Analisis Fungsi Produksi Tanaman Kedelai di Pulau Jawa Tahun 2010

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar

penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

peranan yang besar karena merupakan sumber bahan baku utama bagi industri

tahu, tempe, dan pakan ternak berupa bungkil kacang kedelai. Data dari Badan

Pusat Statistik (BPS) yang disajikan dalam Tabel 1.1 menunjukkan bahwa

kebutuhan kedelai dalam negeri cenderung meningkat pada lima tahun terakhir,

dan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi 29-42 persen dari

kebutuhan tersebut.

Tabel 1.1 Produksi, impor, ekspor, dan kebutuhan dalam negeri kedelai di Indonesia tahun 2006-2010 (ton)

Sumber: BPS (diolah), 2011

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menempatkan

beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula sebagai lima komoditas pangan Tahun Produksi Impor Ekspor

Kebutuhan dalam negeri

Pangsa produksi terhadap kebutuhan dalam

negeri (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

2006 747.611 1.132.144 1.732 1.878.023 39,81

2007 592.534 1.411.589 1.872 2.002.251 29,59

2008 775.710 1.173.097 1.025 1.947.782 39,83

2009 974.512 1.314.620 446 2.288.686 42,58


(2)

utama. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target

Kementan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

tahap kedua, tahun 2010-2014, adalah pencapaian swasembada dan swasembada

berkelanjutan. Untuk tanaman kedelai, Kementan mentargetkan untuk

berswasembada dalam artian minimal 90 persen kebutuhan kedelai akan tercukupi

oleh produksi dalam negeri pada tahun 2014 dengan produksi sebesar 2,70 juta

ton. Tabel 1.2 menyajikan target produksi dari setiap komoditi tanaman pangan

utama pada RPJMN kedua tahun 2010-2014.

Tabel 1.2. Target produksi komoditi tanaman pangan di Indonesia, 2010-2014 (000 ton)

No. Komoditi

Tahun Rata-rata

Pertumbuhan (%) 2010 2011 2012 2013 2014

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Padi 66.680 70.599 74.129 77.835 81.727 5,22

2 Jagung 19.800 22.000 24.000 26.000 29.000 10,02

3 Kedelai 1.300 1.560 1.900 2.250 2.700 20,05

4 Kacang Tanah 882 970 1.100 1.200 1.300 10,20

5 Kacang Hijau 360 370 390 410 430 4,55

6 Ubi Kayu 22.248 23.400 25.000 26.300 27.600 5,54

7 Ubi Jalar 2.000 2.150 2.300 2.450 2.600 6,78

Sumber: Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014

Pada tahun 2010 target produksi kedelai sebesar 1,3 juta ton ternyata tidak

berhasil dicapai. Data dari BPS pada Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa produksi

kedelai tahun 2010 adalah sebesar 0,9 juta ton atau hanya 70 persen dari target

produksi. Pada tahun yang sama, pemerintah melakukan impor kedelai sebanyak


(3)

3

Beberapa hal disinyalir menjadi penyebab kegagalan dalam mencapai

target produksi kedelai tahun 2010. Salah satunya ialah kegagalan pemerintah

dalam merealisasikan program yang berkaitan dengan peningkatan produksi

kedelai. Upaya peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan peningkatan

produktivitas dan luas tanam. Fokus utama program pemerintah dalam

meningkatkan produktivitas ialah melalui Sekolah Lapangan Penanganan

Tanaman Terpadu (SLPTT) kedelai yang ditargetkan mencapai area seluas 250

ribu hektar. Namun hingga akhir tahun 2010 luas area SLPTT kedelai hanya

mencapai 185 ribu hektar atau 73,92 persen dari sasaran yang ditetapkan.

Upaya peningkatan luas tanam diharapkan dapat terwujud melalui

program-program seperti optimalisasi pembinaan seluas 219 ribu hektar,

kemitraan seluas 50 ribu hektar, dan upaya khusus seluas 100 ribu hektar. Secara

keseluruhan ditambahkan dengan lahan yang diupayakan secara swadaya oleh

masyarakat maka luas tanam kedelai tahun 2010 diharapkan bisa mencapai 920

ribu hektar. Namun berdasarkan publikasi BPS tahun 2010 ternyata realisasi luas

tanam kedelai hanya mencapai 692 ribu hektar atau 75,22 persen dari sasaran

yang ditetapkan. Selain permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan

program pemerintah, faktor harga dan cuaca juga turut berpengaruh dalam

menyebabkan rendahnya produksi kedelai tahun 20101.

1 Pada evaluasi kinerja Kementerian Pertanian tahun 2010, Menteri Pertanian Suswono mengatakan rendahnya produksi kedelai disebabkan oleh lahan untuk kedelai yang kalah bersaing dengan tanaman padi dan jagung, serta harga kedelai yang relatif rendah sehingga tidak menggairahkan petani untuk menanam kedelai. Selain itu, menurut Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian U.K Anggoro kondisi iklim dan cuaca yang tak bersahabat menyebabkan produksi kedelai dalam negeri terganggu (sumber: detikfinance).


(4)

Jika merunut ke belakang, kegagalan dalam mencapai target produksi

kedelai juga terjadi pada periode sebelumnya. Pada RPJMN tahap kesatu, tahun

2005-2009, Kementan hanya berhasil mencapai target produksi kedelai pada

tahun 2005, sedangkan pada tahun-tahun selanjutnya selalu gagal dalam mencapai

target produksi kedelai yang sudah ditetapkan. Tabel 1.3 menunjukkan jumlah

target, realisasi, dan persentase pencapaian target produksi kedelai di Indonesia

pada tahun 2005-2010.

Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam rilisnya yang berjudul Pandangan

Petani Atas Kebijakan Pertanian Pemerintah Tahun 2008 menyatakan persoalan

utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia diantaranya adalah gagal

panen, menciutnya lahan tanaman pangan, bencana alam, dan keengganan petani

menanam kedelai. Namun penyebab yang paling utama adalah masuknya kedelai

impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal sehingga produksi dalam

negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya

kalah bersaing.

Tabel 1.3. Target, realisasi, dan persentase pencapaian target produksi kedelai di Indonesia tahun 2005-2010 (ton)

Tahun Target produksi Realisasi produksi Pencapaian target (%)

(1) (2) (3) (4)

2005 802.751 808.353 100,70

2006 891.053 747.611 83,90

2007 989.069 592.534 59,91

2008 1.097.867 775.710 70,66

2009 1.218.623 974.512 79,97

2010 1.300.000 907.031 69,77


(5)

5

Persebaran wilayah yang memproduksi kedelai tidak merata di seluruh

Indonesia. Data pada Tabel 1.4 menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir

produksi kedelai di Pulau Jawa setiap tahunnya memberikan kontribusi antara

66-74 persen terhadap total produksi kedelai di Indonesia.

Tabel 1.4. Perkembangan produksi kedelai di Jawa dan luar Jawa tahun 2001-2010 (000 ton)

Tahun Jawa Luar Jawa Indonesia

Absolut Persen Absolut Persen

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

2001 587.167 71,01 239.765 28,99 826.932

2002 502.591 74,67 170.465 25,33 673.056

2003 488.149 72,68 183.451 27,32 671.600

2004 502.201 69,41 221.282 30,59 723.483

2005 563.225 69,68 245.128 30,32 808.353

2006 518.425 69,34 229.186 30,66 747.611

2007 424.986 71,72 167.548 28,28 592.534

2008 518.997 66,91 256.713 33,09 775.710

2009 646.839 66,38 327.673 33,62 974.512

2010 633.212 69,81 273.819 30,19 907.031

Sumber: BPS (diolah), 2011

Pada tahun 2010, produksi kedelai di Pulau Jawa sebesar sebesar 633.212

ribu ton memberikan kontribusi sebanyak 69,81 persen terhadap produksi kedelai

nasional yang jumlahnya sebesar 907.031 ribu ton. Dengan pertimbangan tersebut

maka diharapkan penelitian tentang kondisi produksi kedelai di Pulau Jawa juga

dapat memberi kontribusi yang besar untuk melihat gambaran kondisi produksi


(6)

1.2. Perumusan Masalah

Sebagai salah satu komoditas pertanian tanaman pangan yang utama,

bersama padi dan jagung, kedelai memperoleh perhatian yang khusus dari

pemerintah. Produksi kedelai diharapkan bisa mencapai tahap swasembada untuk

memenuhi kebutuhan pangan nasional dalam rangka menciptakan ketahanan

pangan nasional. Berkaitan dengan hal itu, Kementan memiliki target untuk

berswasembada kedelai pada tahun 2014.

Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi basis produksi kedelai di

Indonesia, hal ini terlihat dari kontribusi produksi kedelai di Pulau Jawa yang

mencapai 66-74 persen dari produksi kedelai Indonesia pada periode tahun

2001-2010. Berkaitan dengan pencanangan swasembada kedelai tahun 2014, Kementan

menetapkan sasaran produksi kedelai di Pulau Jawa sebesar 780.900 ton pada

tahun 2010. Namun data realisasi produksi menunjukkan bahwa pada tahun 2010

produksi kedelai di Pulau Jawa hanya mencapai 633.212 ton.

Kegagalan dalam mencapai sasaran produksi tahun 2010 merupakan

sebuah bukti bahwa pemerintah perlu untuk merencanakan programnya dengan

lebih baik lagi. Informasi tentang faktor produksi apa saja yang memberikan

pengaruh signifikan terhadap produksi, dan berapa besar pengaruh masing-masing

faktor produksi terhadap produksi tanaman kedelai dapat menjadi masukan

sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan perencanaan selanjutnya.

Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam


(7)

7

1. Faktor produksi apa saja yang memengaruhi produksi tanaman kedelai di

Pulau Jawa?

2. Berdasarkan fungsi produksi tanaman kedelai di Pulau Jawa, berapa besar

pengaruh masing-masing faktor produksi terhadap produksi tanaman kedelai?

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan

utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor produksi yang

mempengaruhi produksi tanaman kedelai di Pulau Jawa. Tujuan selanjutnya ialah

untuk mengukur elastisitas output terhadap pemberian input produksi tanaman

kedelai.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Bagi masyarakat umum dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan

pengetahuan di bidang perekonomian yang berkaitan dengan pertanian

tanaman kedelai.

