Metode Penelitian .1 Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri

20 sebarannya mengelompok. Perhitungan Ip disajikan pada rumus sebagai berikut: 5 Asosiasi interspesifik menggunakan rumus variance ratio VR, dengan tahapan penghitungan sebagai berikut: a. Menyusun matrik presence-absence seluruh spesies, dengan contoh formulasi sebagai berikut: Unit sampling SU Total spesies Spesies 1 2 3 N 1 1 1 n 1 2 1 1 1 n 2 3 1 n 3 … … … … … … S 1 1 n s Total SU T 1 T 2 T 3 T n b. Menghitung varians sampel total, untuk keterdapatan S spesies dalam sampel, dengan rumus: S δT 2 = ∑ p i 1-p i ; p i = n i N i=1 c. Menduga varians jumlah spesies total, dengan rumus: N ST 2 = 1N ∑ Tj-t 2 ; j =1 t : jumlah rata-rata spesies dalam sampel d. Menghitung variance ratio VR :VR = δT 2 ST 2 Apabila VR lebih besar dari 1 maka terjadi asosiasi yang positif antar spesies, sebaliknya apabila VR lebih kecil dari 1 maka asosiasinya bersifat negatif. Selanjutnya untuk menguji apakah terdapat penyimpangan terhadap nilai 1, dilakukan penghitungan nilai statistik W sebagai berikut: W = N VR. Apabila nilai W berada di luar rentang X 2 0.5.N W X 2 0.95.N , hipotesis bahwa tidak ada asosiasi diterima. 6 Struktur horizontal dianalisis dengan cara mengelompokkan data kelimpahankerapatan berdasarkan sebaran stadium pertumbuhan pohon, �� = .5 + .5 � − � � − � ; ⬚ �� = .5 � − � − ; ⬚ �� = − .5 � − �� − ; ⬚ �� = − .5 + .5 � − �� �� ; ⬚ Jika Id ≥ Mc 1 Jika Mc Id ≥ 1 Jika I Id ≥ Mu Jika I Mu ≥ Id 21 diikuti data diameter pohon ke dalam kelas-kelas diameter, yaitu: 10 –20 cm, 20 –30 cm, 30–40 cm, 40–50 cm dan di atas 50 cm. 7 Struktur vertikal pohon-pohon pada lokasi penelitian dikelompokkan ke dalam lima stratum berdasarkan kelas tinggi Kusmana 2007 : 1 stratum A: tinggi 30 m; 2 stratum B: tinggi 20 –30 m; 3 stratum C: tinggi 10– 20 m; 4 stratum D: tinggi 4 –10 m; dan 5 stratum E: tinggi 4 m. 3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Hasil

