Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur’an Menurut Muhammad Syahrur

B. Penafsiran Ayat yang Sering Dipahami Gender dalam al-Qur’an Menurut Muhammad Syahrur

Penafsiran ayat yang sering dipahami gender dalam al-Qur’an menurut Syahrur meliputi tema poligami, warisan, mahar, batasan pakaian antara laki-laki dan perempuan serta perilaku keduanya dalam masyarakat, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, hak kerja dalam pentas politik, pernikahan dan thalak.

Pembahasan tema-tema ini akan dibahas satu persatu untuk mengetahui pemikiran tafsir Syahrur sekaligus sebagai tolak ukur perbandingan pemikiran tafsir ‘Abduh seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebelum membahas tema-tema di atas, penulis merasa perlu mengungkapkan alasan Syahrur mengomentari masalah-masalah tersebut sehingga pemahaman yang dimunculkannya lebih memudahkan pembaca memahami pentingnya tema ini bagi Syahrur.

Ada tiga alasan mendasar Syahrur menulis tema-tema ini, yaitu: Pertama, ulama-ulama salaf tidak bisa membedakan antara ayat dan hadis

yang berkonotasi batas (hudûd) dan ayat dan hadis yang berkonotasi pengajaran (ta‘lîm) seperti ayat-ayat batas (hudûd) poligami (Q.S. al-Nisâ' [4]: 4) dan ayat tentang pakaian perempuan (Q.S. al-Nûr [24]: 31). Demikian pula ayat-ayat pengajaran yang terkait tata krama bertamu ke rumah keluarga Nabi Saw. seperti pada ayat Q.S. al-Ahzâb [33]: 59. Menurutnya, penyatuan ayat-ayat ini bagi ulama yang berkonotasi batas (hudûd) dan ayat dan hadis yang berkonotasi pengajaran (ta‘lîm) seperti ayat-ayat batas (hudûd) poligami (Q.S. al-Nisâ' [4]: 4) dan ayat tentang pakaian perempuan (Q.S. al-Nûr [24]: 31). Demikian pula ayat-ayat pengajaran yang terkait tata krama bertamu ke rumah keluarga Nabi Saw. seperti pada ayat Q.S. al-Ahzâb [33]: 59. Menurutnya, penyatuan ayat-ayat ini bagi ulama

Kedua, muncul anggapan bahwa perjuangan pembebasan perempuan di masa Nabi Saw. dan para sahabatnya seperti perjuangan para sahabat perempuan agar diberi peluang yang sama dalam meraih kebaikan dan pahala layaknya seperti kaum laki-laki merupakan usaha klimaks dan telah berakhir dengan meninggalnya Nabi

Saw. Apa yang dilakukan perempuan sekarang ini seperti jabatan hakim dan politik tidak pernah dicontohkan dalam kehidupan perempuan di masa Rasulullah Saw. sehingga dianggap perbuatan terlarang untuk konteks sekarang ini. Mereka beralasan bahwa apa yang dilakukan perempuan sekarang ini merupakan penghancuran generasi (harq al-marâhil) dan berpeluang menjadi penghancuran masyarakat (tadmîr

al-mujtama‘) 40 . Ketiga, kesalahan teori dalam fiqih Islam memahami teks perempuan dalam

beberapa ayat seperti dalam Q.S. Â li 'Imrân [3]: 14

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,

39 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 593. 40 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 594.

perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik

(surga).

Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 223

Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Kedua ayat di atas menyembut lafazh al-nisâ'. Menurut Syahrur, pernyataan dalam fiqih Islam sering salah dalam memaknai lafazh al-nisâ' di atas sebagai lafazh plural (jâma‘) dari kata al-mar’ah, khususnya dalam surah  li 'Imrân ini yang menggunakan lafazh isyârah (kata tunjuk) yang memposisikan perempuan sebagai barang perhiasan (matâ‘):

Dalam surah al-Baqarah, perempuan disebut sebagai sawah ladang (al-harts) yang dapat didatangi semua pemiliknya:    

Menurut Syahrur, ayat ini bertentangan dengan ayat sebelumnya pada Q.S. al- Baqarah [2]: 222 yang melarang mendatangi perempuan kecuali dalam keadaan suci dari haidh:

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci, apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri

Kekeliruan pemahaman makna ayat-ayat di atas, menurut Syahrur, dapat dipahami sebagai pengaruh hegemoni laki-laki yang begitu kuat mengakar dalam masyarakat Islam sehingga teks ayat pun lebih banyak disesuaikan dengan konteks

patriarki saat itu. 41 Atas alasan kekeliruan penafsiran ulama salaf di atas, Syahrur mencoba

meluruskan pemahaman tersebut dengan menawarkan teori limit (hudûd). Untuk itu juga, Syahrur memilih tema-tema yang banyak melibatkan pemahaman terhadap masalah perempuan.

41 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 595.

1. Poligami

Setiap kali mengangkat tema poligami, maka yang terbayang adalah fenomena krusial yang senantiasa dihadapi oleh kelompok perempuan Islam di seantero dunia hingga kini. Allah Swt. menyebutkan dalam al-Qur’an tema poligami dalam artian sebagai batas (hudûd) dari kondisi masa lalu, sekarang, dan masa akan datang.

Satu-satunya ayat yang menerangkan poligami dalam al-Qur’an adalah Q.S. al-Nisâ [4]: 3

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Syahrur menggunakan dua teori batas (hudûd) dalam memaknai ayat poligami di atas, yaitu: Pertama, teori batas kadar minimal (al-kam), yaitu laki-laki dibolehkan berpoligami dengan menikahi satu perempuan sebagai batas minimal, atau menikahi mereka lebih dari satu hingga empat orang sebagai batas maksimal. Bilangan ini, Syahrur menggunakan dua teori batas (hudûd) dalam memaknai ayat poligami di atas, yaitu: Pertama, teori batas kadar minimal (al-kam), yaitu laki-laki dibolehkan berpoligami dengan menikahi satu perempuan sebagai batas minimal, atau menikahi mereka lebih dari satu hingga empat orang sebagai batas maksimal. Bilangan ini,

Kedua, batasan al-kayf, yaitu menikahi perempuan-perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (arâmîl). Menurutnya, Allah Swt. tidak mungkin menganjurkan berpoligami dengan menikahi perempuan perawan atau janda yang tertalak dari suaminya karena hal itu bertentangan dengan kaidah syarth (syarat) dan jawâb syarth

(jawaban syarat) yang menitikberatkan pada perintah perlakuan adil kepada anak- anak yatim dalam ayat ini.

Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

Dengan syarat:      

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) 43 .

Ibn Kasîr memaknai ayat ini bahwa laki-laki yang hendak menikahi perempuan yatim sekiranya anak yatim itu di bawah penjagaannya, maka berlaku adillah kepadanya dengan menyerahkan maskawin (mahar) seperti yang kamu berikan kepada perempuan lainya. Jika tidak dapat berlaku adil kepadanya, maka

42 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 598. 43 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 599.

kamu leluasa memilih perempuan lain dan Allah Swt. tidak mempersempit pilihanmu dalam menikahi mereka. 44

Menurut ‘Abduh, jika seseorang merasa khawatir harta anak yatim akan termakan olehnya jika menikahi mereka, maka janganlah dia menikahi mereka melainkan hendaklah dia memilih perempuan-perempuan selain mereka dan dia boleh

mengumpulkannya hingga empat orang. Namun, jika dia merasa khawatir 45 tidak

mampu berlaku adil dari keempatnya, maka cukup menikahi satu di antara mereka saja. 46

Para mufassir umumnya memaknai kata adil sebagai perlakuan adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, 47

bukan perasaan cinta dan kasih sayang (muyûl al-qalb) karena hal itu di luar dari kemampuan manusia pada umumnya, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 129

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian .

44 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, (Cairo: Markaz al-Kuttâb li al-Nasyr, 1997), Jilid I, h. 493. 45 Menurut ‘Abduh, khawatir (al-khauf) ialah dugaan atau keraguan terhadap kemampuan diri untuk tidak berlaku adil di antara para isteri. 46 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, h. 348. 47 Al-Qur’an Digital (Software), Versi 2.0, Muharram 1425/Maret 2004

‘Abduh agak lebih ketat dalam hal poligami, bahkan cenderung kepada mengharamkan poligami karena dianggap sering menjadi ajang permusuhan antara suami dengan isteri, ibu dengan anak, atau ayah dengan anak. Permusuhan ini terjadi akibat perlakuan tidak adil suami di antara isteri-isterinya yang mengundang campur tangan pihak ketiga dari keluarga isteri masing-masing. Yang paling mengerikan adalah campur tangan ini tidak jarang berakhir dengan usaha pembunuhan sesama

48 mereka.

Sebaliknya, Syahrur melihat poligami sebagai suatu perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai jalan keluar bagi persoalan kemasyarakatan di saat terjadi sebuah problem. Problem yang dimaksud di sini ialah yang terkait erat dengan sejarah

perkembangan masyarakat dan kebudayaan masyarakat bersangkutan. 49 Hal tersebut berangkat dari teori batas Syahrur yang menjunjung tinggi penggunaan akal sebagai

tolak ukur pelaksanaan syariat dan bukannya teks-teks nash yang kaku. Berkaitan dengan hal poligami ini, Syahrur menegaskan bahwa poligami tidak terkait dengan masalah haram-halal, melainkan al-Tanzîl al-Hakîm menyerahkan kepada masyarakat

kapan harus melaksanakan dan kapan harus meninggalkannya. 50 Konsep poligami dalam pemahaman Syahrur dapat disimpulkan sebagai

berikut:

48 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, h. 350.

49 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 423. 50 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 432.

1. Pernikahan poligami hanya dianjurkan kepada perempuan-perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dengan memiliki anak dan bukan kepada perempuan perawan atau perempuan yang tertalak.

2. Ukuran kemampuan berpoligami yang dianjurkan Tuhan ialah bagi mereka yang memiliki kemampuan materi, bukan kemampuan membagi kasih sayang dan pemenuhan nafkah kepada para isteri, seperti pendapat umumnya para

penafsir.

3. Kata ‘adil (adil) yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah perlakuan adil suami kepada anak-anaknya dalam dua sisi, yaitu kepada anak-anak kandung sendiri dan anak-anak yatim dari perempuan-perempuan janda yang telah dinikahinya. Sementara kata al-qisth yang juga berarti adil hanya dimaksudkan kepada perlakuan adil kepada anak-anak yatim saja.

4. Kata wâhidah bagi Syahrur berarti dua dan bukan satu seperti yang banyak dipahami. Artinya, anjuran berpoligami yang disyariatkan adalah menikahi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang memiliki anak sekurang- kurangnya satu janda dengan satu isteri perawan atau perempuan tertalak yang telah dinikahi sebelumnya.

5. Pembatasan menikahi beberapa isteri dimaksudkan untuk mencegah perbuatan aniaya di antara para anak-anak mereka. Karena setiap kali bertambah isteri sudah barang tentu semakin menuntut banyak tanggung jawab dan 5. Pembatasan menikahi beberapa isteri dimaksudkan untuk mencegah perbuatan aniaya di antara para anak-anak mereka. Karena setiap kali bertambah isteri sudah barang tentu semakin menuntut banyak tanggung jawab dan

2. Waris

Pewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima (warâtsah) yang jumlah dan ukuran bagian

yang diterimanya telah ditentukan dengan cara wasiat. Atau jika tidak ada wasiat, maka penentuan pihak penerima, jumlah, dan ukuran bagiannya (hazzh) ditentukan dalam melalui pembagian warisan.

