Hasil dan Pembahasan Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri

Gambar 4.6 Kromatogram komposisi senyawa minyak lemo dari bagian buah yang diambil pada tiga tipe habitat A: areal rumpang; B: areal bekas perambahan; dan C: areal bekas kebakaran A B C e-citral z-citral citronellal eucalyptol 3-cyclohexene-1-..... e-citral z-citral citronellal d-limonene eucalyptol 3-cyclohexene-1-..... e-citral z-citral Geranic acid eucalyptol Neric acid Tabel 4.5 memperlihatkan hasil pengujian minyak atsiri dari buah dan kromatogram komposisi senyawa disajikan pada Gambar 4.6. Pada Tabel 4.5 tersebut diketahui bahwa buah memiliki komponen senyawa yang paling banyak dibandingkan daun dan kulit batang. Secara keseluruhan senyawa minyak atsiri pada buah hanya terkonsentrasi pada dua senyawa dominan, yaitu e-sitral dan z- sitral. Hasil penelitian Si et al. 2012 terhadap minyak atsiri dari buah yang diambil di delapan provinsi di Cina menunjukkan kecenderungan komposisi senyawa dominan yang berbeda dengan hasil penelitian ini, dari 59 senyawa yang teridentifikasi diperoleh senyawa-senyawa dominan berupa monoterpen, meliputi neral dan geranial 78.7 –87.4 . Dari Gambar 4.6 terlihat komposisi senyawa dominan minyak lemo dari bagian buah juga relatif sama antar tipe habitat, yang membedakan adalah nilai peak area di antara senyawa-senyawa dominan tersebut. Hasil pengujian minyak lemo juga menunjukkan bahwa senyawa-senyawa tertentu meskipun bukan yang dominan terlihat muncul pada masing-masing tipe habitat. Tabel 4.6 memperlihatkan komposisi senyawa minyak lemo dari bagian kulit batang. Dari tabel tersebut terlihat bahwa minyak lemo dari kulit batang ini didominasi oleh senyawa sitronelal dan eucalyptol. Sampel yang berasal dari lokasi rumpang memiliki senyawa spesifik berupa 4-terpineol dan ocimenyl acetate, lokasi bekas kebakaran di blok Bungbrun berupa cis-sabinenehydrate, α-thujene dan -myrcene, serta lokasi bekas perambahan di blok Sorok Teko berupa citronellyl acetate. Tabel 4.6 Komposisi senyawa minyak atsiri dari kulit batang L. cubeba No Nama senyawa Peak area R-LT P-BK P-ST K-GW K-BR M-TA 1 2- -pinene 1.149 3.523 1.25 1.361 2.631 - 2 e-citral - - - 1.286 3.173 - 3 neryl acetate - - - 1.548 - 4 z-citral 0.393 - - 1.175 2.804 - 5 α-pinene, 0.984 3.002 - 1.239 2.322 - 6 cis-sabinenehydrate - - 0.764 - - - 7 -citronellol 6.695 13.387 b 4.155 5.945 6.24 5.657 8 4-terpineol 0.53 - - - - - 9 6-methyl-5-hepten-2-one 0.782 2.526 - - - - 10 caryophyllene 0.316 - - 0.505 - - 11 citronellal a 39.831 38.073 45.199 39.487 42.011 73.704 12 citronellyl acetate - - - - 4.262 - 13 d-limonene 9.233 11.297 c 13.641 18.368 b - 11.796 b 14 eucalyptol 27.436 b 8.451 22.104 b 18.191 c 24.690 b 0.733 15 geranyl acetate - - - - 2.257 1.360 16 isopulegol 0.650 - - - 1.991 17 linalool 0.836 7.627 - - 3.595 0.707 18 ocimenyl acetate 0.417 - - - - - 19 sabinene 3.633 4.036 3.389 2.788 2.946 4.050 20 α-terpinenyl acetate 7.115 8.077 7.106 8.107 3.069 - 21 α-thujene - - 1.265 - - - 22 -myrcene - - 1.126 - - - Gambar 4.7 Kromatogram komposisi senyawa minyak lemo dari bagian kulit batang yang diambil pada beberapa tipe habitat A: areal rumpang; B: areal bekas perambahan; dan C: areal bekas kebakaran A B C citronellal eucalyptol d-limennene a-terpinenyl acetate b-citronellol sabinene citronellal eucalyptol d-limonene a-terpinenyl acetate b-citronellol sabinene citronellal eucalyptol a-terpinenyl acetate Citronellil acetate sabinene Gambar 4.7 memperlihatkan kromatogram komposisi senyawa minyak lemo dari kulit batang dengan pola-pola yang sama. Perbedaan terjadi pada nilai kelimpahan peak area dari komponen-komponennya. Kondisi secara keseluruhan hasil pengujian komposisi senyawa dari tiga bagian pohon ini, terdapat 5 senyawa yang selalu dijumpai pada setiap bagian pohon, yaitu 2- β-pinen, caryophyllene, d-Limonen, eucalyptol sineol dan linalol. Komposisi senyawa dominan dari hasil penelitian ini cenderung memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Muchtaridi et al. 2005 terhadap L. cubeba yang diambil di Lembang Jawa Barat diperoleh senyawa dominan adalah sitronelol, sitronelal, α-terpineol, dan 1,8-sineol, sedangkan penelitian Zulnely et al. 2003 dari Gunung Ciremai meliputi sineol, sitronelol dan sitronelal. Selain hal tersebut juga dijumpai beberapa senyawa yang sama pada dua bagian pohon saja, daun dan kulit batang cenderung memiliki banyak kesamaan dibandingkan dengan daun-buah atau buah-kulit. Pada kasus yang lain terdapat senyawa-senyawa yang secara spesifik dijumpai pada bagian tertentu, buah memiliki kandungan senyawa spesifik terbanyak 16 dibandingkan daun dan kulit batang yang masing-masing memiliki 4 senyawa.