3.3.1.1 Komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan Jumlah jenis

Saat ini areal-areal bekas gangguan telah terisi oleh komunitas pohon- pohonan dengan jumlah dan komposisi jenis yang bervariasi. Secara keseluruhan diperoleh 32 jenis pohon yang tersebar pada berbagai lokasi dan stadium pertumbuhan pohon. Jumlah jenis terbanyak dijumpai pada areal hutan tidak terganggu sebanyak 17 jenis, diikuti oleh areal bekas kebakaran 14 jenis, rumpang 11 jenis, bekas perambahan 10 jenis, dan hutan mati 6 jenis. Hasil pengamatan jumlah jenis berdasarkan stadium pertumbuhan pada setiap lokasi disajikan pada Gambar 3.2. Gambar 3.2 Jumlah jenis pohon berdasarkan stadium pertumbuhan di lokasi penelitian Dari Gambar 3.2 dapat diketahui bahwa perubahan jumlah jenis pada areal- areal bekas gangguan lebih banyak terjadi pada stadium permudaan dari tingkat semai sampai dengan tingkat tiang. Areal bekas kebakaran memiliki jumlah jenis semai dan pancang terbanyak, diikuti oleh areal bekas perambahan, sedangkan areal hutan mati memiliki jumlah jenis terendah. Ditinjau dari segi komposisi jenisnya diketahui bahwa areal-areal bekas gangguan memiliki komposisi yang berbeda dengan areal hutan tidak terganggu. Hal tersebut merupakan bentuk perubahan dari jenis-jenis pohon primer atau sekunder tua kemudian digantikan oleh jenis-jenis pohon pioner setelah areal areal mengalami keterbukaan akibat gangguan. Tabel 3.2 menggambarkan keadaan komposisi dan tingkat dominasi jenis-jenis pohon pada masing-masing lokasi penelitian . 5 10 15 20 25 Hutan tidak terganggu Rumpang Bekas perambahan Bekas kebakaran Hutan mati Juml ah jeni s di te mu kan d al am p lo t semai Pancang Tiang Pohon 22 Tabel 3.2 Jenis-jenis pohon dominan dan kodominan di lokasi penelitian Lokasi No Semai Pancang Tiang Pohon Jenis INP Jenis INP Jenis INP Jenis INP Hutan tidak terganggu 1 Engelhardtia spicata 64.10 Engelhardtia spicata 80.40 Parinarium corymbosum 144.19 Engelhardtia spicata 57.24 2 Parinarium corymbosum 32.05 P. corymbosum 28.29 Podocarpus neriifolius 43.52 Quercus teysmannii 50.49 Rumpang 1 Phoebe declinata 50.00 Phoebe declinata 50.00 Schima wallichii 43.21 2 Quercus teysmannii 50.00 Quercus teysmannii 50.00 Podocarpus imbricatus 40.74 Bekas perambahan 1 Litsea cubeba 52.75 Litsea cubeba 62.34 Vaccinium varingifolium 131.12 Schima wallichii 107.32 2 Vaccinium varingifolium 48.91 Vaccinium varingifolium 43.38 Litsea cubeba 91.14 Paraserianthes lophantha 78.88 3 Paraserianthes lophantha 43.40 Praserianthes lophantha 42.81 Schima wallichii 46.95 Vaccinium varingifolium 73.52 Areal bekas kebakaran 1 Litsea cubeba 71.49 Litsea cubeba 94.54 Litsea cubeba 126.26 Schima wallichii 120.58 2 Homalanthus populnea 66.62 Homalanthus populnea 50.96 Schima wallichii 99.54 Vernonia arborea 43.33 Hutan mati 1 Vaccinium varingifolium 43.94 Vaccinium varingifolium 43.94 Vaccinium varingifolium 169.89 2 Helicia javanica 34.85 Helicia javanica 34.85 Litsea cubeba 130.22 3 Litsea cubeba 34.85 Litsea cubeba 34.85 data jenis-jenis pohon di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1; dan data komposisi jenis secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 2 Dominasi jenis Jenis-jenis yang mendominasi masing-masing areal cenderung berbeda satu sama lain yang ditunjukkan oleh nilai INP Tabel 3.2, Lampiran 2 dan 3. Hutan tidak terganggu lebih didominasi oleh jenis-jenis pohon primer atau sekunder tua ditandai oleh dominasi jenis-jenis Engelhardtia spicata, Parinarium corymbosum, Podocarpus imbricatus, Quercus teysmanii, Castanopsis argentea dan Schima wallichii. Pada areal-areal bekas perambahan dan kebakaran lebih didominasi oleh permudaan jenis-jenis pionir diantaranya Litsea cubeba, Paraserianthes lophantha, Homalanthus populneus dan Schima wallichii. Perubahan dominasi jenis pohon di atas merupakan bentuk kecenderungan yang umum terjadi sebagai akibat adanya perubahan penutupan vegetasi dari hutan primer atau sekunder tua yang lebat menjadi areal terbuka yang kemudian berkembang melalui proses suksesi sekunder ditandai dengan munculnya jenis- jenis pionir Whitmore 1998. Keanekaragaman jenis Gambar 3.3 memperlihatkan kondisi keanekaragaman jenis pohon pada areal- areal bekas gangguan dan hutan tidak terganggu. Hasil perhitungan Indeks Shanon Wiener menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pohon mengalami penurunan yang drastis setelah terjadi gangguan nilai H’ 2 atau rendah hingga sangat rendah. Gambar 3.3 Kondisi keanekaragaman jenis pohon di lokasi penelitian Tingkat kesamaan komunitas Perubahan komposisi jenis pohon secara lebih jelas dapat dilihat dari segi tingkat kesamaan komunitas antara tipe habitat yang satu dengan yang lainnya. Hasil perhitungan indeks similaritas antar tipe habitat ditunjukkan pada Tabel 3.3. Dari Tabel 3.3 diketahui bahwa seluruh tipe habitat berbeda satu sama lain IS 75 . Hal ini membuktikan bahwa akibat adanya perubahan penutupan dari hutan alam yang tidak terganggu menjadi areal-areal yang terganggu, terjadi perubahan komposisi jenis yang signifikan. Pada tingkat pohon, areal rumpang cenderung lebih memiliki kesamaan dengan hutan tidak terganggu, pada sisi yang lain areal bekas perambahan cenderung lebih mendekati kondisi areal bekas kebakaran pada semua tingkat pertumbuhan. 