masyarakat secara umum dan komunitas lokal pada khususnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan terakhir yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu
apa manfaat yang diperoleh perusahaan maupun masyarakat pada penerapan CSR sebagai upaya pengembangan masyarakat?
Manfaat dari terselenggaranya CSR dari perusahaan dapat diperoleh masyarakat sebegai
penerima program maupun perusahaan itu sendiri.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menjawab satu pertanyaan yang menjadi pokok kajian peneliti. Tujuan utama penelitian ini yaitu untuk
menggambarkan bagaimana fenomena tanggung jawab sosial perusahaan di kalangan dunia usaha atau perusahaan yang dalam hal ini adalah PT Antam Tbk.
Adapun tujuan utama tersebut dapat dijawab melalui tujuan-tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan pandangan perusahaan mengenai CSR.
2. Memahami strategi yang dijalankan oleh perusahaan dalam melakukan
program pengembangan msyarakat untuk mewujudkan tanggung jawab sosialnya.
3. Membahas manfaat yang diperoleh baik bagi perusahaan maupun
masyarakat pada penerapan CSR sebagai upaya pengembangan masyarakat.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang menjadi bahasan utama dan dapat dijadikan salah satu acuan penerapan CSR dengan
kondisi sejenis yang terjadi pada lokasi atau waktu yang berbeda. Selain itu juga diharapkan untuk menambah wawasan dan pengalaman peneliti dalam mengkaji
program CSR yang dilakukan perusahaan sesuai dengan fakta di lapangan, sekaligus sebagai bahan perbaikan bagi peneliti untuk penulisan selanjutnya. Bagi
perusahaan, penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan bahan evaluasi atau rekomendasi bagi perusahaan agar dapat menjalankan aktivitas CSRnya secara
lebih baik dan lebih berhasil serta bermanfaat bagi banyak pihak.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Teoritis
2.1.1 Konsep CSR Corporate Social Responsibility
Wacana mengenai isu CSR kini telah menjadi isu sentral. CSR yang merupakan tanggung jawab sosial perusahaan pada awalnya diimplementasikan
hanya sebatas karikatif charity. Pada tahun 1980-an semakin banyak perusahaan yang menggeser konsep CSR ke arah pengembangan masyarakat community
development yang pada awalnya hanya sebagai sumbangan perusahaan yang dianggap sebagai beban. Pada tahun 1997, terdapat suatu keluaran yang cukup
berpengaruh dalam konteks CSR yang dikemukakan oleh John Elkington dalam Wibosono 2007 melalui bukunya yang berjudul “Canibals with Forks, the Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business”. John Elkington mengemukakan konsep “3P” yaitu profit, people dan planet. Dalam konsep 3P terdapat makna
yang terkandung bahwa perusahaan sebaiknya tidak hanya memburu keuntungan profit, tetapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat
people dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan planet. Konsep 3P inilah yang kemudian diimplementasikan oleh berbagai perusahaan bahkan
dicantumkan pula dalam agenda-agenda perusahaan dalam upaya melakukan tanggung jawab sosialnya.
Definisi dari CSR telah banyak dikemukakan oleh berbagai pihak atau instansi, salah satunya yaitu definisi yang diungkapkan oleh The Word Business
Council for Sustainable Development WBCSD, sebuah lembaga internasional
yang berdiri tahun 1995
2
. Dalam lembaga tersebut, CSR didefinisikan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga
peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas. Definisi lainnya dikemukakan oleh World Bank
3
yang memandang sebagai komitmen dunia usaha yang mengkontribusikan keberlanjutan usaha pembangunan ekonomi melalui
peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas untuk meningkatkan kualitas hidup demi kemajuan bisnis maupun kemajuan
pembangunan. Menurut Sukada, dkk 2007 CSR merupakan segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif di
setiap pilar. Dalam versi Indonesia, secara etimologis CSR diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, tanggung jawab sosial korporasi atau tanggung
jawab sosial dunia usaha. CSR memiliki kaitan dengan konsep pembangunan berkelajutan yang
didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak istilah pembangunan berkelanjutan mulai populer, banyak dilakukan konferensi yang menunjukkan kepedulian masyarakat
2
Yusuf Wibisono. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR Corporate Social Responsibility. Gresik : Fascho Publishing
3
Ibid.hlm7.
dunia akibat kecenderungan semakin menurunnya kualitas lingkungan. Konferensi tersebut yaitu konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia,
yang menghasilkan resolusi monumental dengan membentuk badan khusus di PBB untuk masalah lingkungan. Dengan latar belakang yang sama, dilakukan
pula KTT Bumi di Rio de Janeiro yang menghasilkan tiga dokumen hukum terikat legally binding dan tiga dokumen yang secara hukum tidak mengikat non-
legally binding Wibisono, 2007. Selain definisi, CSR juga memiliki prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh
sejumlah institusi international. Prinsip CSR tersebut salah satunya dikemukakan oleh Porf. Alyson Warhurst dari University of Bath Inggris Wibisono, 2007.