Ayat-ayat waris dalam al-Qur’an dapat ditemukan pada tiga ayat dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 11-13. Akan tetapi, pembahasan ini lebih fokus pada bahasan pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan dalam ayat 11 ini, seperti berikut:

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang

perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, masing-masing memperoleh seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Untuk dapat memahami hukum dan aturan pembagian harta warisan pada ayat di atas, Syahrur dengan teori batasnya (hudûd) menggunakan empat cara pendekatan, yaitu: Pertama, analisis matematis (al-tahlîl al-riyâdh î ); Kedua, teori himpunan (al- majm û ‘ât); Ketiga, teori variabel pengikut (al-tâbi‘); Keempat, teori variabel pengubah (al-mutahawwil). Sebagai aplikasi kempat teori batas Syahrur ini, lahirlah kemudian rumusan: y = f (x) yang berarti (x) menempati posisi sebagai variabel pengubah (mutahawwil) dan (y) sebagai variabel pengikut (tâbi‘) yang nilainya bergantung pada nilai yang dimiliki (x) sehingga nilai (y) selalu berubah dan mengikuti perubahan yang terjadi pada nilai (x).

Syahrur mensimbolkan laki-laki dengan (y) sebagai variabel pengikut dan perempuan sebagai dengan simbol (x) sebagai variabel pengubah. Dalam hal ini, perempuan adalah dasar dalam penghitungan waris, dan bagian laki-laki ditetapkan Syahrur mensimbolkan laki-laki dengan (y) sebagai variabel pengikut dan perempuan sebagai dengan simbol (x) sebagai variabel pengubah. Dalam hal ini, perempuan adalah dasar dalam penghitungan waris, dan bagian laki-laki ditetapkan

Pembagian waris ini kemudian dibagi menjadi tiga macam kasus. Pertama, ( ) pewaris terdiri dari tiga anak, yaitu seorang laki-laki dan dua

orang perempuan. Mengutip pendapat Ibnu ‘Abbâs, Syahrur menjelaskan hukumnya setengah bagian bagi anak laki-laki dan seperempat bagian bagi setiap saudara

perempuannya. 52

Ayat di atas dipegangi oleh ahli fiqih yang menjatahkan laki-laki dua dan perempuan satu bahwa “jika orang yang wafat meninggalkan dua orang anak, terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan, maka bagi laki-laki dua dan perempuan satu".

Pendapat ini, dibantah Syahrur, dengan mengatakan bahwa ayat ini hanya diberlakukan dalam satu kasus saja (yakni ketika terdapat tiga anak, satu laki-laki dan

dua perempuan). Jadi tidak tepat menempatkan kasus di atas pada bagian ini. 53

Kedua, pewarisannya terdiri dari seorang laki-laki dan tiga perempuan atau lebih ( 3, 4, 5, dan seterusnya) (          ). Dalam kasus ini, secara kolektif, jatah kelompok laki-laki adalah 1/3 dan jatah kelompok perempuan adalah 2/3.

51 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 340-341. 52 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 352. 53 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 353.

Ketiga, pewaris terdiri dari dua anak, yaitu satu laki-laki dan satu perempuan (     ). Hukumnya adalah harta waris dibagi dua sama rata bagi

mereka. 54

Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan, "Dimanakah letak keadilan Tuhan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris ini, dimana laki-laki selalu mendapat dua kali lipat dari bagian perempuan?" Sebagian kalangan menuduh bahwa Islam pertama kali melakukan kezhaliman terhadap hak perempuan lewat ayat waris ini. Pertanyaan lain yang bisa muncul dalam ayat ini adalah, "Mengapa Tuhan mengawali ayat dengan penyebutan laki-laki (dzakar), bukan perempuan?".

Seperti jawaban penafsir pada umumnya, Syekh Sya‘rawi menjawab pertanyaan di atas dalam tafsirnya, Tafsîr al-Sya‘râwî, yang mengatakan bahwa keadilan Tuhan justru dapat dilihat dari ayat waris ini. Menurutnya, laki-laki dituntut memberikan nafkah kepada isterinya, sebaliknya perempuan punya hak menuntut hak nafkah dirinya kepada suaminya. Dengan demikian, ½ (setengah bagian dari laki-

laki) merupakan bagian yang adil buat perempuan. 55

Senada dengan pendapat Sya’rawi, Wahbah al-Zuhail î dalam Tafsîr al-Munîr mengatakan bahwa pelebihan bagian laki-laki dari perempuan dalam hal waris

54 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 352. 55 Syekh Muhammad MutawwalI al-Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, (Cairo: al-Ahbâr al-Yaûm,

1991), Juz XXVI, h. 2033.

dimaksudkan karena laki-laki dituntut memberikan pemenuhan kebutuhan isteri, baik dalam materi, pekerjaan, dan tanggung jawab, serta kewajiban mahar yang diberikan kepada calon isterinya, dimana hal itu tidak ditemukan kewajibannya terhadap perempuan yang kapasitasnya sebagai anak anak, saudara, ibu, isteri, bibi, dan hanya

menafkahi dirinya setelah dewasa bagi yang belum menikah. 56

Jawaban kedua penafsir kontemporer di atas tidak sejalan dengan penilaian keadilan Syahrur. Dalam penilaian Syahrur, hukum waris Tuhan bersifat umum (universal) sehingga hukum waris berkeadilan gender hanya dapat mewujud dalam tingkat kolektif, bukan pada tingkat individu atau keluarga. Menurut Syahrur, jatah laki-laki tidak bersifat tetap (sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang) atau terbatas dengan dua kali lipat jatah perempuan pada seluruh kasus sebagaimana yang dipahami oleh ahli fiqih selama ini. Keadilan dengan pembagian sama rata tidak mungkin tercapai kecuali dalam dua kasus, yaitu:

Pertama, jumlah anak laki-laki sama banyak dengan jumlah anak perempuan atau himpunan laki-laki sama dengan himpunan perempuan.

[1 laki-laki + 1 perempuan]

[2 laki-laki + 2 perempuan]

[3 laki-laki + 3 perempuan]

56 Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa Syarî‘ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshirah, 1998), Jilid III & IV, h. 273.

