Ketentuan Indonesianisasi Saham Pihak Asing

merger bisnis dengan pertukaran saham domestik secara langsung atau tidak langsung. 50 Hanya saja mengatur hal demikian harus tetap memmperhatikan keterkaitannya dengan peraturan lain yang terkait. UUD 1945 pada Pasal 33 ayat 2 dan 3 merupakan dasar pembatasan penguasaan saham pihak asing. Oleh karena itu terhadap sektor-sektor usaha yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap harus dikuasai oleh negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 12 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu bidang usaha yang tertutup bagi PMA. Dengan demikian pada sektor-sektor usaha tersebut tidak diperkenankan PMA dengan penguasaan penuh. Mengijinkan pihak asing pada sektor usaha ini dengan penguasaan penuh, dengan mempergunakan alasan perlakuan sama, adalah tindakan melawan konstitusi. 51 Indonesianisasi saham atau divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan, pengurangan modal. Disebut juga divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing untuk secara bertahap tetapi pasti mengalihkan saham-sahamnya itu kepada mitra bisnis lokal atau proses yang mengakibatkan pengalihan saham dari peserta asing kepada

C. Ketentuan Indonesianisasi Saham Pihak Asing

50 Salim Hs Budi Sutrisno, op cit, ha.l 205. 51 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan: 2005, hal. 414. Universitas Sumatera Utara peserta nasional, baik melalui penjualan secara langsung maupun jual beli saham di pasar modal. Dapat berarti pula sebagai tindakan perusahaan memecah konsentrasi atau pemupukan modal sahamnya sebagai akibat dari larangan terjadinya monopolisasi. 52 Melalui pasal 18 UU No.1 Tahun 1967 ditentukan bahwa jangka waktu ijin penanaman modal asing tersebut tidak boleh melebihi 30 tahun, yang menurut Pasal 3 PP No.83 Tahun 2001, perhitungan jangka waktu 30 tahun tersebut dihitung dari saat usaha penanaman modal asing tersebut berproduksi secara komersil. Setelah batas waktu ijin penanaman modal asing berakhir, maka pihak asing harus mengalihkan jumlah sahamnya kepada negara atau pihak swasta yang dipercayakan dengan menjualnya dalam bentuk saham. Dengan demikian, pengelolaan badan usaha setelah 30 tahun berikutnya akan dikelola pihak negara atau pihak swasta nasional tanpa pihak asing. Dalam pengalihan sahamnya setelah batas waktu ijin berakhir tidaklah semudah yang dibayangkan. Kenyataannya adalah berbeda, terbukti dari banyaknya sengketa antara pihak yang diakibatkan oleh pengalihan saham sebagai suatu proses Indonesianisasi saham dimaksud. 53 Erman Radjagukguk, mengemukakan bahwa menjelang 10 tahun dikeluarkannya kebijaksanaan Indonesianisasi, tidak banyak dapat diketahui berapa jumlah perusahaan yang sudah melaksanakan pengalihan saham sehingga partner nasional menjadi pemegang saham mayoritas atau sedikitnya memiliki 52 www.lawskripsi.com, Divestasi Saham Asing, hal.1, diakses tanggal 6 November 2010. 53 Hulman Panjaitan Anner Mangatur Sianipar, op cit, hal. 165-167. Universitas Sumatera Utara 51 dari saham dalam perusahaan joint venture. Kesulitan utama yang dihadapi pengusaha adalah dana untuk membeli saham-saham dari partner asing mereka. Semula partner lokal mengharapkan bahwa dari keuntungan yang diperoleh perusahaan joint venture, bagian mereka akan dapat digunakan untuk membeli saham-saham tersebut. Namun sememtara perusahaan telah menghadapi perkembangan yang semula tidak diharapkan, dalam arti belum dapat memperoleh keuntungan sebagaimana yang diharapkan. 