20 sebarannya mengelompok. Perhitungan Ip disajikan pada rumus sebagai
berikut:
5 Asosiasi interspesifik menggunakan rumus variance ratio VR, dengan
tahapan penghitungan sebagai berikut: a.
Menyusun matrik presence-absence seluruh spesies, dengan contoh formulasi sebagai berikut:
Unit sampling SU Total
spesies Spesies
1 2
3 N
1 1
1 n
1
2 1
1 1
n
2
3 1
n
3
… …
… …
… …
S 1
1 n
s
Total SU T
1
T
2
T
3
T
n
b. Menghitung varians sampel total, untuk keterdapatan S spesies dalam
sampel, dengan rumus:
S
δT
2
= ∑ p
i
1-p
i
; p
i
= n
i
N
i=1
c. Menduga varians jumlah spesies total, dengan rumus:
N ST
2
= 1N ∑ Tj-t
2
; j
=1
t : jumlah rata-rata spesies dalam sampel
d. Menghitung variance ratio VR :VR = δT
2
ST
2
Apabila VR lebih besar dari 1 maka terjadi asosiasi yang positif antar spesies, sebaliknya apabila VR lebih kecil dari 1 maka asosiasinya
bersifat negatif. Selanjutnya untuk menguji apakah terdapat penyimpangan terhadap nilai 1, dilakukan penghitungan nilai statistik
W sebagai berikut:
W = N VR. Apabila nilai W berada di luar rentang X
2 0.5.N
W X
2 0.95.N
, hipotesis bahwa tidak ada asosiasi diterima. 6
Struktur horizontal dianalisis dengan cara mengelompokkan data kelimpahankerapatan berdasarkan sebaran stadium pertumbuhan pohon,
�� = .5 + .5 � − �
� − � ;
⬚
�� = .5 � −
� − ;
⬚
�� = − .5 � −
�� − ;
⬚
�� = − .5 + .5 � − ��
�� ;
⬚
Jika Id ≥ Mc 1
Jika Mc Id ≥ 1
Jika I Id ≥ Mu
Jika I Mu ≥ Id
21 diikuti data diameter pohon ke dalam kelas-kelas diameter, yaitu: 10
–20 cm, 20
–30 cm, 30–40 cm, 40–50 cm dan di atas 50 cm. 7
Struktur vertikal pohon-pohon pada lokasi penelitian dikelompokkan ke dalam lima stratum berdasarkan kelas tinggi Kusmana 2007 : 1 stratum
A: tinggi 30 m; 2 stratum B: tinggi 20 –30 m; 3 stratum C: tinggi 10–
20 m; 4 stratum D: tinggi 4 –10 m; dan 5 stratum E: tinggi 4 m.
3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Hasil
3.3.1.1 Komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan Jumlah jenis
Saat ini areal-areal bekas gangguan telah terisi oleh komunitas pohon- pohonan dengan jumlah dan komposisi jenis yang bervariasi. Secara keseluruhan
diperoleh 32 jenis pohon yang tersebar pada berbagai lokasi dan stadium pertumbuhan pohon. Jumlah jenis terbanyak dijumpai pada areal hutan tidak
terganggu sebanyak 17 jenis, diikuti oleh areal bekas kebakaran 14 jenis, rumpang 11 jenis, bekas perambahan 10 jenis, dan hutan mati 6 jenis. Hasil pengamatan
jumlah jenis berdasarkan stadium pertumbuhan pada setiap lokasi disajikan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Jumlah jenis pohon berdasarkan stadium pertumbuhan di lokasi penelitian
Dari Gambar 3.2 dapat diketahui bahwa perubahan jumlah jenis pada areal- areal bekas gangguan lebih banyak terjadi pada stadium permudaan dari tingkat
semai sampai dengan tingkat tiang. Areal bekas kebakaran memiliki jumlah jenis semai dan pancang terbanyak, diikuti oleh areal bekas perambahan, sedangkan areal
hutan mati memiliki jumlah jenis terendah.
Ditinjau dari segi komposisi jenisnya diketahui bahwa areal-areal bekas gangguan memiliki komposisi yang berbeda dengan areal hutan tidak terganggu.