2,32 2,27 1,47 1,63 0,69 1 2 3 4 Hutan tidak terganggu Rumpangcelah Bekas Perambahan Bekas kebakaran Hutan mati In d e ks ke an e ka g araman S h an o n - W ie n e r H LokasiTipe habitat Tabel 3.3 Indeks similaritas antar tipe habitat Indeks similaritas Tipe Habitat R BP BK HM Hutan tidak terganggu HT 1 semai 6.09 6.09 4.56 8.02 2 pancang 5.46 5.46 5.46 7.07 3 tiang 0.00 0.00 0.00 0.00 4 pohon 51.22 0.00 24.68 0.00 Rumpang R 1 semai 10.82 9.12 0.00 2 pancang 11.52 10.73 0.00 3 tiang 0.00 0.00 0.00 4 pohon 38.80 34.28 0.00 Bekas perambahan BP 1 semai 46.30 39.40 2 pancang 48.49 39.12 3 tiang 48.25 44.09 4 pohon 46.17 0.00 Bekas kebakaran BK 1 semai 17.43 2 pancang 17.43 3 tiang 42.09 4 pohon 0.00 HM: hutan mati Struktur horizontal Struktur komunitas pohon pada lokasi penelitian berbeda antar tingkat gangguan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal ditunjukkan oleh perbedaan kerapatan btgha dari setiap stadium pertumbuhan Tabel 3.4. Berdasarkan Tabel 3.4 diketahui bahwa hutan tidak terganggu memiliki struktur yang baik ditandai dengan penurunan kerapatan pohon secara proporsional dari stadium semai hingga pohon, sedangkan pada areal bekas gangguan terlihat pola yang lebih beragam. Secara umum terlihat bahwa adanya keterbukaan areal akibat gangguan perambahan dan kebakaran memicu munculnya jumlah permudaan yang lebih banyak dibandingkan lokasi lainnya. Tabel 3.4 Kondisi struktur horizontal vegetasi di lokasi penelitian No Tipe habitat Kerapatan btgHa semai pancang tiang pohon 1 Hutan tidak terganggu 13 000 2480 300 145 2 Rumpangcelah 25 000 4000 275 3 Bekas Perambahan 39 000 5440 880 87 4 Bekas kebakaran 46 250 13 400 230 107 5 Hutan mati 13 750 2200 200 Penjelasan lebih lanjut terhadap stadium tingkat tiang dan pohon dirinci berdasarkan sebaran kelas diameter pohon ≥ 10 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat perbedaan proporsi kerapatan berdasarkan kelas diameter antara hutan tidak terganggu Gambar 3.4 dan areal bekas gangguan Gambar 3.5. Gambar 3.4 Kondisi sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada areal hutan tidak terganggu Gambar 3.4 menunjukkan bahwa hutan tidak terganggu memiliki sebaran kelas diameter yang proporsional atau membentuk kurva eksponensial negatif. Hal ini ditandai oleh besarnya jumlah pohon-pohon berdiameter kecil, kemudian semakin menurun secara proporsional dengan meningkatnya ukuran diameter batang. Secara umum terdapat kecenderungan areal-areal bekas gangguan lebih didominasi oleh pohon-pohon berdiameter kecil Gambar 3.5, bahkan pada hutan mati bekas terpaan abu vulkanik hanya terdiri atas pohon-pohon berdiameter 10 sampai 20 cm. Pada areal bekas kebakaran masih dijumpai pohon-pohon berdiameter besar 50 cm sebagaimana hutan tidak terganggu dan rumpang, walaupun jumlahnya hanya beberapa batang saja. Gambar 3.5 Kondisi sebaran kelas diameter pada areal-areal bekas gangguan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pohon-pohon berdiameter besar yang ditemukan pada areal bekas kebakaran tersebut merupakan sisa hutan sebelum terbakar yang mampu hidup seperti Schima wallichii dan Engelhardtia spicata. Jumlah pohon berdiameter 10 sampai 20 cm pada areal bekas perambahan sangat 50 100 150 200 250 300 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm ≥ 50 cm Ju m lah p o h o n p e r H a Kelas Diameter 200 400 600 800 1000 1200 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm ≥ 50 cm Ju m lah p o h o n p er Ha Kelas diameter Rumpangcelah Bekas Perambahan Bekas kebakaran Hutan mati tinggi, kemudian menurun secara drastis pada kelas diameter yang lebih besar dan bahkan tidak dijumpai pohon berdiamater lebih dari 50 cm. Struktur vertikal Struktur vertikal pohon-pohon pada suatu komunitas tumbuhan dicerminkan oleh sebaran tinggi tajuk pohon dalam starta-strata tajuk pohon Gambar 3.6. Gambar 3.6 Kondisi struktur vertikal komunitas pohon di lokasi penelitian HT: hutan tidak tergangu; R: rumpang; BP: bekas perambahan; HM: hutan mati Dari Gambar 3.6 diketahui bahwa hampir seluruh pohon 97 berada pada stratum C dan D, hanya sebagian kecil 3 pada stratum B. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas pohon di lokasi penelitian secara umum tergolong ke dalam kategori pohon-pohon kecil sampai sedang. Beberapa batang pohon yang menempati stratum B umumnya merupakan gabungan antara sisa-sisa pohon sebelum areal hutan mengalami gangguan dan beberapa pohon pionir yang telah memasuki umur tua.