Hukum Tuhan dalam kasus ini, secara tersurat disebut dalam firman-Nya:     

Kedua, seluruh anak terdiri dari laki-laki tanpa perempuan atau semuanya perempuan tanpa laki-laki. Bagi Syahrur, karena kasus ini sangat sederhana maka

tidak membutuhkan penjelasan teks Qur’ani. 57

Dalam penyebutan ayat, laki-laki lebih didahulukan dari penyebutan perempuan karena posisi laki-laki sebagai variabel (tab’i), sementara perempuan disebut dengan jumlah satu sampai tak terhingga kerena posisinya sebagai variabel

pengubah (mutahawwil). 58 Setiap kali perubahan penyebutan bagian perempuan maka dengan sendirinya bagian laki-laki turut berubah sesuai jumlah dan jatah yang

ditetapkan untuk perempuan. Dengan demikian, tidak tepat penyebutan laki-laki lebih dahulu dari perempuan sebagai klaim pengistimewaan laki-laki dari perempuan.

Prinsip-prinsip yang ditetapkan Tuhan untuk menegakkan keadilan dalam pembagian harta warisan adalah berdasarkan prinsip keadilan (‘adl) dan kesetaraan/persamaan (musâwah) antara komunitas-komunitas sosial yang beragam. Jika diperhatikan aturan-aturan (pembagian harta warisan) ini dengan perspektif individu, maka akan ditemukan bahwa aturan-aturan tersebut tidak menetapkan persamaan antara kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi wasiat ini menetapkan

57 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 344. 58 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 347.

persamaan antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan (majmu'ah al-dzûk û r wa majmu'ah al-inâts) 59 .

     Kedua, seperti pewaris seluruhnya terdiri dari anak laki-laki tanpa perempuan

atau semuanya perempuan tanpa laki-laki. Menurut Syahrur, kasus ini sangat

sederhana sehingga tidak butuh penjelasan teks Qur’ani.

Prinsip-prinsip inilah, dalam bahasa Syahrur, diistilahkan sebagai hudûd Allah bersama batas maksimal dan batas minimal yang disebut dalam sisa ayat yang lain. Prinsip ini menghasilkan rumus parabola dalam tehnik matematika dan analisis matematika.

3. Mahar

Pemberian mahar kepada perempuan yang akan dinikahi dapat dijumpai dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 4

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka

59 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 336. 60 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 344.

makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Mahar diberikan kepada seorang perempuan sebagai bentuk pemberian yang tidak mengharapkan pengembalian atau konsesi apapun. Menurut Syekh Sya‘rawi, pemberian maskawin kepada perempuan haruslah disertai dengan kelapangan agama bukan semata-mata sebagai penunaian kewajiban. Pemberian mahar dapat dimaknai

sebagai bentuk kasih sayang. Perempuan bagi laki-laki adalah tempat bermanja- manja dan bersenang-senang, demikian halnya sebaliknya. Keduanya menjadi partner

dalam rumah tangga untuk memperoleh keturunan. 61 Mahar terkadang berupa cincin dari besi, seuntai bunga mawar, atau kalung

intan, sesuai dengan kadar kemampuan sang suami. Hal tersebut didasari oleh firman- Nya Q.S. al-Thal â q [65]: 7

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan.

61 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 436.

Dewasa ini, di sebagian masyarakat Islam, pemberian maskawin kepada perempuan telah dipahami sebagai prinsip utama dalam pernikahan sehingga tidak sedikit calon suami terpaksa harus berhutang demi gengsi keturunan atau keluarga. Menurut Syahrur, hal demikian telah menjadi budaya masyarakat dan telah menimbulkan kesimpang-siuran makna maskawin. Seperti disebutkan dalam Q.S. al- Mâidah [5]: 5

Artinya: (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara

wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi .

Menurut Syahrur, ayat ini tidak berkaitan dengan maskawin untuk isteri, melainkan tentang upah bagi milk al-yamîn. 62

62 Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, h. 437.

4. Pakaian Laki-Laki dan Perempuan serta Perilaku Keduanya dalam Masyarakat

Pakaian laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada dua ayat batas (hudûd) Q.S. al-Nûr [24]: 30-31. Untuk pakaian laki-laki diterangkan dalam ayat 30, seperti berikut:

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Untuk pakaian perempuan diterangkan pada ayat berikutnya, yaitu:

Artinya:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka pula menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan

perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan

bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Untuk memudahkan pembahasan tema pakaian laki-laki dan perempuan ini, penulis mengelompokkan penafsiran ayat di atas kepada tiga bagian:

a. Perintah Menahan Pandangan Kata menahan pandangan (ghadh al-bashar) pada kedua ayat ini     

        menjadi pembuka perintah yang sama-sama ditujukan kepada laki-laki dan perempuan tanpa membedakan keduanya. Menurut Syahrur, kedua ayat

ini mengandung tiga persamaan pengertian, yaitu: Satu, keduannya menggunakan huruf jar  sebagian (li al-tab‘îdh). Maksudnya, perintah di sini bermaksud perintah   menahan pandangan, bukan menundukkan mata; Dua, keduanya mengisyaratkan perintah yang bersifat umum dengan sengaja tidak diletakkan objek (maf‘ û l bih ) atau sasaran yang diperintahkan untuk menahan pandangan. Artinya, larangan di sini bersifat fleksibel sesuai dengan waktu dan tempat tanpa menentukan jenis dan bentuk larangan itu; Tiga, keduanya menggunakan kata kerja (fi‘il) menahan  . Dalam   ini mengandung tiga persamaan pengertian, yaitu: Satu, keduannya menggunakan huruf jar  sebagian (li al-tab‘îdh). Maksudnya, perintah di sini bermaksud perintah   menahan pandangan, bukan menundukkan mata; Dua, keduanya mengisyaratkan perintah yang bersifat umum dengan sengaja tidak diletakkan objek (maf‘ û l bih ) atau sasaran yang diperintahkan untuk menahan pandangan. Artinya, larangan di sini bersifat fleksibel sesuai dengan waktu dan tempat tanpa menentukan jenis dan bentuk larangan itu; Tiga, keduanya menggunakan kata kerja (fi‘il) menahan  . Dalam  

perbuatannya itu. Perasaan seperti ini disebut ghadh. 63 Syahrur nampaknya tidak memiliki pengertian yang pasti untuk pengertian

ghadh al-bashar di sini. Kemungkinannya karena alasan tidak ingin mengikat suatu perbuatan tertentu. Namun begitu, ia tetap memberikan ciri menahan pandangan sebagai “moralitas masyarakat yang berpendidikan”        .