Adapun prinsip-prinsip CSR yaitu : 1.
Prioritas korporat; mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan.
2. Manajemen terpadu; mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke
dalam setiap kegiatan bisnis sebagai suatu unsur manajeman. 3.
Proses perbaikan; secara bersinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial korporat.
4. Pendidikan karyawan; menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta
memotivasi karyawan. 5.
Pengkajian; melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan
lokasi pabrik. 6.
Produk dan jasa; mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial.
7. Informasi publik; memberi informasi yang diperlukan.
8. Fasilitas dan operasi; mengembangkan, merancang dan mengoperasikan
fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.
9. Penelitian; melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial untuk
mengurangi dampak negatif. 10.
Prinsip pencegahan; memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa sejalan dengan penelitian mutakhir untuk
mencegah dampak sosial yang bersifat negatif. 11.
Kontraktor dan pemasok; mendorong penggunaan prinsip-prinsip tangung jawab sosial korporat yang dijalankan.
12. Siaga menghadapi darurat; menyusun dan merumuskan rencana
menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas
lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul. 13.
Transfer best practice; berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri
dan sektor publik. 14.
Memberi sumbangan; untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah
serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial.
15. Keterbukaan; menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan
pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respon terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.
16. Pencapaian dan pelaporan; mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan
audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi
tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik. Prinsip-prinsip CSR tersebut dapat diterapkan dengan menggunakan
strategi yang terdapat pada perusahaan yang menjalankan CSR. Strategi yang digunakan oleh setiap perusahaan dalam menjalankan CSR dapat berbeda-berbeda
terkait dengan kebijakan yang ada pada perusahaan. Menurut Widyahartono
4
, agar mencapai suatu tujuan yang tepat maka beberapa langkah strategis perlu diresapi
sebagai panduan untuk dikerjakan dengan time line jadwal waktu yang tegas oleh masing-masing kelompok bisnis secara sektoral. Langkah-langkah srategis
tersebut yaitu: 1.
Ada komitmen dari puncak ke bawah, dalam arti perilaku bertanggung jawab dalam setiap area bisnisnya. Hal ini berat, karena menuntut
kesadaran diri yang mendalam. 2.
Pimpinan perusahaan harus secara terbuka membangun kemitraan building meaningful partnership dengan para stakeholders.
4
Bob, Widyahartono. 2007. Tanggung Jawab Sosial. http:mirifica.netwmview.php?ArtID=4231. Diakses tanggal 6 Desember 2007.
3. Informasi tentang cost benefit CSR perlu dijabarkan dengan tutur kata
yang menarik dan kredibel, sesuai daya tangkap mitra yang diajak berdialog secara reguler.
4. Dalam menyampaikan informasi, sampaikan apa yang menjadi citra
organisasi secara visual atau tertulis yang gamblang, dan bukan membohongi.
5. Komitmen termasuk memvisualisasikan merek atau logo brand or logo
yang komunikatif dan bernada kebenaran dan yang menarik memantapkan citra dan termasuk meningkatnya laba return on investment.
Menurut Saidi 20004 dalam Mulyadi 2007, terdapat karakteristik tahap-tahap kedermawanan sosial perusahaan yang digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1. Tahap-tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan
Tahapan Charity
Philantropy Corporate Citizenship
Motivasi Agama, tradisi,
adat Norma etika,
hukum universal; redistribusi
kekayaan. Pencerahan diri dan
rekonsiliasi dengan keterlibatan sosial.
Misi Mengatasi
masalah sesaat Mencari dan
mengatasi masalah Memberikan kotribusi
kepada masyarakat.