Hal tersebut merupakan bentuk perubahan dari jenis-jenis pohon primer atau sekunder tua kemudian digantikan oleh jenis-jenis pohon pioner setelah areal areal
mengalami keterbukaan akibat gangguan. Tabel 3.2 menggambarkan keadaan komposisi dan tingkat dominasi jenis-jenis pohon pada masing-masing lokasi
penelitian .
5 10
15 20
25
Hutan tidak terganggu
Rumpang Bekas
perambahan Bekas
kebakaran Hutan mati
Juml ah
jeni s di
te mu
kan d
al am
p lo
t
semai Pancang
Tiang Pohon
22 Tabel 3.2 Jenis-jenis pohon dominan dan kodominan di lokasi penelitian
Lokasi No
Semai Pancang
Tiang Pohon
Jenis INP
Jenis INP
Jenis INP
Jenis INP
Hutan tidak terganggu
1 Engelhardtia spicata
64.10 Engelhardtia spicata
80.40 Parinarium corymbosum
144.19 Engelhardtia spicata 57.24
2 Parinarium corymbosum
32.05 P. corymbosum
28.29 Podocarpus neriifolius
43.52 Quercus teysmannii
50.49 Rumpang
1 Phoebe declinata
50.00 Phoebe declinata
50.00 Schima wallichii
43.21 2
Quercus teysmannii 50.00
Quercus teysmannii 50.00
Podocarpus imbricatus 40.74
Bekas perambahan
1 Litsea cubeba
52.75 Litsea cubeba
62.34 Vaccinium varingifolium 131.12 Schima wallichii
107.32 2
Vaccinium varingifolium 48.91
Vaccinium varingifolium 43.38 Litsea cubeba
91.14 Paraserianthes lophantha
78.88 3
Paraserianthes lophantha 43.40
Praserianthes lophantha 42.81
Schima wallichii 46.95
Vaccinium varingifolium 73.52
Areal bekas kebakaran
1 Litsea cubeba
71.49 Litsea cubeba
94.54 Litsea cubeba
126.26 Schima wallichii 120.58
2 Homalanthus populnea
66.62 Homalanthus populnea
50.96 Schima wallichii
99.54 Vernonia arborea
43.33 Hutan mati
1 Vaccinium varingifolium
43.94 Vaccinium varingifolium 43.94
Vaccinium varingifolium 169.89 2
Helicia javanica 34.85
Helicia javanica 34.85
Litsea cubeba 130.22
3 Litsea cubeba
34.85 Litsea cubeba
34.85 data jenis-jenis pohon di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1; dan data komposisi jenis secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 2
Dominasi jenis
Jenis-jenis yang mendominasi masing-masing areal cenderung berbeda satu sama lain yang ditunjukkan oleh nilai INP Tabel 3.2, Lampiran 2 dan 3. Hutan
tidak terganggu lebih didominasi oleh jenis-jenis pohon primer atau sekunder tua ditandai oleh dominasi jenis-jenis Engelhardtia spicata, Parinarium corymbosum,
Podocarpus imbricatus, Quercus teysmanii, Castanopsis argentea dan Schima wallichii. Pada areal-areal bekas perambahan dan kebakaran lebih didominasi oleh
permudaan jenis-jenis pionir diantaranya Litsea cubeba, Paraserianthes lophantha, Homalanthus populneus dan Schima wallichii.
Perubahan dominasi jenis pohon di atas merupakan bentuk kecenderungan yang umum terjadi sebagai akibat adanya perubahan penutupan vegetasi dari hutan
primer atau sekunder tua yang lebat menjadi areal terbuka yang kemudian berkembang melalui proses suksesi sekunder ditandai dengan munculnya jenis-
jenis pionir Whitmore 1998.
Keanekaragaman jenis
Gambar 3.3 memperlihatkan kondisi keanekaragaman jenis pohon pada areal- areal bekas gangguan dan hutan tidak terganggu. Hasil perhitungan Indeks Shanon
Wiener menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pohon mengalami penurunan yang drastis setelah terjadi gangguan nilai H’ 2 atau rendah hingga sangat
rendah.
Gambar 3.3 Kondisi keanekaragaman jenis pohon di lokasi penelitian
Tingkat kesamaan komunitas
Perubahan komposisi jenis pohon secara lebih jelas dapat dilihat dari segi tingkat kesamaan komunitas antara tipe habitat yang satu dengan yang lainnya.
