan (pembagian harta warisan) ini melalui perspektif individu, akan ditemukan bahwa aturan-aturan tersebut tidak menetapkan persamaan antara kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi wasiat menetapkan persamaan antara kelompok laki-laki dan

kelompok perempuan (majm 100 û 'ah al-dzuk û r wa majm û 'ah al-inâts). Kelompok yang dimaksud Syahrur di atas adalah seluruh pewarisnya yang

terdiri dari anak laki-laki tanpa perempuan atau perempuan tanpa laki-laki. Menurut Syahrur, karena kasus ini sangat sederhana, maka tidak butuh penjelasan teks al-

Qur’an. 101 Sementara menurut ‘Abduh, al-Qur’an sengaja meninggalkan pembagian mereka tanpa penegasan hukum apa-apa. Menurut Ridha, pembagian mereka dapat di

99 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 404-406. 100 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 336. 101 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 344.

kelompokkan dalam pembagian anak perempuan lebih dari dua orang dengan merujuk kepada akhir surah ini. 102

Hemat penulis, pembagian kedua kelompok di atas tidak dijelaskan dalam al- Qur’an. Syahrur memilih pendapat Ridha di atas bahwa masing-masing kelompok mendapatkan 1/3 sesuai jumlah anak yang ada berdasarkan pada redaksi ayat:

Artinya: Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.

Dari sini jelas bahwa tuduhan kepada Islam yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan sarat dengan pemahaman bias dalam konteks ayat dengan berkaca kepada pembagian waris di atas sepenuhnya tidak benar.

3. Pakaian antara Laki-Laki dan Perempuan Pembahasan pakaian di sini lebih diarahkan kepada perintah pemakaian jilbab. Jilbab merupakan salah satu di antara bentuk pakaian untuk menutup dan

menjaga aurat 103 perempuan dari pandangan orang asing (bukan muhrim).

102 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid IV, h. 415. 103 'Aurat secara bahasa adalah kekurangan. Adapun secara istilah berarti sesuatu yang wajib

ditutup dan diharamkan untuk dilihat. Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997), Jilid I, h. 738.

Jilbab merupakan kombinasi pembatasan kaum perempuan yang terlembagakan, tercakup di dalamnya segregasi sekslusi rumah tangga dan penutup wajah. Sekslusi domestik dan penutup wajah menjadi point utama dalam serangan Amîn terhadap sistem sosial Mesir yang dianggap keliru pada zamannya. Bahkan, Amîn melihat konsep hijab bertentangan dengan cita-cita modernitas tentang hak-hak

ideal kaum perempuan saat ini. 104

‘Abduh diklaim oleh berbagai kalangan seperti Muhammad ‘Imârah dan Muhammad Rajab al-Bayûmi sebagai penulis salah satu bagian bab buku Amîn, Tahrîr al-Mar’ah, yang diterbitkan di Mesir pada tahun 1899 yang berisikan penolakan pemakaian jilbab bagi perempuan muslimah. ‘Abduh pun menunjukkan

berbagai kerugian segregasi dan jilbab bagi kaum perempuan. 105 Dalam penilaian Muhammad Rajab al-Bayûmi dalam bukunya Tahrîr al-

Mar’ah baîna Muhammad ‘Abduh wa Qâsim Amîn mengutip tiga pendapat tentang keterlibatan ‘Abduh dalam penulisan buku ini yang salah satunya adalah seperti yang dikutip dari Majallah al-Azhar “Shaut al-Azhar” edisi 10/12/1999 yang menulis artikel dengan tema Tashwîb al-Akhtha‘ haula Qâsim Amîn wa Kitâbuh Tahrîr al- Mar’ah. Dalam artikel ini, menunjuk ‘Abduh telah mempengaruhi ide Amîn dalam punulisan buku ini. Secara khusus, Amîn hanya berperan dalam penyusunan dan

pengeditan saja. 106

104 Muhammad 'Alî al-Bar, 'Amal al-Mar’ah fî al-Mizân, h. 96. 105 Leila Ahmed, Women and Gender in Islam, h. 159. 106 Muhammad Rajab Bayûmî, Tahrîr al-Mar’ah baina Muhammad ‘Abduh wa Qâsim Amîn,

h. 28-30.

Hemat penulis, pendapat ini tidak kuat karena ‘Abduh terlebih dahulu meninggal sebelum sampai penafsiran ayat jilbab ini, karena Q.S. al-Ahzâb [33]: 59 dan Q.S. al-Nûr [24]: 31 sebagai rujukan perintah jilbab tidak sempat ditafsirkan oleh beliau lantaran keburu meninggal sebelum sempat menyelesaikan Tafsir al-Manâr- nya. Sepeninggal ‘Abduh, tafsir yang sempat terhenti sampai pada Q.S. al-Nisâ' [4]: 125 ini diteruskan oleh muridnya, Ridha. Berpegang kepada metodologi penulisan

tafsir gurunya, Ridha kemudian meneruskan tafsirnya hingga akhir hayatnya. Namun belum sempat ia menyelesaikan tafsirnya, Ridha juga keburu meninggal sehingga ia hanya menafsirkan hingga Q.S. Yusuf [12]: 52.

