Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata

akan kehilangan sistem nilai yang sudah dianut dan akan bergesernya sistem sosial lama menimbulkan konflik dan perlawanan yang menjurus ke arah pemberontakan. Nativisme tidaklah menempatkan seorang tokoh menjadi seorang nabi ataupun mempercayai bahwa akan tiba saatnya seorang figur penyelamat untuk menyelamatkan serta mengubah nasib manusia yang mendapat tekanan dari pihak asing. Gerakan Nativisme di Karo adalah perlawanan murni tanpa ada atribut kenabian, dilakukan oleh seorang tokoh pejuang bernama Garamata. Beliau menolak datangnya Belanda ke Dataran Tinggi Karo karena khawatir akan bergesernya nilai sosial dan budaya asli orang Karo akibat pengaruh masuknya Belanda. Religi pemena yang mengandung makna amat dalam kaitannya kepada roh leluhur, sistem kekerabatan, dan simbol-simbol mistis merupakan sasaran perubahan yang dikhawatirkan Garamata. Perubahan hukum adat, termasuk didalamnya sistem kepemilikan tanah adalah ketakutan yang mendorong Garamata memobilisasi rakyat dan kerabatnya melakukan perlawanan dan penolakan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Berbeda dengan pelawanan Ratu Adil yang terjadi di beberapa wilayah. Konsep perlawanan Ratu Adil juga menentang pada sebuah penetrasi, namun Ratu Adil menjanjikan sosok yang akan datang sebagai penyelamat, sperti kasus Perang Diponegoro. Hal inilah yang membedakan suatu gerakan nativistik dengan gerakan millenarian.