4.3.1.2 Keterkaitan antara kandungan minyak atsiri dan tipe habitat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan populasi L. cubeba tumbuh pada areal-areal bekas gangguan yang bervariasi berdasarkan tipe gangguan. Berdasarkan indeks similaritas, tipe-tipe habitat tersebut berbeda satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing tipe habitat memiliki keunikan tersendiri bila ditinjau dari segi komposisi jenisnya. Selain itu, hasil pengujian minyak atsiri diperoleh rendemen minyak atsiri yang juga sangat bervariasi, bahkan nilai-nilai rendemen tinggi cenderung dijumpai pada tipe habitat tertentu. Berdasarkan kondisi tersebut diduga terdapat keterkaitan antara tipe-tipe habitat dengan hasil minyak atsiri tersebut. Perbedaan tipe habitat dalam kaitannya dengan rendemen Hasil uji menggunakan analysis of variance anova untuk melihat perbedaan secara bersama-sama nilai rata-rata rendemen minyak atsiri antar habitat diperoleh informasi bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar habitat dalam menghasilkan rendemen minyak atsiri dengan nilai P-value = 0.002 P-value α = 0.05, atau dengan kesimpulan Ho ditolak. Berdasarkan hasil uji ini dapat dinyatakan bahwa rendemen minyak atsiri bergantung pada tipe habitat. Selanjutnya untuk mengetahui tipe-tipe habitat mana saja yang berbeda, dilakukan uji independent t-test dua tipe habitat, dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.7. Perbedaan tipe habitat dalam kaitannya dengan kandungan senyawa Dalam kaitannya dengan kandungan senyawa, hasil pengujian hubungan antara tipe-tipe habitat dan pengaruhnya terhadap kandungan senyawa minyak lemo diperoleh hasil secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar habitat dalam menghasilkan kandungan senyawa minyak atsiri hipotesis H diterima dengan nilai signifikansi P-value = 0.104 P-value α = 0.05. Hal ini berarti apapun tipe habitatnya tidak ada kaitannya dengan kandungan senyawa kimia minyak atsiri. Berdasarkan hasil tersebut maka tidak diperlukan pengujian lanjut untuk melihat tingkat perbedaan antar habitat. Tabel 4.7 Hasil uji beda independent t-test nilai rata-rata rendemen minyak lemo antar dua tipe habitat No Tipe habitat yang dibandingkan Nilai P-value Signifikansi a 1 A – B 0.156 Tidak berbeda 2 A – C 0.003 Berbeda 3 A – D 0.193 Tidak berbeda 4 B – C 0.060 Tidak berbeda 5 B – D 0.031 Berbeda 6 C – D 0.001 Berbeda a signifikansi pada taraf α = 0.05; A: rumpang; B: areal bekas perambahan; C: areal bekas kebakaran; D: areal hutan mati

4.3.2 Pembahasan

Dalam kaitannya dengan minyak atsiri yang dihasilkan, keragaman tipe habitat menghasilkan karakteristik minyak atsiri yang bervariasi. Ditinjau dari segi rendemen minyak atsiri, terlihat bahwa antar bagian pohon memiliki rendemen yang berbeda secara mencolok dan daun merupakan sumber minyak atsiri tertinggi. Hasil penelitian lainnya juga menghasilkan variasi rendemen antar bagian pohon, hasil penelitian Si et al. 2012 pada delapan provinsi di Cina di peroleh rendemen minyak lemo dari bagian buah berkisar antara 3.04 – 4.56 , masih lebih rendah dibandingkan rendemen pada daun yang mencapai lebih dari 5 . Demikian pula dengan hasil penelitian Widodo dan Widyastuti 2011 dan Zulnely et al. 2003 juga menunjukkan bahwa minyak atsiri dari bagian kulit batang menghasilkan rendemen yang paling rendah dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya, tetapi Zulnely et al. 2003 melaporkan rendemen minyak atsiri dari kulit batang lebih tinggi yaitu sebesar 1.55 dibandingkan hasil penelitian ini. Perbedaan kandungan minyak atsiri pada setiap bagian pohon telah dijelaskan sebelumnya oleh Guenther 2006, yaitu minyak atsiri yang terdapat pada tumbuhan dan biasanya diperoleh dari bagian tertentu, seperti bunga, buah, akar, daun, kulit kayu dan rimpang. Bahkan ada jenis tanaman yang seluruh bagiannya mengandung minyak atsiri. Kandungan minyak atsiri tidak selalu sama antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, seperti contoh kandungan minyak atsiri yang terdapat pada kuntum bunga berbeda dengan yang terdapat pada bagian daunnya. Selain variasi pada bagian-bagian pohon, variasi rendemen juga terjadi antar tipe habitat, terdapat kecenderungan bahwa areal-areal bekas perambahan dan kebakaran menghasilkan rendemen yang tinggi. Berdasarkan hasil secara keseluruhan dapat diketahui bahwa nilai rendemen minyak lemo asal Gunung Papandayan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya. Hasil penelitian Zulnely et al.2003 di Gunung Ciremai hanya mencapai 5.4 , dan Si et al. 2012 di Cina yang hanya mencapai 4.56 . Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diduga bahwa pohon L. cubeba mampu menghasilkan minyak atsiri yang tinggi disebabkan oleh tingginya metabolisme sekunder yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan lingkungan yang tinggi pada areal-areal tersebut berkontribusi terhadap produksi minyak atsiri sebagai hasil metabolisme sekunder yang dilakukan L. cubeba pada habitatnya Barret 1981 dan Cesco et al. 2007. Guenther 2006 menjelaskan bahwa anggota famili lauraceae memiliki beragam senyawa metabolit sekunder selain yang terkandung dalam minyak atsiri, antara lain alkaloid, fenilpropanoid, flavanoid, turunan 2-piron, benzene-ester, dan turunan alkin-alken. Dijelaskan lebih lanjut bahwa minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang mudah menguap volatil dan bukan merupakan senyawa murni tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid. Cesco et al. 2007 menjelaskan, senyawa hasil metabolisme sekunder metabolit sekunder diproduksi sebagai benteng pertahanan tumbuhan dari pengaruh buruk lingkungan atau serangan hama penyakit. Metabolit sekunder tidak memiliki fungsi khusus dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tetapi lebih dibutuhkan untuk eksistensi kelangsungan hidup tanaman itu di dalam habitatnya. Hasil pengujian secara statistik memperkuat uraian di atas, yaitu terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen minyak atsiri antar tipe-tipe habitat. Hasil pengujian lebih lanjut untuk melihat habitat mana saja yang berbeda juga memberikan informasi tingkat perbedaan rata-rata rendemen antar dua sebagai berikut: 1 areal bekas perambahan memiliki perbedaan dengan hutan mati. Dengan pengertian lain terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen pada hutan bekas pRerambahan dengan nilai rata-rata rendemen pada hutan mati. Berdasarkan tabel group statistics diketahui bahwa nilai rata-rata rendemen areal bekas perambahan lebih tinggi daripada hutan mati 6.5 3.5; 2 areal bekas kebakaran memiliki perbedaan dengan rumpang dan hutan mati. Hal ini berarti nilai rata-rata rendemen pada areal bekas kebakaran berbeda dengan nilai rata-rata rendemen pada rumpang dan hutan mati. Nilai rata-rata rendemen areal bekas kebakaran lebih tinggi daripada rumpang dan hutan mati 7.7 5.3 3.5; 3 tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen antara areal bekas kebakaran dengan areal bekas perambahan; dan 4 tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen antara areal bekas perambahan dengan rumpang. Dari uraian di atas dapat dibuktikan bahwa baik areal bekas perambahan maupun bekas kebakaran tidak memiliki perbedaan. Hal ini berarti nilai rendemen yang dihasilkan oleh kedua tipe habitat ini bukan disebabkan karena areal bekas terbakar atau bekas dirambah. Kondisi ini sesuai pula dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa kedua areal memiliki kondisi tutupan yang secara umum sama, yaitu semak belukar atau hutan sekunder muda. Hal yang paling membedakan keduanya adalah komposisi jenis-jenis pohon penyusunnya. Ditinjau dari segi faktor-faktor fisik juga cenderung berada pada kondisi yang secara umum sama. Pada kasus lainnya diketahui bahwa areal berupa rumpang cenderung tidak berbeda secara signifikan dengan areal hutan mati dalam menghasilkan rendemen minyak atsiri. Ditinjau dari segi kondisi di lapangan, kedua areal sangat jelas perbedaannya, baik komposisi dan struktur tumbuhan penyusunnya maupun faktor- faktor lingkungannya. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa areal rumpang memiliki kondisi lingkungan yang relatif sama dengan hutan tidak terganggu, sehingga tingkat tekanan lingkungan relatif rendah yang berimplikasi terhadap rendahnya metabolisme sekunder yang dilakukan L. cubeba. Hutan mati secara umum berada pada kondisi stress lingkungan yang sangat tinggi, sehingga seharusnya proses metabolisme sekunder dilakukan oleh tumbuhan. Penjelasan yang paling memungkinkan terhadap kasus ini adalah disebabkan karena pohon L. cubeba yang dijadikan sampel untuk pengujian minyak atsiri masih berumur muda, sehingga minyak atsiri yang dihasilkan belum maksimal. Rendahnya rendemen pada areal hutan mati masih perlu diteliti lebih lanjut, khususnya terkait spesifikasi areal dan karakteristik individu pohonnya. Secara umum variasi rendemen minyak atsiri dari seluruh sampel yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan antara tipe dan faktor-faktor habitat dengan minyak atsiri yang dihasilkan. Di samping hal tersebut, variasi antar individu pohon seperti umur, dimensi pertumbuhan dan faktor genetik juga diduga berpengaruh terhadap rendemen minyak yang dihasilkan, sehingga studi lebih mendalam diperlukan untuk menjawab fenomena tersebut. Ditinjau dari segi komposisi senyawa penyusun minyak atsiri diketahui bahwa pada senyawa-senyawa dominan terdapat perbedaan antar bagian pohon, tetapi pada berbagai habitat yang berbeda tidak dijumpai adanya komponen senyawa kimia dominan yang berbeda. Di samping itu juga ditemukan senyawa- senyawa yang secara spesifik hanya ada pada bagian tertentu. Secara umum diketahui bahwa senyawa-senyawa dominan yang ditemukan dari Gunung Papandayan ini juga memiliki kecenderungan yang berbeda dengan hasil penelitian dari daerah lain di Indonesia dan negara lain. Misalnya, di Cikole didominasi oleh sineol dan sitronelol Heryati et al. 2009; di Gunung Ciremai adalah sineol, - pinen dan sitronelol Sylviani dan Elvida 2010; di Thailand didominasi oleh sabinen, 1.8 sineol dan -pinen Ubonnuch 2005; dan di Cina adalah monoterpenes Si et al. 2012, sitral, eucalyptol, sitronelol, 6-oktenal, 3.7-dimethyl- Zhao et al. 2010, sitral B neral, -phellandrene, -terpinen Wang dan Liu 2010. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa tipe-tipe habitat tidak memiliki hubungan dengan kandungan senyawa minyak atsiri. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis laboratorium yang menunjukkan bahwa minyak atsiri dari suatu bagian pohon yang sama memiliki komposisi senyawa kimia yang secara umum relatif sama, perbedaan hanya terdapat pada kelimpahannya.

