Derajat Penetasan hatching rate

Tabel 7 menunjukkan perbedaan morfologi telur yang terbuahi dan tidak terbuahi. Telur yang terbuahi mempunyai bulatan lebih sempurna dan korion yang masih utuh serta tidak mengkerut, sedangkan telur yang tidak terbuahi bulatannya sudah tidak sempurna karena mengalami pengkerutan dengan korion telah mengalami kerusakan. Warna kemerahan menunjukkan bahwa sel telur telah mati. Tabel 7. Telur udang galah yang terbuahi dan tidak terbuahi Gambar Keterangan Telur udang galah yang terbuahi. Ukuran Telur: Sumbu panjang mm : 0,53 0,46 – 0,59 Sumbu pendek mm : 0,48 0,42 – 0,58 Berat mg : 0,30 Warna : kuning muda Telur udang galah yang tidak terbuahi. Ukuran Telur: Sumbu panjang mm : 0,49 0,46 – 0,56 Sumbu pendek mm : 0,45 0,42 – 0,50 Berat mg : 0,28 Warna : kuning kemerahan Relatif tingginya telur yang tidak dierami pada pemberian hormon 17a-metiltestosteron dibanding kontrol dan pemberian ekstrak steroid teripang, diduga terkait dengan terjadinya hypercalcemia yaitu kelebihan kalsium dalam hemolymph. Sukendi 2003 menyatakan bahwa injeksi hormon sintetis me nyebabkan terjadinya pengikatan kalsium dari komponen vitelogenin terfosforilasi sehingga konsentrasi dalam darah dan hati meningkat. Kalsium dalam hemolymph selanjutnya masuk ke dalam telur bersama vitelogenin, selanjutnya disintesis dalam endoplasmic reticulum menjadi phosphatidylserine yang kemudian mengasosiasi protein kinase terkait dengan pembentukan cangkang telur Dygas, 2003. Semakin tinggi kalsium menyebabkan lapisan telur lebih tebal dan keras, sehingga elastisitasnya berkurang, akibatnya spermatozoa kesulitan melewati mikrofil. Pada akhirnya, telur akan mati karena tidak ada sperma yang membuahi.

d. Derajat Penetasan hatching rate

Derajat penetasan telur udang galah pada masing–masing perlakuan menunjukkan kisaran 79,92 pemberian 17a- metiltestosteron 15 ppm sampai 98,34 kontrol negatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 13. Tabel 8. Derajat penetasan telur udang galah Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan A, B, C dan D tidak memberikan pengaruh yang nyata pada derajat penetasan Lampiran 10a. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah perlakuan E kontrol positif memberikan pengaruh yang nyata dibanding perlakuan A kontrol negatif, maka dilakukan uji t Lampiran 10b. Hasil analisis uji t membuktikan bahwa, 17a- metiltestosteron memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendahnya jumlah telur menetas dibanding ekstrak steroid teripang. 98,34 98,14 97,96 98,28 79,92 20 40 60 80 100 120 A B C D E Perlakuan Derajat penetasan Gambar 13. Grafik rataan derajat penetasan telur udang galah Pada Gambar 13 terlihat bahwa hormon 17a-metiltestosteron menyebabkan telur terbuahi yang tidak menetas jumlahnya lebih besar, dibanding dengan kontrol negatif dan pemberian ekstrak steroid teripang. Diduga 17a-metiltestosteron memberikan efek toksik yang menyebabkan telur gagal menetas, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Telur udang galah terbuahi tetapi gagal mene tas Gambar Keterangan Perlakuan Ulangan Rataan 1 2 3 A 98,37 98,12 98,52 98.34 B 97,72 99,32 97,38 98.14 C 99,02 97,61 97,24 97.96 D 97,69 99,16 97,99 98.28 E 78,65 77,43 83,66 79.92 Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas Ukuran Telur: Sumbu panjang mm : 0,65 0,61 – 0,68 Sumbu pendek mm : 0,52 0,50 – 0,58 Berat mg : 0,42 Warna : kuning kemerahan Hormon 17a- metiltestosteron menyebabkan terganggunya proses vitelogenesis dan perkembangan embrio udang galah, diduga hal ini terkait dengan kerasnya cangkang telur sehingga sulit pecah saat proses penetasan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa embrio telah terbentuk sempurna, organ mata dan bagian kepala jelas terlihat, dapat dikatakan bahwa telur siap menetas. Terganggunya proses vitelogenesis akibat pemberian hormon sintetis, menyebabkan aktivitas metabolisme dalam telur meningkat pesat sesuai dengan level perkembangan embrio Arukwe and Goksøyr, 2003, dan sifat anabolik memacu pembentukan otot yang telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali Fulierton, 1980 memberi efek penyerapan energi yang cukup tinggi. Hal tersebut mengurangi alokasi energi untuk kebutuhan yang lain menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kematian embrio atau menyebabkan embrio lemah sehingga tidak cukup kuat untuk memecahkan cangkang telur.

e. Derajat Hidup survival rate