Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Peralatan Habitat Kerusakan Ringan

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo Taman Nasional Gunung Merapi Kabupaten Sleman Propinsi DIY Gambar 5. Pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012 selama ± dua bulan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2012.

4.2. Bahan dan Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, binokuler, altimeter, kompas, tally sheet, tali tambang, alat tulis, thermo-hygro meter, kamera digital, pita ukur, Peta RBI TN Gunung Merapi. Perangkat lunak yang digunakan adalah ArcGIS 9.3, Microsoft Word, dan Microsoft Excel dan komputer. Gambar 5. Lokasi penelitian 1759,94 ha

4.3. Metode Pengumpulan Data

4.3.1. Karakteristik Habitat

Pengumpulan data untuk mengetahui informasi sebaran dan karakteristik habitat monyet ekor panjang dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan. Pengamatan langsung ini dilakukan guna memperoleh data dan informasi tentang keberadaan, komponen fisik, dan biotik habitat monyet ekor panjang. Penentuan jumlah unit contoh dilakukan dengan metode stratified sampling with random start dengan pendekatan metode alokasi proporsional. Penempatan unit contoh mewakili tipe-tipe kerusakan yang terjadi pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yaitu pada areal tipe kerusakan vegetasi ringan dan tipe kerusakan vegetasi sedang dengan luas 3.751,85 ha. Pada tipe kerusakan vegetasi berat tidak dilakukan pengamatan karena tidak terdapat vegetasi yang tersisa. Unit contoh pengamatan karakteristik habitat yang digunakan berukuran 500 m x 20 m. Intensitas sampling yang digunakan sebesar 1 sehingga total unit contoh pengamatan sebanyak 38. Pengamatan dilakukan pada lima resort yaitu Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk- Cepogo dan Resort Selo. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang Resort Jumlah jalur pada tipe kerusakan Jumlah Ringan Sedang Turi-Cangkringan-Pakem 10 3 13 Kemalang 7 1 8 Musuk-Cepogo 3 3 Selo 3 1 4 Dukun 3 7 10 Jumlah 26 12 38 Penempatan unit contoh pada setiap resort mengikuti grid satwaliar yang dibuat oleh TNGM 2010 dengan jarak antar jalur 1 km. Penempatan jalur pengamatan seperti disajikan pada Gambar 6. TN Gunung Merapi memiliki berapa tipe vegetasi yang dibedakan menurut struktur dan komposisi vegetasi. Pengukuran dilakukan dengan metode garis berpetak Indriyanto 2006. Metode ini dilakukan dengan membuat petak ukur dengan ukuran 20 m x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon A, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang B, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang C dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai D. Ukuran unit contoh yang digunakan adalah 500 m x 20 m. Bentuk unit contoh pengamatan vegetasi disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Metode garis berpetak untuk pengamatan vegetasi Gambar 6. Penempatan unit contoh karakteristik habitat

4.3.2. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat

Pengumpulan data faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang dilakukan pada lokasi ditemukannya populasi monyet ekor panjang. Pada titik ditemukannya populasi monyet ekor panjang dilakukan pencatatan posisi GPS, jumlah individu dalam setiap kelompok, dan jumlah kelompok monyet ekor panjang jika lebih dari satu kelompok. Selain karakteristik umum kelompok, juga dilakukan pengamatan data karakteristik biotik dan abiotik yang diperlukan guna menjelaskan faktor-faktor penentu sebaran monyet ekor panjang. Data yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Peubah faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat . No Jenis Peubah Peubah Yang Diukur Notasi 1 Peubah Tak Bebas Jumlah Kehadiran Monyet ekor panjang Y1 2 Peubah Bebas Ketinggian Tempat X1 Jarak ke sumber air X2 Jarak pertanian X3 Suhu udara X4 Kelembaban udara X5 Jumlah jenis vegetasi X6 Jenis tumbuhan pakan X7 Kerapatan vegetasi X8 Pengumpulan data vegetasi dan peubah abiotik yang mempengaruhi penggunaan habitat dilakukan dengan membuat petak ukur dengan ukuran 20 m x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon A, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang B, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang C dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai D. Pada setiap perjumpaan dengan monyet ekor panjang dilakukan pengukuran karakteristik abiotik. Petak ukur dibuat sebanyak 5 buah dengan posisi penempatan petak ukur seperti disajikan pada Gambar 8. Metode pengumpulan data komponen abiotik dan vegetasi habitat monyet ekor panjang tersebut adalah sebagai berikut:

4.3.2.1. Komponen Abiotik Habitat

Komponen fisik habitat monyet ekor panjang meliputi ketinggian tempat, jarak ke sumber air, jarak pertanian, suhu, dan kelembaban. a. Ketinggian tempat Menurut Lekagul McNeely 1977 monyet ekor panjang dapat ditemukan di hutan primer dan sekunder sampai dengan ketinggian 2000 mdpl. Ketinggian tempat penelitian diukur dengan menggunakan altimeter. Gambar 8. Bentuk unit contoh untuk pengamatan komponen abiotik dan vegetasi b. Jarak ke sumber air Alikodra 2002 menyatakan satwaliar membutuhkan air untuk pencernaan makanan dan metabolisme dengan kebutuhan yang berbeda untuk tiap jenis satwaliar. Identifikasi jarak ke sumber air dilakukan dengan GPS dimana titik koordinat ditemukan monyet ekor panjang diplotkan ke peta RBI, kemudian dari titik tersebut ditarik garis ke titik koordinat sumber air terdekat. Panjang garis diukur menggunakan ArcGIS 9.3. c. Jarak pertanian Pengukuran jarak pertanian dilakukan karena monyet ekor panjang sering ditemukan disekitar daerah pertanian dan habitat tepi edge dibandingkan didalam hutan Lekagul McNeely 1977. Pengukuran jarak keberadaan monyet ekor panjang ke pertanian dilakukan dengan memasukan titik koordinat GPS lokasi ditemukan monyet ekor panjang ke dalam Peta RBI kemudian ditarik garis ke titik koordinat lahan pertanian terdekat. Panjang garis diukur menggunakan ArcGIS 9.3. d. Suhu dan kelembaban udara Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan thermo-hygrometer. Pegukuran dilakukan sekali pada lokasi dan saat monyet ekor panjang ditemukan. Pengukuran ini dilakukan karena berdasarkan penelitian Santoso 1996 suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap perilaku harian monyet ekor panjang.

4.3.2.2. Komponen Vegetasi

Pengamatan dilakukan disetiap titik perjumpaan monyet ekor panjang. Metode yang digunakan dalam pengamatan komponen vegetasi adalah seperti disajikan pada Gambar 7. Komponen yang diukur adalah sebagai berikut: a. Jumlah jenis vegetasi Vegetasi di lokasi ditemukannya monyet ekor panjang dicatat jenis dan jumlahnya. Hasanbasri et al. 1996 menyebutkan bahwa potensi pakan monyet ekor panjang ada dalam setiap tingkatan vegetasi baik pohon, tiang, pancang, dan semai. b. Jenis tumbuhan pakan Tumbuhan pakan yang dimakan monyet ekor panjang pada saat penelitian dicatat jenis, jumlah dan bagian yang dimakan. Menurut Yeager 1998, urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah buah, daun dan bunga. c. Kerapatan vegetasi. Alikodra 2002 menyebutkan bahwa struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung baik sebagai tempat persembunyian atau penyesuaian terhadap temperatur.

4.4. Analisis Data

4.4.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Peta sebaran dibuat dengan memplotkan titik koordinat perjumpaan monyet ekor panjang dengan peta kawasan TN Gunung Merapi.

4.4.2. Karakteristik Habitat

Komponen fisik habitat monyet ekor panjang yang berupa ketinggian tempat, jarak ke sumber air dan jarak pertanian diolah dengan menggunakan analisis spasial, kemudian ditabulasikan. Komponen fisik suhu dan kelembaban dianalisis secara kuantitatif kemudian ditabulasikan. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat dominansi suatu jenis tumbuhan yang menempati suatu daerah. Data lapangan hasil plot pengamatan dianalisis untuk mengetahui jenis tumbuhan yang dominan yang dilakukan dengan menghitung nilai penting NP. Nilai penting suatu jenis tumbuhan dalam suatu areal sama dengan jumlah nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Menurut Soerianegara Indrawan 1998 nilai kerapatan relatif KR, frekuensi relatif FR dan dominansi relatif DR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kerapatan K = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh Kerapatan Relatif KR= Kerapatan suatu jenis Kerapatan seluruh jenis x 100 Frekuensi F= Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh Frekuensi Relatif FR = Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis x100 Dominansi suatu jenis D= Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh Luas bidang dasar suatu jenis =¼ D 2 Keterangan: D = Diameter setinggi dada Dominansi Relatif= Dominansi suatu jenis Dominansi seluruh jenis x 100 Indeks Nilai Penting INP untuk tingkat tiang dan pohon = KR +FR + DR, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang INP = KR + FR. Analisis untuk mengetahui tingkat keanekaragaman tumbuhan pada setiap tipe habitat menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener H’ dengan persamaan sebagai berikut Ludwig Reynolds 1988: H= - P i ln P i s i=1 Nilai P i diperoleh dengan menggunakan rumus: P i = banyaknya individu spesies ke-i total individu dari seluruh spesies Indeks kesamaan Jaccard digunakan untuk menganalisis tingkat kesamaan komunitas antar tipe habitat. Tingkat kesamaan komunitas semakin besar jika nilai indeks Jaccard semakin besar. Indeks kesamaan Jaccard dihitung dengan persamaan Maguran 1988: C j = c a+b-c Keterangan: c = Jumlah sepesies yang di temukan di kedua habitat a = jumlah spesies yang ditemukan di habitat A b = Jumlah spesies yang ditemukan di habitat B