4.4 Simpulan

Rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari berbagai tipe habitat di Gunung Papandayan lebih tinggi dibandingkan lokasi-lokasi lainnya di Indonesia dan dunia terutama dari bagian daun dan buah. Areal bekas perambahan dan bekas kebakaran secara umum menghasilkan rendemen minyak atsiri tertinggi, yaitu masing-masing 9.33 dan 9.25 dari bagian daun, 5.7 dan 6.6 dari bagian buah. Nilai rendemen yang dihasilkan dari kulit batang secara umum rendah, demikian pula dengan hasil-hasil penelitian lainnya. Komposisi senyawa dominan penyusun minyak atsiri berbeda antar bagian- bagian pohon. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pengujian laboratorium, minyak atsiri yang dihasilkan dari bagian daun didominasi oleh tiga senyawa, yaitu eucalyptol 16.97 –55.78 , α-terpinenyl acetate 7.27–20.44 dan sabinen 14.45–68.05 . Senyawa pada buah didominasi oleh sitral, yaitu e-sitral 37.23 dan z-sitral 30.83 , sementara pada kulit batang lebih didominasi oleh sitronelal 39.38 dan eucalyptol 27.44 . Bila ditinjau dari variasi tipe habitat, dalam satu bagian pohon yang sama, komposisi senyawanya relatif sama untuk seluruh lokasi. Hal ini dibuktikan pula dari hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa tipe- tipe habitat tidak memiliki hubungan dengan kandungan senyawa minyak atsiri. Dalam rangka pemanfaatan minyak atsiri untuk keperluan dunia kesehatan untuk memperoleh senyawa tertentu, perlu disesuaikan dengan kandungan yang ada pada masing-masing bagian pohon. Hal ini terkait dengan kandungan senyawa dominan yang dimiliki dan adanya senyawa-senyawa spesifik yang hanya dijumpai pada salah satu bagian pohon. 5 PREFERENSI EKOLOGIS L. cubeba TERHADAP FAKTOR-FAKTOR BIOFISIK YANG BERPERAN MENGHASILKAN MINYAK ATSIRI