3.3.1.2 Keberadaan populasi L. cubeba pada areal bekas gangguan

Keberadaan populasi pohon

L. cubeba

pada lokasi penelitian mendasari studi lebih lanjut dari rangkaian penelitian ini. Dari Tabel 3.2 di atas diketahui bahwa perubahan komunitas pohon-pohon dari hutan tidak terganggu menjadi areal-areal terbuka, berimplikasi terhadap hadirnya pohon L.cubeba. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui ciri-ciri morfologi L. cubeba sebagai berikut: - Habitus : pohon kecil sampai sedang, tinggi pohon dewasa berkisar 8–15 m dengan diameter 12 –30 cm rata-rata 17 cm. - Batang : tegak, berkayu, bulat, percabangan simpodial, putih kotor; kulit batang hijau sampai hijau tua gelap, dipenuhi bintik-bintik lentisel. - Daun : tunggal, lonjong, tepi rata ujung runcing, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang 10 –14 cm, lebar 7–9 cm, hijau muda sampai hijau tua. - Bunga : majemuk, diameter 3–5 mm, berbentuk malai, berkelamin dua, kelopak hijau muda, bentuk mangkok, berbulu halus, mahkota bulat melengkung, kepala sari bulat, hijau kehitaman. - Buah : bulat, diameter 0.5–0.8 mm, keras, hijau tua sampai hitam. - Biji : bulat, diameter 0.5–1 mm, putih kotor. Hasil penelitian di tempat lain menunjukkan karakteristik yang cenderung sama Herawati et al. 2005; Heryati et al. 2009. Gambar 3.7 memberikan gambaran secara visual mengenai profil pohon L. cubeba di Gunung Papandayan. 200 400 600 800 1000 HT R BP BK HM Ju m lah P o h o n p er Ha Tipe Habitat Stratum E T = 1- 4 m Stratum D T= 4-10 m Stratum C T = 10-20 m Stratum B T= 20-30 m Stratum A T 30 m

Dokumen yang terkait

Karakterisasi Simplisia, Isolasi, Dan Analisis Komponen Minyak Atsiri Buah Segar Dan Kering Tumbuhan Attarasa (Litsea cubeba Pers.) Secara GC-MS

15 107 92

Aktivitas Antibakteri Edible Film Dari Pati Tapioka Yang Di Inkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

7 56 51

Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu ki lemo (Litsea cubeba (Lour) Pers) dan pasang butaruwa (Quercus induta BL) terhadap artemia salina leach

0 10 74

Dinamika Populasi Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan Pemupukan.

0 3 54

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

9 69 96

Analisis Senyawa Aktif Dari Minyak Atsiri Kulit Batang Ki Lemo (Litsea Cubeba Lour. Pers) Yang Menekan Aktivitas Lokomotor Mencit Analysis Of Compounds Possessing Inhibitory Properties On Mice Locomotor Activity From Essential Oils Of Ki Lemo Bark (Litsea

0 2 7

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

0 0 16

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

0 0 2

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

0 1 4

KRANGEAN (Litsea cubeba (Lour.) Persoon): ASPEK AGRONOMI, PENGGUNAAN SECARA TRADISIONAL, BIOAKTIFITAS DAN POTENSINYA

0 3 13