Pengelolaan Jangka pendek,
menyelesaikan maslaah sesaat
Terencana, terorganisir,
terprogram Terinternalisasi dalam
kebijakan perusahaan
Pengorganisasian Kepanitiaan
YayasanDana Abadi,
profesionalisasi Keterlibatan baik dana
maupun sumber daya lain.
Penerima Manfaat
Orang miskin Masyarakat luas
Masyarakat luas
dan perusahaan
Kontribusi Hibah sosial
Hibah pembangunan
Hibah sosial maupun pembnagunan dan
keterlibatan sosial
Inspirasi Kewajiban Kepentingan bersama
Sumber: Zaim Saidi 2004 dalam Mulyadi 2007
CSR sebagai tanggung jawab sosial perusahaan memiliki lingkup dalam penerapannya. Adapun lingkup penerapan CSR menurut gagasan dari Prince of
Wales International Forum terdiri dari lima pilar Wibisono, 2007. Pertama, upaya perusahaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal karyawan
maupun eksternal masyarakat sekitar dengan cara melakukan pengembangan dan memberikan kesejahteraan kepada mereka. Kedua, memberdayakan ekonomi
komunitas. Ketiga, menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik. Keempat, mengimplementasikan tata kelola yang baik. Kelima,
memperhatikan kelestarian lingkungan. Adapun tahap-tahap dalam penerapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan
pada umumnya Wibisono, 2007 yaitu: 1.
Tahap perencanaan. Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama yaitu
Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun
kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. CSR Assesment merupakan upaya untuk memetakan kondisi
perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun
struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, perencanaan merupakan inti dalam
memberikan petunjuk pelaksanaan CSR bagi konsumen perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman
pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisien.
2.
Tahap implementasi. Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus
diperhatikan seperti pengorganisasian, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan
pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama
yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi dilakukan untuk memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek
yang terkait dengan implementasi CSR khususnya mengenai pedoman penerapan CSR. Menurut Wibisono 2007 tujuan utama sosialisasi adalah
agar program CSR yang akan diimplementasikan mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen perusahaan, sehingga dalam perjalanannya
tidak ada kendala serius yang dialami oleh unit penyelenggara. Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan
roadmap yang telah disusun. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh proses bisnis perusahaan,
misalnya melalui sistem manajemen kinerja, proses produksi, pemasaran dan proses bisnis lainnya. Melalui upaya ini dapat dinyatakan bahwa
penerapan CSR bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan, bukan lagi sebagai upaya untuk compliance, tapi sudah
beyond compliance. 3.
Tahap evaluasi. Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke
waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR. Evaluasi dapat berguna untuk mengetahui kegagalan dan keberhasilan suatu
program dan dapat pula dilakukan untuk pengambilan keputusan. Evaluasi
dapat dilakukan dengan meminta pihak independen untuk melakukan audit implementasi atas praktik CSR yang dilakukan.
4.
Pelaporan. Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem
informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan memiliki beberapa faktor
Wibisono, 2007. Faktor-faktor tersebut yaitu komitmen kepemimpinan dalam perusahaan yang tanggap akan masalah sosial, ukuran dan kematangan
perusahaan, serta regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Terkait dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, maka dapat ditunjukkan bahwa
semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat, demikian
juga sebaliknya. Selain faktor-faktor tersebut, perusahaan juga memiliki berbagai cara dalam memandang CSR atau dapat dikatakan pula sebagai alasan perusahaan
dalam melaksanakan CSR. Beberapa cara perusahaan dalam memandang CSR yaitu :
1.
Sekedar basa basi atau keterpaksaan, dimana perusahaan
mempraktekan CSR hanya karena faktor eksternal external driven, environmental driven karena terjadi masalah lingkungan, serta
reputation driven karena ingin mendongkrak citra perusahaan. 2.
Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban compliance, dimana
CSR yang dilakukan karena terdapat regulasi, hukum, dan aturan yang memaksanya.
3.
CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam
internal driven, perusahaan telah menyadari bahwa tanggung
jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab
sosial dan lingkungan. Selain ketiga cara pandang perusahaan terhadap CSR, terdapat paradigma
CSR yang dinyatakan telah mengalami pergeseran. Pergeseran paradigma tersebut dikemukakan oleh Alyson Warhurst dalam Sukada, dkk 2007 dalam tiga fase
paradigma yang disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Fase Pergeseran Paradigma CSR
FASE FASE : 1960-1983
TIMBULNYA KESADARAN
TERHADAP MASALAH SOSIAL
POST FACTO
FASE 2 : 1984-1994 HUBUNGAN
UNTUK MENYELESAIKAN
MASALAH DAMPAK
NEGATIF FASE 3 : 1995-
SEKARANG HUBUNGAN UNTUK
MENCEGAH MASALAH DI MASA DATANG
PERISTIWA PENTING • Aberfan, Wales,
1966 • Seveso, 1974
• Wankie Colliery, 1975
• Amoco Cadiz Oil, 1978
• Nasionalisasi di Amerika Selatan,
`60-`70an • Bhopal, 1984
• Strava, Italy, 1985 • Chernobyl, 1986
• Exxon Valdez,
1989 • Wheal Jane, 1992
• Summitville, 1992 • Ok Tedi dan Fly
Rivers, PNG 1994 • Shell : Brent Spar, 1995
• Eksekusi Saro-Wiwa, 1995
• Omai, 1995 • Grasberg, 1995
• Marcopper, 1996 • Los Frailes, Spanyol,
1998 • Remin dan Esmeralda,
Romania, 2000
Sumber: Sony Sukada dkk 2007 dalam buku Membumikan Bisnis Berkelanjutan ; memahami konsep dan praktik tanggung jawab sosial perusahaan. Jakarta:
Indonesia Business Links.
Dari tabel Warhurst dapat dilihat bahwa sejumlah perusahaan memiliki reaksi positif terhadap musibah-musibah yang terjadi dengan memperbaiki
hubungan yang buruk dengan masyarakat. Menurut Sukada, dkk 2007 sebagian
besar program yang dilakukan perusahaan ekstraktif perusahaan yang menanfaatkan kekayaan alam dalam kegiatan operasinya dalam hubungannya
dengan masyarakat di negara-negara berkembang masih berada pada fase 1 atau paling jauh pada fase 2. Akan tetapi dapat diakui pula bahwa terdapat perusahaan
di Indonesia yang telah berada pada fase 3. Semakin besar suatu perusahaan dan semakin besar munculnya dampak dari kegiatan operasi perusahaan, maka
semakin kuat pula tuntutan perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosialnya CSR terutama kepada pihak-pihak yang terkena dampak secara
langsung. Berdasarkan program yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam
mewujudkan tanggung jawab sosialnya, maka terdapat tiga kategori bentuk tanggung jawab sosial perusahaan Rudito dkk, 2007 yaitu:
1. Public relations; usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada
komunitas tentang kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Usaha ini lebih mengarah pada menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan
komunitas, khususnya menanamkan sebuah persepsi yang baik tentang perusahaan brand image kepada komunitas. Kegiatan yang dilakukan
biasanya berbentuk kampanye yang tidak terkait sama sekali dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan.
2. Strategi defensif; usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis
anggapan negatif komunitas luas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan terhadap karyawannya, dan biasanya untuk melawan
`serangan` negatif dari anggapan komunitas atau komunitas yang sudah telanjur berkembang. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan sasaran
yang berbeda dengan anggapan yang telah berkembang atau bertolak belakang dengan persepsi-persepsi yang ada di komunitas pada
umumnya. 3.
Keinginan tulus untuk melakukan kegiatan yang baik yang benar-benar berasal dari visi perusahaan itu; melakukan program untuk kebutuhan
komunitas atau komunitas sekitar perusahaan atau kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri. Kegiatan perusahaan
dalam konteks ini adalah sama sekali tidak mengambil suatu keuntungan secara materil tetapi berusaha untuk menanamkan kesan baik terhadap
komunitas berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Dibalik semua faktor yang mempengaruhi, tentunya perusahaan
menginginkan perolehan keuntungan sebagai hasil dari penerapan CSR. Adapun benefits dan drivers tersebut Wibisono, 2007 yaitu:
1. Mempengaruhi dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan.
Dengan kontribusi yang positif, maka pasti reputasi dan image positif perusahaan akan meningkat.
2. Layak mendapat social license to operate. Program CSR diharapkan akan
menjadi bagian dari asuransi sosial yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi positif dari masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.
3. Mereduksi resiko bisnis perusahaan dengan melakukan langkah antisipatif
dan preventif. 4.
Melebarkan akses sumber daya. Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan yang
dapat membantu untuk melancarkan jalan menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.
5. Membentangkan akses menuju market. Investasi yang ditanamkan untuk
program CSR dapat menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar, termasuk di dalamnya akan memupuk loyalitas
konsumen dan membentuk pangsa pasar baru. 6.
Mereduksi biaya. Terdapat beberapa contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang didapat dari penghematan biaya yang
merupakan buah dari implementasi dari penerapan program tanggung jawab sosialnya. Salah satu contohnya yaitu upaya untuk mereduksi
limbah dengan proses daur ulang ke dalam siklus produksi. 7.
Memperbaiki hubungan dengan stakeholder. 8.
Memperbaiki hubungan dengan regulator. Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya merupakan upaya untuk meringankan beban
pemerintah sebagai regulator. 9.
Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Kesejahteraan yang diberikan pelaku CSR umumnya sudah jauh melebihi standar normatif
kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan, sehingga wajar apabila karyawan menjadi terpacu untuk meningkatkan kinerjanya.
10. Peluang mendapatkan penghargaan.
2.1.2 Konsep Pengembangan Masyarakat Community Development
Konsep pengembangan masyarakat hingga saat ini telah dirumuskan dan dijabarkan oleh banyak pihak. Salah satu konsep yang berbicara mengenai definisi
pengembangan masyarakat diungkapkan oleh Johnson 1984 dalam Wibisono 2007 bahwa pengembangan masyarakat merupakan spesialisasi atau setting
praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro macro practice. Maksud konsep tersebut yaitu pengembangan masyarakat tidak hanya dapat dilakukan oleh
pekerja sosial saja, akan tetapi dapat pula dilakukan oleh para pekerja dalam profesi lain. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pengembangan masyarakat
memiliki pelaku dari berbagai bidang tidak hanya dalam bidang atau pekerjaan sosial.
Definisi lain mengenai pengembangan masyarakat yaitu yang diungkapkan oleh AMA 1993 dalam Wibisono 2007 sebagai metode yang memungkinkan
orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memberbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. Konsep
pengembangan masyarakat selanjutnya yaitu konsep yang dijelaskan oleh Jack Rothman 1968 dalam Wibisono 2007 pada suatu karyanya. Ia menjelaskan
konsep pengembangan masyarakat melalui 3 model praktek pengorganisasian komunitas Three Models of Community Organizaton Practice, yaitu
pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial. Pengembangan masyarakat lokal diartikan proses yang ditujukan untuk
menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Berikutnya adalah konsep
pengembangan masyarakat yang dijelaskan oleh Brokensha dan Hodge 1969 dalam Rukminto 2003. Mereka mendefinisikan pengembangan masyarakat
sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan,
berdasarkan inisiatif dari masyarakat. Menurut Budimanta dalam Rudito dkk 2007, pengembangan masyarakat adalah kegiatan pembangunan komunitas yang
dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang
lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. Menurut Budimanta dalam Rudito dkk 2007, ruang lingkup program-
program pengembangan masyarakat community development dapat dibagi berdasarkan tiga kategori yang secara keseluruhan akan bergerak secara bersama-
sama yang terdiri dari : 1.
Community Relation; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi
kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan charity
perusahaan. Dari hubungan ini maka dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebiih mendalam dan terkait dengan bagaimana
mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program
selanjutnya. 2.
Community Services; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum.
Dalam kategori ini, program dilakukan dengan adanya pembangunan secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi
dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, sumber air minum, dan sebagainya. Inti dari kategori ini
adalah memberikan kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan tentang masalah yang ada di komunitas dilakukan oleh
komunitas sendiri dan perusahaan hanya sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Kebutuhan-kebutuhan
yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer, dengan menggunakan metode yang bersifat kualitatif.
3. Community Empowering; merupakan program-program yang
berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya, misalnya pembentukan koperasi.
Pada dasarnya, kategori ini melalui tahapan-tahapan kategori lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian
berkembang pada community services dengan segala metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaan
pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini.
2.1.3 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan juga menjadi penting dalam mengkaji program- program pengembangan masyarakat untuk meningatkan kualitas hidup manusia.