5.1 Pendahuluan

Hasil penelitian pada Bab 4 mengindikasikan adanya keterkaitan antara karakteristiktipe habitat L. cubeba dan minyak atsiri yang dihasilkan. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya variasi rendemen minyak lemo yang tinggi antar tipe habitat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menggali faktor-faktor habitat yang berperan penting terhadap produksi minyak atsiri, baik yang terkait dengan rendemen maupun komposisi senyawa kimianya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan untuk melengkapi informasi penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana dilakukan oleh Ali dan Manik 2008, Heryati et al. 2009, Zulnely et al. 2003 dan Heryati dan Kurniaty 2007, khususnya terkait aspek ekologinya. Penelitian-penelitian sebelumnya baru mengkaji aspek ekologi secara umum, sehingga dengan penelitian ini dapat semakin mengarah pada ditemukannya faktor- faktor habitat yang perlu dipertimbangkan dalam rangka pengembangan budi daya tanaman L. cubeba. Penelitian mengenai preferensi ekologis suatu spesies di dalam habitatnya merupakan aspek mendasar yang perlu diketahui untuk pertimbangan budi daya tanaman. Hal ini didasarkan pada suatu prinsip ekologi, bahwa suatu spesies di dalam habitatnya pasti memiliki preferensi terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu untuk mampu tumbuh dan berkembang atau bahkan menghasilkan informasi tertentu dari spesies tersebut, misalnya produksi metabolit sekunder yang digunakan sebagai bentuk pertahanan diri Cesco et al. 2007. Preferensi ekologis adalah kesukaan atau kecocokan suatu spesies terhadap faktor-faktor lingkungan tempat tumbuh tertentu, dengan pernyataan lain bahwa dalam kehidupannya terdapat satu atau beberapa faktor dominan yang berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies di lingkungan tempat tumbuhnya. Suatu spesies yang tumbuh pada berbagai variasi habitat akan memiliki kecenderungan preferensi yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor lingkungan pada setiap habitatnya Kusmana 2011: komunikasi pribadi, Barret 1981, Yamada et al. 2007 dan Cesco et al. 2007. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap entitas dan keberadaan berbagai jenis tumbuhan yang menyusun hutan pegunungan sangat kompleks. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor iklim seperti suhu dan kelembaban, faktor ketinggian tempat dan topografi, merupakan faktor-faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap kehadiran suatu spesies dan sebaran vegetasi. Menurut UNEP 2003, kawasan tropika pegunungan memiliki karakteristik struktur dan komposisi yang berubah sesuai perubahan ketinggian tempat, semakin mengarah ke puncak maka faktor-faktor lingkungan semakin tidak kondusif untuk kehidupan tumbuhan dan hewan, yang ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah spesies dan ukurannya semakin kecil. Hasil penelitian Yamada et al. 2007 di Malaysia memberikan gambaran bahwa suatu jenis akan memiliki preferensi khusus terhadap tipe habitat tertentu. Dicontohkan pada penelitiannya mengenai jenis pohon Scapium borneense, memiliki kecocokan terhadap tipe habitat berpasir di areal punggung bukit. Pohon ini merespon faktor-faktor abiotik pada areal tersebut yang ditunjukkan oleh pertumbuhan, survivalitas dan kelimpahan yang tinggi. Adanya preferensi khusus terhadap habitatnya ini ditunjukkan pula oleh tidak dijumpainya jenis pohon tersebut pada tipe-tipe areal lainnya. Kehadiran L. cubeba sebagai jenis pohon pionir pada areal-areal bekas gangguan dengan kondisi faktor-faktor lingkungan yang terbatas lihat Bab 3 menunjukkan bahwa jenis pohon ini memiliki preferensi khusus terhadap faktor- faktor habitat. Salah satu informasi penting dari pohon iniadalah adanya kandungan minyak atsiri pada seluruh bagian pohon. Sebagai hasil metabolisme sekunder, minyak atsiri yang dihasilkan diduga dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan tertentu Cesco et al. 2007. Barret 1981 menjelaskan, organisme yang hidup pada suatu lingkungan dengan tingkat stres tinggi akan beradaptasi dan meningkatkan pertahanan dirinya dengan melakukan metabolisme sekunder. Semakin tinggi tingkat stres pada lingkungan, semakin meningkatkan metabolisme sekunder. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab 1 bahwa aspek biofarmaka L. cubeba di negara lain seperti India, Cina Taiwan, Tibet, Korea dan Thailand telah diteliti dengan pesat khususnya studi-studi mengenai kandungan senyawa minyak atsiri dan kegunaannya Choudury 2002; Hamzah et al. 2003; Luo et al. 2005; Zhao et al. 2010; Wang dan Liu 2010; Ho et al. 2010; Jiang et al. 2009; Seo et al. 2009; Feng et al. 2009; Hwang et al. 2005; Noosidum et al. 2008; Chang dan Chu 2011; Wang et al. 2009. Pesatnya penelitian L. cubeba di bidang biofarmaka ternyata belum diimbangi dengan studi ekologi jenis ini di ekosistem alam terkait dengan karakteristik ekologi populasi, kondisi habitat dan preferensi ekologis jenis tersebut terhadap faktor-faktor habitat. Di Indonesia, kegiatan-kegiatan studi ekologi L. cubeba baru pada tahap eksplorasi sebaran alami dan potensi tegakan sebagaimana telah dilakukan oleh Zulnely 2003 di Gunung Ciremai dan Heryati et al. 2009 di pegunungan Ciwidey. Penelitian dengan cakupan lebih luas juga telah dilakukan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah Sylviani dan Elvida 2010, dan Sumatera Utara Ali dan Manik 2008. Hasil penelusuran literatur diketahui bahwa baik di Indonesia maupun negara-negara di dunia menunjukkan kegiatan penelitian lebih terfokus pada kandungan senyawa kimia minyak atsiri daripada studi ekologi L. cubeba. Dalam rangka melengkapi informasi tentang keterkaitan antara tipe habitat L. cubeba dengan minyak atsiri yang dihasilkan, terutama mengenai faktor-faktor habitat yang berperan penting terhadap produksi minyak atsiri, penelitian tentang preferensi ekologis L. cubeba terhadap faktor-faktor habitat perlu dilakukan. Hal ini sangat penting dalam rangka menyiapkan tanaman ini untuk dikembangkan dalam budi daya, sehingga dapat diperoleh hasil minyak atsiri yang terbaik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari preferensi ekologis L. cubeba terhadap berbagai faktor habitat, meliputi tanah, iklim, topografi dan ketinggian tempat pada lingkungan tempat tumbuhnya. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi strategis untuk pertimbangan budi daya dan konservasi.

