GARAMATA Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

BAB III GERAKAN NATIVISME GARAMATA

3.1 GARAMATA

Kiras Bangun adalah putera dari Tanda Bangun dan dilahirkan oleh ibu berberu Ginting. Kiras Bangun akrab dengan nama panggilan sehari-hari Pa Ngapit Bangun alias Pa Garamata, lahir pada 1852, di Batu Karang, sebuah desa yang sekarang termasuk Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara, beliau bersaudara 6 orang. Garamata memiliki 14 orang anak yang dilahirkan oleh enam orang istri yang terdiri dari tujuh orang anak laki-laki dan tujuh orang anak perempuan. Dalam sistem kekerabatan dan adat-istiadat Karo dalam tradisi pemena, sistem perkawinan poligami bukanlah merupakan hal yang tabu. Setiap pria Karo, jarang kita temukan beristri satu orang. Salah satu tujuan pernikahan poligami adalah untuk memperluas hubungan kekerabatan. Demikian juga halnya dengan Garamata, beliau memiliki lebih dari satu istri, yakni enam orang. Adapun keenam istri dan anak dari Garamata adalah sebagai berikut : a. Br. Ginting yang berasal dari desa Berastepu b.Simpar br. Sebayang yang berasal dari desa Gunung. Simper br. Sebayang mempunyai tiga orang anak yakni: Terupung br. Bangun, Rancap Bangun, dan Koda Bangun c. Br. Ginting yang berasal dari desa Juhar, dan mempunyai tiga orang anak, yaitu: Batang Bangun, Kapalen br. Bangun, dan Langsat Bangun Universitas Sumatera Utara d.Kerja br. Ginting yang berasal dari desa Guru Benua. Kerja br. Ginting mempunyai empat orang anak, yaitu: Releng br. Bangun, Sunggelit br. Bangun, Perentahen br. Bangun, dan Payung Bangun e. Sepit br. Sinulingga yang berasal dari desa Bintang Meriah. Sepit br. Sinulingga mempunyai tiga orang anak, yaitu : Solong br. Bangun, Joman br. Bangun, dan Nembah Bangun. f. Selat br. Ginting yang berasal dari desa Juhar. Selat br. Ginting hanya mempunyai satu orang anak yang bernama Langgar Bangun. Kiras Bangun dengan nama populer Garamata, adalah warga Karo bermarga Bangun, marga Bangun adalah pendiri desa Batukarang, dalam suku Karo disebut juga sebagai merga si manteki kuta atau disebut sebagai pengulu di kampung. Pada masa mudanya, Garamata dikenal sebagai seorang anak muda yang energetik, suka bertualang dan berkelana. Di luar dan di tanah kelahirannya, Garamata dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang arif dan bijaksana, ia sering terlibat dalam runggun musyawarah dalam pengambilan keputusan serta sering dipanggil untuk terlibat sebagai juru damai bila ada orang-orang yang terlibat konflik di desanya Batukarang maupun di desa-desa lain yang ada di Dataran Tinggi Karo bahkan lebih luas daripada itu, Garamata juga sering menjadi juru damai dalam beberapa perselisihan yang terjadi di Lembah Alas dan Karo Baluren, demikian juga ke Tanah Langkat dan Deli. Garamata pernah menyelesaikan beberapa perselisihan seperti: antara Merga Kembaren dengan Penghulu Buluh Duri di Kutabangun, antara Penghulu Mardinding, Pa Najam Sembiring dengan Panglima Hasan dari Aceh, demikian juga pertikaian masyarakat desa Gunung dengan masyarakat desa Pergendangen, beliau juga pernah mencegah serangan Panglima Layang Perbesi terhadap masyarakat desa Perbaji, pernah pula mendamaikan perseteruan antara keluarga di desa Universitas Sumatera Utara Kutabuluh, serta mendamaikan perselisihan antara Penghulu Buluh Naman dengan Urung Suka. 16 Semasa hidupnya Garamata berjuang melawan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Garamata menolak kedatangn Belanda karena pada saat ia melakukan perjalanan ke daerah Sumatera Timur seperti Deli dan Langkat,beliau menyaksikan bagaimana Belanda menguasai daerah tersebut. Ia melihat sendiri bagaimana rasa tidak enaknya dijajah dan dikuasi bangsa lain di wilayah kita sendiri. Garamata juga pernah menyaksikan perang Sunggal yang terkait dengan Bila dilihat dari kearifannya dalam menyelesaikan setiap konflik-konflik yang terjadi pada orang-orang disekitarnya, maka bisa diterima akal sehat bila dikatakan pada masa itu Garamata adalah seorang tokoh yang kharismatik yang disegani semua orang, sehingga banyak orang menginginkan beliau menjadi menantunya, walupun beliau telah memiliki istri. Hal ini terlihat dari riwayat pernikahan Garamata yang mempunyai istri sebanyak enam orang, keenam istrinya tersebut berasal dari desa-desa yang berbeda pula. Dari hasil pernikahan yang dilakukan Garamata sebanyak enam kali posisinya secara tidak langsung menjadikannya lebih kuat dalam meningkatkan hubungan kekerabatan dengan lebih banyak keluarga. Enam istri dalam masyarakat Karo berarti Garamata menjadi anak beru dalam enam keluarga inti, dalam pengertian memiliki hubungan kekerabatan yang sangat luas menurut adat-istiadat Karo. Selain jalinan kekeluargaan