b. Perintah Menjaga Kehormatan dari Perbuatan Zina Setelah perintah menahan pandangan, perintah selanjutnya adalah perintah

kepada laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan dari perbuatan zina, sebagaimana pada ayat berikutnya:

Bagi Syahrur, batasan minimal pakaian bagi laki-laki dan perempuan adalah yang dapat menutupi kemaluan saja dan dan menjaganya dari perbuatan zina, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut arti kemaluan    . Penggunaan uslub perintah dalam ayat ini berkonotasi pendidikan moral bagi laki-laki dan perempuan mukmin untuk menciptakan moralitas masyarakat yang berpendidikan dan tidak bermaksud menghina. Hal ini sebagaimana disebut pada akhir ayat:

63 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 605.

c. Perintah yang Khusus Ditujukan kepada Perempuan Perintah kepada perempuan ini dibagi kepada dua bagian:

1. Larangan Menampakkan Perhiasan (Zînah) Perhiasan perempuan dapat dikenali lewat dua hal, yaitu: Pertama, perhiasan yang nampak ialah perhiasan yang nampak pada tubuh

perempuan, seperti: kepala, perut, punggung, tangan, dan kaki. Perhiasan ini mengisyaratkan bahwa dalam tubuh perempuan terdapat perhiasan yang tersembunyi yang wajib ditutupinya di samping perhiasan yang boleh diperlihatkan pada khalayak umum, sebagaimana dalam ayat:

Kedua, perhiasan yang tersembunyi ialah perhiasan yang tersembunyi dalam diri perempuan. Syahrur mengistilahkannya dengan perhiasan al-juy û b yaitu perhiasan di antara dua payudara, di bawah payudara, di bawah perut, kemaluan, dan kedua paha. Perintah untuk menutupi bagian badan yang masuk dalam istilah al- juyûb ini terdapat pada ayat:

Sementara al-khimâr berasal dari kata khamar yang berarti penutup kepala. Sebab penamaan ini adalah karena khimâr di samping berfungsi menjadi penutup kepala, dapat juga menjadi penutup untuk bagian tubuh yang lain.

64 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 605. 65 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 607-608.

Perintah menutup perhiasan yang tersembunyi bagi perempuan di atas berlaku kepada selain delapan kelompok. Kedelapan kelompok ini adalah muhrim yang dapat

perempuan nampakkan perhiasannya yang tersembunyi. 66 Kedelapan kelompok tersebut adalah suami (bu' û latihinna), orang tua ( â bâihinna), orang tua suami/mertua

(abâ bu' û latihinna), anak-anak (abnâihinna), anak suami (abn â i bu' û latihinna), saudara laki-laki (ikhw â nihinna), anak saudara laki-laki (ban î ikhw â nihinna), dan

anak laki-laki saudara perempuan (ban î akhaw â tihinna). Syahrur juga menambahkan tujuh kelompok muhrim yang haram dinikahi perempuan namun mereka dapat berdua-duaan dan tetap tidak boleh menampakkan perhiasannya yang tersembunyi. Kelompok tersebut adalah paman, bibi, anak sesusuan, saudara sesusuan, suami ibu, suami anak perempuan, dan suami saudara

perempuan. 67 Sementara untuk kata      , ulama beberapa pendapat tentang

penafsirannya, di antaranya: pertama, sebagai perempuan-perempuan Islam. Artinya perempuan Islam tidak boleh menampakkan perhiasan tersembunyinya kecuali di depan perempuan Islam. Pendapat ini tidak melihat penggunaan nûn pada kata ini yang menunjuk kepada perempuan (nûn niswah), dan bukan nûn yang menunjuk kepada jenis yang banyak (nûn li- al-jins) yang berarti banyak perempuan. Kedua,

66 Menurut Syahrur, penampakkan perhiasan yang semestinya ditutup oleh perempuan di hadapan delapan kelompok di atas tidak dikatakan sebagai perbuatan haram, tetapi dikatakan hanya

tercela (‘aib). Hal tersebut tidak terkait dengan masalah halal-haram, melainkan terkait dengan masalah kebiasaan (al-‘urf).

67 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 607-608.

berarti isteri-isteri laki-laki yang disebutkan terdahulu, seperti saudara laki-laki dan anak laki-laki dari saudara perempuan. Kalau pendapat ini juga benar, maka redaksinya haruslah disesuaikan dengan pemakaian redaksi     dengan memakai mîm pengganti nûn yang menunjuk kepada banyak orang (mîm jam â ‘ah). Adapun redaksi aslinya berbunyi  dengan memakai nûn niswah bukan mîm jama‘ah   seperti pendapat ini. Demikian halnya dengan agumentasi bahwa peletakan nun

niswah di sini hanya sebagai pengganti mîm jamâ‘ah dengan maksud untuk kebanyakan (li al-taghlîb). Dengan begitu, penggunaan nûn niswah menjadi alternatif pengungkapan (li dharûrah shautiyah), sementara dalam penggunaan penulisan tidak mengenal istilah ini.

Kedua pendapat di atas dianggap salah oleh Syahrur karena kesalahan memaknai kata    sebagai kata plural (jâma‘) dari kata  . Padahal menurut   Syahrur, kata nisâ bisa saja berarti laki-laki sebagai bentuk plural (jâma‘) dari kata    dan tidak selamanya harus dimaknai sebagai perempuan. Menurut Syahrur, laki-laki di sini bisa saja anak dari anak kandung, cucu, anak dari anak saudara laki- laki, anak dari anak saudara perempuan, atau anak dari anak suami. Kesemuanya

adalah kelompok-kelompok yang tidak disebutkan dalam ayat. 68

68 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 609.

