Akhir Perjuangan Garamata Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

BAB IV DATARAN TINGGI KARO PASCA PERJUANGAN GARAMATA

4.1 Akhir Perjuangan Garamata

Perlawanan bergerilya Garamata menjadi salah satu hambatan penataan birokrasi pemerintahan kolonial Belanda di Dataran Tinggi Karo. Perang Garamata ini juga mengganggu penyelesaian pembangunan jalan darat dari Dataran Tinggi Karo menuju Kota Cane, Tanah Alas. Untuk menarik simpati orang-orang Karo, pada awalnya Belanda meminta seorang Belanda yang bernama Westernberg agar bersedia untuk menikahi seorang wanita Karo, yakni seorang wanita Karo Br. Sinulingga keluarga Sibayak Lingga, perkawinan ini bertujuan agar terjadi sebuah hubungan kedekatan emosional antara orang Belanda dan orang Karo. Sekalipun usaha Westernberg berhasil menikahi wanita Karo tersebut , namun ternyata tidak sepenuhnya mampu meredam gangguan dari perlawanan Gerilya orang-orang Karo. Melihat hasilnya belum berhasil mengkondusifkan situasi, Belanda menyarankan Pa Pelita Purba untuk menikahi salah satu putri Garamata. Pada saat itu, selain merupakan Sibayak Rumah Kabanjahe, Pa Pelita telah diangkat menjadi seorang jaksa, sehingga beliau telah memiliki kekuasaan. Awalnya putri Garamata menolak untuk dinikahi, namun akhirnya dinikahkan dengan paksa, dan menyerah melaksanakan adat masyarakat Karo, perkawinan gancih abu. Perkawinan gancih abu atau perkawinan ganti tikar merupakan perkawinan adat dalam suku Karo, seorang wanita Karo kawin dengan seorang pria menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal dunia sebagai istri pengganti dengan maksud untuk menjaga Universitas Sumatera Utara dan melindungi kepentingan anak yang telah lahir dari perkawinan pertama, juga meneruskan hubungan kekeluargaan serta menjaga keutuhan harta dari perkawinan yang pertama. 29 Pertimbangan untuk akhirnya mengasingkan Garamata juga terkait dengan beberapa hal, seperti : Dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut, awalnya tetap tidak mampu meredam situasi sepenuhnya, tetap ada gangguan. Namun inilah yang membuat pihak Belanda memutuskan memberikan solusi untuk melaksanakan opportuitteits beginsel yakni pengampunan bagi pihak pemberontak. Opportuitteits beginsel berarti siapapun yang terlibat dalam pasukan pemberontak diijinkan untuk kembali ke daerah masing-masing dengan tidak diberikan sanksi apapun, termasuk bebas dari pembayaran pampasan perang. Mengingat jumlah dari pasukan Urung yang dipimpin Garamata semakin hari semakin berkurang jumlahnya, maka beliau akhirnya bersedia menerima tawaran tersebut dengan harapan kelak bisa kembali mengatur strategi untuk melakukan perlawanan sampai Belanda angkat kaki dari Dataran Tinggi Karo dan tidak mencampuri urusan apapun dalam masyarakat Karo. Akhirnya Belanda mengutus kembali Pa Regan Sebayang menjemput Garamata untuk dibawa kembali pulang ke Batukarang. Sebelum ke Batukarang, beliau terlebih dahulu dibawa ke Kabanjahe melaksanakan pur-pur sage dengan Pa Pelita. Setelah tiba di Batukarang, selama lebih kurang satu bulan lebih Garamata memang masih bisa menghirup udara bebas. Namun dengan mempertimbangkan riwayat perlawanan yang dilakukan Garamata, Belanda akhirnya memutuskan untuk mengasingkan dan mengisolasi Garamata ke juma kapariung, sebuah perladangan yang tidak terlalu jauh dari Batukarang. 29 Darwan Prints, Adat Karo : Medan, Kongres Kebudayaan Karo, 1996, hal. 67 Universitas Sumatera Utara 1. Sebelum Belanda melakukan perang secara terbuka dengan pasukan Urung yang dipimpin Garamata, Belanda sudah pernah mengirim Nimbang Bangun sebanyak tiga kali untuk menyampaikan pesan Belanda. Pesan Belanda berisi tawaran imbalan berupa hadiah, jabatan, senjata dan lain sebagainya. Tawaran tersebut sebenarnya merupakan tawaraan yang sangat menggiurkan, namun melalui musyawarah Garamata menolak tawaran tersebut. Belanda melihat bagaimana kerasnya komitmen seorang Garamata menjaga Dataran Tinggi Karo dari pengaruh asing. Jadi secara akal sehat, pada saat itu Belanda menganggap bagaimana mungkin seorang yang sangat berkomitmen untuk melawan akhirnya benar-benar menyerah, ada kemungkinan jika Garamata di biarkan bebas, akan ada kesempatan beliau mengatur kembali strategi melawan Belanda hingga dikhawatirkan membuat kondisi menjadi tidak kondusif kembali. 