2. Bagi para peneliti dapat bermanfaat untuk memberikan pengetahuan tentang

faktor dan fungsi produksi tanaman kedelai di Pulau Jawa, di samping itu

juga dapat bermanfaat untuk dijadikan referensi dalam mengembangkan

penelitian yang berkaitan.

3. Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan dapat bermanfaat untuk dijadikan


(8)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka ruang lingkup

dalam penelitian ini dibatasi pada beberapa hal berikut:

1. Faktor-faktor produksi yang dimasukkan dalam penelitian ini dibatasi pada

luas panen, benih, pupuk urea, pupuk TSP/SP36, pupuk KCl, dan tenaga

kerja.

2. Data yang digunakan ialah bagian dari set data survei Struktur Ongkos Usaha

Tani tanaman kedelai tahun 2010 yang diselenggarakan oleh BPS.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Budi Daya Kedelai

Kedelai merupakan tumbuhan serba guna. Karena akarnya memiliki bintil

pengikat nitrogen bebas, kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi

sehingga tanamannya dapat digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak.

Kedelai terutama dimanfaatkan bijinya. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta

beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan

biji kedelai dapat dibuat menjadi berbagai bentuk seperti tahu, bermacam-macam

saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam),

tempe, susu kedelai, tepung kedelai, minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik,

kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel), serta taosi atau tauco

(Komalasari, 2008).

Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua

spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning,

agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). Glycine

max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang

Selatan, sementara Glycine soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia

Tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia Tenggara dan

Indonesia (Wikipedia).

Kedelai dibudidayakan di lahan sawah maupun lahan kering (ladang). Di


(10)

padi. Sedangkan di lahan kering (tegalan) kedelai umumnya ditanam pada musim

hujan. Langkah-langkah utama dalam budi daya kedelai ialah pemilihan benih,

persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pascapanen.

Berdasarkan informasi dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan

dan Umbi-umbian – Kementan (2011), kualitas benih sangat menentukan

keberhasilan usaha tani kedelai. Pada penanaman kedelai, biji atau benih ditanam

secara langsung, sehingga apabila kemampuan tumbuhnya rendah, jumlah

populasi per satuan luas akan berkurang. Oleh karena itu, agar dapat memberikan

hasil yang memuaskan, harus dipilih varietas kedelai yang sesuai dengan

kebutuhan, mampu beradaptasi dengan kondisi lapang, dan memenuhi standar

mutu benih yang baik. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan

benih kedelai adalah:

1. Pilih varietas unggul yang memenuhi sifat-sifat yang diinginkan: ukuran

bijinya besar atau kecil, kulit bijinya kuning atau hitam, toleransinya terhadap

hama/penyakit dan kondisi lahan.

2. Benih murni dan bermutu tinggi merupakan syarat terpenting dalam budi

daya kedelai. Benih harus sehat, bernas, dan daya tumbuh minimal 85 persen,

serta bersih dari kotoran.

3. Kebutuhan benih bergantung pada ukuran benih dan jarak tanam yang

digunakan. Untuk benih ukuran kecil–sedang (9–12 g/100 biji), diperlukan

55–60 kg/ha, sedang untuk benih ukuran besar (14–18 g/100 biji) dibutuhkan


(11)

11

Persiapan lahan penanaman kedelai di areal persawahan dapat dilakukan

secara sederhana. Mula-mula jerami padi yang tersisa dibersihkan, kemudian

dikumpulkan, dan dibiarkan mengering. Selanjutnya, dibuat petak-petak

penanaman dengan lebar 3-10 m, yang panjangnya disesuaikan dengan kondisi

lahan. Diantara petak penanaman dibuat saluran drainase selebar 25-30 cm,

dengan kedalaman 30 cm. Setelah didiamkan selama 7-10 hari, tanah siap

ditanami.

Jika areal penanaman kedelai yang digunakan berupa lahan kering atau

tegalan, sebaiknya dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Tanah dicangkul

atau dibajak sedalam 15–20 cm. Di sekeliling lahan dibuat parit selebar 40 cm

dengan kedalaman 30 cm. Selanjutnya, dibuat petakan-petakan dengan panjang

antara 10–15 cm, lebar antara 3–10 cm, dan tinggi 20–30 cm. Antara petakan yang

satu dengan yang lain (kanan dan kiri) dibuat parit selebar dan sedalam 25 cm.

Antara petakan satu dengan petakan di belakangnya dibuat parit selebar 30 cm

dengan kedalaman 25 cm. Selanjutnya, lahan siap ditanami benih.

Sebelum dilakukan kegiatan penanaman, terlebih dulu tanah diberi pupuk

dasar. Pupuk yang digunakan berupa TSP sebanyak 50–100 kg/ha, KCl 50–100

kg/ha, dan Urea 50-75 kg/ha. Dosis pupuk dapat pula disesuaikan dengan anjuran

petugas penyuluh pertanian setempat. Pupuk disebar secara merata di lahan, atau

dimasukkan ke dalam lubang di sisi kanan dan kiri lubang tanam sedalam 5 cm

(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - Departemen Pertanian, 2008).

Selanjutnya penanaman dilakukan dengan cara membuat lubang tanam


(12)

sebanyak 3–4 biji. Penanaman ini dilakukan dengan jarak tanam 40 cm x 10–15

cm. Pada lahan subur, jarak dalam barisan dapat diperkecil menjadi 15–20 cm.

Perawatan tanaman dilakukan berkaitan dengan tiga kegiatan: pengairan,

penyiangan, dan pengendalian hama serta penyakit tanaman. Tanaman kedelai

sangat peka terhadap kekurangan air pada awal pertumbuhan, pada umur 15–21

hari, saat berbunga (umur 25–35 hari), dan saat pengisian polong (umur 55–70

hari). Pada fase-fase tersebut tanaman harus dijaga agar tidak kekeringan.

Penyiangan untuk menghilangkan gulma perlu dilakukan dua kali pada umur 15

dan 45 hari. Penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dilakukan

berdasarkan hasil pemantauan, hanya digunakan bila populasi hama telah melebihi

ambang kendali. Pestisida dipilih sesuai dengan hama sasaran, dan dipilih yang

terdaftar/diijinkan.

Panen dilakukan apabila 95 persen polong pada batang utama telah

berwarna kuning kecoklatan. Panen dilakukan dengan memotong pangkal batang

dengan sabit. Hasil panenan ini segera dijemur beberapa hari, kemudian dikupas

dengan thresher atau pemukul. Butir biji dipisahkan dari kotoran/sisa kulit polong,

dan dijemur kembali hingga kadar air biji mencapai 10–12 persen saat disimpan.

Berdasarkan penilaian kelayakan usaha tani kedelai dengan cara return of

investment (ROI) dan perbandingan biaya dengan pendapatan (benefit cost ratio,

B/C rasio) diperoleh hasil sebagai berikut (Irwan, 2006):

1. Return of investment (ROI), merupakan ukuran perbandingan antara

keuntungan dengan total biaya produksi. Cara ini digunakan untuk


(13)

13

usaha tani dalam kaitannya dengan jumlah modal yang diinvestasikan. Nilai

ROI untuk usaha tani kedelai sebesar 2,39. Berarti, setiap modal Rp 1 yang

dikeluarkan untuk usaha tani kedelai akan menghasilkan keuntungan sebesar

Rp 2,39. Dengan demikian, usaha tani kedelai tersebut dinilai efisien dalam

penggunaan modal.

2. Benefit cost ratio (B/C rasio), merupakan suatu ukuran perbandingan antara

keuntungan bersih dengan total biaya produksi sehingga dapat diketahui

kelayakan usaha taninya. Hasil perhitungan nilai B/C rasio pada usaha tani

kedelai senilai 1,39. Artinya, setiap satuan biaya yang dikeluarkan akan

diperoleh hasil penjualan sebesar 1,39 kali lipat. Hasil ini menunjukkan

bahwa usaha tani kedelai layak untuk dikembangkan.

2.1.2. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Produksi adalah kegiatan perusahaan/produsen dalam memproses input

(faktor produksi) menjadi suatu output yang dikehendaki. Dari kegiatan yang

dilakukan produsen tersebut dapat dibangun sebuah fungsi produksi, yaitu sebuah

model yang menggambarkan bagaimana hubungan antara input yang digunakan

produsen dengan output yang dihasilkan berdasarkan pengetahuan teknis yang

dimiliki produsen (Jones, 2004).

Sebuah fungsi produksi menghubungkan input dengan output. Sukirno

(2005) mengemukakan bahwa fungsi produksi memperlihatkan kemungkinan

output maksimum yang bisa diproduksi dengan sejumlah input tertentu atau


(14)

tingkat output tertentu. Bentuk umum persamaan matematik dari fungsi produksi

adalah:

Y = f (X) = f (K,L,M, ...) (2.1)

Y : output produksi

X : faktor produksi (modal (K), tenaga kerja (L), bahan baku (M), dan lain-lain)

Salah satu fungsi produksi yang banyak digunakan dalam penelitian adalah

fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas diperkenalkan

pada tahun 1928 oleh C.W. Cobb dan P.H. Douglas dalam tulisannya yang

berjudul “A Theory of Production” yang dimuat dalam American Economic

Review. Secara umum fungsi Cobb-Douglas menggambarkan tingkat produksi

atau penciptaan nilai tambah (Y) yang diakibatkan oleh pengaruh dua faktor

produksi, yaitu input modal (X1) dan input tenaga kerja (X2). Bentuk dasar

persamaan fungsi Cobb-Douglas adalah:

訓= 係(薫,薫) =苅 薫糎層薫糎匝 (2.2)

Parameter  yang merupakan ukuran kemajuan teknologi yang melekat pada semua faktor produksi. Untuk kasus dengan berbagai input produksi,

persamaan fungsi Cobb-Douglas dapat ditulis menjadi:

訓= 係(薫,薫, …, ,薫) =苅 薫糎層

匝 糎匝

糎契 (2.3)

Beberapa kelebihan atau kemudahan dari fungsi Cobb Douglas adalah

sebagai berikut:

1. Penyelesaian fungsi lebih sederhana dan tidak rumit karena bisa

ditransformasikan atau diubah dalam bentuk fungsi linier (fungsi logaritma


(15)

15

2. Nilai koefisien regresi yang dihasilkan menunjukkan besarnya nilai elastisitas

produksi dari setiap faktor produksi, sehingga fungsi produksi ini dapat

secara langsung digunakan untuk mengetahui tingkat produksi optimum

berdasarkan pemakaian faktor produksi.