2. Larangan Menampakkan Aurat Perempuan Larangan menampakkan aurat perempuan terhadap orang lain selain kedelapan kelompok sebelumnya meliputi anak dari anak kandung atau cucu, budak laki-laki, laki-laki gila, dan anak-anak kecil, sebagaimana tersebut dalam ayat berikut:

              Aurat dalam pandangan ulama-ulama bahasa dalam kamus Lisân al-‘Arab

adalah “sesuatu yang dianggap memalukan oleh tiap orang untuk dinampakkan”. Definisi ini disertai kutipan sebuah hadis Nabi Saw.:

                Seorang laki-laki menutup kepalanya dengan rambut di sampingnya yang sengaja dipanjangkan juga dianggap aurat untuk diperlihatkan kepada orang lain. Hal ini diisyaratkan dalam ayat lain:

Artinya: Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu". Dan sebagian dari mereka minta izin kepada nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka/tidak ada penjaga (aurat))". Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka (aurat), mereka tidak lain hanya hendak lari.

Sementara hadis yang mengisyaratkan tentang batas aurat perempuan selain wajah dan telapak tangan, seperti:

Menurut Syahrur, batasan di sini merupakan batasan maksimal (had al-a‘lâ) sehingga perempuan boleh saja menutup seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak

tangan, sementara menutup seluruh tubuh telah melampaui batasan dari Rasul dan ketaatan kepada Allah Swt.

Syahrur terkesan tidak terlalu menekankan kewajiban jilbab atau menutup kepala karena aurat hanya bersifat nisbiyah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Untuk itu, pengertian anak-anak dalam ayat ini adalah anak-anak yang belum

mengerti tentang aurat perempuan, dimana perempuan tidak harus merasa malu. 69

5. Relasi antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga

Relasi antara laki-laki dan perempuan dapat dicermati pada dua point utama:

a. Relasi Kasih Sayang Relasi kasih sayang ialah relasi cinta dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bagi perempuan adalah pakaian (libâs), demikian halnya perempuan bagi laki-laki adalah pakaian. Dalam kamus Lisân al-‘Arab, pakaian

69 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 612.

(libâs) adalah bercampur (al-ikhtilâth) dan mempergauli (al-tadakhul), seperti dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 187

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.

Relasi kasih sayang, cinta, dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan dipenuhi perasaan emosional yang tidak dapat dipisahkan antara keduanya dengan yang lain. Keterkaitan keduanya di sini, bagi Syahrur, perlu dipahami dengan baik. Perempuan bagi laki-laki, sebaliknya laki-laki terhadap perempuan bukanlah barang

kesenangan (matâ’), tetapi merupakan bagian dari kesempurnaan masing-masing. 70

b. Relasi Ekonomi dan Sosial Relasi ekonomi dan sosial ini dapat dijumpai pada Q.S. al-Nisâ' [4]: 34

70 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 619.

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Ayat ini di mulai dengan redaksi berita (khabar). Kata pemimpin (qawwamah) disebut sebagai dominasi relasi sosial ekonomi laki-laki atas perempuan (      . Namun dalam status ibadah, ayat ini tidak menyebutkan

         ). Menurut Syahrur, hal ini dikarenakan adanya penyebutan sebab al-qawwamah laki-laki atas perempuan. Meskipun demikian, sifat qawwâmah

laki-laki dapat saja hilang yang dengan hilangnya ‘illat berarti hilang pula yang di- ‘illat-kan (ma‘lul). ‘Illat yang dimaksud di sini ialah: (a) kekuatan fisik; laki-laki lebih kuat dari perempuan, seperti dalam ayat (      ); (b) kekuatan ekonomi; laki-laki pada umumnya berpenghasilan lebih banyak dari perempuan, seperti dalam ayat (     )

Meskipun begitu, dapat terjadi sebaliknya yaitu dominasi sosial ekonomi laki- laki atas perempuan tidak berlaku. Jika ‘illat-nya hilang, berarti hilang pula yang di-

‘illat-kan (ma’lul), seperti: jika suami jatuh sakit semisal buta atau lumpuh, berarti isteri lebih kuat dari suami dan menggantikan tugas-tugas suami, atau status sosial ekonomi isteri lebih tinggi dari suami, dan berbalik isteri yang menafkahi suami,

maka fungsi qawwâmah laki-laki tergantikan oleh perempuan. 71

Di zaman modern ini, hampir di semua sector kehidupan, hak kerja antara laki-laki dan perempuan sama, bahkan sebagian perempuan terkadang lebih bernasib

baik dari laki-laki dalam hal peluang kerja. Isteri berkongsi fungsi dengan suami dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam hal ini, status qawwâmah antara laki-laki dan perempuan sama. Tetapi, dalam perkara yang membutuhkan kekuatan fisik, laki-laki lebih berperang aktif dari pada perempuan.

Ketika status monopoli qawwâmah laki-laki berlaku sebaliknya, perempuan lebih kuat fisik dan sosial ekonomi dari laki-laki, maka Allah mensimbolkannya dengan  bukan sebagai  72 . yaitu dengan sifat-sifat seperti: taat kepada Allah

Swt. ( 73  ) dan memelihara diri saat suaminya tidak ada (        74 ).

71 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 620. 72 Term al-nisâ' lebih banyak disebutkan bersama orang muslim dan kafir, sementara al-

mar’ah penyebutannya selalu berkonotasi kemuliaan dan sifat terpuji. 73 Term al-qunût dalam istilah berarti "diam atau tenang dan istiqamah yang dilakukan tanpa

putus-putus". Hal tersebut sebagaimana dicontohkan dalam ucapan Tuhan kepada Maryam R.a.       

74 Artinya perempuan shalehah yang menjaga hak milik suami dan keluarganya yang telah Allah Swt. perintahkan untuk dijaga.

Dalam hal ini, jika salah seorang suami-isteri itu melakukan kecurangan dengan cara ( 75  ) Allah Swt. menasihatkan agar melakukan tindakan-tindakan

perbaikan, dengan cara: pertama, memberikan nasihat yang baik; kedua, memisahkan diri dari tempat tidur isteri atau suami. Kedua cara ini sangat khusus sekali sebagai nasihat, kemudian disusul cara ketiga, yaitu memberikan pernyataan sikap tegas

terhadap perempuan atau terhadap laki dengan pernyataan yang mengikat. 76

Di sini Syahrur terkesan agak berbeda dengan banyak penafsir dalam memaknai kata 77    dengan sikap tegas, sekaligus kritik Syahrur terhadap

pemaknaan kebanyakan mufassir sebagai pukulan. Menurutnya, kata    tidak boleh dimaknai secara harfiyah, yaitu sebagai pukulan. Dalam banyak contoh, kata ini diartikan lain, seperti:

Pertama, bermakna bepergian atau keluar dengan maksud kerja seperti dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 94

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu keluar (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.