5.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya telah terintegrasi pada penelitian pendahuluan terkait data fisik habitat selain faktor tanah yang telah diuraikan pada Bab 3 dan data hasil pengujian minyak atsiri pada Bab 4. Dalam kaitannya dengan penelitian preferensi ekologis ini dilakukan penambahan data faktor tanah.

5.2.1 Lokasi dan lama penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 17 lokasi tempat tumbuh dan empat tipe habitat L. cubeba sebagaimana disajikan pada Bab 3 dan 4. Penelitian merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya, berlangsung mulai Juni sampai Agustus 2013.

5.2.2 Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat kawasan Gunung Papandayan tahun 2012 untuk mengetahui sebaran areal bekas gangguan. Peralatan yang digunakan meliputi: 1 GPS untuk menentukan koordinat plot-plot pengamatan; 2 altimeter untuk mengukur ketinggian tempat dari permukaan laut; 3 thermohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban; 4 luxmeter untuk mengukur intensitas cahaya; 5 perlengkapan pengambilan sampel tanah; 6 perlengkapan plot penelitian dan 7 peralatan tulis menulis dan dokumentasi.

5.2.2 Metode pengambilan data

Data fisik lokasi penelitian, yang diperoleh dengan melakukan pengukuran secara langsung pada setiap plot penelitian, meliputi: 1 ketinggian tempat dari permukaan laut; 2 lereng kemiringan lahan; dan 3 iklim, mencakup suhu, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Data fisik ini diambil pada saat penelitian pendahuluan dilakukan, yaitu eksplorasi keberadaan lokasi-lokasi tempat tumbuh L.cubeba, dilanjutkan dengan pembuatan plot-plot penelitian dan pengukuran- pengukuran. Data lebih lanjut yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data faktor tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan mewakili 17 lokasi sebanyak 31 plot. Pengambilan sampel tanah dilakukan sesuai dengan metode yang dikembangkan oleh Notohadiprawiro 1991, yaitu: apabila tanah-tanah berada pada kondisi areal yang terganggu terusik, pada salah satu plot pengamatan di masing-masing lokasi diambil 5 contoh uji secara acak pada 5 titik, kemudian dicampur menjadi compossite sample. Berat contoh tanah untuk keperluan pengujian sifat kimia secara keseluruhan adalah 1 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya untuk keperluan pengujian sifat fisika tanah, sampel diambil menggunakan ring tanah berdiameter 5 cm dan tinggi 6 cm pada kedalaman 0 – 30 cm zona aerasi. Sampel-sampel tanah lebih lanjut dianalisis sifat fisika dan kimia lengkap di laboratorium pengujian Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian di Bogor. 5.2.3 Analisis data 5.2.3.1 Data karakteristik habitat Data karakteristik habitat hasil pengukuran disajikan dalam bentuk tabel rekapitulasi, sedangkan sampel-sampel tanah dianalisis secara khusus di Laboratorium Badan Penelitian Tanah Kementerian Pertanian di Bogor untuk memperoleh informasi sifat fisika dan kimia tanah lengkap, meliputi: tekstur, bulk density, ketersediaan air, pH, unsur N-total, P, K, Al, C-organik, Ca, Na dan Mg, kapasitas tukar kation KTK, dan kejenuhan basa. Selain parameter-parameter tersebut, juga dilakukan tambahan pengujian untuk mengetahui kandungan Sulfur belerang sebagai bagian dari tanah-tanah di wilayah gunung berapi.