4.4.3. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat

Pemilihan habitat oleh monyet ekor panjang diketahui dengan membandingkan luas tipe habitat dengan intensitas penggunaannya. Satwaliar didefinisikan mempunyai sifat selektif jika memanfaatkan habitat dengan tingkat yang tidak proporsional dengan ketersediannya. Habitat dibedakan menjadi dua yaitu tipe habitat kerusakan vegetasi ringan dan tipe habitat kerusakan vegetasi sedang. Pengujian dilakukan dengan Chi Square Test untuk membandingkan frekuensi hasil observasi observed kehadiran satwaliar dengan dengan frekuensi yang diharapkan expected. Frekuensi hasil observasi merupakan nilai proporsi antara used plot pada tiap tipe habitat dengan total used plot. Frekuensi yang diharapkan merupakan nilai perkalian proporsi area availability tiap-tiap tipe habitat dengan jumlah total used plot. Availability merupakan proporsi area masing-masing tipe habitat yang tersedia bagi monyet ekor panjang. Hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat diuji dengan menggunakan Chi Square Test. Dalam pengujian ini setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat dibagi dalam beberapa kelas. Frekuensi hasil observasi observed merupakan jumlah individu monyet ekor panjang yang dijumpai pada setiap kelas. Frekuensi yang diharapkan expected untuk setiap kelas dianggap sama. Selang kelas untuk setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: L= R K Keterangan: L = Selang kelas R = Selisih antara nilai maksimum dengan minimum faktor dominan penentu penggunaan habitat K =Jumlah kelas Chi Square Test untuk menguji adanya pemilihan habitat dan hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu pengggunaan habitat dirumuskan sebagai berikut Johnson Bhattacharyya 1987: ²= Oi-Ei² Ei Keterangan: ² = Chi Square hasil perhitungan Oi= Frekuensi hasil observasi observed Ei= Frekuensi yang diharapkan expected Hipotesis yang dibangun untuk menguji ada tidaknya pemilihan habitat oleh monyet ekor panjang adalah: Ho : Habitat dipilih secara acak. Hi : Habitat dipilih secara tidak acak. Hipotesis yang dibangun untuk menguji hubungan antara keberadaan monyet dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat adalah: Ho : Tidak ada hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat Hi : Ada hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor- faktor dominan penentu penggunaan habitat. Keputusan diambil jika nilai ² hitung ² 0,05,n-1 , maka terima H tolak H 1 begitupun sebaliknya, jika nilai ² hitung ² 0,05,n-1 maka terima H 1 tolak H . V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang

Monyet ekor panjang yang dijumpai selama pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terdapat dalam 10 lokasi. Lokasi penyebarannya meliputi lima resort yaitu Resort Turi Cangkringan Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo Tabel 6. Tabel 6. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM Desa Resort Kordinat X Y Purwobinangun Turi Cangkringan Pakem 437.317 9.160.869 Purwobinangun Turi Cangkringan Pakem 436.712 9.162.067 Ngargomulyo Dukun 430.913 9.163.602 Ngargomulyo Dukun 431.494 9.164.153 Ngargomulyo Dukun 432.461 9.165.667 Tegalmulyo Kemalang 441.281 9.162.422 Tegalmulyo Kemalang 442.388 9.164.089 Mriyan Musuk-Cepogo 442.457 9.165.936 Mriyan Musuk-Cepogo 441.791 9.166.086 Suroteleng Selo 441.848 9.168.476 Monyet ekor panjang yang dijumpai secara langsung berada di semua resort dengan jumlah kelompok bervariasi seperti disajikan pada Tabel 7. Jumlah anggota kelompok yang paling besar ditemukan dalam pengamatan berada di Resort Kemalang dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 26 ekor, sedangkan jumlah anggota kelompok yang paling kecil ditemukan di Resort Dukun sebanyak 5 ekor. Perjumpaan tidak langsung ditentukan dengan indikator bekas pakan monyet ekor panjang yang berupa patahan daun dan bunga serta sisa buah pakan. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang didalam jalur pengamatan sebanyak 5 kali dengan perjumpaan langsung 2 kali dan perjumpaan tidak langsung 3 kali. Perjumpaan langsung monyet ekor panjang selama pengamatan sebanyak 7 kali dimana perjumpaan langsung diluar kawasan TNGM sebanyak 2 perjumpaan sedangkan didalam kawasan TNGM 5 perjumpaan. Tabel 7. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM No Resort frekuensi Jumlah individu A Perjumpaan Langsung 1 Turcangkem 1 22 2 Dukun 2 12 3 Kemalang 2 46 4 Musuk-Cepogo 1 7 5 Selo 1 9 B Perjumpaan Tidak Langsung 1 Turcangkem 1 - 2 Dukun 1 - 3 Musuk-Cepogo 1 - Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang berdasarkan tipe kerusakan habitat hanya terdapat 1 kelompok yang ditemukan di habitat kerusakan sedang yaitu di Resort Dukun, sedangkan untuk habitat kerusakan ringan ditemukan 4 kelompok. Lokasi penyebaran monyet ekor panjang di TNGM disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Persebaran monyet ekor panjang di TNGM