yang luas, Garamata juga dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, ketika masih muda Garamata pernah mengecap pendidikan dengan belajar bahasa Melayu di Binjai, demikian juga dengan fasih sekali beliau menguasai aksara dan tulisan Karo. 16 Brontak Bangun dan Perdana Ginting, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara penguasaan tanah. Pada saat perang Sunggal terjadi, orang-orang Karo yang datang dari Dataran Tinggi Karo juga terlibat. Keterlibatan orang-orang dari Dataran Tinggi Karo inilah nantinya yang menjadi salah satu latar belakang kedatangn Belanda yang mendapat perlawanan dari Garamata. Sosok Garamata akhirnya dikenal lebih luas setelah perjuangannya melawan Belanda. Pada abad ke 19, saat Belanda sudah menguasai beberapa daerah di Sumatera Timur seperti Deli dan Langkat serta memanfaatkan daerah tersebut menjadi lahan perkebunan. Tanah pada saat itu diserahkan secara mudah oleh residen Riau yang saat itu membawahi Sumatera Timur. Sultan Deli saat itu menyerahkn daerah Mabar sampai ke hulu Delitua. Pembukaan perkebunan ini terbilang sukses sehingga diupayakan intensifikasi yang tentunya membutuhkan modal yang besar yang termasuk di dalamnya wilayah yang lebih luas pula. Terkait dengan inilah pada saat itu Sultan Deli kembali memberi konsesi tanah kepada pihak perkebunan Belanda, konsesi tanah ini meliputi wilayah Sunggal. Tindakan pemberian konsesi tanah oleh Sultan Deli ini membuat suasana menjadi panas. Rakyat marah terhadap tindakan tersebut sehingga melakukan perlawanan yang dikenal dengan Perang Sunggal yang meletus pada tanggal 15 Mei 1872 dan berkelanjutan selama lebih kurang dua puluh tiga tahun, atau dikenal juga dengan batak war atau perang selimin. Perang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman dengan melibatkan seorang panglima perangnya yang bernama pengulu Djumaraja Surbakti yang berasal dari Dataran Tinggi Karo, perang dilakukan dengan membakari bangsal-bangsal milik Belanda serta rumah-rumah para administratur dan asisten Belanda, sehingga menyebabkan orang-orang Belanda harus mengungsi, tetapi pada tanggal 20 Januari 1895 Datuk Badiuzzaman dan adiknya ditangkap dan dibuang ke Cianjur setelah sebelumnya dipenjarakan di Bengkalis Riau. 17 17 Darwan Prints dan Darwin Prints, Sejarah dan Kebudayaan Karo, Jakarta : CV.Yrama, 1984, hal. 188 Universitas Sumatera Utara Rasa primordial dan hubungan kekerabatan yang masih kuat adalah alasan menyebabkan orang-orang Karo dari Dataran Tinggi Karo merasa perlu membantu saudaranya yang berada di Sunggal, maka perlawanan saat itu dilanjutkan dengan cara bergerilya. Kelanjutan perlawanan ini yang menyebabkan Belanda berpikir bagaimana cara menaklukkan dan untuk mengubah sikap orang di Dataran Tinggi Karo tersebut yakni dengan cara memasukkan misi kristenisasi disamping misi pasifikasi wilayah. Misi kristenisasi serta pasifikasi wilayah Kolonial ini terjadi berketepatan ketika konflik bersaudara antara Pa Mbelgah Purba dari desa Rumah Kabanjahe dengan Pa Pelita Purba dari desa Lau Cih Katepul sedang berlangsung. Pada saat konflik terjadi Pa Pelita meminta bantuan pada Belanda, karena merasa terdesak dan tidak mampu melawan Pa Pelita yang sudah membawa Belanda, maka Pa Mbelgah meminta bantuan kepada kalimbubunya Garamata dari desa Batu Karang . Dalam adat istiadat karo posisi kalimbubu itu adalah posisi Dibata ni idah Tuhan yang terlihat, bila pihak kalimbubu mendapat masalah, maka anak beru punya kewajiban membantu kalimbubu demikian juga sebaliknya. Dalam hal ini, Garamata sebagai kalimbubu merga Purba wajib membantu Pa Mbelgah Purba. Sistem kekerabatan inilah yang melibatkan Garamata terlibat di dalam konflik dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Selain daripada kewajiban secara adat istiadat dalam hubungan kekerabatan, Garamata antusias memberi bantuan pada Pa Mbelgah Purba karena Garamata melihat ada niat tersembunyi dari bantuan yang Belanda berikan terhadap Pa Pelita Purba. Garamata melihat niat pasifikasi wilayah Belanda serta misi kristenisasi di balik bantuan tersebut. Kedatangan Belanda dengan misi kristenisasi dianggap oleh Garamata akan mengusik kenyamanan aliran pemena dan sistem kekerabatan yang sudah ada dan berakar sesuai adat istiadat Karo, hal inilah yang menyebabkan Garamata melakukan perlawanan. Universitas Sumatera Utara Sebenarnya jauh sebelum peristiwa Perang Sunggal dan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo yang dibawa oleh Pa Pelita, pada tahun 1873 Belanda sudah mulai melihat dan melirik daerah tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan pengiriman tiga pendeta Belanda yaitu Heine, Johansen dan Mohri. 18

3.2 Masuknya Belanda ke Dataran Tinggi Karo