3. Penjumlahan nilai elastisitas dari setiap faktor produksi menunjukkan skala

hasil usaha (return to scale).

Berdasarkan persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas, terdapat tiga situasi

yang mungkin dalam tingkat pengembalian terhadap skala:

1. Jika kenaikan yang proporsional dalam semua input sama dengan kenaikan

yang proporsional dalam output ( p = 1), maka fungsi produksi tersebut memiliki tingkat pengembalian terhadap skala yang konstan.

2. Jika kenaikan yang proporsional dalam output kemungkinan lebih besar

daripada kenaikan dalam input ( p > 1), maka fungsi produksi tersebut memiliki tingkat pengembalian terhadap skala yang meningkat.

3. Jika kenaikan output lebih kecil dari proporsi kenaikan input ( p < 1), maka

fungsi produksi tersebut memiliki tingkat pengembalian terhadap skala yang

menurun.

2.1.3. Hukum Perluasan Produksi

Perluasan produksi dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan

menambah semua faktor produksi secara bersama-sama. Menurut Tasman (2006),

dengan asumsi tingkat teknologi yang konstan, maka akan berlaku hukum


(16)

a. Skala hasil meningkat (increasing returns to scale), artinya adalah perluasan

produksi yang dilakukan menghasilkan output produksi yang proporsinya

lebih besar daripada penambahan faktor-faktor produksi. Jika input modal

atau tenaga kerja ditambah secara proposional sebesar k, maka akan

menyebabkan peningkatan output produksi yang lebih besar dari k atau

血(倦隙,倦隙) > 倦血(,隙) dengan nilai k>1. Dalam kondisi ini perluasan produksi masih bisa terus dilakukan karena kondisi perusahaan masih dalam

skala hasil usaha yang meningkat.

b. Skala hasil tetap (constant returns to scale), artinya adalah perluasan produksi

yang dilakukan menghasilkan output produksi yang proporsinya sama dengan

penambahan faktor-faktor produksi. Jika input modal maupun tenaga kerja

ditambah secara proposional sebesar k akan menyebabkan peningkatan output

produksi sebesar k pula atau 血(倦隙,倦隙) = 倦血(隙,隙). Dalam kondisi ini, perluasan produksi yang dilakukan tidak akan meningkatkan pertambahan

jumlah output.

c. Skala hasil menurun (decreasing returns to scale), artinya adalah perluasan

produksi yang dilakukan menghasilkan output produksi yang proporsinya

lebih kecil daripada penambahan faktor-faktor produksi. Penambahan input

modal atau tenaga kerja secara proporsional sebesar k, akan menyebabkan

peningkatan output produksi yang lebih kecil dari k atau 血(倦隙,倦隙) <

倦血(隙,隙). Dalam kondisi ini sudah tidak mungkin dilakukan perluasan produksi karena kondisi perusahaan berada dalam skala hasil usaha yang


(17)

17

2.1.4. Elastisitas Produksi dan Efisiensi

Dari persamaan umum fungsi produksi fungsi produksi Y= f(X) =

f(K,L,M, ...), Y melambangkan total produksi dari kombinasi faktor-faktor

produksi X (TPx). Dengan mengasumsikan ketika satu variabel berubah maka

variabel lainnya dianggap konstan atau tetap (ceteris paribus), tambahan produksi

yang diperoleh akibat penggunaan tambahan satu unit faktor produksi X dikenal

dengan istilah produk marginal X (MPx). Sedangkan rata-rata produk yang

dihasilkan per unit faktor produksi X yang digunakan dikenal dengan istilah

produksi rata-rata X (APx) (Nicholson, 1995).

Secara matematis, produk marginal X dirumuskan sebagai berikut:

MPX=

Tambahan Output Y Tambahan Input X =

hY hX=f

'(X)

(2.4)

Secara matematis produk rata-rata X dirumuskan sebagai berikut:

寓隈薫 = 桑形憩軍珪桑形憩軍珪熊掲憩径掲憩掘契径掲憩訓= 訓 (2.5)

Perubahan jumlah output produksi yang disebabkan oleh perubahan

penggunaan faktor produksi atau input dapat dinyatakan dengan elastisitas

produksi (綱,). Elastisitas produksi dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:

資桟,散= 示桟 示散桟 散 = 示桟 .散

示散.桟=

捌皿散

冊皿散 (2.6)

Bentuk kurva TPx (Total Produksi), kurva MPx (Produk Marjinal) dan

kurva APx (Produk Rata-rata), dimana X menyatakan salah satu faktor produksi

dengan asumsi faktor produksi lain ceteris paribus adalah seperti seperti pada


(18)

Sumber: Nicholson (1995)

Gambar 2.1. Kurva TPx (Total Produksi), kurva MPx (Produk Marjinal) dan kurva APx (Produk Rata-rata)

Hubungan antara kurva TPX dan MPX seperti pada gambar 2.1 adalah MPX

akan bernilai nol pada saat TPX berada pada titik maksimum. Ketika kurva TPX

mulai menurun setelah melalui titik maksimum, maka MPX akan bernilai negatif.

Pada saat kurva TPX mengalami kenaikan, maka kurva MPX mengalami

penurunan. Pada saat nilai MPX positif, maka kurva TPX tidak akan mengalami

penurunan. Kesimpulannya adalah penambahan input pada saat slope TPX negatif

(nilai MPX < 0) tidak akan meningkatkan jumlah output.

Sedangkan hubungan kurva MPX dan APX seperti dalam Gambar 2.1

adalah APX akan mencapai titik maksimal ketika nilai APX sama dengan nilai

MPX, artinya nilai elastisitas produksinya sama dengan satu (資桟,散 = 1). Ketika nilai MPX < nilai APX, maka kurva APX akan memiliki slope negatif, sehingga

nilai elastisitas produksinya kurang dari satu (資, < 1 atau 0<資,< 1). Pada saat TPX

MPX

APX

Input Faktor Produksi Jumlah per

periode (Y)

X* X** X***

Daerah I

Daerah II


(19)

19

nilai MPX > nilai APX, maka kurva APX akan memiliki slope positif, sehingga

nilai elastisitas produksi lebih dari satu (綱, > 1).

Berdasarkan nilai elastisitas produksinya, hubungan antara ketiga kurva

tersebut menghasikan tiga daerah produksi. Daerah I, yakni pada saat nilai MP

lebih besar dari nilai AP sehingga nilai elastisitasnya lebih besar dari satu (資, > 1). Daerah ini merupakan daerah yang tidak rasional (Irrational Region) bagi

perusahaan untuk berhenti berproduksi karena belum mencapai keuntungan

maksimum. Perusahaan masih bisa meningkatkan output produksi dengan

menambahkan input lebih banyak lagi sehingga keuntungan maksimum bisa

tercapai (Nicholson,1995).

Daerah II terjadi pada saat kurva MPX dan kurva APX menurun atau

mempunyai slope negatif, sehinga nilai elastisitas berkisar antara nol sampai

dengan satu (0 < 綱, < 1). Daerah II merupakan daerah yang rasional bagi perusahaan untuk terus berproduksi atau menggunakan faktor produksi secara

optimal. Pada daerah ini terjadi hukum pengembalian yang semakin berkurang

(the law of diminishing returns) yakni penurunan jumlah pertambahan output

akibat peningkatan jumlah input yang digunakan atau nilai ∆Y yang semakin kecil.

Daerah III juga merupakan daerah yang tidak rasional bagi perusahaan

untuk berproduksi karena penambahan input justru akan menurunkan jumlah

output yang dihasilkan. Daerah III terjadi pada saat MPX bernilai negatif dan nilai


(20)

Jaya (1993) menyatakan bahwa secara sederhana pengertian efisiensi adalah

menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan sejumlah output tertentu.

Efisiensi dapat dilihat dari segi kuantitas fisik (teknik) maupun nilai (harga).

Efisiensi ekonomi merupakan produk dari efisiensi teknik dan efisiensi harga.

Artinya efisiensi ekonomi akan tercapai jika efiensi teknik dan harga tercapai

(Yotopoulos dalam Juwandi, 2003)

Yotopoulos dalam Juwandi (2003), mengemukakan bahwa efisiensi

ekonomi akan tercapai jika terpenuhi dua kondisi:

1. Necessary condition atau syarat perlu yang berkaitan dengan efisiensi teknik.

Untuk mencapai efisiensi teknik, hubungan fisik antara input dan output

ditunjukkan dengan elastisitas produksi antara 0 dengan 1. Dengan kata lain

efisiensi teknik tercapai jika proses produksi berada dalam daerah produksi II.

2. Sufficient condition atau syarat cukup yang berkaitan dengan tujuan mencapai

keuntungan maksimum. Keuntungan maksimum tercapai dengan syarat nilai

produk marginal sama dengan biaya marginal.

2.1.5. Analisis Regresi

Analisis regresi linier berganda adalah suatu metode analisis yang

digunakan untuk mengetahui hubungan antara berbagai variabel, yaitu satu

variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas yang

menjelaskan (independent variables). Bentuk matematis model regresi linier

berganda dengan k variabel, yang terdiri dari satu variabel tidak bebas Y dan k-1

variabel bebas X1, X2,….., Xk-1 serta jumlah pengamatan observasi sebanyak i


(21)

21

訓兄 = 糎宋+ 糎層薫層兄+ 糎匝薫匝兄+ 橋+ 糎(圭貸層)薫(圭貸層)兄+ 鍬兄 (2.7) Ada empat asumsi yang harus dipenuhi untuk membentuk sebuah model

persamaan regresi linier berganda, yaitu:

1. Asumsi Normalitas atau i ~ N(0,2)

Maksudnya adalah setiap sisaan (i, i=1,2,3,..,n) distribusikan secara normal

dengan rata-rata nol dan varians sama dengan 2.

2. Asumsi Autokorelasi

Autokorelasi mengandung arti ada korelasi atau hubungan yang berurutan

antara sisaan dari suatu observasi dengan sisaan observasi yang lain. Jika

tidak ada hubungan yang berurutan antarsisaan dikatakan tidak ada

autokorelasi.

3. Asumsi Heteroskedastisitas

Secara teknis homoskedastisitas atau penyebaran sama adalah asumsi yang

menyatakan bahwa sisaan dari observasi memiliki varians yang sama.

