Nativisme Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

Tujuan melakukan kristenisasi serta dan sekaligus pasifikasi wilayah menuju di Dataran Tinggi Karo yang direncanakan oleh Belanda akhirnya terbuka dan menemukan titik terang. Pada tahun1897 terjadi sebuah pertikaian Pa Pelita Purba dengan saudaranya. Pertikaian inilah menjadi suatu kesempatan baik bagi penetration pasifique Belanda.

3.3 Nativisme

Dalam ruang lingkup tatanan kehidupan masyarakat luas maupun kecil sudah pasti akan terdapat kebiasaan, adat-istiadat dan norma-norma yang dipedomani sebagai aturan kehidupan bersama. Aturan-aturan ini dipedomani sebagai warisan sosial budaya yang mengikat sebagai konvensi di tengah-tengah masyarakat, karena memang sudah tumbuh kondusif dalam waktu relatif lama dan mendarah daging sehingga sangat sulit lepas dari orang-orang yang telah memahaminya dan menganutnya. Pembaharuan terhadap nilai lama apalagi nilai yang datang dari luar pasti akan menimbulkan konflik dan mendapat perlawanan dari pihak yang khawatir akan terjadi perubahan tersebut. Gerakan Nativistik semacam inilah yang dilakukan oleh Garamata di Dataran Tinggi Karo ketika Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatera Timur. Beliau sungguh khawatir akan terjadi perubahan sosial masyarakatnya jika kolonial Belanda dibiarkan masuk menggantikan tatanan sosial kehidupan yang lama. Pemberontakan terhadap kekuasaan, atau perlawanan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap kelompok yang melakukan penetrasi sosial budaya terjadi karena khawatir nilai-nilai lama akan disintegrasi. Tokoh-tokoh nativisme semacam Garamata tentunya tidak diam, beliau memobilisasi rakyatnya untuk melakukan perlawanan sekaligus menentang nilai- nilai baru yang akan menggantikan nilai-nilai lama tersebut. Pemberontakan dan perlawanan Universitas Sumatera Utara Garamata, tentunya terjadi karena Belanda memasukkan pengaruhnya, terutama nilai kristiani yang merusak religi pemena dan kekhawatiran disintegrasi sosial budaya lain seperti pendidikan dan adat-istiadat, demikian pula bergesernya kepemilikan tanah di Dataran Tinggi Karo. Datangnya pengaruh asing memang sering mendapat perlawanan karena akan merusak tatanan yang sudah mapan di tengah kehidupan sebuah masyarakat. Ada beberapa kasus pemberontakan seperti yang dilakukan Garamata di Indonesia juga terjadi di negara-negara belahan dunia lain seperti misalnya yang terjadi di Selandia Baru, di India Tengah dan Timur, di Afrika dan ditempat lainnya. Pemberontakan-pemberontakan seperti ini terjadi pada umunya dilatar belakangi oleh hal yang relatif sama, yakni penolakan pengaruh yang mampu merubah sistem sosial budaya yang sudah menjadi tradisi dan hidup di tengah masyarakat secara turun temurun dan sudah mapan. Masyarakat berontak dan melakukan perlawanan karena menganggap hal baru tersebut tidak sesuai dan selaras dengan yang sudah ada sebelumnya. Ada beberapa macam gerakan tipikal ini terjadi, dalam beberapa kasus pemberontakan ada seorang pemimpin yang secara terorganisir menghimpun kekuatan rakyat melawan dengan memberi motivasi kenabian, pemberontakan tipikal ini menjanjikan bahwa ada suatu kebahagiaan yang akan diperoleh melalui datangnya seorang Nabi, yang akan menyelamatkan dan membebaskan mereka dari tekanan-tekanan pihak asing dan musuh. Gerakan yang bersifat kenabian seperti ini dikenal dengan nama gerakan Millenarian Dalam bentuk tipikal lain, pemberontakan terjadi karena penolakan akan pengaruh asing yang merusak tatanan kehidupan lama disebut dengan gerakan nativistik. Gerakan ini muncul saat sekelompok orang merasa mendapat gangguan dan tekanan dari pihak asing yang membawa perubahan dan dianggap tidak sesuai dengan sistem nilai yang sudah ada sebelumnya. Ketakutan Universitas Sumatera Utara akan kehilangan sistem nilai yang sudah dianut dan akan bergesernya sistem sosial lama menimbulkan konflik dan perlawanan yang menjurus ke arah pemberontakan. Nativisme tidaklah menempatkan seorang tokoh menjadi seorang nabi ataupun mempercayai bahwa akan tiba saatnya seorang figur penyelamat untuk menyelamatkan serta mengubah nasib manusia yang mendapat tekanan dari pihak asing. Gerakan Nativisme di Karo adalah perlawanan murni tanpa ada atribut kenabian, dilakukan oleh seorang tokoh pejuang bernama Garamata. Beliau menolak datangnya Belanda ke Dataran Tinggi Karo karena khawatir akan bergesernya nilai sosial dan budaya asli orang Karo akibat pengaruh masuknya Belanda. Religi pemena yang mengandung makna amat dalam kaitannya kepada roh leluhur, sistem kekerabatan, dan simbol-simbol mistis merupakan sasaran perubahan yang dikhawatirkan Garamata. Perubahan hukum adat, termasuk didalamnya sistem kepemilikan tanah adalah ketakutan yang mendorong Garamata memobilisasi rakyat dan kerabatnya melakukan perlawanan dan penolakan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Berbeda dengan pelawanan Ratu Adil yang terjadi di beberapa wilayah. Konsep perlawanan Ratu Adil juga menentang pada sebuah penetrasi, namun Ratu Adil menjanjikan sosok yang akan datang sebagai penyelamat, sperti kasus Perang Diponegoro. Hal inilah yang membedakan suatu gerakan nativistik dengan gerakan millenarian.

3.4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata