Sejarah Tanaman Tembakau Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Tembakau

Di Indonesia tembakau bukan merupakan tanaman asli. Umumnya orang mengira, bahwa tanah asal dari tembakau adalah Meksiko. Ketika Colombus pada tahun 1492 mendarat di pulau Guanakani, tercengang melihat penduduknya biasa menghisap rokok, yang dibuat dari daun tanaman tembakau yang kering dan digulung. Pada waktu itu tanaman tersebut tidak dikenal di negeri lain, apalagi menghisap rokok. Biji-biji dari tanaman tembakau itu kemudian dibawa ke Eropa oleh seorang Perancis, yang bernama Jean Nicot de Villemain dan ditanam di negerinya. Berhubung dengan itu maka tanaman tersebut dinamakan Nicotiana tabacum. Banyak orang mengira, bahwa di Indonesia tanaman tembakau itu didatangkan oleh bangsa Portugis kira-kira pada tahun 1600 akan tetapi orang lain menduga, bahwa tembakau yang ada di Indonesia semula didatangkan langsung dari Meksiko melalui Philipina dan Tiongkok. Ketika Rumphius mengelilingi Indonesia pada tahun 1650 tanaman tembakau itu sudah dilihatnya berbagai tempat yang tidak pernah dikunjungi Portugis. Lembaga Tembakau dahulu dikenal dengan nama Kerosok Centrale, dibentuk berdasarkan Kerosok Ordonantle 1973, kegiatannya sempat terhenti beberapa tahun dan kemudian diaktifkan kembali dengan nama Badan Urusan Tembakau dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Perekonomian tanggal 23 September 1954. Selanjutnya diperbaharui dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 3095ISK62 tanggal 6 Oktober 1962 diganti dengan nama Lembaga Tembakau Ditjenbun, 2006.

2.2 Jenis – jenis Tembakau

Menurut musimnya, tembakau di Indonesia dipisahkan menurut dua jenis, yaitu : 1. Tembakau Vo Voor-oogst, merupakan tembakau yang ditanam pada waktu musim penghujan dan dipanen pada waktu musim kemarau. Biasa dinamakan tembakau musim kemarau Onberegend. 2. Tembakau No Na-oogst, adalah tembakau yang ditanam pada musim kemarau, kemudian dipanen pada musim hujan. Sedangkan menurut penggunaannya atas jenis-jenisnya, tembakau di Indonesia dipisahkan menjadi :

1. Tembakau Cerutu

Tembakau ini dihasilkan oleh tiga tempat, dua daerah lama dan satu tempat daerah baru , masing-masing daerah Jawa, satu daerah di Sumatera dan daerah baru di Sulawesi. Di Jawa sebagai penghasil tembakau cerutu ialah daerah Besuki, Jawa Timur yang berpusat di Kabupaten Jember dan Bondowoso, dan daerah antara Klaten dan Yogya yang dikenal dengan daerah Vorstenlanden, maka terkenal dengan tembakau Besuki dan tembakau Vorstenlanden. Secara umum di dalam tembakau cerutu dikenal tiga jenis sesuai dengan fungsinya pada pembuatan rokok cerutu, yaitu : 1. Jenis pengisi 2. Jenis Pembalut 3. Jenis Pembungkus Tembakau yang dihasilkan di Sumatera yang terkenal adalah tembakau Deli dan merupakan penghasil tipe pembungkus yang terbaik. Jenis tembakau untuk tembakau cerutu adalah Tembakau Deli, Tembakau Besuki, dan Tembakau Vorstenland.

2. Tembakau Sigaret

a. Tembakau Virginia Tipe utama untuk sigaret putih yang terkenal adalah tembakau Virginia dan merupakan bahan utama bagi pembuatan rokok sigaret. Berlainan dengan tembakau cerutu dan beberapa tembakau rakyat maka tembakau Virginia tidak begitu membutuhkan tanah yang subur, iklimnya kurang khas, tembakau Virginia mempunyai penyesuaian baik terhadap iklim dan tanah. b. Tembakau Sigaret Lainnya Selain Virginia, tembakau yang dapat dipergunakan untuk pembuatan rokok sigaret adalah tembakau Turki oriental. Tembakau Turki adalah nama yang diberikan pada segolongan tembakau yang lain, karena mempunyai sifat kualitas yang khas keunggulan dan golongan tembakau ini terletak pada aroma yang baik dan spesifik, sehingga disebut juga ” Aromatic tobacco”.

