14
3 STRUKTUR KOMUNITAS DAN KOMPOSISI JENIS POHON PADA AREAL BEKAS GANGGUAN DAN KAITANNYA
DENGAN KEBERADAAN POPULASI
L. cubeba
3.1 Pendahuluan
Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki gunung-gunung berapi, di wilayah ini umum dijumpai ekosistem hutan hujan pegunungan. Hutan hujan
pegunungan tersebut dikenal dengan kekayaan kenekaragaman hayati yang cukup tinggi Steenis 2006; BBKSDA Jawa Barat 2011. Hal ini sesuai pula dengan
penjelasan Richter 2008, hutan hujan tropika pegunungan memiliki kekayaan spesies lebih tinggi daripada hutan-hutan tropika kering lainnya. Kapelle 2004
menjelaskan, hutan tropis pegunungan umum ditemukan pada ketinggian 500
–4000 m dpl. dan sebagian besar terletak pada kisaran ketinggian 1500
–2800 m dpl. Berbeda halnya dengan daerah kepulauan, misalnya Kepulauan Karibia, hutan
tropis pegunungan dapat dijumpai pada ketinggian 300 m dpl. Menurut UNEP 2003, sekitar 3.4 dari permukaan bumi di wilayah tropika adalah kawasan
pegunungan dengan komposisi floristik yang khas.
Kekhasan komposisi floristik yang dimiliki hutan pegunungan cenderung mengalami perubahan yang diakibatkan oleh munculnya berbagai gangguan
terhadap ekosistem, baik gangguan yang bersifat alami maupun antropogenik. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan komunitas tumbuhan dari hutan primer menjadi
berbagai bentuk penutupan vegetasi, mulai dari semak belukar sampai hutan sekunder. Hasil-hasil penelitian di hutan-hutan pegunungan Jawa Barat
menunjukkan kondisi perubahan tersebut, penelitian Wiharto et al. 2008 dan Wiharto 2009 di Gunung Salak menunjukkan bahwa gangguan-ganguan baik
alami maupun antropogenik telah mengubah kondisi ekosistem hutan, perubahan terjadi pada distribusi, komposisi dan struktur dari berbagai tipe vegetasi. Hasil
penelitian serupa di Gunung Gede Pangrango Arrijani et al. 2006; Utomo et al. 2007 menunjukkan bahwa gangguan-gangguan telah mengakibatkan perubahan
struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada sebagian zona montana, terutma hadirnya spesies-spesies asing yang invasif mengisi areal-areal terbuka dan
semakin meluas menginvasi areal di sekitarnya.
Hasil penelitian di wilayah tropika lainnya sebagaimana dilakukan oleh Bellingham dan Sparrow 2009 pada plot permanen di hutan tropika pegunungan
Jamaika menunjukkan bahwa gangguan dan kadar nutrisi pada tanah berhubungan erat dengan struktur pohon-pohonnya. Contoh hasil penelitian lainnya, dilakukan
di hutan hujan pegunungan Chiapas Meksiko, Ramirez-Marcial et al. 2001 menemukan bentuk kecenderungan bahwa semakin tinggi intensitas gangguan akan
semakin menurunkan jumlah pohon, kepadatan absolut dan luas bidang dasar.
Gunung Papandayan merupakan kawasan yang cukup sering mengalami gangguan, baik gangguan alami berupa letusan maupun gangguan antropogenik
berupa kebakaran, perambahan dan penebangan pohon. Bentuk gangguan letusan gunung berapi terakhir terjadi pada tahun 2002, mengakibatkan sebagian besar areal
mengalami kerusakan baik oleh terpaan lahar maupun abu vulkanik. Hal ini mengakibatkan areal-areal bekas aliran lahar dan areal pada radius ± 1 km dari
kawah mengalami keterbukaan secara total, ditandai pula oleh sebagian besar tumbuh-tumbuhan di atasnya mengalami kematian. Areal bekas gangguan letusan
15 tersebut sangat dikenal dengan sebutan “hutan mati”. Pada kondisi saat ini areal
telah berkembang mengalami regenerasi ditandai dengan hadirnya semai dan pancang yang didominasi jenis-jenis Vaccinium Rahayu 2006.
Bentuk-bentuk gangguan antropogenik cenderung memiliki frekuensi yang lebih tinggi ditandai dengan kebakaran dan perambahan yang terjadi hampir setiap
tahun. Hal tersebut berdampak pada berubahnya kondisi hutan menjadi semak belukar atau hutan sekunder muda dengan sisa-sisa pohon primer. Zuhri dan
Sulistyawati 2007 menyatakan bahwa kegiatan perambahan paling sering terjadi di Gunung Papandayan hingga mencapai 340 ha, namun berdasarkan informasi dari
BBKSDA sejak tahun 2008 secara bertahap areal-areal perambahan mulai ditinggalkan penggarap dan pada saat ini areal-areal tersebut sedang dalam proses
pemulihan.
Kehadiran L. cubeba pada areal-areal terbuka bekas gangguan, terutama areal bekas perambahan dan bekas kebakaran, penting untuk diketahui lebih lanjut
karakteristik ekologi populasi pohon ini pada berbagai variasi lokasi. Hal ini diduga berhubungan dengan kelimpahan dan pola regenerasinya, di samping posisinya di
dalam komunitas tumbuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1 Komposisi jenis dan struktur komunitas pohon pada areal hutan setelah mengalami berbagai tipe gangguan, 2
karakteristik habitat dan populasi L. cubeba. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting tentang perkembangan komunitas tumbuhan pada
areal bekas gangguan dan kaitannya dengan kehadiran L. cubeba. Hal ini diperlukan untuk memberikan pertimbangan terhadap penelitian lebih lanjut.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1
Waktu dan lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai November 2012 di wilayah Gunung Papandayan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Lokasi yang dijadikan
sasaran penelitian berupa areal-areal bekas gangguan baik gangguan alami maupun antropogenik. Selanjutnya berdasarkan kondisi penutupan lahan, ketinggian tempat
dan fisiografi bentang lahan, penelitian pendahuluan telah dilakukan dan ditetapkan secara purposif terhadap areal-areal bekas gangguan yang mewakili setiap tipe
gangguan Tabel 3.1.
. 3.2.2
Bahan dan peralatan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat kawasan Gunung Papandayan tahun 2012 untuk mengetahui sebaran areal bekas gangguan.
Peralatan yang digunakan meliputi: 1 GPS untuk menentukan koordinat plot-plot pengamatan; 2 Altimeter untuk mengukur ketinggian tempat dari permukaan laut;
3 Clinometer untuk mengukur lereng; 4 alat-alat ukur dimensi pohon; 5 perlengkapan plot penelitian dan 6 peralatan tulis menulis dan dokumentasi.
3.2.3 Metode pengambilan Data
3.2.3.1 Penelitian pendahuluan
Kegiatan penelitian pendahuluan dilakukan pada tahap awal, yaitu dengan melakukan survey penjajagan ke lokasi penelitian untuk memperoleh informasi