Maksudnya adalah varian dari kesalahan pengganggu merupakan suatu

konstanta positif yang sama dengan 2. Jika 懸欠堅(航|隙) 塙 購態 maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas antar sisaan dalam model.

4. Asumsi Multikolinearitas

Artinya adalah tidak terdapat hubungan linier yang pasti antara

variabel-variabel bebas yang menjelaskan.

Nilai koefisien dari persamaan regresi (i) dapat diketahui menggunakan metode kuadrat terkecil. Metode kuadrat terkecil akan menghasilkan estimator


(22)

atau biasa disebut Best Linier Unbiased Estimator (BLUE) jika memenuhi

keempat asumsi tersebut.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik faktor

produksi tanaman kedelai. Selain perbedaan lokasi dan periode waktu penelitian,

perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah terkait

variabel penggunaan pupuk yang dalam penelitian ini dipecah menjadi tiga

variabel yaitu urea, TSP/SP36, dan KCl.

Okabe, et al. (1984), dalam studinya mengenai sosial ekonomi sistem

komoditas kedelai di Indonesia di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan

Lampung menunjukkan bahwa tingkat pemakaian benih beragam, dan sering lebih

tinggi daripada yang dianjurkan. Pemakaian benih yang banyak itu disebabkan

oleh usaha petani untuk mengimbangi daya perkecambahan yang sering rendah

dan pertumbuhan tanaman yang lambat. Fungsi-fungsi produksi menunjukkan

bahwa tidak ada perbaikan yang akan diperoleh melalui peningkatan pemakaian

pupuk. Pemakaian pupuk tampaknya telah melampaui tingkat yang wajar.

Pestisida merupakan masukan yang dapat berdampak nyata pada produktivitas

kedelai. Akan tetapi pengalaman membuktikan, pemakaian yang sembarangan

dapat menurunkan produksi. Para petani tampaknya kurang/belum tahu tentang

hama-hama penting dan cara pengendaliannya.

Al-Mudatsir (2009) melakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi

respon penawaran kacang kedelai di Indonesia. Dalam penelitiannya respon


(23)

23

areal dan respon produktivitas. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui

faktor-faktor yang memengaruhi luas areal panen yaitu harga kacang kedelai,

harga jagung, harga kacang tanah, luas areal teririgasi, dan luas areal panen tahun

sebelumnya. Faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas yaitu harga pupuk,

upah buruh dan produktivitas tahun sebelumnya.

Irdhoni (2010) melakukan analisis keunggulan kompetitif usaha tani

kedelai. Penelitiannya difokuskan di Desa Wonokalang, Kecamatan Wonoayu,

Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitiannya, faktor

produksi yang mempengaruhi produksi kedelai yaitu luas lahan, benih, pupuk

kimia, pupuk organik, insektisida dan tenaga kerja semuanya berpengaruh positif.

Usaha tani kedelai di Desa Wonokalang, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten

Sidoarjo mempunyai keunggulan kompetitif dengan nilai koefisien 0,584.

Penelitian Khai dan Yabe (2011) tentang pengukuran efisiensi teknis pada

produksi padi di Vietnam dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas

menunjukkan bahwa benih, pestisida, pupuk, mesin pertanian, buruh tani, pekerja

keluarga, luas lahan, perlengkapan kerja, dan pengeluaran lainnya memberikan

pengaruh terhadap produksi padi dengan efisiensi teknis 81,6 persen. Selanjutnya

dengan fungsi Tobin diketahui bahwa faktor-faktor penting yang mempengaruhi

efisiensi teknis adalah intensitas tenaga kerja, pengairan, dan pendidikan petani.

Matakena, Syam’un, dan Ghany (2011), melakukan penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor produksi dan kemitraan

terhadap produksi usaha tani kedelai di Distrik Makimi Kabupaten Nabire. Dalam


(24)

penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan (simultan) variabel yang

diamati berpengaruh nyata terhadap produksi, namun secara parsial lahan, tenaga

kerja dan pupuk berpengaruh nyata, sedangkan benih, pestisida dan kemitraan

tidak berpengaruh terhadap produksi usaha tani kedelai.

2.3. Kerangka Pemikiran

kebutuhan kedelai dalam negeri cenderung meningkat pada lima tahun

terakhir, dan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi 29-42

persen dari kebutuhan tersebut. Saat ini lebih dari 50 persen kebutuhan kedelai

nasional diperoleh dari hasil impor, suatu kondisi yang dapat mengancam

kedaulatan pangan Indonesia jika suatu saat negara pengekspor kedelai

menghentikan ekspornya.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, pemerintah Indonesia melalui

Kementan telah menargetkan Indonesia untuk berswasembada kedelai pada tahun

2014 dengan produksi sebesar 2,70 juta ton. Dalam rencana strategis Kementan

dicantumkan bahwa target produksi tersebut diharapkan tercapai dengan adanya

kenaikan produksi secara bertahap dari tahun ke tahun mulai tahun 2005 sampai

dengan tahun 2014. Pada tahun 2010, sasaran produksi kedelai di Pulau Jawa

adalah sebesar 780.900 ton.

Dalam realisasi di lapangan, catatan BPS menunjukkan produksi kedelai di

Pulau Jawa pada tahun 2010 adalah sebesar 633.212 ton. Sehingga bisa

disimpulkan angka sasaran produksi kedelai yang telah ditetapkan oleh Kementan

tidak tercapai. Dengan terjadinya hal ini maka upaya-upaya peningkatan produksi


(25)

25

Gambar 2.2. Alur kerangka pemikiran

Produksi kedelai, seperti produksi-produksi lainnya dalam ilmu ekonomi,

merupakan suatu fungsi dari input-input produksinya. Sehingga untuk

meningkatkan produksi kedelai, terlebih dahulu perlu diketahui faktor produksi

apa saja yang berpengaruh terhadap produksi kedelai. Selanjutnya dengan

melakukan analisis terhadap fungsi produksi kedelai dapat diperoleh informasi

tentang elastisitas produksi dari setiap faktor produksi. Nilai elastisitas produksi Impor kedelai > Produksi

nasional Kebutuhan

kedelai terus meningkat

Peningkatan produksi kedelai menuju swasembada 2014

Sasaran produksi kedelai setiap tahun

Evaluasi s/d 2010: Sasaran produksi tidak

tercapai

Implikasi kebijakan Realisasi

produksi kedelai

Identifikasi faktor produksi kedelai

Analisis fungsi produksi kedelai: Peranan setiap faktor


(26)

tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan yang

ditujukan untuk meningkatkan produksi kedelai.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder hasil

survei SOUT (Struktur Ongkos Usaha Tani) kedelai yang diselenggarakan oleh

BPS pada tahun 2010. Berdasarkan lokasinya, sampel-sampel untuk mewakili

pulau Jawa tersebar di empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Sampel di Provinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Garut, Majalaya,

Sukabumi, dan Tasikmalaya. Untuk sampel di Provinsi Jawa Tengah berasal dari

Kabupaten Blora, Boyolali, Cilacap, Demak, Grobogan, Sukoharjo, dan

Wonogiri. Untuk sampel di Provinsi DI Yogyakarta berasal dari Kabupaten

Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Sedangkan untuk sampel di Jawa Timur berasal

dari Kabupaten Gresik, Jember, Jombang, Kediri, Lamongan, Madiun, Malang,

Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo,

Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Sumenep, Trenggalek, Tuban, dan

Tulungagung. Distribusi sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penjelasan mengenai beberapa variabel yang dikaji adalah sebagai

berikut:

1. Produksi kedelai, yaitu jumlah produksi kedelai yang dihasilkan oleh petani

pada bidang lahan yang terakhir kali dipanen oleh petani. Produksi akan


(28)

2. Luas panen, yaitu luas tanaman kedelai yang dipungut hasilnya pada bidang

lahan yang terakhir kali dipanen oleh petani setelah tanaman tersebut cukup

umur. Luas panen dicatat dalam satuan meter persegi.

3. Penggunaan benih, yaitu jumlah penggunaan benih pada bidang lahan yang

terakhir kali dipanen oleh petani yang berasal dari pembelian dan bukan

pembelian (produksi sendiri maupun pemberian pihak lain). Penggunaan

benih dicatat dalam satuan kilogram.

4. Penggunaan pupuk, yaitu pupuk yang benar-benar telah digunakan pada

bidang lahan yang terakhir kali dipanen oleh petani. Jenis pupuk yang akan

diteliti adalah Urea, TSP/SP36, dan KCl. Penggunaan pupuk dicatat dalam

satuan kilogram.

5. Tenaga kerja, yaitu pekerja (dibayar maupun tidak dibayar) yang terlibat

dalam kegiatan pengolahan lahan (mencangkul, membajak), penanaman dan

penyulaman, pemeliharaan/penyiangan, pemupukan, pengendalian

hama/OPT, pemanenan dan pengangkutan hasil panen, pengeringan dan

pengupasan. Tenaga kerja dicatat dalam satuan banyaknya orang hari (OH).

3.2. Metode Analisis Data

Ada dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif dilakukan melalui

analisis tabel dan grafik mengenai ukuran-ukuran statistik. Sedangkan analisis

inferensia dilakukan melalui analisis regresi linier berganda dengan metode


(29)

29

ini menggunakan bantuan program aplikasi Microsoft Office Excel 2007 dan

SPSS 16.

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk

menggambarkan keadaan suatu hal atau fenomena secara umum. Tujuan dari

analisis deskriptif adalah untuk mempermudah penafsiran atau penjelasan. Dalam

penelitian ini, analisis deskriptif juga digunakan sebagai pendukung untuk

menambah dan mempertajam analisis inferensia.

Beberapa teknik yang digunakan adalah dengan menyusun data ke dalam

bentuk tabel atau grafik disertai dengan interpretasi dan argumentasi terhadap data

yang disajikan. Analisis deskriptif dengan tabulasi maupun grafis merupakan

metode yang paling sederhana tetapi memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk

menjelaskan hubungan antar variabel yang diamati.