2. Pertimbangan kedua adalah posisi Garamata dalam masyarakat Karo. Secara formal, Garamata memang tidak mempunyai kedudukan ataupun jabatan. Garamata hanya merupakan marga yang membuka kampung Batukarang. Hanya saja Garamata mempunyai pengetahuan adat-istiadat Karo yang baik, sehingga Garamata sering diminta sebagai penasehat adat ataupun sering menjadi juru damai dalam kalangan masyarakat Karo. Segala sesuatu dalam masyarakat Karo pada masa sebelum mendapat pengaruh modern seperti sekarang ini, diatur dalam peraturan peradatan. Orang yang mengetahui adat dengan baik tentu menjadi orang yang dihormati oleh masyarakat dan umumnya masyarakat mengikuti pandangan-pandangan yang diberikan oleh orang tersebut. Hal inilah yang dilihat oleh Belanda. Belanda takut apabila Garamata diberi hidup bebas berarti memberi kesempatan kepada beliau untuk memberi pandangan kepada rakyat berseberangan dengan kepentingan Belanda. Universitas Sumatera Utara Dengan beberapa pertimbangan tersebut, akhirnya Garamata di asingkan ke juma kapariung. Garamata diasingkan dan ditemani salah seorang istrinya. Di tempat pengasingan Garamata di riung, beliau tetap di awasi secara ketat. Berdekatan dengan rumah yang disediakan Belanda untuk Garamata dan keluarganya, Belanda juga membangun sebuah rumah untuk dijadikan pos pasukan menjaga gerak-gerik Garamata agar tidak berinteraksi bebas dengan orang lain. Sesungguhnya, pengasingan ini secara tidak langsung juga merupakan gambaran yang ditunjukkan oleh Belanda pada rakyat Karo, betapa sengsaranya hidup bila melawan kepada Belanda. Garamata berada di pengasingan selama lebih kurang empat tahun, yakni sejak tahun 1905- 1909. Pada tahun 1909 Garamata dijemput dari pengasingan dan dibawa kembali ke Batukarang. Beliau diijinkan untuk kembali tinggal di Batukarang, tetapi disebelah rumah Garamata dibangun tangsi polisi atau rumah jaga, untuk mengawasi tingkah laku Garamata. Untuk lebih dapat mengetahui apa saja kegiatan Garamata, akhirnya beliau dipekerjakan di kantor Raja Urung Lima Senina untuk mengatur urusan peradatan. Selama bekerja di Kantor tersebut, dia tidak pernah serius bekerja terutama mengerjakan pekerjaan yang disuruh oleh Belanda, dan selama bekerja di kantor ini Garamata tidak pernah mengambil gaji dari pekerjaannya. Perlawanan Garamata secara terbuka terhadap Belanda memang sudah berakhir, namun beliau tetap tidak pernah bisa menerima Belanda yang telah menghancurkan tatanan kehidupan bermasyarakat yang sudah mapan. Garamata menyadari sepenuhnya bahwa perjuangannya hanya mungkin diteruskan oleh generasi berikutnya, sehingga dia selalu mendorong anak-anak muda harus banyak belajar agar dapat membaca tehnik dan strategi orang yang ingin menjajah. Orang bodohlah yang mudah Universitas Sumatera Utara dijajah. Seraplah secara baik apa yang diberikan orang untuk kepentingan membangun diri, namun jangan sekali-sekali melupakan adat-istiadat dan kebudayaan. Kata-kata bijak inilah yang selalu ditanamkan beliau kepada anak-anak muda. Garamata menjalani sisa hidupnya di tanah kelahirannya Batukarang, menutup usia dalam usia ke 90 tahun. Garamata meninggal karena penyakit tua. Beliau dimakamkan pada tanggal 20 November 1942 di pemakaman kabu-kabu desa Batu karang. Sampai pada akhir hayatnya, Garamata selalu mengatakan orang Karo tidak memerlukan siapapun untuk mengurusi segala urusan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Karo mempunyai kebudayaan dan adat-istiadat yang mampu mengatur kehidupannya. Semula semua sudah baik-baik saja dengan aturan kebudayaan dan adat- istiadat dalam tatanan kehidupan, tetapi karena dicampuri oleh bangsa lain berarti sama juga artinya kita dijajah oleh bangsa lain. Dijajah sangat menyakitkan maka untuk itu kita harus selalu belajar untuk tidak dijajah, karena ketika kita dijajah berarti akan menjadi budak di negri kita sendiri.

4.2 Eksistensi Pemena