75 Kata nusyûz dalam kamus Lisân al-‘Arab mengandung dua kemungkinan makna, yaitu: pertama, membanggakan diri dengan harta kekayaan; kedua, selingkuh dengan pasangan lain. 76 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 621. 77 Kata al-dharb dalam kamus Lisân al-‘Arab diasalkan dari satu arti yaitu memukul di atas

tanah (dharb fî al-ardh) yang kemudian digunakan dalam beberapa istilah seperti bekerja, berdagang, dan melakukan perjalanan.

Dalam Q.S. al-Nisâ' [4]: 101

Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu)

Dalam Q.S. al-Mâidah [5]: 106

Artinya: ... Apabila salah seorang kamu melakukan perjalanan, lalu tertimpa kematian…

Kedua, bermakna perumpamaan, seperti dalam Q.S. Ibrâhim [14]: 45

   . ١ Artinya

… Dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan.

Dalam Q.S. al-Furqân [25]: 39     2

Artinya: Dan kami jadikan bagi masing-masing mereka perumpamaan.

Di samping kata ini digunakan dalam istilah perdagangan, kata dharîbah juga berarti saling membagi keuntungan dan pendapatan antara dua pihak yang bertransaksi. Dengan demikian, kata dharâba dipahami sebagai sikap tegas dari pihak suami terhadap isteri atau isteri terhadap suaminya demi mencegah salah seorang dari mereka melakukan perselingkuhan (nusyûz) yang merupakan sebuah pengkhianatan nyata atas nama keluarga dan dapat berujung kepada pemutusan hubungan

pernikahan (thalak).

6. Hak Kerja dalam Pentas Politik dan Legislatif

Secara syari‘at, Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja dalam semua sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, dan legislatif. Perkembangan kondisi perekonomian selanjutnya yang membatasi peluang kerja bagi mereka. Kondisi seperti inilah yang terjadi dalam dunia kerja perempuan Islam dewasa ini. Sementara pada awal mula Islam, perempuan terlibat dalam perang seperti sebagai juru rawat pasukan yang terluka, dalam sektor industri, perempuan ikut memeras susu unta, kambing, dan memproduksi mentega dan susu. Di sektor lain, perempuan diupah menjadi penyusu anak-anak.

Bahkan sejak awal, perempuan Islam telah ikut dalam pentas politik. Saudara perempuan 'Umar bin Khatthab bersama para sahabat bersama-sama melawan musuh dalam perang mempertahankan keimanan. Sahabat perempuan, Samiah, berdiri di barisan terdepan bersama kaum laki-laki mengangkat panah melawan musuh. Juga Bahkan sejak awal, perempuan Islam telah ikut dalam pentas politik. Saudara perempuan 'Umar bin Khatthab bersama para sahabat bersama-sama melawan musuh dalam perang mempertahankan keimanan. Sahabat perempuan, Samiah, berdiri di barisan terdepan bersama kaum laki-laki mengangkat panah melawan musuh. Juga

Kesalahan yang sering terulang, menurut Syahrur, ialah ulama-ulama dewasa ini cenderung mengukur perkembangan sekarang dengan masa lalu yaitu masa kehidupan Nabi dan sahabat (qiyas al-syahid ‘ala al-ghaib). Menurutnya, yang dapat menjadi ukuran adalah kinerja perempuan Islam dalam perjalanan sejarah, bukan

ukuran kondisi sejarahnya. Islam tidak pernah memberi kebolehan kerja bagi perempuan untuk pelacuran dan tarian yang mempertontonkan aurat. 78

Dua hal yang menjadi alasan orang-orang yang menghalangi hak kerja perempuan dewasa ini: Pertama, pergaulan antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja. Menurut Syahrur, alasan ini tidak tepat karena Islam tidak melarang pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Namun yang dilarang adalah berdua- duaan dengan orang yang bukan muhrim pada tempat-tempat yang sepi dan melakukan perjalanan jauh tanpa disertai oleh muhrim. Bahkan larangan ini sangat positif.

Dalam al-Qur'an ditemukan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sama. Contoh dalam perkara ini ialah masalah shalat Jum‘at. Di antara perintah shalat yang ada, tidak ada perintah yang secara jelas (sharîh) menyebut pentingnya perintah

78 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 624.

berjamaah kecuali perintah tentang kewajiban shalat Jum‘at. Seperti dalam ayat Q.S. al-Jumu‘ah [62]: 9

Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli

Menurut Syahrur, seruan Tuhan dalam ayat ini adalah secara umum, kepada laki-laki dan perempuan tanpa membedakan keduanya. Seorang perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam kewajiban shalat Jum‘at sehingga keduanya berkewajiban datang berjama'ah di mesjid. Demikian halnya perintah kewajiban

meninggalkan jual-beli bagi laki-laki dan perempuan tanpa membedakan keduanya. 79 Kedua, beberapa pekerjaan yang terhitung berat dan menyusahkan bagi

perempuan dan tidak sesuai dengan sifat ke-perempuan-an. Menurut Syahrur, patut menjadi perhatian bagi kalangan ulama untuk memberi garis pemisah antara tugas- tugas yang sesuai dan tidak sesuai dengan sifat ke-perempuan-an perempuan.