54 Ketentuan program Indonesianisasi tanggal 22 Januari 1974 diatas, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan Surat Edaran No. Kebijaksanaan mengenai program Indonesianisasi saham berawal dari dicetuskannya hasil sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional, tanggal 22 januari 1974 yang berisi mengenai pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut: 1. Peningkatan partisipasi nasional dalam perusahaan PMA menuju posisi mayoritas. 2. Peningkatan penggunaan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan- perusahaan PMA serta keharusan menyelenggarakan pendidikan bagi tenaga Indonesia. 3. Peningkatan partisipasi golongan pribumi baik dalam perusahaan PMA maupun PMDN. 54 Ibid, hal. 167-168. Universitas Sumatera Utara B.1195ABKMX1974 tanggal 11 Oktober 1974, yang menguraikan lebih terperinci mengenai kebijaksanaan tersebut, sebagai berikut: 1. Bagi proyek-proyek yang memakan waktu maksimum 3 tahun dalam periode pembangunan proyeknya, kenaikan saham nasional mayoritas, minimum 51 , dalam waktu 10 tahun terhitung mulai tanggal Izin Usaha Proyek yang dikeluarkan oleh Departemen Teknis. 2. Bagi proyek-proyek yang memakan waktu lebih dari 3 tahun dalam pembangunan proyeknya, kenaikan saham nasional mayoritas, minimumnya 51 dalam jangka 10 tahun terhitung mulai tanggal pertengahan antara tanggal Izin Usaha Proyek yang dikeluarkan oleh Departemen Teknis dan tanggal mulai berproduksi secara komersil. 3. Bagi proyek-proyek yang Persetujuan Sementara keluar sebelum tanggal 21 September 1974, kenaikan saham nasional menjadi mayoritas, minimum 51 dan masa 10 tahun, terhitung tetap mulai tanggal pengesahan P.T oleh Departemen Kehakiman seperti yang telah berlaku sebelum petunjuk Presiden tanggal 21 September 1974. 4. Bagi proyek-proyek yang belum keluar Persetujuan Sementara sesudah tanggal 21 September 1974, berlaku ketentuan diktum 1 dan diktum 2 diatas untuk kenaikan saham nasional menjadi mayoritas, minimum 5. Selanjutnya BKPM mengeluarkan kembali Surat Edaran No. B- 109ABKPMII1975 tanggal 21 Februari 1975, yang memberikan penjelasan terhadap Surat Edaran terdahulu. Lalu pada tanggal 1 Juli 1981, BKPM Universitas Sumatera Utara mengeluarkan pedoman intern tentang peningkatan saham nasional, yang menghubungkannya dengan pengembangan Pasar Modal dan Koperasi. Dalam perkembangan selanjutnya, melalui Keputusan Ketua BKPM No. 12SK1986, tanggal 4 Juni 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam perusahaan penanaman modal asing ditetapkan bahwa perusahaan penanaman modal asing harus berbentuk usaha patungan atau joint venture dengan penyertaan modal nasional sekurang-kurangnya 20 dan meningkat menjadi sekurang- kurangnya 51 dalam waktu sepuluh tahun sejak dimulainya produksi komersil perusahaan. Ketentuan yang mengharuskan investor asing mendirikan usaha patungan dengan pengiusaha nasional Indonesia pada waktu mendirikan perusahaan PMA melunak, pada saat Indonesia hendak mengembangkan kawasan pulau Batam sebagai kawasan ekonomi. Pemerintah Indonesia mengijinkan perusahaan penanaman modal asing di pulau Batam, 100 sahamnya dimiliki oleh pihak asing serta pengaturan yang terdapat dalam PP No.83 Tahun 2001. 