11 di kawasan TWACA Papandayan ini, antara lain adalah lutung Presbytitis cristata
Trachypitecus auratus, musang Paradoxurus hermaproditus, babi hutan Sus sp., kijang Muntiacus muntjak, landak Histrix sp., trenggiling Manis javanica
dan lain-lain.
2.5 Kondisi Penutupan Lahan
Gunung Papandayan merupakan kawasan yang memiliki intensitas gangguan yang tinggi, baik akibat gangguan alam maupun antropogenik.
Gangguan alami yang sering terjadi adalah letusan sebagaimana dilaporkan oleh BBKSDA Jawa Barat
bahwa
areal telah mengalami beberapa kali letusan diantaranya pada tahun 1773, 1923, 1942, 1993, dan 2002. Bentuk-bentuk gangguan antropogenik yang paling
tinggi intensitasnya adalah perambahan dan kebakaran hutan. Akibat gangguan-gangguan tersebut, areal telah mengalami banyak
perubahan penutupan lahan. Zuhri dan Sulistyawati 2007 menyatakan bahwa pada kawasan ini terdapat tiga tipe penutupan vegetasi utama, yaitu vegetasi
kawah, hutan campuran, dan padang rumput. Berdasarkan peta penggunaan lahan Gunung Papandayan skala 1 : 45000, diketahui pula bahwa selain tipe-tipe yang
disebutkan di atas terdapat areal-areal semak belukar dan tanah kosong yang diduga merupakan bekas gangguan perambahan dan kebakaran Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Peta kondisi penutupan lahan di Gunung Papandayan Dari Gambar 2.3 terlihat bahwa kawasan Gunung Papandayan memiliki
variasi tutupan lahan yang tinggi, mulai dari hutan, tanah kosong, semak belukar dan kebun atau tegalan. Secara umum kawasan ini telah terfragmen oleh tanah
kosong, semak belukar dan kebun-kebun yang hampir membelah kawasan. Di
12 sekitar kawasan juga secara umum dikelilingi oleh tegalanladang masyarakat dan
perkebunan teh. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa kawasan ini mengalami gangguan dengan intensitas tinggi.
2.6 Kondisi Areal Bekas Gangguan
Areal-areal bekas gangguan secara umum sedang dalam proses suksesi. Semakin berat taraf gangguan menyebabkan semakin lambatnya proses suksesi
berlangsung yang ditandai dengan kondisi tutupan vegetasinya Gambar 2.4. Gambaran kondisi areal-areal bekas gangguan hasil observasi secara langsung di
lapangan diuraikan sebagai berikut:
1 Areal bekas perambahan
Areal yang umum dijumpai di dalam kawasan adalah bekas perambahan yang telah ditinggalkan sejak tahun 2007 yang kemudian berkembang secara alami
terjadi suksesi sekunder. Perambahan kerap dilakukan masyarakat penggarap terhadap areal hutan yang berbatasan dengan lahan kebun masyarakat,
umumnya ditanami tanaman sayuran atau tembakau.
Ditinjau dari segi penutupan vegetasinya diketahui pada areal penelitian masih dijumpai pohon-pohon asli hutan alam dengan kerapatan jarang jarak antar
pohon sekitar 15 –20 m. Berdasarkan kondisi tersebut diketahui bahwa pada
saat masyarakat melakukan pembukaan areal, tidak semua pohon ditebang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selain dijumpainya pohon-pohon asli,
areal bekas perambahan telah ditumbuhi oleh permudaan dari jenis-jenis pohon pionir bersama-sama dengan semak belukar.
2 Areal bekas kebakaran
Bentuk penutupan vegetasi pada areal bekas kebakaran tahun 2008 secara umum merupakan hamparan semak belukar didominasi oleh Kirinyuh
Chromolaena odorata atau berupa tegakan pohon pionir seperti Paraserianthes lophantha, Litsea cubeba dan Homalanthus populneus.
Kebakaran yang terjadi menimbulkan dampak kerusakan areal secara total, terdapat beberapa batang pohon yang masih mampu bertahan hidup. Areal
bekas gangguan cenderung cepat melakukan pemulihan melalui proses suksesi. Hal ini ditandai oleh sebagian besar areal yang telah diisi oleh pohon-pohon
pionir.
3 Areal bekas terpaan abu vulkanik letusan
Hutan mati bekas terpaan abu vulkanik letusan secara umum hanya didominasi semak berupa paku-pakuan dan sedikit anakan pohon. Kondisi areal bekas
terpaan abu vulkanik cenderung mengalami kerusakan tinggi bila dibandingkan dengan bekas terpaan lahar. Hal ini didasarkan pada penelitian
Rahayu 2006 bahwa areal bekas terpaan lahar pada saat penelitian dilakukan telah mengalami suksesi sekunder ditandai hadirnya anakan-anakan alam
sebanyak 6 jenis permudaan tingkat semai, 10 jenis tingkat pancang, 7 jenis tingkat tiang dan 12 jenis pada tingkat pohon.
Proses suksesi yang terjadi pada hutan mati cenderung berjalan lambat, hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat gangguan sangat tinggi intensitasnya,
terpaan abu vulkanik tidak hanya mengganggu pada saat terjadinya letusan
13 sebagaimana aliran lahar, tetapi sampai beberapa waktu yang lama terjadi
terpaan abu vulkanik yang konsentrasinya sangat tinggi selama beberapa hari. Gambar 2.4 mengilustrasikan contoh kondisi pada saat ini areal-areal bekas
terkena gangguan sekitar 5 –7 tahun yang lalu. Areal-areal bekas gangguan ini
secara-berangsur-angsur mulai terisi oleh berbagai jenis tumbuhan pionir, kecuali pada areal hutan mati yang masih belum banyak mengalami perubahan yang berarti.
Gambar 2.4 Kondisi saat ini di areal penelitian di berbagai tipe gangguan
A: rumpanggap; B: areal bekas perambahan tahun 2007; C: areal bekas kebakaran tahun 2008; D: areal hutan mati pasca letusan tahun 2003
Selain areal-areal bekas gangguan, di Gunung Papandayan masih terdapat areal hutan yang tidak terganggu, yang diduga merupakan hutan sekunder tua. Hal
ini ditandai dengan dijumpainya pohon-pohon asli hutan alam setempat, diantaranya adalah Castanopsis, Litsea, Engelhardtia, Quercus dan Schima, serta
jenis-jenis Vaccinium pada areal di sekitar kawah. Hutan-hutan alami yang tidak terganggu ini terdapat pada dua blok utama, yaitu blok Supa Beureum dan blok
Puntang Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kondisi hutan tidak terganggu
A: hutan yang terdapat di blok Supa Beureum; B: Hutan di blok Puntang
A B
C D
A B