Hasil perhitungan indeks similaritas antar tipe habitat ditunjukkan pada Tabel 3.3. Dari Tabel 3.3 diketahui bahwa seluruh tipe habitat berbeda satu sama lain
IS 75 . Hal ini membuktikan bahwa akibat adanya perubahan penutupan dari hutan alam yang tidak terganggu menjadi areal-areal yang terganggu, terjadi
perubahan komposisi jenis yang signifikan. Pada tingkat pohon, areal rumpang cenderung lebih memiliki kesamaan dengan hutan tidak terganggu, pada sisi yang
lain areal bekas perambahan cenderung lebih mendekati kondisi areal bekas kebakaran pada semua tingkat pertumbuhan.
2,32 2,27
1,47 1,63
0,69 1
2 3
4
Hutan tidak terganggu
Rumpangcelah Bekas
Perambahan Bekas kebakaran
Hutan mati
In d
e ks
ke an
e ka
g araman
S h
an o
n -
W ie
n e
r H
LokasiTipe habitat
Tabel 3.3 Indeks similaritas antar tipe habitat
Indeks similaritas Tipe Habitat
R BP
BK HM
Hutan tidak terganggu HT 1 semai
6.09 6.09
4.56 8.02
2 pancang 5.46
5.46 5.46
7.07 3 tiang
0.00 0.00
0.00 0.00
4 pohon 51.22
0.00 24.68
0.00 Rumpang R
1 semai 10.82
9.12 0.00
2 pancang 11.52
10.73 0.00
3 tiang 0.00
0.00 0.00
4 pohon 38.80
34.28 0.00
Bekas perambahan BP 1 semai
46.30 39.40
2 pancang 48.49
39.12 3 tiang
48.25 44.09
4 pohon 46.17
0.00 Bekas kebakaran BK
1 semai 17.43
2 pancang 17.43
3 tiang 42.09
4 pohon 0.00
HM: hutan mati
Struktur horizontal
Struktur komunitas pohon pada lokasi penelitian berbeda antar tingkat gangguan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal ditunjukkan
oleh perbedaan kerapatan btgha dari setiap stadium pertumbuhan Tabel 3.4. Berdasarkan Tabel 3.4 diketahui bahwa hutan tidak terganggu memiliki
struktur yang baik ditandai dengan penurunan kerapatan pohon secara proporsional dari stadium semai hingga pohon, sedangkan pada areal bekas gangguan terlihat
pola yang lebih beragam. Secara umum terlihat bahwa adanya keterbukaan areal akibat gangguan perambahan dan kebakaran memicu munculnya jumlah
permudaan yang lebih banyak dibandingkan lokasi lainnya.
Tabel 3.4 Kondisi struktur horizontal vegetasi di lokasi penelitian
No Tipe habitat
Kerapatan btgHa semai
pancang tiang
pohon 1
Hutan tidak terganggu 13 000
2480 300
145 2
Rumpangcelah 25 000
4000 275
3 Bekas Perambahan
39 000 5440
880 87
4 Bekas kebakaran
46 250 13 400
230 107
5 Hutan mati
13 750 2200
200
Penjelasan lebih lanjut terhadap stadium tingkat tiang dan pohon dirinci berdasarkan sebaran kelas diameter
pohon ≥ 10 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat perbedaan proporsi kerapatan berdasarkan kelas diameter
antara hutan tidak terganggu Gambar 3.4 dan areal bekas gangguan Gambar 3.5.
Gambar 3.4 Kondisi sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada areal hutan tidak terganggu
Gambar 3.4 menunjukkan bahwa hutan tidak terganggu memiliki sebaran kelas diameter yang proporsional atau membentuk kurva eksponensial negatif. Hal
ini ditandai oleh besarnya jumlah pohon-pohon berdiameter kecil, kemudian semakin menurun secara proporsional dengan meningkatnya ukuran diameter
batang.