55 Dasar hukum Indonesianisasi saham dalam perusahaan penanaman modal asing adalah berkaitan dengan kepemilikan saham dalam perusahaan yang bersangkutan. Kepemilikan saham dalam perusahaan penanaman modal asing dapat dimiliki baik oleh peserta asing maupun oleh peserta nasional, yang dalam bidang-bidang usaha tertentu merupakan suatu keharusan, walaupun dalam bidang usaha lain dimungkinkan adanya penanaman modal asing 100 atau secara 55 Ibid, hal. 179. Universitas Sumatera Utara penguasaan penuh secara langsung. Ketentuan mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam PP No. 83 Tahun 2001, yang dalam pasal 2 menyebutkan : 1 Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk: a. Patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; b. Langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara danatau badan hukum asing; 2 Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia meliputi badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi dan perusahaan nasional lainnya. Berikut ini akan diuraikan proses Indonesianisasi saham yang pernah berlangsung baik kepada partner lokal dalam joint venture yang bersangkutan maupun melalui pasar modal, yaitu: 56 Pembatasan-pembatasan mengenai besarnya kepemilikan saham dalam suatu perusahaan penanaman modal asing, umumnya diatur dalam anggaran dasar atau dalam joint venture agreement, yang biasanya menentukan pengalihan saham dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu partner dalam 1. Pengalihan saham kepada partner. 56 Ibid, hal. 184-185. Universitas Sumatera Utara perusahaan tidak bersedia membeli saham yang ditawarkan, maka saham tersebut dapat dengan bebas ditawarkan kepada pihak ketiga. Pengalihan saham dalam penanaman modal asing harus mendapat persetujuan dari partner dalam perusahaan yang bersangkutan baru kemudian melaporkannya kepada BPKM untuk mendapatkan ijin. PP No 83 tahun 2001 telah merubah ketentuan Indonesianisasi divestasi dari PP yang terdahulu, dengan menetapkan bahwa untuk usaha patungan penjualan lebih lanjut saham asing dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak atau melalui pasar modal dalam negeri. Kesepakatan para pihak dimaksud dalam hal ini menyangkut masalah waktu dan besarnya perimbangan saham, seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 PP No 83 Tahun 2001. Jangka waktu yang pasti dalam Indonesianisasi divestasi saham asing hanya diperkenalkan oleh PP No. 83 Tahun 2001 bagi PMA yang 100 yakni dalam waktu paling lama 15 tahun sejak produksi komersial. Berapa jumlah saham yang wajib dialihkan diserahkan kepada kesepakatan para pihak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 dari Surat Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi Ketua BKPM No. 15SK1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagai berikut 57 “ 1Perusahaan penanaman modal asing yang seluruh 100 modal sahamnya dimiliki oleh warga negara asing danatau badan hukum asing, wajib menjual sebahagian sahamnya kepada warga negara Indonesia danatau : 57 Mahmul Siregar, op cit, hal 394. Universitas Sumatera Utara badan hukum Indonesia dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak berproduksi komersial sebagaimana tercantum dalam Ijin Usaha Tetapnya. 2Modal saham yang disetor dan ditempatkan yang dijual kepada Pihak Indonesia sebagaimana domaksud dalam ayat 1 ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak. “ Salah satu contoh pengalihan saham kepada partner adalah PT. International Timber Corporation Indonesia ITCI. PT. International Timber Corporation Indonesia ITCI adalah suatu perusahaan joint venture antara Weyerhaeuser, perusahaan Amerika yang berpusat di Tacoma dengan PT. All Truba Inter, sebuah perusahaan Indonesia. Weyerhaeuser memiliki 65 penyertaan dalam joint venture ketika didirikan tahun 1971. Partner asing dalam kerjasama ini pada tahap permulaan menanamkan modal sebesar US 35 juta dari pusatnya di Amerika dan menanamkan kembali US 5 juta dollar setiap tahun dari keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha di Indonesia. Lokal partner mengandalkan Hak Pengusaha Hutan HPH yang dimilikinya sebagai penyertaan. Tahun 1981, Weyerhaeuser mengundurkan diri dari Indonesia dengan alasan yang tidak jelas. Besar kemungkinan disebabkan alasan ekonomis dan perselisihan antara para partner dalam joint venture. Kemungkinan tersebut adalah: 1. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk membatasi ekspor kayu gelondongan bahkan kemudian melarangnya untuk melindungi hutan dan mendorong Universitas Sumatera Utara industri perkayuan di dalam negeri. Mr. Weyerhaeuser menyatakan di Hongkong bahwa keputusan ini akan memengaruhi usaha perusahaannya. 2. Telah terjadi perselisihan antara Weyerhaeuser dan partnernya PT. All Truba Inter, sehubungan dengan perjanjian pengalihan saham. Pada tahun 1975, pemerintah Indonesia mengumumkan kebijaksanaan baru di bidang kehutanan bahwa antara lain di dalam perusahaan joint venture, HPH harus berada di tangan perusahaan nasional. Disamping itu, setelah 10 tahun, 51 dari saham perusahaan yang bersangkutan harus berada di tangan pengusaha nasional. Namun, menurut keterangan J.M. Joenes, Presiden Direktur PT. Tri Usaha Bakti “Weyerhaeuser tidak mau mengakui ketentuan baru ini”. Hal ini dikarenakan, partner lokal tidak menerima dividen antara tahun 1971-1974 karena PT. All Truba Inter harus membayar kembali hutang-hutangnya sebesar 1juta setiap tahun ditambah bungan 8,5 setahun, jika mendapat keuntungan. Pada waktu Weyerhaeurser memiliki 65 dari saham, partner asing tersebut siap untuk menjual seluruh sahamnya seharga 420.000 per satu persen saham. Namun, partner lokal tidak mempunyai dana baik untuk membeli seluruh saham yang ditawarkan tersebut maupun membayar hutangnya. Pada tahun 1981, BKPM menegaskan lagi kebijaksanaan agar partner Indonesia harus menjadi pemegang saham mayoritas. Kebijaksanaan ini menempatkan PT. All Truba Inter dalam posisi yang sulit. J.M. Joenes menambahkan, bahwa sejak tahun 1971 sampai pada saat terakhir, PT.All Truba Inter tidak pernah ikut dalam manajemen joint venture tersebut dan J.M. Joenes mengatakan, “Partner Indonesia merasa seperti partner yang tidur”. Universitas Sumatera Utara Pada bulan September 1980, Weyerhaeurser menjual 25 sahamnya dalam perusahaan joint venture tersebut kepada Bapindo, dengan demikian partner asing hanya memiliki 40 sisanya. Akhirnya pada bulan Oktober 1981, Bapindo membeli seluruh sisa saham tersebut seharga 5 juta. Menurut J.M. Joenes, saham-saham tersebut akan dapt dibeli kembali oleh PT. All Truba Inter dalam jangka waktu tidak lebih dari 8 tahun. Jika PT. All Truba Inter tidak membelinya dalam jangka waktu tersebut, Bapindo berhak menawarkannya kepada pihak lain. 2. Pengalihan saham kepada masyarakat Salah satu kemungkinan lainnya bagi partner asing, untuk mengalihkan sahamnya dalam rangka Indonesianisasi adalah melalui pasar modal, dengan menjual saham-saham tersebut pada masyarakat luas atau go public. Pada tahun 1976, pemerintah Indonesia menghidupkan kembali pasar modal dalam usaha menarik masyarakat untuk ikut mengadakan investasi di sektor perindustrian. Ini juga bertujuan untuk mencegah masyarakat menanamkan usahanya pada usaha- usaha spekulatif lainnya, seperti mempergunakannya untuk membeli emas, tanah, saham asing. Pemerintah mengatakan pula bahwa tujuan dari pasar modal antara lain untuk menciptakan pemerataan pendapatan. 