3. Tembakau Pipa

Satu-satunya tempat yang mampu menghasilkan adalah daerah Lumajang Jawa Timur. Tembakau Lumajang dihasilkan untuk diekspor ke Eropa, jenis Voor-oogst terkenal dengan nama Jembel Putih dan Jenis Na-oogst yang terkenal adalah Krungsung.

4. Tembakau Asepan

Tembakau Asepan adalah sejenis tembakau yang pengolahan daunnya dilakukan dengan cara diasap Smoke cured-tobacco. Tembakau ini mempunyai warna yang gelap, daun yang tebal, berat, kuat dan berminyak. Jika dibandingkan dengan tembakau Virginia flue cured maka akan berlawanan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tipe tanah, teknik budidaya, dan cara pengolahan daun.

5. Tembakau RakyatAsli

Tembakau asli adalah tembakau yang ditanam oleh rakyat, mulai dari pembuatan persemaian, penanaman dan pengolahan daunnya, sehingga siap untuk dijual di pasaran, dalam bahasa asing tembakau ini disebut ” Native tobaccoes” atau ”Bevolkings tabak”. Tembakau ini pada umumnya ditanam pada akhir musim penghujan sehingga panennya jatuh di musim kemarau. Jadi tembakau asli, karena panennya jatuh di musim kemarau disebut juga Voor- oogst. Penggunaannya pada umumnya untuk keperluan pembuatan sigaret kretek, dalam jumlah yang tidak terlalu besar dipergunakan juga untuk sigaret sebagai campuran. Yang memenuhi syarat biasanya didatangkan dari daerah Bojonegoro, Madura, Kedu, Kendal, Garut, Sidikalang dan Takengon. Jenis-jenis tembakau asli ini diketahui dan dikenal besar terdapat di Jawa. Di Jawa Barat terdapat di Bandung Selatan dan disekitar Garut yang dikenal sebagai tembakau Mole. Hasil dari tembakau ini adalah rajangan halus yang digunakan untuk rokok ” lintingan”, sedangkan sebagian untuk campuran dalam pembuatan rokok kretek dan sigaret putih dan sebagian kecil untuk tembakau krosok. Pemasaran tembakau rajangan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tembakau Garut dan Takengon mempunyai sifat-sifat yang khas disamping rasa dan aroma, warnanya yang mencolok, yakni kuning emas sampai coklat terang. Jenis-jenis tembakau asli yang ditanam di Jawa Barat adalah Kedu Hejo, Kedu Omas, Kedu Hideung, Maruyung, Kedu Rancing, Palumbon, Nani Benggala dan Kenceh, Virginia Garut turunan tembakau Virginia, dan lain-lain Abdullah, 1982.