3.2.2. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Bentuk perluasan fungsi produksi Cobb-Douglas tanaman kedelai dengan

enam variabel bebas dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut:

桂= 係(景,景,景,景,景,景) = 軍景郡層景郡匝景郡惣景郡想景郡捜景郡掃祁掲 (3.1) Untuk memudahkan dalam analisis regresi maka fungsi produksi tersebut dapat

ditransformasi dalam bentuk fungsi linier menjadi:

珪契 姿= 珪契 珊+ 産珪契 姉+ 産珪契 姉+ 産珪契 姉+ 産 珪契 姉+ 産珪契 姉+ 産珪契 姉+ 侍 (3.2)

Keterangan:


(30)

x1 = input luas panen (m2) x2 = input benih (kg)

x3 = input pupuk urea (kg) x4 = input pupuk TSP/SP36 (kg) x5 = input pupuk KCl (kg) x6 = input tenaga kerja (OH) a = intersep

bi = elastisitas dari masing-masing faktor produksi (b1, b2, b3, b4, b5, b6) ln = logaritma natural e (2,1782…)

u = residual (kesalahan atau error).

Berdasarkan uraian pada Bab II, nilai koefisien dari persamaan estimasi

(b1, b2, b3, b4, b5, b6) menunjukkan besarnya elastisitas dari masing-masing faktor

produksi. Penjumlahan dari enam koefisien tersebut menunjukkan skala hasil

usaha produksi dan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1). Increasing return to scale, terjadi pada saat nilai (b1+b2+b3+b4+b5+b6)> 1

2). Constant return to scale, terjadi pada saat nilai (b1+b2+b3+b4+b5+b6)= 1

3). Decreasing return to scale, terjadi pada saat nilai (b1+b2+b3+b4+b5+b6)< 1

3.2.3. Pemeriksaan dan Pengujian Asumsi Model

Pemeriksaan dan pengujian asumsi dilakukan untuk melihat ada atau

tidaknya pelanggaran terhadap keempat asumsi dalam model regresi linier

berganda dengan metode OLS. Tiga asumsi yang pertama, yakni kenormalan,

autokorelasi dan heteroskedastisitas berkaitan dengan sisaan dalam model,

sehingga jika salah satu tidak terpenuhi maka estimator menjadi kurang valid atau

tidak efisien dan tidak bersifat BLUE. Sedangkan asumsi multikolinieritas


(31)

31

multikolinieritas tidak terpenuhi, estimator masih bersifat BLUE namun memiliki

varian dan kovarian yang besar sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.

a. Uji Kenormalan

Analisis regresi linear mengasumsikan setiap sisaan mengikuti distribusi

normal dengan dengan rata-rata nol dan varians 2 (Gujarati, 2004). Apabila variabel tidak bebas dan variabel bebas mengikuti distribusi normal, maka

sisaannya juga akan mengikuti distribusi normal. Uji kenormalan dapat dilakukan

dengan melihat plot dari sisaan. Jika plot dari sisaan mengikuti bentuk kurva

normal atau plot quantil (Q-Q Plot) mengikuti garis normal (lurus) maka asumsi

kenormalan dapat diterima.

b. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah adanya korelasi antar variabel sisaan. Salah satu

asumsi dalam analisis regresi linier klasik adalah model tidak mengandung

autokorelasi baik positif maupun negatif. Jadi asumsi yang harus dipenuhi adalah

bahwa unsur sisaan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh

unsur sisaan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun (Gujarati,

2004).

Salah satu cara untuk menguji asumsi ini adalah dengan melihat nilai

statistik uji Durbin-Watson. Mekanisme pendeteksian autokorelasi dengan uji

Durbin-Watson adalah sebagai berikut:

1. Nilai batas d adalah antara 0 dan 4.

2. Nilai kritis dL dan dU untuk ukuran sampel tertentu dan jumlah variabel bebas


(32)

3. Hipotesis dalam pengujian menyatakan tidak ada autokorelasi negatif maupun

positif dalam model. Kriteria pengujian dan pengambilan keputusan adalah

sebagai berikut:

a. Jika nilai d<dL berarti ada autokorelasi positif dan jika d > 4 – dL berarti

ada autokorelasi negatif, sehingga keputusannya adalah menolak hipotesis

nol.

b. Jika dU < d < 4 – dU, maka keputusannya adalah menerima hipotesis nol

yang berarti tidak ada autokorelasi

c. Jika dL d  dU dan 4 - dU  d  4 - dL maka pengujian yang dilakukan menghasilkan keputusan yang tidak meyakinkan atau ragu-ragu.

c. Uji Heteroskedastisitas

Asumsi ketiga yang harus dipenuhi dalam model regresi linier berganda

dengan adalah homoskedastisitas (homoscedasticity) atau tidak terjadi

heteroskedastisitas (heteroscedasticity). Homoskedastisitas atau varian konstan

menunjukkan distribusi probabilitas sisaan yang sama untuk seluruh nilai variabel

bebas (Gujarati, 2004).

Adanya heteroskedastisitas menyebabkan estimator 紅實 tidak memiliki varian yang minimum atau tidak menghasilkan estimator yang BLUE, hanya

Linier Unbiased Estimator (LUE). Konsekuensi jika tetap menggunakan metode

OLS dengan adanya heteroskedastisitas adalah penghitungan standard error tidak

bisa dipercaya kebenarannya dan interval estimasi dan uji hipotesis berdasarkan


(33)

33

Untuk mendeteksi adanya masalah heteroskedastisitas bisa dilakukan

dengan uji Park. Metode deteksi heteroskedastisitas dengan uji Park mempunyai

tiga prosedur utama. Pertama, melakukan regresi terhadap model dengan metode

OLS dan mendapatkan nilai residualnya. Kedua, melakukan regresi terhadap

residual kudrat dengan semua variabel bebas. Ketiga, melakukan uji t terhadap

koefisien persamaan yang dihasilkan. Jika nilai t hitung lebih kecil dibandingkan

nilai t tabel atau probabilitas t lebih besar dari =0,05 maka tidak ada masalah heteroskedastisitas. Sebaliknya, jika nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel

atau probabilitas t kurang dari =0,05 maka terdapat masalah heteroskedastisitas. d. Uji Multikolinieritas

Asumsi terakhir yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis regresi

linier berganda adalah tidak adanya multikolinieritas atau hubungan linier diantara

variabel-variabel bebasnya (Gujarati, 2004). Salah satu metode untuk mendeteksi

adanya multikolinieritas dalam sebuah model adalah dengan menghitung

Variance Inflation Factor (VIF) dan Torelance (TOL). Nilai VIF dan TOL bisa

menunjukkan ada tidaknya multikolinieritas diantara variabel bebas. Tanda bahwa

tidak ada multikolinieritas adalah jika nilai VIF lebih kecil dari sepuluh dan nilai

TOL mendekati satu.

3.2.4. Pengujian Parameter Model

Tahapan selanjutnya yang dilakukan setelah model fungsi produksi

didapatkan adalah melakukan pengujian hipotesis secara statistik terhadap semua


(34)

menguji apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis.

Beberapa pengujian statistik yang dilakukan terhadap paremeter model adalah uji

koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji koefisien

regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).

3.2.4.1.Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji kesesuaian (goodness of fit) dilakukan dengan melihat nilai koefisien

determinasi (R2) yang dihasilkan. Nilai R2 menunjukkan seberapa besar variabel

bebas secara bersama-sama mampu menjelaskan proporsi keragaman variabel

tidak bebasnya, atau berapa persen tingkat output dapat dijelaskan oleh

faktor-faktor produksi yang digunakan (Gujarati, 2004). Koefisien determinasi

merupakan nilai korelasi yang dikuadratkan, sehingga nilainya positif dan berkisar

antara nol sampai satu.

Nilai R2 yang semakin mendekati nol menyatakan hubungan antara

variabel tidak bebas dan variabel bebas tidak kuat. Sebaliknya, Nilai R2 yang

mendekati satu memiliki arti hubungan antara variabel tidak bebas dan variabel

bebas sangat kuat atau dengan kata lain perubahan pada variabel tidak bebas lebih

banyak dijelaskan oleh variabel dari dalam model.

3.2.4.2.Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (Uji F)

Tingkat kekuatan hubungan antara variabel tidak bebas dengan semua

variabel bebas yang menjelaskan secara menyeluruh dalam sebuah persamaan

regresi dapat diketahui dengan menggunakan uji statistik F (Gujarati, 2004).


(35)

35

1. Menyusun hipotesis

H0: 0= 1= …= k = 0 atau tidak ada pengaruh dari variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y.

H1: minimal ada satu i 0 artinya minimal ada satu variabel bebas Xi yang

memengaruhi Y (i=1,2,3,…,k).

2. Mencari nilai F hitung

3. Pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak H0 adalah dengan

membandingkan nilai F hitung dengan F tabel atau dengan melihat nilai

signifikansi (probabilitas) dalam output hasil pengolahan. Kriteria pengujian

dan pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

a. Jika Fobs > Ftabel ( ;k-1,n-k) atau probabilitas F kurang dari =0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya secara bersama-sama variabel-variabel

bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak

bebas.

b. Jika Fobs < Ftabel ( ;k-1,n-k) atau probabilitas F lebih dari =0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya varibel bebas secara bersama-sama tidak

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas.

3.2.4.3.Uji Koefisien Regresi Parsial (Uji t)

Uji koefisien regresi secara parsial (uji t) digunakan untuk menguji tingkat

signifikansi masing-masing koefisien variabel bebas secara individu terhadap

variabel tidak bebas (Gujarati, 2004). Beberapa langkah dalam pengujian

koefisien regresi secara parsial (uji t) adalah sebagai berikut:


(36)

H0 : i = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel bebas Xi terhadap variabel

tidak bebas Y.

H1 : i ≠ 0, artinya ada pengaruh variabel bebas Xi terhadap variabel tidak

bebas Y, i = 0,1,2, ... k

2. Mencari nilai t hitung untuk masing-masing koefisien regresi dan mencari

nilai t tabel.

3. Membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau dengan melihat nilai

signifikansi (probabilitas) untuk membuat keputusan menolak atau menerima

H0. Alternatif keputusannya adalah:

a. jika tobs  t/2;(nk) atau probabilitas t kurang dari =0,05, maka H0 ditolak atau H1 diterima. H0 ditolak berarti bahwa variabel bebas ke-i

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang diteliti.

b. Jika nilai tobs  t/2;(nk) atau probabilitas t lebih dari =0,05, maka H0 diterima atau H1 ditolak. H0 diterima berarti bahwa variabel bebas ke-i

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang

diteliti.

Berdasarkan hasil pengujian secara parsial dengan uji-t, dapat diketahui variabel

bebas yang berpengaruh secara signifikan maupun yang tidak berpengaruh secara


(37)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Karakter Demografi Petani Kedelai

Karakter demografi petani kedelai yang dibahas dalam penelitian ini mencakup jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder survei SOUT kedelai yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 2010 diperoleh informasi untuk wilayah Pulau Jawa sebanyak 90,08 persen petani kedelai adalah laki-laki dan 9,92 persennya perempuan.