3.4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata

Sebelum Belanda melancarkan penetration pasifiquenya ke Dataran Tinggi Karo, di sebuah desa, yakni Batukarang, terkenal seorang tokoh masyarakat bernama Kiras Bangun atau lebih Universitas Sumatera Utara dikenal dengan nama popular Garamata. Beliau disebut Garamata menurut keterangan dari sanak saudaranya apabila Garamata sedang marah, maka matanya selalu akan berubah menjadi merah. Sebagai tokoh adat sekaligus merupakan marga pendiri dan turunan pengulu Batukarang, semasa mudanya beliau sudah sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah lain baik yang dihuni oleh orang-orang yang bersuku Karo maupun yang diluar suku Karo, terutama Tanah Alas, Pakpak dan Gayo. Perjalanan Garamata sampai juga ke beberapa wilayah di Sumatra Timur yang belakangan dijadikan perkebunan oleh Belanda. Pada saat beliau mempelajari bahasa Melayu di Binjai, dia sudah menyaksikan bagaimana orang-orang Karo sudah kehilangan tanah yang telah dijadikan perkebunan. Demikian juga tentang perlakuan mereka terhadap kuli kontrak yang tenaganya dieksploitasi untuk kepentingan perusahaan perkebunan. Kegemarannya dalam melakukan perjalanan ke beberapa wilayah menjadikan Garamata sarat dengan pengalaman dan memahami apa yang telah terjadi di wilayah ini ketika Belanda sudah mendudukinya. Garamata juga melihat bagaimana tidak enaknya menjadi budak di tanah sendiri serta diatur oleh bangsa lain yang merupakan pendatang sekaligus penajajah. Oleh karena itu ketika Belanda datang ke Dataran Tinggi Karo dibawa oleh Pa Pelita Purba, beliau sebagai kalimbubu Pa Mbelgah keberatan akan campur tangan Belanda tersebut, karena dinilai memanfaatkan situasi pertikaian. Antusias Garamata melakukan perlawanan sebenarnya bukan murni karena sistem kekerabatan, namun lebih dari itu sebenarnya penolakan atas kedatangan Belanda. Garamata mulai membaca strategi yang dipakai oleh Belanda ketika mengutus pendeta yang bernama Guillaume datang ke Kabanjahe dengan misi mengkristenkan orang Karo agar dapat ”dijinakkan” dan ditaklukkan. Garamata adalah seorang tokoh masyarakat, sebagai tokoh adat beliau mengetahui persis tentang adat dan kebudayaan orang Karo. Dia juga seorang penganut teguh religi pemena. Universitas Sumatera Utara Kedatangan Belanda dan kemudian seorang pendeta jelas menunjukkan ada upaya memasukkan agama Kristen, menaklukkan orang Karo serta sekaligus menjadi alat untuk merubah pandangan orang Karo terhadap Belanda yang kemudian akan berbuah penjajahan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Jauh sebelum kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo, orang-orang karo sudah menganut aliran kepercayaan dari leluhurnya, yakni aliran kepercayaan pemena. Pemena merupakan aliran kepercayaan yang mempercayai roh-roh leluhur ataupun roh keluarga yang sudah meninggal dunia, dalam pemena dikenal sebutan begu jabu sebagai sebuah roh yang menjadi pusat kepercayaan pemena itu sendiri. Beberapa dari ajaran pemena itu sendiri berakar dari adat istiadat orang Karo, seperti aturan kekerabatan daliken si telu yang menempatkan kalimbubu sebagai posisi yang sangat dihormati bahkan diposisikan seperti Tuhan yang kelihatan Dibata ni idah. Masuknya agama Kristen ke Dataran Tinggi Karo, dikhawatirkan akan menggeser aliran kepercayaan pemena. Apabila aliran kepercayaan ini bergeser, dampaknya akan berakibat terhadap beberapa hal, seperti : a. Begu jabu yang pada awalnya dianggap sebagai sesuatu yang menjaga, memberkati dan memberikan pasu-pasu keberkahan akan hilang karena dalam agama Kristen bersekutu dengan setan dianggap dosa serta merupakan sikap mendua terhadap Tuhan. b. Aturan dalam sistem kekerabatan daliken si telu juga akan pudar, karena dalam agama Kristen tidak ada manusia di bumi ini yang boleh disamakan dengan Tuhan, sementara dalam daliken si telu, posisi dari kalimbubu itu merupakan posisi sebagai Tuhan yang terlihat. c. Jimat-jimat yang sifatnya mistis berupa doa-doa akan menghilang karena jimat juga dianggap perbuatan dosa dalam agama Kristen. Universitas Sumatera Utara Selain dari kepercayaan, yang menjadi kekhawatiran Garamata lainnya adalah terkait dengan permasalahan tanah. Dalam tradisi orang Karo, kepemilikan tanah dimiliki oleh marga. Artinya tanah pada suatu kampung tertentu dimiliki oleh marga tertentu yang mendirikan kampung tersebut. Terhadap marga pendatang, tanah diberikan untuk lahan pertanian. Ketakutan Garamata pemilikan tanah dengan sistem ini akan mengalami perubahan dengan kedatangan Belanda dan masyarakat akan kehilangan tanah sebagai tempat pencaharian karena diambil alih sebagaimana disaksikan oleh Garamata di tempat lain di Sumatra Timur, tanah semua telah dimanfaatkan Belanda menjadi lahan perkebunan tembakau. Menurut pandangan Garamata strukutur pemerintahan yang pada awalnya diatur oleh simanteki kuta sebagai pengulu juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keinginan Belanda. Pada proses selanjutnya pendidikan juga akan mengalami hal yang sama, Garamata memang suka menuntut ilmu namun merasa resah dan khawatir ketika Belanda datang memperkenalkan pendidikan modern, maka pengetahuan dan minat orang Karo terhadap tulisan dan aksara Karo,akan memudar. Dan disisi lain, ada ketakutan pengembangan pendidikan modern akan dimanfaatkan oleh Belanda untuk memindahkan orang-orang Karo dari tanah leluhurnya ke tempat yang jauh. Selain dari itu dia juga takut tatanan hidup yang sudah lama dijalankan di tengah masyarakat Karo akan berubah, menyebabkan Garamata sangat tidak mengingini kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Inilah semua yang menjadi motivasi beliau melakukan perlawanan nativisme terhadap kolonial Belanda. Universitas Sumatera Utara

3.5 Perlawanan Nativisme Garamata