Alasan lain yang tidak kalah seringnya dikemukakan sebagai senjata penghalag perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik dan legislatif ialah sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw. Akan tetapi, hadis ini dituding oleh

79 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 623.

seorang peneliti perempuan asal Maroko dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Prancis Perempuan Politik 80      , sebagai hadits munfaridah. Salah seorang

perawinya bernama Aba Bakrah dicurigai melakukan penyaksian palsu dalam kasus sangsi zina yang melibatkan al-Muqhîrah bin Sya’bah di masa pemerintahan ‘Umar bin Khatthab di hadapan kaum Muslimin. Hadis tersebut adalah:

Artinya: Tidak akan memperoleh untung bagi kaum yang mempercayakan urusannya kepada perempuan

Menurur Syahrur, hadis ini tidak dapat dijadikan alasan penolakan peran wanita dalam dunia karir saat ini. Penerapan syari‘at Islam di tengah-tengah masyarakat Islam tidak boleh hanya berkaca pada masa silam karena perubahan zaman telah melampaui masa lalu. Bahkan, untuk pelaksanaan syari‘at murni, harus menampilkan pemahaman syari‘at Islam sesuai perkembangan abad sekarang. Lanjut Syahrur, hadis ini tidak berkaitan dengan urusan akhlak dan ibadah karena hanya sekedar komentar (ta‘l î q) Nabi atas berita tentang meninggalnya Raja Romawi yang kemudian putrinya dinobatkan sebagai ratu. 81

80 Hadîts Munfaridah adalah hadis gharîb karena keasingan yang dimiliki oleh salah seorang perawinya, sekalipun hadis itu diriwayatkan dalam beberapa jalur sahabat. Muhammad Shiddîq al-

Masyâwî, Qamûs Musthalahât al-Hadîts al-Nabawî, (Cairo: Dar al-Fadhilah, t.th.), h. 85. 81 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 625.

Jauh sebelum kasus ini muncul, al-Qur’an telah mengukir kesuksesan kepemimpinan seorang perempuan dalam sejarah yaitu Ratu Balqis, penguasa negeri Sabâ. Al-Qur’an tidak mempermasalahkan statusnya sebagai pemimpin wanita bagi orang banyak, tetapi hanya mempermasalahkan perbuatan dia dan kaumnya dengan menyembah Tuhan selain Allah Swt. dengan mempertuhankan matahari. Sementara tiu, Nabi Sulaiman as. menantangnya dengan persaingan kekuasaan. Cerita tentang

itu termaktub dalam Q.S. al-Naml [27]: 23, 24, 32, 33, dan 34

Artinya: Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Artinya: Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.

Ratu Balqis bersama kaumnya menunjukkan satu contoh mulia, yaitu memutuskan perkara besar dengan cara musyawarah dan meminta pendapat orang lain, seperti pada ayat:

Artinya: Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)"

Artinya: Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".

Artinya: Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia

jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. 82

7. Pernikahan

Laki-laki dan perempuan dalam masalah pernikahan adalah sama. Akad nikah wajib diikrarkan dalam bentuk ucapan secara bersama, sehingga salah satu dari keduanya jika tidak melakukan ikrar ini, maka akad dinyatakan batal. Akad ini seperti

82 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 625.

halnya ‘ijab dan qabûl di samping adanya saksi dan mahar. Hal demikian disinyalir dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 235

Artinya: Janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'iddahnya.

Dalam ayat ini disebutkan secara langsung bahwa akad nikah merupakan cita- cita yang tetap (‘azam), sedangkan di ayat lain disebutkan ‘azam sebagai cita-cita yang harus disegerakan, seperti dalam Q.S. Â li 'Imr â n [3]: 159

Artinya: Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.

Adalah hak perempuan untuk menentukan bentuk akad nikah yang ia inginkan karena akad merupakan kewajiban syari‘at atas kedua calan mempelai. Menurut Syahrur, permasalahan kewajiban wali atas perempuan hanya bagi perempuan di bawah umur untuk dinikahi, sementara bagi perempuan usia nikah (walaupun di setiap negara, masalah usia pembolehan nikah berbeda-beda) rata-rata

21 tahun. Menurut Syahrur, perempuan di usia ini boleh menikahkan dirinya tanpa 21 tahun. Menurut Syahrur, perempuan di usia ini boleh menikahkan dirinya tanpa

sipil dalam Islam adalah satu. 83

8. Talak

Otoritas laki-laki dan perempuan dalam hal talak adalah sama. Pernyataan talak yang disampaikan lewat ucapan suami terhadap isterinya tidaklah sah (batal), melainkan hanya jika dilakukan lewat jalur pengadilan tertutup. Dengan demikian, apabila penjatuhan talak dari sisi laki-laki, maka dapat saja berarti talak putus. Sementara kalau gugatan talak datang dari perempuan dapat saja berarti penolakan dengan alasan kehamilan selebihnya talak dinyatakan sah. Namun patut diakui bahwa laki-laki memiliki satu kelebihan dari perempuan dalam hal ini, yaitu saat perempuan menyatakan tentang kehamilannya. Hal ini diakui dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 228

83 Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur'ân, h. 626.

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

qurû'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami- suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Artinya, saat isteri ter-thalak dalam masa 'iddah, sang suami dapat saja meninjau ulang pernyataannya dan menyatakan kembali (ruju‘). Dalam hal ini, pendapat laki-laki dipertimbangkan tanpa melihat pendapat perempuan. Keistimewaan laki-laki atas perempuan di sini adalah atas dasar pertimbangan. Adanya bayi dalam kandungan dapat saja merubah semua aturan yang ada. Sementara pernyataan thalak suami kepada perempuan secara utuh tidak dapat diadakan ruju‘ kecuali setelah dinikahi oleh orang lain. Ini menandakan bahwa

permasalahan thalak adalah perkara serius yang bukan sekedar perpisahan. 84

Dokumen yang terkait

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 5

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 3 6

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 0 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 2 7

1. Tahap Awal / Pedahuluan Membuka dengan salam dan berdoa Membina hubungan baik dengan peserta didik (menanyakan kabar, pelajaran sebelumnya, ice breaking) Menyampaikan tujuan layanan materi Bimbingan dan Konseling Menanayakan kesiapan kepada peserta did

0 1 5

Bab VI Value, Domain dan Type - Bab VI VALUE DOMAIN TYPE

0 0 7

W Matkul Softskill Tidak ada UTS dan UAS

0 0 9

Subjek Penelitian Jenis dan Sumber Data

0 1 14

Materi LED dan Photo Diode.do

0 0 6