Menurut Ife dalam Suharto 2005, pemberdayaan memiliki dua pengertian kunci yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya
menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:
a Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan
dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal dan pekerjaan.
b Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras
dengan aspirasi dan keinginannya. c
Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
d Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan.
e Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal,
informal dan kemasyarakatan. f
Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa.
g Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran,
perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat kesimpulan mengenai pemberdayaan
masyarakat yang menujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dan dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan, serta agar dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka. Selain hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa
pemberdayaan memegang kunci kekuasaan pada banyak hal, tidak hanya dalam berpolitik dan berorganisasi, tapi juga menyangkut kegiatan-kegiatan dan
kebutuhan hidup manusia. Konsep ini juga terkait dengan tujuan dari pemberdayaan. Seseorang dapat dikatakan berdaya ketika apa yang diharapkan,
dinginkan maupun dibutuhkannya tercapai. Parson et.al 1994 dalam Suharto 2005, mengatakan bahwa
pemberdayaan dapat dilakukan dengan tiga aras pemberdayaan yang terdiri dari aras mikro, aras mezzo dan aras makro. Dalam konsep ini, pembedayaan
dijelaskan dalam konteks cakupan sasarannya yang terdiri dari individu pada aras mikro, kelompok pada aras mezzo dan sistem lingkungan yang lebih luas pada
aras makro. Konsep ini lebih menekankan pada kesempatan dan prosesnya dalam mencapai tujuan pemberdayaan. Proses tersebut dilakukan dengan
mengidentifikasi program sesuai dengan sasaran yang ingin dituju. Sasaran tersebut terkait dengan konteks mikro, mezzo atau makro yang kemudian
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan program pemberdayaan yang perlu dilakukan.
Konsep pemberdayaan lainnya yaitu konsep pemberdayaan yang disimpulkan berdasarkan dua konsep pemberdayaan di atas. Kesimpulan dari
konsep ini dikemukakan oleh Edi Suharto 2005 bahwa pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses pemberdayaan dikatakan
sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami
kemiskinan. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik, ekonomi maupun sosial.
Terkait dengan berdirinya suatu perusahaan di sekitar komunitas lokal, maka perusahaan diharapkan untuk meningkatkan peran serta komunitas dalam
kegiatan perusahaan atau untuk menghindar dari munculnya ketidaksetaraan terhadap kondisi sosial ekonomi komunitas dengan perusahaan. Berdasarkan hal
tersebut, diperlukan suatu wadah program yang berguna untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal untuk menata sosial ekonomi mereka sendiri dengan
diciptakan suatu wadah yang berbasis pada komunitas yang sering disebut dengan community development yang tujuannya untuk pemberdayaan komunitas
empowerment Rudito dkk, 2007.
2.1.4 CSR dalam BUMN
Badan Usaha Milik Negara BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam perekonomian nasional Wibisono, 2007. Terkait dengan hal
tersebut, BUMN memiliki peran dalam menghasilkan barang dan atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan kemakmuran bagi rakyat. Selain itu,
BUMN juga memiliki peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta besar, serta turut membantu pengembangan usaha
kecil atau koperasi. Sebagai salah satu pelaku bisnis, BUMN dituntut untuk dapat menghasilkan laba seperti pada perusahaan bisnis lainnya. Akan tetapi di sisi lain
BUMN juga dituntut untuk berfungsi sebagai alat pembangunan nasional dan berperan sebagai institusi sosial Wibisono, 2007.
Menurut Undang-Undang No. 19 tahun 2003 sebagai ketentuan perundangan terbaru mengenai BUMN, maka dikenal dua bentuk badan usaha
milik negara yaitu perusahaan perseroan Persero dan perusahaan umum Perum. Persero merupakan bentuk BUMN yang berbentuk perseroan terbatas
yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 sahamnya dimiliki negara dan bertujuan utama untuk mencari keuntungan. Perum
merupakan BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan
atau jasa sekaligus mengejar keuntungan. Terkait dengan tanggung jawab sosialnya, maka peran sosial BUMN
antara lain dituangkan melalui keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep- 236MBU2003. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka
mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja, kesempatan berusaha
dan pemberdayaan masyarakat, perlu ditingkatkan partisipasi Badan Usaha Milik Negara BUMN untuk memberdayakan dan mengembangkan kondisi ekonomi,
kondisi sosial masyarakat dan sekitarnya, melalui Program Kemitraan BUMN dengan usaha kecil dan Program Bina Lingkungan. Keputusan tersebut pada
prinsipnya mengikat BUMN untuk menyelenggarakan Program Kemitraaan dan Program Bina Lingkungan PKBL. Program kemitraan merupakan program yang
bertujuan untuk meningkatkan usaha kecil dalam bentuk pinjaman dana yang digunakan baik sebagai modal ataupun pembelian peralatan penunjang bagi
kegiatan produksi agar usaha kecil menjadi usaha yang mandiri. Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat untuk
tujuan yang memberikan manfaat kepada masyarakat di wilayah BUMN yang bersangkutan. Sebagai petunjuk dari Kep-236MBU2003, terdapat Surat Edaran
Menteri BUMN No SE-433MBU2003 yang berisi bahwa setiap BUMN disyaratkan membentuk unit tersendiri yang bertugas secara khusus menangani
PKBL.
2.2 Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan perkembangan pembangunan pada berbagai bidang, muncul suatu konsep yang disebut sebagai Corporate Social Responsibility CSR dimana
perusahaan memiliki kearifan lokal dengan melakukan tanggung jawab sosialnya. Sebagai pembuktian terhadap berbagai konsep CSR, maka perusahaan
menerapkan tanggung jawab sosialnya melalui program-program pengembangan masyarakat. Sasaran dari program tersebut adalah komunitas lokal yang bertempat
tinggal di daerah sekitar berdirinya perusahaan secara khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Selain hal tersebut, dalam memahami pengaplikasian CSR
oleh suatu perusahaan tentunya diperlukan beberapa hal untuk menunjukkan terdapatnya wujud tanggung jawab sosial perusahaan secara nyata, sesuai dengan
kebijakan yang telah resmi disepakati. Pandangan perusahaan terhadap CSR mempengaruhi bagaimana perusahaan membuat kebijakan mengenai CSR. Cara
pandang perusahaan terhadap CSR dapat dikategorikan menjadi 3 jenis, yang pertama yaitu sekedar basa basi atau keterpaksaan yang terdiri dari external
driven, environmental driven dan reputation driven. Kategori kedua yaitu sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban compliance dan yang ketiga yaitu CSR
diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam internal driven.
Keterangan:
: Mempengaruhi
:
Dalam satu cakupan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Kebijakan CSR
Perusahaan Kebijakan
Pemerintah KEPMEN
BUMN
Strategi perusahaan.
Pandangan perusahaan terhadap CSR :
• External driven,environmental
driven, reputation driven. • Compliance
• Internal driven
Fase pergeseran paradigma menurut Alyson Warhurst :
1. Fase 1
2. Fase 2
3. Fase 3
Tahap-tahap CSR: 1.
Perencanaan 2.
Implementasi 3.
Evaluasi 4.
Pelaporan
Manfaat CSR Masyarakat
Perusahaan
Untuk mengetahui keberadaan perusahaan dalam suatu fase pada paradigma CSR, maka terdapat tiga fase yang terkait dengan kebijakan CSR yang terdapat di
perusahaan. Fase tersebut terdiri dari Fase 1 timbulnya kesadaran terhadap masalah sosial post facto, fase 2 hubungan untuk menyelesaikan masalah
dampak negatif, serta fase 3 hubungan untuk mencegah masalah di masa datang.
Kebijakan yang tertera pada perusahaan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dapat pula mencakup strategi perusahaan dalam menjalankan CSRnya,
dimana dalam pelaksanaannya setiap perusahaan tentu memiliki rencana dan standar tertentu agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diinginkan.
Kebijakan yang telah disepakati perusahaan dalam merancang strategi dapat dilihat dari bagaimana pada tahap perencanaan sampai pada tahap pelaporan.
Selain berhubungan dengan tahap-tahap penerapan CSR, strategi dalam pelaksanaan suatu program CSR juga akan mempengaruhi cara pandang
persahaan terhadap CSR. Bagaimana perusahaan memandang CSR dapat dilihat dari kebijakan CSR maupun strategi penerapan CSRnya. Selanjutnya, dari hasil
yang didapatkan, maka program yang diselenggarakan oleh perusahaan juga harus memiliki manfaat, karena dari manfaat tersebut dapat dilihat sejauh mana
perusahaan telah membangun citra positifnya. Manfaat yang dirasa diharapkan untuk diperoleh masyarakat atau komunitas lokal sebagai penerima program.
Dengan manfaat tersebut, selain masyarakat dapat menikmati keuntungan dari program, masyarakat dapat pula merasakan keberadaan perusahaan disekitarnya
dan mendukung serta memberi opini positif bagi perusahaan.
2.3 Hipotesis Pengarah