Dari segi usia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 lebih dari setengah (52,48%) petani kedelai telah berusia 50 tahun atau lebih. Hanya 1,8 persen petani kedelai di Pulau Jawa yang berusia kurang dari 30 tahun, selanjutnya ada 14,93 persen petani berusia diantara 30-39 tahun, dan 30,7 persen berusia diantara 40-49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak terlalu tertarik untuk melakukan usaha budi daya tanaman kedelai.

Gambar 4.1. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut kelompok umur

15-29 tahun 1,89% 30-39 tahun

14,93%

40-49 tahun 30,70%

50+ tahun 52,48%


(38)

Tingkat pendidikan petani merupakan salah satu indikator demografi yang

dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan petani dan tingkat

pengetahuan/keterampilan petani dalam menerapkan teknologi budi daya tanaman kedelai. Gambar 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar petani kedelai berpendidikan sekolah dasar (46,66%) dan tidak tamat sekolah dasar (37,94%). Data ini menunjukkan bahwa budi daya kedelai di Pulau Jawa banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah, sedangkan penduduk yang memiliki pendidikan tinggi nyaris tidak tertarik sama sekali terhadap usaha ini.

Gambar 4.2. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

4.2. Gambaran Umum Usaha Tani Kedelai

Gambaran umum tentang usaha tani kedelai di Pulau Jawa tahun 2010 merupakan sebuah deskripsi tentang input produksi dan informasi lainnya yang berkaitan dengan usaha tani kedelai. Tabel 4.1 menyajikan deskripsi singkat dari rata-rata penggunaan faktor produksi yang dipelajari dalam penelitian ini.

Tidak tamat SD 37,94% SD

46,66% SLTP

9,72%

SLTA 4,68%

D1 s/d S3 1,00%


(39)

39

Tabel 4.1. Rata-rata penggunaan input produksi di Pulau Jawa tahun 2010

Variabel Pulau

Jawa Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Luas panen(m2) 2.522,46 2.445,28 2.420,30 1.004,94 2.769,44

Benih (kg/hektar) 57,88 45,20 56,76 54,65 58,23

Urea (kg/hektar) 163,34 217,81 75,98 86,20 158,40

TSP (kg/hektar) 78,97 88,62 38,56 41,13 69,62

KCl (kg/hektar) 4,70 6,19 1,10 2,13 4,89

Tenaga Kerja (OH/hektar) 162 113 200 234 183

Sumber: Hasil olahan

4.2.1.Lahan

Kedelai merupakan jenis tanaman pangan yang dapat diusahakan pada lahan sawah maupun lahan bukan sawah. Sebanyak 47,56 persen rumah tangga usaha tani kedelai di Pulau Jawa mengusahakan kedelai pada lahan sawah, dan 52,44 persen mengusahakannya pada lahan bukan sawah. Kedelai di Pulau Jawa pada umumnya (80,53%) diusahakan rumah tangga pada lahan milik sendiri. Kemudian sebanyak 9,47 persen rumah tangga mengusahakan kedelai pada lahan sewa, dan sebanyak 10 persen pada lahan bebas sewa dan lainnya.

Rata-rata luas panen petani kedelai di Pulau Jawa tahun 2010 ialah seluas

2.522,46 m2 dengan standar deviasi 1.770,62. Luas panen yang paling rendah

ialah sebesar 250 m2 dan yang tertinggi ialah 18.000 m2. Berdasarkan data ini bisa

dilihat bahwa perbedaan pada luas panen kedelai memiliki rentang yang jauh antara nilai paling kecil dan paling besar.

Berdasarkan Gambar 4.3, lebih dari setengah (58,37%) petani kedelai di


(40)

sedikit (1,16%) petani yang luas panennya mencapai luas satu hektar atau lebih. Jika luas panen ini dianggap merepresentasikan komponen modal dalam usaha tani kedelai, maka dapat disimpulkan bahwa usaha tani kedelai di Pulau Jawa mayoritas dilakukan oleh petani dengan modal kecil.

Gambar 4.3. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut kelompok luas panen

4.2.2. Benih

Penggunaan varietas benih sangat menentukan produktivitas kedelai yang diusahakan. Rumah tangga sebenarnya diarahkan untuk menggunakan benih dengan produktivitas tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit unggul untuk di Pulau Jawa sudah cukup tinggi. Sebanyak 72,74 persen rumah tangga usaha tani kedelai menggunakan bibit unggul dan 27,26 persen menggunakan benih lokal. Namun berdasarkan sertifikasi benih yang digunakan, ternyata penggunaan benih yang bersertifikat masih di bawah 50 persen.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Kelompok Luas Panen (%)

<2.500 m2 58,37

2.500-4.999 m2 31,03

5.000-7.499 m2 8,07

7.500-9.999 m2 1,38


(41)

41

Sebanyak 53,96 persen rumah tangga masih menggunakan benih yang tidak bersertifikat, dan 46,04 persen sisanya menggunakan benih bersertifikat.

Rata-rata jumlah benih yang digunakan ialah sebanyak 57,88 kg/hektar. Penggunaan benih paling rendah sebanyak 5 kg/hektar dan tertinggi ialah 160 kg/hektar. Dari segi angka rata-rata jumlah benih yang digunakan, penggunaan benih dalam usaha tani kedelai di Pulau Jawa sudah cukup baik karena telah berada dalam kisaran angka yang ideal yaitu 50-75 kg/hektar. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (50,83%) petani kedelai di Pulau Jawa menggunakan benih dalam jumlah yang tepat.

Gambar 4.4. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah benih yang digunakan

4.2.3.Pupuk

Rata-rata jumlah pupuk urea yang digunakan ialah sebanyak 163,34 kg/hektar. Penggunaan pupuk urea bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 601,23 kg/hektar. Berdasarkan angka rata-rata

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Benih yang Digunakan (%)

<25 kg/ha 4,55

25-49,99 kg/ha 25,51

50-75 kg/ha 50,83

75,01-100 kg/ha 18,32


(42)

penggunaan pupuk urea ini sebenarnya penggunaan pupuk urea oleh petani telah melebihi dosis yang ideal yaitu 50-75 kg/hektar.

Gambar 4.5 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (71,22%) petani kedelai menggunakan pupuk urea dengan dosis lebih dari 75 kg/hektar, dan hanya 9,54 persen yang menggunakannya pada dosis 50-75 kg/hektar. Namun di luar dua kelompok besar itu juga ternyata masih ada 11,41 persen petani yang tidak menggunakan pupuk urea.

Gambar 4.5. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pupuk urea yang digunakan

Rata-rata jumlah pupuk TSP/SP36 yang digunakan ialah sebanyak 78,79 kg/hektar. Penggunaan pupuk TSP/SP36 bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 300 kg/hektar. Tidak seperti penggunaan pupuk urea, rata-rata penggunaan pupuk TSP/SP36 pada tanaman kedelai telah cukup baik. Rata-rata penggunaan pupuk TSP/SP36 oleh petani di Pulau Jawa telah berada pada kisaran dosis yang tepat yaitu 50–100 kg/hektar.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pupuk Urea yang Digunakan (%)

Tidak menggunakan 11,41

<50 kg/ha 7,83

50-75 kg/ha 9,54

75,01-100 kg/ha 12,21


(43)

43

Walaupun angka rata-rata penggunaan pupuk TSP/SP36 telah berada pada kisaran dosis yang tepat, tetapi berdasarkan data pada Gambar 4.6 ternyata sebenarnya petani yang menggunakan pupuk TSP/SP36 pada dosis yang tepat hanya sebanyak 17,53 persen. Kelompok yang paling besar ialah kelompok petani kedelai yang tidak menggunakan pupuk TSP/SP36 (37,58%). Jika persentase petani yang tidak menggunakan pupuk TSP/SP36 ini dijumlahkan dengan 9,08 persen petani yang menggunakan pupuk TSP/SP36 dalam dosis kurang dari 50 kg/hektar, maka akan didapat sekitar 46,66 persen petani kedelai yang menggunakan pupuk TSP/SP36 kurang dari dosis yang seharusnya digunakan.

Gambar 4.6. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pupuk TSP/SP36 yang digunakan

Rata-rata jumlah pupuk KCl yang digunakan ialah sebanyak 4,70 kg/hektar. Penggunaan pupuk KCl bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 300 kg/hektar.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pupuk TSP/SP36 yang Digunakan (%)

Tidak menggunakan 37,58

<50 kg/ha 9,08

50-100 kg/ha 17,53

100,01-150 kg/ha 14,43


(44)

Gambar 4.7. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pupuk KCl yang digunakan

Berbeda dengan tingkat penggunaan pupuk urea dan TSP/SP36, rata-rata penggunaan pupuk KCl oleh petani di Pulau Jawa sangat rendah. Dapat dilihat pada Gambar 4.7, sebagian besar petani tidak menggunakan pupuk KCl dalam usahanya. Hal ini mengakibatkan angka penggunaan KCl masih berada di bawah dosis yang dianjurkan (50–100 kg/hektar).

4.2.4. Pestisida

Ada beberapa hal yang bisa mengurangi tingkat produksi usaha tani kedelai, salah satu hal diantaranya ialah serangan hama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada cukup banyak rumah tangga usaha kedelai di Pulau Jawa yang mengalami serangan hama. Sebanyak 69,38 persen rumah tangga usaha kedelai di Pulau Jawa mengalami serangan hama.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pupuk KCl yang Digunakan (%)

Tidak menggunakan 95,76

<50 kg/ha 1,54

50-100 kg/ha 0,7

100,01-150 kg/ha 0,57


(45)

45

Gambar 4.8. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut tingkat serangan hama yang dialami

Namun dari 69,38 persen rumah tangga tersebut hanya 9,04 persen yang mengalami serangan hama pada tingkatan yang berat, sisanya 26,14 persen mengalami serangan hama pada tingkatan sedang dan 34,19 persen mengalami serangan hama pada tingkatan ringan (Gambar 4.8). Pengendalian hama dengan secara kimiawi melalui penggunaan pestisida ialah cara yang paling banyak dilakukan oleh petani. Pada rumah tangga usaha yang tanaman kedelainya terkena serangan hama sebanyak 81,92 persen melakukan upaya pengendalian hama secara kimiawi.

