B . calyciflorus dari negara bermusim empat, namun hal yang sama belum
dilaporkan dari rotifera di daerah tropis. Disamping itu juga dilaporkan bahwa rotifera kaya akan lipid berasam lemak tak jenuh. Lipid ini yang merupakan daya
tarik para operator balai benih untuk menggunakan rotifera sebagai sumber nutrisi larva ikan laut. Olsen et al. 1993, menemukan antara lain tingginya kandungan
asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA pada B. plicatilis.
Rotifera dapat merubah pola reproduksi dari aseksual menjadi seksual diawali dengan adanya stimulus dari luar. Hal ini diyakini dikendalikan oleh
semacam protein penginduksi seks “sex-inducing protein” yakni sejenis anti stress protein yaitu suatu golongan protein yang diproduksi sebagai upaya
pertahanan diri terhadap kondisi ekstrim. Dengan merubah kondisi lingkungan rotifera menjadi ekstrim kemungkinan dapat merangsang produksi senyawa ini.
Senyawa-senyawa anti-stress dan enzim-enzim bersifat hidrolitik yang diproduksi rotifera akibat perubahan lingkungan juga mempunyai prospek yang cerah di
masa datang, karena dapat berguna untuk terapi dalam kedokteran Rumengan 2007a.
2.4 Ekologi Rotifera
Rotifera tersebar di Amerika, Eurazia, Australia dan juga di Indonesia. Rotifera termasuk hewan yang hidupnya kosmopolitan, dapat ditemukan hampir
di semua jenis perairan. Kebanyakan rotifera merupakan penghuni habitat air tawar dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan penghuni lautan dan payau.
Rotifera sebagian hidup bebas dalam air dan sebagian hidup menetap. Rotifera juga ditemukan di lingkungan yang lembab, air mengalir seperti arus atau sungai,
lumut, karang, genangan hujan, sampah daun, jamur yang tumbuh dekat pohon mati, dalam tangki limbah pabrik, bahkan pada krustasea dan larva insekta Kirk
1999. Disamping itu rotifera ditemukan melimpah pada perairan yang kaya akan nanoplankton dan detritus Liao et al. 1983. Beberapa hidup melekat dalam
tabung yang dibuatnya dari sekresi atau dari partikel asing, misalnya Collotheca menghuni tabung transparan, sedangkan Floscularia membentuk tabung terdiri
atas batu-batu mikroskopis. Setelah bertahun-tahun mengalami kekeringan
beberapa spesies akan kembali aktif dalam 10 menit setelah mengalami pembasahan. Rotifera kelas Bdelloidea ditemukan hampir di semua lingkungan air
tawar, adakalanya di payau dan perairan laut, menghuni lumut, dapat merayap pada lumut atau berenang dengan bebas, dan di kolam. Bdelloidea dikenal
mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk bertahan hidup pada kondisi kering yang dikenal sebagai proses kriptobiosis Sugiri 1989; Kirk 1999.
Kondisi hidrologis perairan yang mencakup suhu, salinitas, kadar fosfat dan nitrat dapat mempengaruhi perkembangan fitoplankton dan zooplankton secara
bersamaan. Liao et al. 1983 mengemukakan bahwa B. plicatilis dapat berkembang baik pada suhu 1 ºC sampai 35 ºC. Menurut Fulks dan Main 1991,
rotifera akan mencapai reproduksi maksimum pada suhu antara 30 ºC dan 34 ºC. Menurut Gomez 2003, suhu pertumbuhan yang optimal pada tipe L dan tipe S
juga berbeda. Tipe S pertumbuhan optimalnya pada 28-35 ºC, sedangkan untuk tipe L pada 22-28 ºC. Rotifera berkembang dengan baik pada salinitas 10 sampai
20 ppt dan mampu hidup pada kisaran salinitas 5-40 ppt. Sedangkan untuk pH berkisar antara 7,7-8,7. King dan Miracle dalam Korstad et al. 1989 menemukan
rentang hidup rotifera berkisar 6-13,5 hari. Hasil penelitian pada rotifera B. rotundiformis Tipe-S dan B. plicatilis
Tipe-L yang di kultur pada suhu 23 ºC dan 35 ppt menunjukkan B. rotundiformis
lebih toleran pada suhu yang lebih tinggi dibanding dengan B. plicatilis
, sedangkan B. plicatilis lebih toleran pada salinitas yang lebih rendah dari pada B. rotundiformis. Salinitas mempunyai efek yang lebih besar dari pada
suhu. Ketersediaan rotifera menurun pada salinitas yang rendah Fieder dan Purser 2000. Selanjutnya, hasil penelitian dari Assavaaree et al. 2001 menunjukkan
bahwa kemampuan hidup tertinggi dari B. rotundiformis strain-S Fukuoka yaitu pada 35 ppt. Pertumbuhan dan produktivitas dari rotifera B. plicatilis dan B.
rotundiformis berhubungan dengan peningkatan salinitas dalam sistim kultur.
Produktivitas rotifera dicapai pada salinitas 5 ppt kemudian pada salinitas yang lebih tinggi. Sebaliknya ukuran rotifera sebanding dengan peningkatan salinitas
pada sistim kultur. Menurut James dan Abu 1990, karena produktivitas rotifera, kualitas gizi, dan kelangsungan hidup, maka direkomendasikan untuk
menggunakan salinitas 20 ppt untuk rotifera tipe-S dan 30 ppt untuk rotifera tipe-
L pada sistim kultur. Hasil dari De Araujo et al. 2001, tingginya tekanan lingkungan menurunkan fekunditas dan rentang hidup dari B. rotundiformis strain
Hawai dan Langkawi. Selanjutnya hasil penelitian Yoshinaga et al. 2004, juga menunjukkan bahwa DNA rotifera Brachionus sp. dari perairan Manembo-nembo
berbeda dengan rotifera Brachionus sp. dari perairan Jepang. Potensi keanekaragaman hayati laut sangat besar, ini dimungkinkan oleh
variasi dan khasnya lingkungan abiotik laut. Pemahaman akan besarnya potensi kelautan seringkali terbatas hanya pada eksploitasi makro flora dan fauna laut
seperti ikan, udang, kerang dan rumput laut yang dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat dipanen secara langsung dan dikomersialisasikan.
Sumberdaya hayati laut lainnya seperti flora dan fauna mikro dengan kandungan senyawa metabolit primer dan sekunder masih relatif tidak terjamah. Meskipun
hingga saat ini telah ditemukan metabolit sekunder dari mikroba, namun proses metabolisme sekunder dari mikroba masih dipercaya sebagai sumber yang tidak
pernah habis dari senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai antimikroba, antivirus, antitumor, dan sebagai agen bagi kepentingan farmasi dan pestisida pertanian.
Komponen bioaktif meliputi daya preventif terhadap penyakit, daya promotif meningkatkan kesehatan, dan daya kuratif atau pengobatan penyakit. Jadi sangat
perlu untuk memanfaatkan dan meningkatkan nilai tambah sumberdaya laut yang masih belum banyak dieksplorasi menjadi produk yang mempunyai nilai potensial
sebagai obat dan produk yang bernilai tinggi.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian