Masuknya Belanda ke Dataran Tinggi Karo

Sebenarnya jauh sebelum peristiwa Perang Sunggal dan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo yang dibawa oleh Pa Pelita, pada tahun 1873 Belanda sudah mulai melihat dan melirik daerah tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan pengiriman tiga pendeta Belanda yaitu Heine, Johansen dan Mohri. 18

3.2 Masuknya Belanda ke Dataran Tinggi Karo

Keinginan sampai ke Dataran Tinggi Karo akhirnya lebih intens pada saat setelah terjadi perang Sunggal yang melibatkan orang-orang Karo gugung dan mendapat jalan setelah adanya konflik bersaudara antar Pa Pelita dengan Pa Mbelgah yang sama- sama bermarga Purba. Selama menolak kedatangan Belanda, Garamata menghimpun kekuatan dari daerah-daerah lain diluar Batukarang seperti dari daerah Urung Lima Senina yang meliputi desa Batu Karang, Jandi Meriah, Nari Gunung, Penampen dan Selandi. Sebelum Belanda datang dan menduduk i wilayah Sumatra Timur, daerah ini telah lebih awal dikenal sebagai sebuah tempat yang subur. Masyarakat di Sumatra Timur, terutama orang- orang Karo dan Simalungun telah menjadikan pertanian sebagai tonggak perekonomiannya dengan menanami tanaman palawija, padi, lada dan tembakau. 19 18 Brontak Bangun dan Perdana Ginting. Op.Cit. hal. 26 19 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman jilid I, Medan, Ulih Saber, 1979, hal. 81 Dalam rangka penetration pasifiquenya di wilayah Nusantara, Belanda sudah lama terlebih dahulu menduduki Batavia sebelum datang ke Sumatra Timur. Politik penetration pasifiquenya dilakukan dalam sebuah misi untuk mengisi kekosongan kas dan membangun negaranya yang pada saat itu sedang terpuruk, Belanda terpaksa melakukan intensifikasi perdagangaan dan eksploitasi hasil bumi di wilayah Hindia-Belanda, tidak terkecuali akhirnya juga sampai ke wilayah Sumatra Timur. Universitas Sumatera Utara Pada pertengahan abad ke 19 Belanda telah berhasil membuat Sultan Deli yang pada saat itu Mahmud Perkasa Alam menandatangani pernyataan tanda takluk kepada Belanda. Kekuasaan Belanda di Sumatra Timur semakin bertambah kuat setelah penandatanganan perjanjian takluk juga diikuti oleh Sultan Serdang Basyaruddin. Penandatanagan ini secara otomatis juga menjadikan wilayah taklukan Serdang menjadi kekuasaan Belanda. Setelah penguasaan itu menyusul pula ditaklukkannya beberapa wilayah lain seperti : Asahan pada tanggal 2 Maret 1886, Langkat pada tanggal 21 Oktober 1885, Bilah pada tanggal 11 Agustus 1862, Kota Pinang pada tanggal 2 Oktober 1864. Pada tanggal 15Mei 1873, Tamiang, Langkat, Deli Serdang, Batubara, Asahan, Panai dan Bilah, Digabungkan menjadi satu wilayah Residen Sumatra Timur yang berkedudukan di Bengkalis. 20 Di daerah Deli, terdapat empat wilayah kekuasaan yang dikuasai dan mengikuti hukum orang Karo yang dikenal dengan sebutan Urung, adapun pemerintahan keempat Urung tersebut adalah Sunggal, Sinembah, Sukapiring dan Hamparan Perak. Wilayah yang sudah ditaklukkan kemudian sebagian dimanfaatkan menjadi lahan perkebunan tembakau oleh Nienheuys. Hasil dari penanaman tembakau ternyata sangat memuaskan. Mutu tembakau Deli mempunyai kualitas luar biasa dan sangat menguntungkan karena sangat laku di pasar Eropa. Keberhasilan ini mendorong Nienheuys untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan tembakau tersebut. 21 20 Brontak Bangun dan Perdana Ginting. Op.Cit. hal 21 21 Ibid. hal. 23 Seperti yang kita ketahui, pendiri desa dalam masyarakat Karo, dikenal dengan nama si manteki kuta yang artinya orang pertama membuka kampung. Si manteki kuta berhak sebagai marga pemilik tanah, sehingga tanah juga Universitas Sumatera Utara dianggap sebagai identitas diri, pengaturan masalah kepemilikan tanah bukanlah pemerintah yang berwenang, namun pembuka kampung tadi. Terkait dengan intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan Belanda terhadap perkebunannya, maka Sultan Deli melakukan perjanjian dengan Belanda dan menyerahkan wilayah yang berada pada koridor penguasaan adat-istiadat Karo tersebut. Hal tersebut tentu saja berlawanan dengan aturan kepemilikan tanah yang diatur oleh orang Karo. Tindakan pemberian tanah oleh Sultan Deli inilah yang menjadi latar belakang terjadinya perlawan yang dilakukan oleh orang-orang Karo. Perlawanan ini dikenal sebagai perang Sunggal yang terjadi pada tahun 1872. Pada saat perang Sunggal terjadi, atas nama solidaritas orang- orang Karo turun dari Dataran Tinggi Karo untuk terlibat dalam peperangan melawan Belanda. Perlawanan dilakukan dengan membakari bangsal-bangsal Belanda. Peperangan secara terbuka akhirnya berakhir juga setelah pimpinan perangnya, yakni Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulung Barat dijebak dan akhirnya berhasil ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Jawa. Kendati pemimpinnya sudah diasingkan, namun perlawanan masih dilakukan oleh orang-orang Karo dengan cara bergerilya. Perlawanan secara bergerilya tetap dilakukan oleh orang-orang Karo untuk mengganggu aktivitas yang dilakukan Belanda dalam perkebunannya. Untuk menghentikan perlawanan ini Belanda berusaha menaklukkan orang-orang Karo dengan melakukan misi kristenisasi. Dengan menyebarkan agama harapan mereka secara otomatis diajari moral dan ajaran agama yang tidak membenarkan kekerasaan ataupun peperangan. Cara tersebut juga dianggap Belanda punya potensi untuk menghentikan serangan secara bergerilya yang dilakukan oleh orang Karo yang turun dari gunung. Universitas Sumatera Utara Tujuan melakukan kristenisasi serta dan sekaligus pasifikasi wilayah menuju di Dataran Tinggi Karo yang direncanakan oleh Belanda akhirnya terbuka dan menemukan titik terang. Pada tahun1897 terjadi sebuah pertikaian Pa Pelita Purba dengan saudaranya. Pertikaian inilah menjadi suatu kesempatan baik bagi penetration pasifique Belanda.

3.3 Nativisme