Rata-rata jumlah pestisida yang digunakan ialah sebanyak 700,20 cc/hektar. Penggunaan pestisida bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 11.200 cc/hektar. Berdasarkan Gambar 4.9 ada 41,65 persen petani kedelai yang tidak menggunakan pestisida. Untuk petani yang menggunakan pestisida, paling banyak berada kelompok penggunaan pestisida di bawah 500 cc/hektar (18,05%) dan 500-999,99 cc/hektar (16,52%). Hal ini sesuai dengan data pada Gambar 4.8 bahwa sebagian besar petani yang mengalami gangguan hama mengalami gangguan hama dalam intensitas ringan sehingga hanya memerlukan penggunaan pestisida dalam jumlah yang lebih sedikit.

Tidak terkena serangan

30,62%

ringan 34,19%

berat 9,04%

sedang 26,14% Terkena

serangan hama 69,38%


(46)

Gambar 4.9. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pestisida yang digunakan

4.2.5.Tenaga Kerja

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan ialah sebanyak 162,16 OH/hektar. Jumlah penggunaan tenaga kerja paling sedikit ialah 32,01 OH/hektar dan tertinggi 319,83 OH/hektar. Rata-rata jumlah tenaga kerja dalam usaha tani kedelai di Pulau Jawa ini ternyata lebih sedikit dari angka rata-rata jumlah tenaga kerja di Indonesia (183 OH/hektar).

4.2.6.Pembiayaan dan Bantuan Usaha

Pembiayaan memegang peranan yang cukup penting dalam suatu usaha termasuk usaha tani kedelai. Modal yang digunakan petani untuk usaha tani kedelai dapat berasal dari modal milik sendiri, pinjaman dengan bunga, dan pinjaman tanpa bunga. Sebagian besar (92,97%) rumah tangga usaha tani kedelai di Pulau Jawa menggunakan modal sendiri. Sementara rumah tangga yang

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pestisida yang Digunakan (%)

Tidak menggunakan 41,65

<500 cc/ha 18,05

500-999,99 cc/ha 16,52

1000-1999,99 cc/ha 11,7


(47)

47

memanfaatkan permodalan dari pinjaman dengan bunga hanya sebanyak 3,50 persen, dan yang menggunakan pinjaman tanpa bunga sebanyak 3,53 persen.

Bantuan untuk usaha tani kedelai merupakan salah satu bentuk dukungan yang diharapkan akan bisa meningkatkan produksi kedelai. Jenis bantuan usaha yang sudah cukup banyak diterima petani ialah bantuan benih dan pupuk. Sebanyak 39,58 persen petani kedelai menerima bantuan usaha berupa benih gratis, dan 7, 83 persen lainnya menerima subsidi harga untuk pembelian benih. Untuk pupuk, ada 51,10 persen petani yang menerima bantuan pupuk dalam bentuk subsidi harga dan 1,79 persen petani memperoleh bantuan pupuk secara gratis.

Tabel 4.2. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jenis bantuan usaha yang diterima

Jenis Bantuan Gratis Subsidi harga/bunga

Tidak menerima

bantuan Total

(1) (2) (3) (4) (5)

Benih 39,58 7,83 52,59 100,00

Pupuk 1,79 51,10 47,11 100,00

Pestisida 0,76 2,55 96,69 100,00

Pembiayaan 0,16 0,51 99,33 100,00

Sumber: Hasil olahan.

Berbeda dengan benih dan pupuk, ternyata tidak banyak bantuan pestisida dan pembiayaan usaha tani yang diterima petani kedelai. Ada sebanyak 96,69 persen petani kedelai yang tidak menerima bantuan pestisida baik itu dalam bentuk bantuan gratis atau subsidi harga. Begitu juga halnya dengan pembiayaan usaha tani, sebanyak 99,33 persen petani kedelai menyatakan tidak memperoleh bantuan, baik itu dalam bentuk pemberian dana cuma-cuma atau subsidi bunga pinjaman.


(48)

4.2.7.Harga

Sepanjang tahun 2010, harga produsen kedelai di Indonesia terus mengalami perubahan. Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa harga kedelai yang paling rendah terjadi pada bulan Maret (Rp 656.927/kuintal), sedangkan harga tertinggi terjadi pada bulan Desember (Rp 691.594/kuintal). Kenaikan harga tertinggi terjadi pada bulan Agustus saat harga kedelai di tingkat produsen mengalami kenaikan 2,09 persen. Sedangkan penurunan harga yang paling tinggi terjadi pada bulan Maret saat harga kedelai di tingkat produsen mengalami penurunan 1,38 persen. Secara keseluruhan sepanjang tahun 2010 harga produsen kedelai mengalami kenaikan 3,18 persen. Secara rata-rata harga produsen kedelai tahun 2010 adalah Rp 671.267/kuintal atau sekitar Rp 6.700/kilogram. Harga ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedelai impor yang harganya sekitar Rp 5.500/kilogram.

Tabel 4.3. Harga produsen kedelai di Indonesia tahun 2009-2010 (Rp/kuintal) Bulan 2009 2010 Perkembangan harga tahun 2010 (%)

Bulanan (MoM) Tahunan (YoY)

(1) (2) (3) (4) (5)

Januari 642.462 669.476 -0,12 4,20

Februari 642.600 666.102 -0,50 3,66

Maret 643.963 656.927 -1,38 2,01

April 656.179 661.189 0,65 0,76

Mei 662.393 659.675 -0,23 -0,41

Juni 666.719 662.705 0,46 -0,60

Juli 667.077 664.232 0,23 -0,43

Agustus 668.724 678.120 2,09 1,41

September 677.411 679.488 0,20 0,31

Oktober 672.203 683.989 0,66 1,75

November 671.484 681.709 -0,33 1,52

Desember 670.277 691.594 1,45 3,18


(49)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Estimasi Model

Fungsi produksi Cobb-Douglas untuk usaha tanaman kedelai diperoleh melalui penyusunan model regresi linier berganda dari variabel-variabel input dan output yang telah ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural. Logaritma natural dari enam variabel input (luas panen, benih, pupuk urea, pupuk TSP/SP36, pupuk KCl, dan tenaga kerja) dijadikan sebagai variabel bebas dalam model regresi, dan logaritma natural dari variabel output (produksi) dijadikan sebagai variabel tak bebas dalam model regresi. Pengolahan data untuk mendapatkan model dari fungsi tersebut dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 16.

Tabel 5.1 Hasil estimasi koefisien fungsi produksi pertanian kedelai

Variabel Koefisien t-hitung sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Tolerance VIF

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Konstanta -1,167 0,07 -16,602 0,00 0,239 4,188

Ln_luas panen 0,717 0,012 59,269 0,00 0,724 1,381

Ln_benih 0,265 0,012 22,581 0,00 0,239 4,187

Ln_urea 0,028 0,003 9,687 0,00 0,854 1,170

Ln_tsp 0,022 0,003 7,3 0,00 0,864 1,157

Ln_kcl 0,043 0,009 4,964 0,00 0,982 1,018

Ln_tenaga kerja 0,090 0,009 9,934 0,00 0,239 4,188 Keterangan:

1. Variabel tak bebas = Ln_produksi 2. R2 = 0,764

3. F-hitung = 1475.438; sig. = 0,00 4. Durbin-Watson = 1,963


(50)

Berdasarkan hasil pengolahan data, semua variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel tak bebas (tabel 5.1). Karena semua variabel memiliki pengaruh yang signifikan, maka semua variabel tersebut dapat dimasukkan ke dalam model. Bentuk model regresi linier dari fungsi produksi Cobb-Douglas untuk usaha tanaman kedelai dengan enam variabel bebas ialah:

珪契 姿=伐層,層掃挿+宋,挿層挿 珪契 姉+宋,匝掃捜 珪契 姉+宋,宋匝掻 珪契 姉+宋,宋匝匝 珪契 姉+

宋,宋想惣 珪契 姉+宋,宋操宋 珪契 姉+侍 (5.1)

Keterangan:

y = produksi kedelai (kg) x1 = input luas panen (m2)

x2 = input benih (kg)

x3 = input pupuk urea (kg)

x4 = input pupuk TSP/SP36 (kg)

x5 = input pupuk KCl (kg)

x6 = input tenaga kerja (OH)

(b1+b2+b3+b4+b5+b6) = 1,165.

5.2. Pengujian Asumsi Regresi

Ada empat asumsi yang harus dipenuhi untuk membentuk sebuah model persamaan regresi linier berganda, yaitu asumsi normalitas, nonautokorelasi, tidak terjadi heteroskedastisitas, dan tidak ada multikolinearitas. Model regresi linear pada persamaan di atas telah melalui serangkaian uji statistik untuk memastikan keempat asumsi tersebut telah terpenuhi.


(51)

51

Asumsi normalitas diuji dengan melihat bentuk dari kurva normal Q-Q plot. Jika Q-Q plot mengikuti garis normal (lurus) maka asumsi kenormalan dapat diterima. Dari hasil pengolahan data terlihat bahwa kurva Q-Q plot telah mengikuti garis normal sehingga asumsi normalitas terpenuhi.

Gambar 5.1 Kurva Q-Q plot dari sisaan/residual

Asumsi nonautokorelasi diuji dengan statistik Durbin-Watson.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson (d) sebesar 1.936. Nilai d tersebut terletak diantara 1,84165 dan 2,15835 yang berarti tidak ada gejala autokorelasi baik positif maupun negatif di dalam model.

Untuk mendeteksi adanya masalah heteroskedastisitas bisa dilakukan dengan uji Park. Hasil uji t dalam regresi residual kudrat dengan semua variabel bebas menunjukkan nilai t hitung lebih kecil dibandingkan nilai t tabel atau

probabilitas t lebih besar dari =0,05 yang berarti tidak ada masalah

heteroskedastisitas dalam model.

Asumsi terakhir yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis regresi linier berganda adalah tidak adanya multikolinieritas. Salah satu metode untuk


(52)

mendeteksi adanya multikolinieritas dalam sebuah model adalah dengan

menghitung Variance Inflation Factor (VIF) dan Torelance (TOL). Hasil olahan

data menunjukkan bahwa nilai VIF untuk semua variabel lebih kecil dari sepuluh yang artinya tidak terjadi multikolinieritas.