Berbeda dengan 'Abduh, Syahrur lebih tertarik mengkombinasikan ayat perintah jilbab ini dalam Q.S. al-Ahzâb [33]: 59 dengan Q.S. al-Nûr [24]: 31

Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.

Dari ayat di atas, Syahrur memahami tiga poin penting dari inti perintah jilbab ini, yaitu: pertama, perintah menahan pandangan; kedua, perintah menjaga kemaluan dari perbuatan zina; dan ketiga, perintah yang khusus ditujukan kepada perempuan, Dari ayat di atas, Syahrur memahami tiga poin penting dari inti perintah jilbab ini, yaitu: pertama, perintah menahan pandangan; kedua, perintah menjaga kemaluan dari perbuatan zina; dan ketiga, perintah yang khusus ditujukan kepada perempuan,

penciptaannya. Pendapat Amîn, yang belakangan diklaim sebagai pendapat ‘Abduh, sedikit telah dipengaruhi oleh budaya Barat sebagai bentuk praktek kemunduran umat. Adapun Syahrur menilai pemakaian jilbab sebagai bentuk praktek moralitas

masyarakat yang berpendidikan. 107 Meskipun demikian, pemakaian jilbab dan semacamnya tetap merupakan ajaran Islam yang perlu diindahkan. Setidaknya, jilbab

akan menjadi ajaran etika dan estetika. Dotrin Islam sebenarnya bukan pada jilbabnya, tetapi pada fungsi jilbab itu sendiri untuk menutup aurat, yaitu menutup

anggota badan tertentu yang dianggap rawan dan dapat menimbulkan fitnah. 108

4. Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga Konteks pemahaman qawwâmah laki-laki atas perempuan dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 34

Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 606. 108 Nasaruddin Umar, Teologi Gender: Antara Mitos dan Teks Kitab Suci, (Jakarta: Pustaka Cicero, 2003), Cet. I, h. 172.

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Dipahami oleh ‘Abduh bahwa qawwâmah merupakan pemberian tanggung

jawab dari Allah Swt. Untuk tujuan itu, laki-laki diberikan kelebihan-kelibihan seperti kekuasaan, kekuatan, dan harta, sesuai fitrah penciptaan laki-laki. ‘Abduh

tidak menolak kepemimpinan perempuan atas laki-laki, tetapi memberi peluang yang sama. Namun dalam hal tertentu, seperti memberikan putusan perkara, ‘Abduh

cenderung mengambil pendapat laki-laki. Namun perlu dicatat, kata ‘Abduh, kepemimpinan laki-laki yang zhâlim atas hak perempuan dan menobatkan dirinya

sebagai penguasa dalam rumah tangganya hanya akan melahirkan hamba-hamba yang hina.

Sementara laki-laki dan perempuan dalam soal iman, amal shaleh, ibadah, dan interaksi sosial masing-masing memiliki hak yang sama sehingga pembatasan untuk

hak mendapatkan pendidikan agama, ibadah, berkeluarga, berketurunan, dan kekerabatan keluarga dekat, serta menjadi bagian dari kelompok sosial umat, menurut ‘Abduh, adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama. 109

109 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 182.

Lain ‘Abduh, lain Syahrur. Dalam melihat relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, Syahrur menekankan pentingnya menjaga keharmonisan keluarga lewat dua point utama, yaitu: relasi kasih sayang dan relasi ekonomi serta sosial.

Dalam relasi kasih sayang diwujudkan dalam bentuk cinta dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bagi perempuan ibarat pakaian (libâs).

Demikian halnya perempuan bagi laki-laki adalah pakaian. Seperti dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 187

Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.

Sementara dalam relasi ekonomi dan sosial diwujudkan dalam bentuk pemenuhan suami kebutuhan ekonomi keluarganya, seperti dijumpai pada Q.S. al- Nisâ' [4]: 34

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka 110

5. Hak Kerja dalam Pentas Politik dan Legislatif Kemajuan zaman dan teknologi dewasa ini memposisikan perempuan satu tingkat sama dengan laki-laki dalam dunia kerja di semua sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, dan legislative, ditemukan pekerja perempuan. Secara syariat, Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja selama dalam rel-rel agama yang

benar. Hal ini disinggung dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 32

Artinya: Bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan

bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan .

Ada perbedaan antara ‘Abduh dan Syahrur dalam melihat peluang kerja bagi perempuan. ‘Abduh tetap mengedepankan norma-norma kerja, etika, jenis, dan kelayakan kerja bagi perempuan. Menurutnya, perempuan cocok untuk pekerjaan lembut dan ringan seperti urusan rumah tangga, sementara laki-laki untuk pekerjaan kasar dan berat seperti pekerjaan luar rumah. Menurutnya, tidak perlu ada rasa iri karena penilaian pekerjaan dapat dinilai dari tingkat tanggung jawab dan keikhlasan

110 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 619.

pekerjanya. Lagipula, tidak semua pekerjaan selalu dapat diukur dari tingkat perbedaan sosialnya.

