sel itu sendiri. Dengan terjadinya proliferasi sel maka jumlah sel di dalam kultur menjadi banyak, sehingga kemungkinan nutrisi yang tersedia dari
media menjadi kurang cukup dan limfosit mengalami kematian. Menurut Junge et al. 1970, ketersediaan nutrisi di dalam media pada kultur sel
secara in vitro sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan viabilitas sel.
2. Pengukuran aktivitas proliferasi dengan metode MTT
Nilai absorbansi hasil pengukuran microplate reader menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk sebagai
hasil konversi MTT dengan adanya kerja enzim suksinat dehidrogenase. Enzim ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal
formazan hanya dapat terbentuk oleh sel yang hidup Kubota et al., 2003.
Banyaknya kristal formazan yang terbentuk berarti berkorelasi dengan banyaknya sel yang hidup. Nilai absorbansi akan linear dengan jumlah sel
hidup, atau dengan kata lain semakin tinggi absorbansi yang dihasilkan maka semakin tinggi pula jumlah sel hidup yang terdapat di dalam kultur
tersebut. Pada gambar 6 dapat dilihat perbandingan nilai absorbansi yang
ditimbulkan oleh penambahan ekstrak sampel pada kultur. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata absorbansi kultur dengan
penambahan ekstrak bubuk kakao sebagian besar lebih tinggi daripada kontrol. Ada beberapa jenis ekstrak sampel yang nilai rata-rata
absorbansinya lebih rendah dari kontrol, tapi setelah dilakukan uji statistik ternyata kedua nilai ini tidak berbeda nyata p0.05. Dengan demikian
hasil pengukuran absorbansi menunjukkan bahwa secara umum penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur dapat menimbulkan
proliferasi limfosit yang ditandai dengan tingginya nilai absorbansi dibanding kontrol.
Dari hasil pengujian statistik dengan analisis sidik ragam ANOVA yang dapat dilihat pada lampiran 6, tampak bahwa perlakuan
penambahan ekstrak bubuk kakao terhadap kultur memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap nilai absorbansi kultur yang menunjukkan jumlah sel hidup maupun proliferasi sel. Hal ini dapat disimpulkan dari
nilai signifikansi p value yang lebih kecil dari 0.05 yaitu sebesar 0.0001. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ada beberapa sampel
ekstrak bubuk kakao yang menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kontrol, diantaranya adalah sampel B2 bulk masak, C2 Buah
Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang, dan C3 Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Tinggi. Hal
ini berarti konsumsi ketiga jenis bubuk kakao tersebut dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk mengaktivasi sel limfosit untuk berproliferasi,
sehingga jenis bubuk kakao tersebut dapat berperan sebagai imunomodulator. Hasil uji Duncan ini dapat dilihat dengan lebih jelas
pada tabel 3 dan lampiran 8.
Tabel 3. Hasil uji Duncan yang menunjukkan pengaruh penambahan
ekstrak bubuk kakao pada kultur terhadap proliferasi limfosit
Jenis ekstrak bubuk kakao Mean
A1 1.12767
e
A2 1.24911
ecd
B1 1.18578
ed
B2 1.60689
ab
C1 1.39889
bcd
C2 1.66878ª C3 1.43778
bc
D1 1.10756
e
D2 1.24256
ecd
D3 1.21578
ed
kontrol 1.17833
ed
LPS 0.86167
f
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05
LPS = kontrol positif A1 = Edel muda
A2 = Edel masak B1 = Bulk muda
B2 = Bulk masak C1 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Ringan
C2 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang C3 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Berat
D1 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Ringan D2 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Sedang
D3 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Berat
Jumlah sel limfosit pada suspensi awal yang dibuat kultur adalah sebanyak 10
6
selml, dimana suspensi ini memberikan nilai absorbansi sebesar 0,3 – 0,4. Dengan demikian, nilai absorbansi kultur sampel yang
cukup tinggi setelah masa inkubasi, yaitu mencapai 1,6 menunjukkan jumlah sel limfosit sebanyak 4 – 5 x 10
6
selml, dimana jumlah ini masih termasuk di dalam batas jumlah normal sel limfosit di dalam tubuh. Maka
hasil pengujian ini menunjukkan pula bahwa proliferasi sel limfosit yang ditimbulkan akibat penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur tidak
berlebihan atau masih dalam batas normal sehingga tidak membahayakan. Sementara itu, tiga tingkat konsentrasi ekstrak bubuk kakao yang
diujikan terhadap kultur menghasilkan nilai p sebesar 0.0230, yang berarti perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap absorbansi kultur
maupun proliferasi sel. Seperti tampak pada tabel 5, pada dosis tinggi yaitu konsentrasi empat kali dosis normal, penambahan ekstrak bubuk
kakao pada kultur memberikan pengaruh yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan dua konsentrasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan konsumsi bubuk kakao sampai dengan empat kali dosis normal dapat meningkatkan kemampuan limfosit untuk berproliferasi.