2.3 Penelitian Terdahulu

2.3.1 Penelitian Mengenai Tataniaga

Vinifera 2006 menyatakan dalam analisis tataniaga komoditi kelapa kopyor di Desa Ngagel, Kab. Pati, Jawa Tengah terdapat tiga saluran pemasaran. Saluran tataniaga I Petani – Pedagang Pengumpul I – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen, saluran tataniaga II Petani – Pedagang Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen, dan saluran tataniaga III Petani – Pengumpul II – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen. Saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga Kelapa Kopyor terpanjang dan paling banyak digunakan oleh petani yaitu 11 orang petani 36,67 dari total responden petani. Alasan petani menjual hasil panen kepada Pedagang Pengumpul I di tingkat desa karena petani tidak perlu melakukan kegiatan panen dan perbedaan keuntungan tidak terlalu besar. Sama halnya pada saluran tataniaga III, petani melakukan penjualan ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan, sebanyak 36,67 dari total responden petani. Struktur pasar yang dihadapi petani Kelapa Kopyor di Desa Ngagel cenderung mengarah ke pasar persaingan sempurna. Hal ini dilihat dari jumlah petani responden sebanyak 30 orang dengan jumlah pedagang sebanyak 11 orang yang terlibat sebagai lembaga tataniaga. Perilaku pasar, penjualan dan pembelian antar lembaga tataniaga terjalin kerjasama cukup baik. Penentuan harga antara petani dengan pengumpul I dan pengumpul II berdasarkan tawar menawar dan penentuan sepihak dari pedagang. Petani sebagai price taker. Harga yang terjadi berdasarkan mekanisme pasar, sistem pembayaran adalah sistem pembayaran tunai, sistem panjer, dan sistem pembayaran kemudian. Hasil perhitungan marjin tataniaga, pola saluran III memiliki marjin paling kecil diantara ketiga saluran yang ada yaitu sebesar Rp. 7.185,97 per butir, total biaya pemasaran paling kecil juga sebesar Rp. 3.766,12 per butir. Rasio keuntungan terhadap biaya tertinggi pada pemasaran Kelapa Kopyor terdapat pada saluran pemasaran III yaitu 1,2. Rasio 1,2 berarti untuk setiap Rp. 100 per butir biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga tersebut diperoleh keuntungan Rp. 120 per butir. Prioritas yang ingin dicapai adalah peningkatan pendapatan petani, maka alternatif saluran tataniaga III yang digunakan sebagai alternatif pilihan. Menurut Sakinah 2006 dalam analisis sistem dan efisiensi tataniaga komoditas Damar Mata Kucing, di desa Pahmungan terdapat 3 saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga I Petani – Penghadang – Pedagang Pengumpul Desa – Bandar – Eksportir, saluran tataniaga II Petani – Pengumpul Desa - Bandar – Eksportir, dan saluran tataniaga III Petani – Bandar – Eksportir. Perilaku pasar yang diamati dari praktek penjualan dan pembelian oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar, sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga III menjadi alternatif yang efisien yang dapat meningkatkan farmer share karena memiliki marjin yang terkecil yaitu Rp. 8.500kg 56,67. Farmer share tertinggi juga terdapat pada saluran tataniaga III sebesar 43,33. Rasio keuntungan tertinggi di saluran III sebesar 2,32. Sedangkan menurut Widawati 1999 dalam analisis marjin pemasaran dan struktur pasar tembakau dalam negeri, pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung terdapat tiga saluran pemasaran, yaitu 1 Petani – Perwakilan Pabrik Rokok, 2 Petani – Pedagang Pengumpul – Bandar – Perwakilan Pabrik Rokok, dan 3 Petani – Pengolah – Pedagang Pengumpul – Bandar – Perwakilan Pabrik Rokok. Hasil analisis terhadap biaya dan keuntungan pada setiap pelaku perdagangan menunjukkan bahwa sebaran marjin pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung tidak sesuai dengan korbanan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran, dimana bandar memperoleh keuntungan terbesar yaitu 9,25 persen sedangkan petani memperoleh bagian terkecil yaitu 6,33 persen dari total harga yang dibayar konsumen. Dilihat dari proses pembentukan harga, petani menempati posisi tawar-menawar yang paling lemah. Kedua hal tersebut mencerminkan bahwa tingkat efisiensi pemasaran pada perdagangan tembakau di Temanggung belum tercapai.