58 58 Kepres No. 52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal. Selanjutnya pemerintah mendirikan PT. Danareksa untuk membantu mereka yang mempunyai dana terbatas, sehingga mampu membeli saham. Perusahaan ini membeli saham-saham perusahaan go public dan kemudian memecahkannya dalam bentuk Sertifikat Universitas Sumatera Utara Danareksa dan kemudian menjualnya pada masyarakat. Di samping itu, PT. Danareksa mendapat izin dari Menteri keuangan untuk ikut menjadi perantara dan anggota bursa agar ia dapat melakukan usaha-usaha yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas harga saham. Usahanya mengendalikan harga saham, dengan membeli atau melepas saham suatu perusahaan, karena dianggap menghambat tumbuhnya bursa. Karena bursa sering di intervensi, maka kurs saham suatu perusahaan yang muncul dianggap sering tidak menampilkan keadaan perusahaan itu sendiri. Bank Dunia menganjurkan agar PT. Danareksa secara bertahap mengurangi peranannya sebagai stabilisator. Sementara investor asing menganggap bahwa menjual saham melalui pasar modal adalah sarana yang baik untuk memberikan identitas nasional pada perusahaan mereka. Lagipula mengalihkan saham kepada masyarakat luas membawa manfaat lain, yaitu masyarakat tidak akan mengambil bagian dalam manajemen dan cenderung pula untuk tidak hadir dalam RUPS. Contoh perusahaan PMA yang mengalihkan sahamnya melalui pasar modal yaitu PT. Goodyear Indonesia. PT. Goodyear Indonesia adalah anak perusahaan dari Goodyear Tire Rubber Company, Akron, Ohio, Amerika Serikat. Goodyear didirikan di Amerika Serikat tahun 1898. Perusahaan ini mulai beroperasi di Surabaya di bawah nama NV.The Goodyear Tire Rubber Company Limited tahun 1917, kemudian membangun pabriknya di Bogor tahun 1935, yang menjadi pabrik ban yang pertama di Indonesia. Perusahaan ini diambil alih oleh Jepang selama perang dunia II dan dikembalikan kepada pemiliknya pada tahun 1946. Sejak itu perusahaan mengalami pembaruan dan perluasan beberapa kali. Pada Maret 1965 Universitas Sumatera Utara pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soekarno mengambil alih Goodyear dan dikembalikan lagi tahun 1967, ketika Goodyear diundang kembali untuk memegang perusahaan tersebut di bawah UU No.1 tahun 1967. Pada 25 Juli 1978, nama perusahaan ini diubah menjadi PT. Goodyear Indonesia. Perusahaan terutama berusaha dalam memproduksi bermacam-macam ban dengan merek dagang Goodyear sesuai dengan ketentuan pemerintah, hasil produksinya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dimana Goodyear menguasai 40 dari pasar. Disamping itu dalam jumlah kecil, Goodyear juga melakukan penjualan keluar negeri. Pada tahun 1979, BKPM telah memberikan persetujuan untuk perluasan usaha bagi Goodyear dan yang kedua tahun 1980 atas pertimbangan bahwa diperkirakan permintaan akan ban bertambah 11 setiap tahunnya. Bersamaan dengan izin perluasan yang diberikan, pemerintah meminta kepada Goodyear untuk menawarkan sahamnya kepada masyarakat Indonesia. walaupun Goodyear berkewajiban go public, namun pemerintah tetap mengijinkan pemegang saham asal, yaitu Goodyear Tire Rubber Company, Ohio sebagai pemegang saham mayoritas, dengan demikian mengontrol tetap jalannya perusahaan. Pada tanggal 20 September 1980, Goodyaer jemudina memenuhi persyaratan agar dapat menjual sahamnya kepada publik. PT. Goodyear Indonesia atas nama Goodyear Tire Rubber Company, Ohio dalam hal ini menawarkan 15 dari seluruh jumlah saham kepada masyarakat Indonesia, sementara 85 lainnya tetap ditangan Goodyear Tire Rubber Company. Dalam periode 24 November sampai Desember 1980, perusahaan ini untuk pertama kali menawarkan sahamnya Universitas Sumatera Utara yang berjumlah 6.150.000 lembar tercatat Rp.1000,- tiap lembar dengan harga Rp. 1250,- per saham. Universitas Sumatera Utara BAB IV ASPEK HUKUM PENANAMAN MODAL PATUNGAN DI INDONESIA

A. Dasar Hukum Perjanjian Usaha Patungan