5.3. Pengujian Parameter Model

Tahapan yang dilakukan setelah model fungsi produksi didapatkan adalah melakukan pengujian hipotesis secara statistik terhadap semua parameter dalam model. Beberapa pengujian secara statistik yang dilakukan terhadap paremeter

model adalah uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi secara

menyeluruh (F-test/uji F), dan uji koefisien regresi parsial (uji t).

Dari tabel 5.1 terlihat nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan oleh

model sebesar 0,764. Angka ini berarti variasi atau proporsi keragaman nilai output produksi kedelai yang mampu dijelaskan oleh variabel bebas dalam model adalah sebesar 76,4 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 23,6 persen variasi output dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Secara umum, hal ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara variabel tidak bebas dengan semua variabel bebas.

Tingkat kekuatan hubungan antara variabel tidak bebas dengan semua variabel bebas yang menjelaskan secara menyeluruh dalam sebuah persamaan regresi dapat diketahui dengan menggunakan uji statistik F. Sebelum melakukan uji F terlebih dahulu harus dilakukan penyusunan hipotesis. Hipotesis nol (H0)

yang diajukan dalam uji ini adalah nilai koefisien 1= 2= 3= 4= 5= 6=0 yang


(53)

53

alternatifnya adalah ada satu koefisien ≠0 atau minimal ada satu variabel bebas

yang memengaruhi variabel tidak bebas.

Nilai F hitung yang dihasilkan oleh model estimasi adalah sebesar 1475,438 dan signifikansi 0,00. Jika dilihat dari nilai signifikansi, maka hipotesis nol dapat ditolak pada nilai =0,05. Hal ini berarti enam variabel tidak bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi kedelai.

Uji t (t-test) dilakukan untuk menguji secara parsial setiap variabel bebas.

Hipotesis yang diajukan dalam pengujian ini adalah masing-masing koefisien

persamaan bernilai nol atau i=0. Artinya adalah tidak ada pengaruh dari variabel

bebs terhadap variabel tidak bebas. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah i≠0

yang artinya ada pengaruh dari setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas.

Tingkat signifikansi semua variabel bebas dalam model bernilai 0,00. Bila

dibandingkan dengan =0,05 maka tingkat signifikansi dari setiap variabel bebas

lebih kecil dari . Sehingga keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol

pada semua pengujian variabel bebas atau artinya semua variabel bebas secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas.

5.4. Analisis Fungsi Produksi

Persamaan regresi linier berganda dari fungsi produksi Cobb-Douglas tanaman kedelai dengan enam variabel bebas ialah sebagai berikut:

珪契 姿=伐層,層掃挿+宋,挿層挿 珪契 姉+宋,匝掃捜 珪契 姉+宋,宋匝掻 珪契 姉+宋,宋匝匝 珪契 姉+


(54)

Selanjutnya dari persamaan tersebut dilakukan transformasi anti logaritma natural sehingga diperoleh fungsi produksi Cobb-Douglas tanaman kedelai sebagai berikut:

桂=係(景,景,景,景,景,景) =層,惣惣匝景宋,挿層挿景宋,匝掃捜景宋,宋匝掻景宋,宋匝匝景宋,宋想惣景宋,宋操宋 (5.3) Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai koefisien setiap setiap faktor menunjukkan nilai elastisitas produksinya. Berdasarkan nilai elastisitas dari masing-masing faktor bisa dikatakan bahwa untuk faktor luas panen, penggunaan benih, penggunaan pupuk urea, penggunaan pupuk TSP/SP36, penggunaan pupuk KCl, dan tenaga kerja telah cukup efisien karena untuk setiap faktor produksi tersebut nilai elastisitas produksinya berada pada kisaran 0 dan 1.

Untuk faktor produksi luas panen, nilai elastisitas produksinya adalah 0,717 yang artinya penambahan input luas panen sebesar satu persen akan meningkatkan output produksi sebesar 0,717 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Faktor produksi luas panen ini memiliki elastisitas produksi yang paling besar bila dibandingkan dengan faktor produksi lainnya yang ada dalam fungsi produksi ini.

Untuk faktor produksi benih, nilai elastisitas produksinya adalah 0,265. Hal ini artinya penambahan input benih sebesar satu persen akan meningkatkan output produksi sebesar 0,265 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Luas panen dan benih merupakan dua faktor produksi yang memiliki elastisitas produksi yang cukup tinggi.

Untuk faktor produksi pupuk urea, pupuk TSP/SP36, pupuk KCl, dan tenaga kerja memiliki nilai elastisitas produksi yang kecil. Elastisitas produksi


(55)

55

untuk pupuk urea adalah 0,028, elastisitas produksi untuk pupuk TSP/SP36 adalah 0,022, elastisitas produksi untuk pupuk KCl adalah 0,043, dan elastistitas produksi untuk tenaga kerja adalah 0,090.

Secara keseluruhan model, tingkat elastisitasnya adalah 1,165. Pada

tingkat elastisitas ini fungsi produksi menunjukkan sifat yang increasing return to

scale. Hal ini berarti setiap penambahan input secara keseluruhan sebesar satu persen diperkirakan akan menghasilkan penambahan output lebih dari satu persen.


(56)

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

1. Luas panen, benih, pupuk urea, pupuk TSP/SP36, pupuk KCl, dan tenaga

kerja merupakan faktor produksi yang secara signifikan memberi pengaruh kepada produksi tanaman kedelai di Pulau Jawa pada tahun 2010.

2. Berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas dari tanaman kedelai di pulau

Jawa tahun 2010 diketahui bahwa untuk faktor produksi luas panen elastisitas produksinya adalah 0,717, benih elastisitas produksinya adalah 0,265, pupuk urea elastisitas produksinya adalah 0,028, pupuk TSP/SP36 elastisitas produksinya adalah 0,022, pupuk KCl elastisitas produksinya adalah 0,043, dan untuk tenaga kerja elastisitas produksinya adalah 0,090.

3. Pertanian tanaman kedelai di pulau Jawa berada dalam skala usaha increasing

return to scale, yang berarti setiap penambahan input secara keseluruhan sebesar satu persen diperkirakan akan menghasilkan penambahan output lebih dari satu persen sehingga peningkatan produksi dapat dilakukan dengan upaya penambahan input produksi.

6.2. Saran

1. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi kedelai

ialah dengan menambah penggunaan faktor produksi. Fungsi produksi


(57)

57

menghasilkan penambahan output lebih dari satu persen untuk setiap penambahan input secara keseluruhan sebesar satu persen.

2. Pemerintah harus berusaha untuk meningkatkan luas panen pertanian kedelai,

karena luas panen petanian kedelai merupakan faktor produksi yang memiliki elastisitas produksi yang tertinggi. Upaya peningkatan luas panen dapat dilakukan dengan cara ekstensifikasi pertanian kedelai, dan juga dengan menambah frekuensi tanam kedelai dalam satu tahun.

3. Karena harga kedelai adalah salah satu faktor yang dapat memengaruhi luas

areal panen, maka dalam upaya meningkatkan luas panen pertanian kedelai sebaiknya pemerintah mengatur harga produsen kedelai agar berada tingkatan yang menguntungkan.

4. Pemberian bantuan pertanian untuk petani kedelai sebaiknya lebih

dititikberatkan pada pemberian benih dan pembiayaan usaha untuk menyewa lahan daripada pada pemberian pupuk. Hal ini dikarenakan elastisitas produksi dari luas panen dan benih lebih tinggi dari elastisitas produksi dari pupuk.


(58)

OLEH DENA DRAJAT

H14114004

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(1)

67


(2)

68


(3)

69


(4)

70


(5)

71


(6)

RINGKASAN

DENA DRAJAT. Analisis Fungsi Produksi Tanaman Kedelai di Pulau Jawa Tahun 2010 (dibimbing oleh ALLA ASMARA).

Kedelai termasuk komoditas strategis di Indonesia. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki peranan yang besar karena merupakan sumber bahan baku utama bagi industri tahu, tempe, dan pakan ternak berupa bungkil kacang kedelai. Kebutuhan kedelai dalam negeri cenderung meningkat pada lima tahun terakhir, dan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi 29-42 persen dari kebutuhan tersebut. Saat ini lebih dari 50 persen kebutuhan kedelai nasional diperoleh dari hasil impor, suatu kondisi yang dapat mengancam kedaulatan pangan Indonesia jika suatu saat negara pengekspor kedelai menghentikan ekspornya.

Dalam rencana strategis Kementerian Pertanian (Kementan) dicantumkan bahwa target produksi tersebut diharapkan tercapai dengan adanya kenaikan produksi secara bertahap dari tahun ke tahun mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2014. Pada tahun 2010, sasaran produksi kedelai di Pulau Jawa adalah sebesar 780.900 ton.

Dalam realisasi di lapangan, catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi kedelai di Pulau Jawa pada tahun 2010 adalah sebesar 633.212 ton. Sehingga bisa disimpulkan angka sasaran produksi kedelai yang telah ditetapkan oleh Kementan tidak tercapai. Dengan terjadinya hal ini maka upaya-upaya peningkatan produksi kedelai harus dilakukan dengan lebih baik lagi.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengidentifikasi faktor produksi yang memengaruhi produksi tanaman kedelai di Pulau Jawa, dan mengukur elastisitas output terhadap pemberian input produksi tanaman kedelai. Metode analisis yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas dengan pendekatan model regresi linier Ordinary Least Square (OLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas panen, benih, pupuk urea, pupuk TSP/SP36, pupuk KCl, dan tenaga kerja merupakan faktor produksi yang secara signifikan memberi pengaruh kepada produksi tanaman kedelai di Pulau Jawa. Berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas dari tanaman kedelai di pulau Jawa tahun 2010 diketahui bahwa untuk faktor produksi luas panen elastisitas produksinya adalah 0,717, benih elastisitas produksinya adalah 0,265, pupuk urea elastisitas produksinya adalah 0,028, pupuk TSP/SP36 elastisitas produksinya adalah 0,022, pupuk KCl elastisitas produksinya adalah 0,043, dan untuk tenaga kerja elastisitas produksinya adalah 0,090. Pertanian tanaman kedelai di pulau Jawa berada dalam skala usaha increasing return to scale, yang berarti setiap penambahan input secara keseluruhan sebesar satu persen diperkirakan akan menghasilkan penambahan output lebih dari satu persen sehingga peningkatan produksi dapat dilakukan dengan upaya penambahan input produksi.