Secara umum terdapat kecenderungan areal-areal bekas gangguan lebih didominasi oleh pohon-pohon berdiameter kecil Gambar 3.5, bahkan pada hutan
mati bekas terpaan abu vulkanik hanya terdiri atas pohon-pohon berdiameter 10 sampai 20 cm. Pada areal bekas kebakaran masih dijumpai pohon-pohon
berdiameter besar 50 cm sebagaimana hutan tidak terganggu dan rumpang, walaupun jumlahnya hanya beberapa batang saja.
Gambar 3.5 Kondisi sebaran kelas diameter pada areal-areal bekas gangguan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pohon-pohon berdiameter besar yang
ditemukan pada areal bekas kebakaran tersebut merupakan sisa hutan sebelum terbakar yang mampu hidup seperti Schima wallichii dan Engelhardtia spicata.
Jumlah pohon berdiameter 10 sampai 20 cm pada areal bekas perambahan sangat
50 100
150 200
250 300
10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm ≥ 50 cm
Ju m
lah p
o h
o n
p e
r H
a
Kelas Diameter
200 400
600 800
1000 1200
10-20 cm 20-30 cm
30-40 cm 40-50 cm
≥ 50 cm Ju
m lah
p o
h o
n p
er Ha
Kelas diameter
Rumpangcelah Bekas Perambahan
Bekas kebakaran Hutan mati
tinggi, kemudian menurun secara drastis pada kelas diameter yang lebih besar dan bahkan tidak dijumpai pohon berdiamater lebih dari 50 cm.
Struktur vertikal
Struktur vertikal pohon-pohon pada suatu komunitas tumbuhan dicerminkan oleh sebaran tinggi tajuk pohon dalam starta-strata tajuk pohon Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Kondisi struktur vertikal komunitas pohon di lokasi penelitian
HT: hutan tidak tergangu; R: rumpang; BP: bekas perambahan; HM: hutan mati
Dari Gambar 3.6 diketahui bahwa hampir seluruh pohon 97 berada pada stratum C dan D, hanya sebagian kecil 3 pada stratum B. Hal ini menunjukkan
bahwa komunitas pohon di lokasi penelitian secara umum tergolong ke dalam kategori pohon-pohon kecil sampai sedang. Beberapa batang pohon yang
menempati stratum B umumnya merupakan gabungan antara sisa-sisa pohon sebelum areal hutan mengalami gangguan dan beberapa pohon pionir yang telah
memasuki umur tua.
3.3.1.2 Keberadaan populasi L. cubeba pada areal bekas gangguan
Keberadaan populasi pohon
L. cubeba
pada lokasi penelitian mendasari studi lebih lanjut dari rangkaian penelitian ini. Dari Tabel 3.2 di atas diketahui bahwa
perubahan komunitas pohon-pohon dari hutan tidak terganggu menjadi areal-areal terbuka, berimplikasi terhadap hadirnya pohon L.cubeba.
Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui ciri-ciri morfologi L. cubeba sebagai berikut:
- Habitus : pohon kecil sampai sedang, tinggi pohon dewasa berkisar 8–15 m
dengan diameter 12 –30 cm rata-rata 17 cm.
- Batang : tegak, berkayu, bulat, percabangan simpodial, putih kotor; kulit batang
hijau sampai hijau tua gelap, dipenuhi bintik-bintik lentisel. -
Daun : tunggal, lonjong, tepi rata ujung runcing, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang 10
–14 cm, lebar 7–9 cm, hijau muda sampai hijau tua. -
Bunga : majemuk, diameter 3–5 mm, berbentuk malai, berkelamin dua, kelopak hijau muda, bentuk mangkok, berbulu halus, mahkota bulat melengkung, kepala
sari bulat, hijau kehitaman. -
Buah : bulat, diameter 0.5–0.8 mm, keras, hijau tua sampai hitam. -
Biji : bulat, diameter 0.5–1 mm, putih kotor.
Hasil penelitian di tempat lain menunjukkan karakteristik yang cenderung sama Herawati et al. 2005; Heryati et al. 2009. Gambar 3.7 memberikan gambaran secara
visual mengenai profil pohon L. cubeba di Gunung Papandayan.
200 400
600 800
1000
HT R
BP BK
HM Ju
m lah
P o
h o
n p
er Ha
Tipe Habitat
Stratum E T = 1- 4 m Stratum D T= 4-10 m
Stratum C T = 10-20 m Stratum B T= 20-30 m
Stratum A T 30 m