Dengan kata lain, konsumsi bubuk kakao dalam jumlah yang cukup tinggi ini dapat lebih meningkatkan sistem imunitas tubuh. Meskipun demikian
ada kemungkinan jika dosis yang dikonsumsi terlalu tinggi akan menjadi bersifat toksik bagi sel limfosit. Tapi untuk ekstrak bubuk kakao yang
diujikan, sampai dengan konsentrasi empat kali dosis normal 6,64 mgml ekstrak bubuk kakao tidak bersifat toksik.
Dosis yang terlalu tinggi pada pengujian penambahan ekstrak sampel secara in vitro bisa jadi berakibat toksik pada sel sehingga
menekan proliferasi limfosit. Menurut Kresno 1991, imunogenitas suatu substansi ditentukan oleh cara masuknya subsntansi bersangkutan ke
dalam tubuh dan besarnya dosis juga menentukan respon imun yang dihasilkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo 2000,
penambahan ekstrak cincau hijau pada konsentrasi tinggi mencapai 8 kali dosis normal justru menekan proliferasi sel limfosit di dalam kultur.
Menurut Zakaria 1996, pada suatu konsentrasi tertentu suatu ekstrak dalam kultur sel bisa bersifat sebagai antioksidan dan bersifat prooksidan
pada konsentrasi lain.
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi terhadap proliferasi limfosit yang
ditunjukkan oleh nilai absorbansi kultur
Konsentrasidosis Mean
1,66 mgml C
1
1.25861
b
3,32 mgml C
2
1.28447
b
6,64 mgml C
3
1.38143
a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05
C
1
= 1x dosis normal C
2
= 2x dosis normal C
3
= 4x dosis normal
Tidak terjadi interaksi antara kedua faktor perlakuan penambahan jenis ekstrak dan perlakuan tingkat konsentrasi dosis. Hal ini tampak dari
nilai p untuk interaksi antara kedua faktor lebih besar daripada 0.05 yaitu sebesar 0.9959. Dengan demikian tidak dapat dibuat kesimpulan yang
bersifat faktorial atau menggabungkan kedua faktor ini. Pengaruh yang ditimbulkan dengan penambahan LPS sebagai
kontrol positif pada kultur memberikan nilai absorbansi yang sangat rendah dan berbeda nyata p0.05 baik dengan kontrol negatif maupun
kultur dengan penambahan ekstrak bubuk kakao. Hal ini diduga terjadi karena dalam masa waktu inkubasi selama 72 jam LPS tidak mampu
mempertahankan sel limfosit agar tetap hidup akibat kualitas LPS yang digunakan sudah tidak bagus. Ketidakmampuan LPS berperan sebagai
mitogen dalam memicu proliferasi sel pada penelitian kali ini kemungkinan terjadi karena bagian lipid dari LPS yang akan berinteraksi
dengan membran plasma untuk menghasilkan aktivasi selluler mengalami kerusakan.
52
1. 43
1. 368
1. 226
1. 5
38 1.
3 00
1. 72
9
1. 33
8
1. 081
1. 2
79 1.
1 61
1. 1
2 5
1. 19
5 1.
1 49
1. 610
1. 3
85 1.
5 65
1. 462
1. 070
1. 15
4 1.
1 3
1. 216
1. 18
5 1.
18 3
1. 6
72 1.
5 11
1. 713
1. 5
13
1. 1
71 1.
29 5
1. 356
1. 178
0. 8
62
0.0 0.2
0.4 0.6
0.8 1.0
1.2 1.4
1.6 1.8
2.0
A1 A2
B1 B2
C1 C2
C3 D1
D2 D3
kontrol LPS
jenis sampel ab
so rb
a n
s i
1,66 mgml C1 3,32 mgml C2
6,64 mgml C3 kontrol
LPS
Gambar 6. Grafik absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak bubuk kakao secara keseluruhan setelah inkubasi selama 72 jam dan
diukur dengan metode MTT.
3. Hubungan kadar total polifenol dengan proliferasi yang ditimbulkan