5.1.2. Karakteristik Habitat

1. Vegetasi

a. Habitat Kerusakan Ringan

Kerusakan habitat yang terjadi akibat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 telah diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu kerusakan ringan, sedang dan berat. Lokasi penelitian adalah habitat tipe kerusakan ringan dan kerusakan sedang. Hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian menemukan 85 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis yang paling banyak ditemui adalah pada famili Euphorbiaceae dan Moraceae dengan masing-masing famili 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat semai adalah 47 jenis, tingkat pancang adalah 72 jenis, tingkat tiang adalah 43 jenis, dan pada tingkat pohon sebanyak 40 jenis. Jenis tumbuhan yang ditemukan dalam habitat kerusakan ringan adalah sebanyak 82 jenis dengan jumlah famili 32. Famili dengan jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak adalah famili Euphorbiaceae dengan 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan untuk tingkat semai adalah 46 jenis, tingkat pancang adalah 70 jenis, tingkat tiang adalah 40 jenis dan tingkat pohon sebanyak 39 jenis. Jenis tumbuhan habitat kerusakan ringan secara lengkap disajikan pada Lampiran 1. Hasil analisis yang dilakukan pada habitat kerusakan ringan menunjukan bahwa tingkat pancang memiliki keanekaragaman tertinggi dan paling rendah adalah tingkat tiang. Nilai indeks keanekaragaman Shannon H’ untuk tingkat semai adalah 2,33, tingkat pancang adalah 2,59, tingkat tiang adalah 2,20 dan tingkat pohon adalah 2,47. Nilai indeks tersebut menunjukan bahwa tingkat keanekaragaman jenis pada setiap tingkatan vegetasi tergolong dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil analisis pada habitat kerusakan ringan dapat diketahui bahwa kerapatan tertinggi pada tingkat semai adalah jenis kaliandra Calliandra calothyrsus sebanyak 1.564 indha, kerapatan tertinggi pada tingkat pancang adalah kaliandra C.calothyrsus sebanyak 472 indha, kerapatan tertinggi pada tingkat tiang adalah bambu petung Dendrocalamus asper sebanyak 83 indha, dan kerapatan tertinggi tingkat pohon adalah puspa Schima wallichii sebanyak 22 indha. Selain mempunyai kerapatan tertingggi keempat jenis tersebut juga merupakan jenis tumbuhan yang dominan dengan INP seperti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan di TNGM Tingkat Nama Jenis Nama Ilmiah FR KR DR INP Semai Kaliandra C.calothyrsus 19,15 48,90 68,05 Wilodo Ficus sp 6,91 8,02 14,93 Kina Cinchona succirubra 6,38 6,21 12,60 Salam Syzygium polyanthum 6,38 2,81 9,19 Pancang Kaliandra C.calothyrsus 9,45 33,29 42,73 Akasia dekuren Acacia decurens 17,04 24,46 41,50 Puspa S.wallichii 8,42 4,92 13,34 Pasang Lithocarpus sundaicus 5,54 3,98 9,52 Tiang Bambu Petung D.asper 9,72 38,33 37,92 85,97 Akasia dekuren A.decurens 19,12 17,98 22,80 59,90 Pasang L.sundaicus 12,85 11,55 9,61 34,01 Puspa Schima wallichii 11,29 7,62 6,29 25,20 Pohon Puspa S.wallichii 12,79 20,34 19,29 52,42 Pinus Pinus merkusii 10,48 18,93 21,86 51,27 Pasang L.sundaicus 12,08 14,11 11,13 37,32 Dadap Erythrina variegata 11,19 6,47 10,04 27,70 Keterangan: FR = Frekuensi Relatif ; KR = Kerapatan Relatif ; DR = Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting

a. Habitat Kerusakan Sedang