Sedikit berbeda dengan Syahrur, perempuan selayaknya tidak diberikan batasan pekerjaan. Ia tidak mempermasalahkan kodrat penciptaan perempuan yang lemah lembut seperti pendapat ‘Abduh. Menurutnya, pemilahan pekerjaan perempuan sering dibatasi akibat pemahaman salah sebagian ahli fiqih dari ajaran syariat Islam

dewasa ini. Menurutnya, pelaksanaan syariat sekarang ini, tidak boleh berkaca pada masa awal perkembangan Islam, karena perubahan zaman telah melampaui masa lalu. Bahkan, untuk pelaksanaan syariat Islam yang murni mesti menampilkan pemahaman syariat Islam sesuai perkembangan abad sekarang.

Syahrur mencontohkan perlunya memahami ulang hadis pelarangan perempuan menjadi pemimpin dengan kembali melihat asbâb wurûd hadis (sebab-

sebab pengungkapan hadis), yaitu hadis:

Artinya: Tidak akan memperoleh untung bagi kaum yang yang mempercayakan urusannya kepada perempuan. 111

6. Pernikahan Pernikahan adalah wujud perasaan cinta kepada lawan jenis sesuai fitrah manusia. Pernikahan menyatukan perasaan dan kepentingan bersama sehingga antara suami-isteri menjadi bagian penting dari yang lain.

111 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 625.

Dijelaskan pada Q.S. al-Rûm [30]: 21

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Sepertinya, ‘Abduh mendasari pandangannya dari ayat di atas bahwa pernikahan harus dilandasi oleh rasa saling suka, sama-sama ridha, dan tidak boleh ada unsur keterpaksaan dari salah satu pihak. Membangun kebahagiaan di bawah tenda sakinah sulit dicapai kecuali dengan memenuhi syarat di atas.

‘Abduh mencontohkan beberapa hadis Rasulullah Saw. yang menerangkan tentang relasi suami isteri yang baik dalam keluarga, seperti:

Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai tanggung jawab atas apa yang dipimpinya, dan perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan akan dimintai tanggung jawab atas apa yang ia pimpin.

Adapun tentang perlakuan suami terhadap isteri:

      Artinya: Saya berpesan (kepada para suami) hendaklah memperlakukan isterinya

dengan cara yang baik. 112

Kalau ‘Abduh masih menilai wali bagi perempuan merupakan syarat sah pernikahan, sementara siapa yang akan menjadi calon pasangannya diserahkan kepada perempuan untuk menentukan sesuai kata hati mereka. Syahrur berpendapat bahwa perempuan di atas usia rata-rata nikah (21 tahun) boleh menikahkan dirinya tanpa kehadiran wali karena Islam tidak mensyariatkan wali sebagai suatu syarat wajib kecuali ‘ijab, qabûl, saksi, dan syarat. Syarat ini seperti yang disyaratkan pada pernikahan sipil seluruh alam, walaupun menurutnya antara nikah secara syariat dan sipil dalam Islam adalah satu.

7. Talak Saat gelombang goncangan rumah tangga terancam bubar, Islam tetap mengelu-elukan untuk menjaga keutuhan keluarga dan mencari penyelesaian yang baik. Sebaliknya, Islam juga memberikan pilihan talak sebagai solusi alternatif yang paling aman ketika visi dan misi perkawinan tidak dapat diaktualisasikan lagi. Pesan ini yang coba dipahami oleh ‘Abduh pada potongan ayat Q.S. al-Baqarah [2]: 228

112 Ahmad Syalabî, al-Fikr al-Islâmî al-Mu'âshir, h. 183.

Artinya: Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa penantian itu, jika

mereka (para suami) menghendaki ishlah (perdamaian).

Menurut ‘Abduh, konsep ishlâh (perdamaian) dan menjaga kepentingan bersama, termasuk pertimbangan pengasuan anak serta intropeksi diri, dapat menjadi pilihan untuk menjaga keutuhan keluarga dan menghindari pemutusan hubungan pernikahan lewat thalak.

Beberapa keputusan penting tentang thalak berhasil diamandemen ‘Abduh saat menjabat sebagai hakim sipil di Mesir. Ia berhasil mengamandemen kewenangan hakim menjatuhkan thalak bagi isteri dalam tiga perkara, yaitu: Pertama, isteri ditinggal pergi oleh suami tanpa alasan hukum; Kedua, isteri yang mengalami tindak kekerasan rumah tangga; Ketiga, konflik keluarga yang berkepanjangan yang tak

kunjung selesai. 113 Syahrur ingin membuktikan bahwa otoritas laki-laki dan perempuan dalam hal

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6