5.2.3.2 Analisis statistik

Pengujian preferensi ekologis dalam penelitian ini, yaitu menentukan faktor- faktor biofisik tertentu dari habitat Ki lemo yang berpengaruh terhadap rendemen dan komposisi minyak atsiri yang dihasilkan. Dalam rangka menentukan hubungan di atas dilakukan dengan menggunakan metode pengujian stepwise regression, yaitu suatu metode regresi linier berganda yang mampu menyeleksi sejumlah faktor dari sekian banyak yang berpengaruh signifikan terhadap informasi tertentu. Metode analisis ini dioperasikan menggunakan perangkat SPSS 14.0. Metode stepwise regression ini merupakan salah satu metode untuk mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Model regresi terbaik adalah model yang dapat menjelaskan perilaku variabel tak bebas dengan sebaik- baiknya, dengan memilih variabel- variabel bebas dari sekian banyak variabel bebas yang tersedia dalam data Tayeb 2012. Metode stepwise regression memulai pemilihan dengan model paling sederhana yaitu model dengan satu variabel. Selanjutnya ditambahkan variabel bebas lain satu per satu sampai diperoleh model yang memenuhi kriteria terbaik. Metode stepwise memilih variabel berdasarkan korelasi parsial terbesar dengan variabel yang sudah ada dalam model. Dalam metode ini, variabel yang sudah masuk dalam model dapat saja dikeluarkan lagi, sehingga langkah yang diperlukan menjadi banyak. Dalam kasus penelitian ini, metode stepwise regression akan menyeleksi 32 faktor biofisik dari habitat L. cubeba Lampiran 5 dan menentukan faktor-faktor yang secara simultan berpengaruh terhadap rendemen atau kandungan senyawa minyak lemo. Kriteria yang digunakan untuk memilih model regresi berganda terbaik adalah koefisien determinasi R 2 dan penyesuaian dari koefisien determinasi Adjusted R 2 . Model regresi yang terbaik adalah model regresi yang memiliki nilai R 2 dan Adjusted R 2 yang terbesar. Pengujian peranan faktor-faktor biofisik terhadap rendemen atau kandungan senyawa minyak atsiri dilakukan pada taraf nyata 5 α = 0.05. Model persamaan akhir yang dihasilkan adalah kombinasi hasil reduksi terhadap ke-32 faktor menjadi sebagian faktor. Variabel Y dalam penelitian ini adalah rendemen Y rendemen dan kandungan senyawa eucalyptolsineol Y sineol , kedua variabel Y tersebut diuji secara terpisah hubungannya dengan variabel-variabel faktor biofisik tersebut. Pengujian secara parsial terhadap masing-masing peubah juga dilakukan untuk melihat signifikansi pengaruh masing-masing faktor terhadap rendemen atau kandungan senyawa minyak atsiri. 5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Hasil

5.3.1.1 Deskripsi faktor-faktor habitat L. cubeba

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon L. cubeba banyak dijumpai pada pada areal-areal yang memiliki karakteristik faktor-faktor fisik yang secara umum

Dokumen yang terkait

Karakterisasi Simplisia, Isolasi, Dan Analisis Komponen Minyak Atsiri Buah Segar Dan Kering Tumbuhan Attarasa (Litsea cubeba Pers.) Secara GC-MS

15 107 92

Aktivitas Antibakteri Edible Film Dari Pati Tapioka Yang Di Inkorporasi Dengan Minyak Atsiri Daun Attarasa [Litsea Cubeba(Lour.) Pers.]

7 56 51

Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu ki lemo (Litsea cubeba (Lour) Pers) dan pasang butaruwa (Quercus induta BL) terhadap artemia salina leach

0 10 74

Dinamika Populasi Mikroorganisme Rizosfer Tanaman Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Pada Perlakuan Pemangkasan dan Pemupukan.

0 3 54

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

9 69 96

Analisis Senyawa Aktif Dari Minyak Atsiri Kulit Batang Ki Lemo (Litsea Cubeba Lour. Pers) Yang Menekan Aktivitas Lokomotor Mencit Analysis Of Compounds Possessing Inhibitory Properties On Mice Locomotor Activity From Essential Oils Of Ki Lemo Bark (Litsea

0 2 7

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

0 0 16

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

0 0 2

Karakterisasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Batang Landoyung (Litsea cubeba (Lour.) Pers.) Dengan Metode DPPH Serta Analisis Kandungan Kimianya

0 1 4

KRANGEAN (Litsea cubeba (Lour.) Persoon): ASPEK AGRONOMI, PENGGUNAAN SECARA TRADISIONAL, BIOAKTIFITAS DAN POTENSINYA

0 3 13