2.3.2 Penelitian Mengenai Komoditas Tembakau

Ardhiyanthi 2003 menyatakan dalam kajian Implementasi Kemitraan Agribisnis Tembakau Virginia di PT. Sadhana Arifnusa, alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melaksanakan kemitraan adalah metode Regresi Logistik yang diolah dengan Software SPSS 11.0. Hasil berdasarkan bentuk pelaksanaan kemitraan yang dilakukan bersama petani mitra, bentuk kemitraan bersifat kemitraan usaha partial, yaitu perusahaan memberikan bantuan berupa pinjaman sarana produksi pertanian dan memberikan fasilitas peralatan untuk proses produksi dan pengolahan hasil produksi tembakau milik petani binaannya. Manfaat pelaksanaan kemitraan yang dirasakan petani antara lain, mendapat bantuan permodalan, mendapat fasilitas pinjaman gudang oven, memperoleh ilmu pengetahuan atau keterampilan teknologi pertanian, kemudahan menjual hasil panen, terjalin hubungan kekerabatan yang baik. Menurut Murniyati 1999, dalam analisis usaha tani dan pengolahan tembakau Garangan menjelaskan berdasarkan hasil analisis pendapatan usaha tani dan pengolahan untuk luasan satu hektar diketahui bahwa penerimaan total yang diperoleh petani yaitu menjual langsung tembakau dalam daun basah lebih kecil daripada penerimaan yang diperoleh petani bila mereka mengolah terlebih dahulu daun tembakau hasil produksi. Besarnya penerimaan mempengaruhi besarnya pendapatan yang diterima petani. Besarnya pendapatan yang diterima petani yang mengolah sendiri tembakaunya lebih besar dibanding petani yang menjual tembakau daun basah. Besarnya penerimaan dan pendapatan sangat dipengaruhi oleh mutu daun tembakau basah yang dihasilkan yang secara langsung berpengaruh pada mutu tembakau garangan. Daun tembakau basah dengan mutu rendah memiliki harga jual yang rendah, sehingga bila diolah menjadi tembakau garangan, harga jual tembakau garangan menjadi rendah, sedang biaya pengolahan tembakau garangan cukup tinggi. Sedangkan menurut Yustishia 2007, dalam analisis dampak kenaikan tarif cukai tembakau terhadap permintaan rokok kretek, keuntungan usaha dan kesempatan kerja industri rokok skala kecil tanpa cukai. Metode yang digunakan untuk mempengaruhi permintaan rokok adalah dengan metode Ordinary Least Square OLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai yang dilihat dari faktor harga rokok kretek tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan rokok kretek. Hasil keuntungan usaha pada industri rokok skala kecil tanpa cukai meningkat dari sebelum dan sesudah tarif cukai ditetapkan. Persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan Nama Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Vinifera 2006 Analisis Tataniaga Komoditas Kelapa Kopyor Studi Kasus di Desa Ngagel, Kecamatan Dukuh Seti, Kab. Pati, Jawa Tengah • Alat analisis yang digunakan • Jenis komoditi • Tempat penelitian Sakinah 2006 Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Damar Mata Kucing Shorea javanica untuk meningkatkan Farmer’s Share Kasus Desa Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung • Alat analisis yang digunakan • Jenis komoditi • Tempat penelitian Widawati 1999 Analisis Marjin Pemasaran dan Struktur Pasar Tembakau Dalam Negeri Kasus di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah • Alat analisis yang digunakan • Jenis komoditi • Tempat penelitian Ardhiyanthi 2003 Kajian Implementasi Kemitraan Agribisnis Tembakau Virginia PT. Sadhana Arifnusa Bondowoso, Jawa Timur • Jenis komoditi • Alat analisis yang digunakan • Tempat penelitian Murniyati 1999 Analisis Usahatani dan Pengolahan Tembakau Garangan • Jenis komoditi • Alat analisis yang digunakan • Tempat penelitian Yustishia 2007 Analisis Dampak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau Terhadap Permintaan Rokok Kretek, Keuntungan Usaha dan Kesempatan Kerja Industri Rokok Skala Kecil Tanpa Cukai • Jenis komoditi • Alat analisis yang digunakan • Tempat penelitian

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Tataniaga

Limbong dan Sitorus 1985 menyatakan bahwa tataniaga pertanian adalah mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Menurut Sa’id dan Intan 2001 menyimpulkan bahwa tataniaga pertanian dapat didefinisikan sebagai sejumlah kegiatan bisnis yang ditujukan untuk memberi kepuasan dari barang atau jasa yang dipertukarkan kepada konsumen atau pemakai dalam bidang pertanian, baik input maupun produk pertanian. Pendekatan analisis tataniaga pertanian terdapat 4 pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan Fungsi Functional Approach; merupakan pendekatan yang mempelajari fungsi-fungsi yang ada dalam lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga suatu komoditi. Pendekatan fungsi terdiri dari : fungsi pertukaran yang meliputi pembelian dan penjualan; fungsi fisik meliputi penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan; dan fungsi fasilitas meliputi standarisasi grading, penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar. 2. Pendekatan Kelembagaan Institutional Approach. Pendekatan kelembagaan ini berguna untuk mempelajari atau mengamati peranan