Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas Ukuran Telur:
Sumbu panjang mm : 0,65 0,61 – 0,68 Sumbu pendek mm : 0,52 0,50 – 0,58
Berat mg
: 0,42 Warna
: kuning kemerahan
Hormon 17a- metiltestosteron menyebabkan terganggunya proses vitelogenesis dan perkembangan embrio udang galah, diduga hal ini terkait dengan kerasnya cangkang telur
sehingga sulit pecah saat proses penetasan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa embrio telah terbentuk sempurna, organ mata dan bagian kepala jelas terlihat, dapat dikatakan bahwa
telur siap menetas. Terganggunya proses vitelogenesis akibat pemberian hormon sintetis, menyebabkan
aktivitas metabolisme dalam telur meningkat pesat sesuai dengan level perkembangan embrio Arukwe and Goksøyr, 2003, dan sifat anabolik memacu pembentukan otot yang
telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali Fulierton, 1980 memberi efek penyerapan energi yang cukup tinggi. Hal tersebut mengurangi alokasi energi untuk kebutuhan yang lain
menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kematian embrio atau menyebabkan embrio lemah sehingga tidak cukup kuat untuk memecahkan cangkang telur.
e. Derajat Hidup survival rate
Persentase jumlah larva udang galah yang hidup mulai 24 jam setelah menetas sampai hari ke-62 terus mengalami penurunan, seiring dengan pertambahan besar ukuran
dan munculnya sifat kanibal. Sampai hari ke-62 pasca tetas, kisaran derajat hidup cukup besar yaitu 12,36 perlakuan A hingga 41,77 perlakuan B Lampiran 11.
Pada Gambar 14 terlihat bahwa jumlah larva yang hidup pada masing–masing perlakuan per sepuluh hari perhitungan sampel, mulai hari pertama menetas sampai hari
ke-62 menunjukkan penurunan yang nyata.
5000 10000
15000 20000
25000
1 2
12 22
32 42
52 62
Waktu hari Rerata jumlah larva ekor
A B
C D
E
Gambar 14. Grafik rataan jumlah larva hidup pada penelitian I Kematian larva yang tinggi terjadi pada hari ke-22 sampai hari ke-32, diduga terkait
erat dengan masa persiapan larva untuk bermetamorfosis menjadi juvenil. Seperti yang dinyatakan Racotta et al. 2003, bahwa pada saat fase perubahan menjadi juvenil, kondisi
udang lemah, mudah stress dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang mendadak, akibat perubahan alokasi energi yang disebabkan oleh perubahan beberapa
fungsi enzim yang berperan dalam metabolisme. Perubahan fungsi enzim dilakukan untuk menyesuaikan dengan organ–organ baru yang berkembang setelah menjadi udang muda
juvenil. Pada fase tersebut rentan terjadi kanibalisme, dimana larva yang sedang dalam proses perubahan menjadi juvenil kondisinya lemah sehingga mudah menjadi mangsa larva
yang belum mengalami proses menjadi juvenil. Hal tersebut didukung dengan fakta, bahwa mulai hari ke-15 setelah menetas sampai
hari ke-30 atau menjelang fase perubahan menjadi juvenil, nafsu makan larva sangat tinggi sehingga frekuensi pemberian pakan ditingkatkan 5–6 kali per hari.
Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan nyata pada derajat hidup larva udang galah Lampiran 12a. Untuk mengetahui
apakah perlakuan E kontrol positif memberikan pengaruh nyata dibanding perlakuan A kontrol negatif, maka dilakukan uji t yang menunjukkan bahwa perlakuan E berpengaruh
nyata terhadap tingginya jumlah larva hidup dibanding perlakuan A Lampiran 12b. Diduga sifat anabolik yang telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali pada hormon 17a-
metiltestosteron Fulierton, 1980, memacu proses molting saat fase perubahan menjadi juvenil lebih cepat. Proses pertambahan ukuran tubuh dan pengerasan karapas yang lebih
cepat, menyebabkan udang terhindar dari kanibalisme.
f. Ukuran Telur