tinggi, kemudian menurun secara drastis pada kelas diameter yang lebih besar dan bahkan tidak dijumpai pohon berdiamater lebih dari 50 cm.
Struktur vertikal
Struktur vertikal pohon-pohon pada suatu komunitas tumbuhan dicerminkan oleh sebaran tinggi tajuk pohon dalam starta-strata tajuk pohon Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Kondisi struktur vertikal komunitas pohon di lokasi penelitian
HT: hutan tidak tergangu; R: rumpang; BP: bekas perambahan; HM: hutan mati
Dari Gambar 3.6 diketahui bahwa hampir seluruh pohon 97 berada pada stratum C dan D, hanya sebagian kecil 3 pada stratum B. Hal ini menunjukkan
bahwa komunitas pohon di lokasi penelitian secara umum tergolong ke dalam kategori pohon-pohon kecil sampai sedang. Beberapa batang pohon yang
menempati stratum B umumnya merupakan gabungan antara sisa-sisa pohon sebelum areal hutan mengalami gangguan dan beberapa pohon pionir yang telah
memasuki umur tua.
3.3.1.2 Keberadaan populasi L. cubeba pada areal bekas gangguan
Keberadaan populasi pohon
L. cubeba
pada lokasi penelitian mendasari studi lebih lanjut dari rangkaian penelitian ini. Dari Tabel 3.2 di atas diketahui bahwa
perubahan komunitas pohon-pohon dari hutan tidak terganggu menjadi areal-areal terbuka, berimplikasi terhadap hadirnya pohon L.cubeba.
Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui ciri-ciri morfologi L. cubeba sebagai berikut:
- Habitus : pohon kecil sampai sedang, tinggi pohon dewasa berkisar 8–15 m
dengan diameter 12 –30 cm rata-rata 17 cm.
- Batang : tegak, berkayu, bulat, percabangan simpodial, putih kotor; kulit batang
hijau sampai hijau tua gelap, dipenuhi bintik-bintik lentisel. -
Daun : tunggal, lonjong, tepi rata ujung runcing, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, panjang 10
–14 cm, lebar 7–9 cm, hijau muda sampai hijau tua. -
Bunga : majemuk, diameter 3–5 mm, berbentuk malai, berkelamin dua, kelopak hijau muda, bentuk mangkok, berbulu halus, mahkota bulat melengkung, kepala
sari bulat, hijau kehitaman. -
Buah : bulat, diameter 0.5–0.8 mm, keras, hijau tua sampai hitam. -
Biji : bulat, diameter 0.5–1 mm, putih kotor.
Hasil penelitian di tempat lain menunjukkan karakteristik yang cenderung sama Herawati et al. 2005; Heryati et al. 2009. Gambar 3.7 memberikan gambaran secara
visual mengenai profil pohon L. cubeba di Gunung Papandayan.
200 400
600 800
1000
HT R
BP BK
HM Ju
m lah
P o
h o
n p
er Ha
Tipe Habitat
Stratum E T = 1- 4 m Stratum D T= 4-10 m
Stratum C T = 10-20 m Stratum B T= 20-30 m
Stratum A T 30 m
Gambar 3.7 Profil pohon L. cubeba di Gunung Papandayan Hasil pengukuran terhadap diameter dan tinggi mulai dari tingkat tiang sampai
tingkat pohon pada setiap lokasi pengamatan diperoleh informasi bahwa L. cubeba umumnya tergolong pada kelompok pohon-pohon berdiameter kecil rata-rata 17.13
cm dengan tinggi pohon umumnya rendah rata-rata 7.7 m. Pohon-pohon dengan diameter terkecil dijumpai dengan ukuran 10 cm, tetapi pada lokasi tertentu dijumpai
diameter pohon cukup besar 30
–40 cm. Apabila ditinjau dari sebaran tinggi pohon, L. cubeba termasuk pohon yang umumnya berada pada stratum D 4
–10 m.
Pola sebaran
Pohon L. cubeba cenderung tersebar dari arah timur sampai barat Gunung Papandayan mengikuti sebaran areal-areal terbuka bekas gangguan Gambar 3.8
dengan pola sebaran cenderung mengelompok pada lokasi-lokasi tertentu.
Gambar 3.8 Sebaran titik-titik lokasi tempat tumbuh L. cubeba
: titik lokasi, ukuran dimodifikasi agar terlihat jelas
Hasil penghitungan pola sebaran menggunakan indeks Morisita membuktikan pola sebaran tersebut yang ditunjukkan oleh nilai indeks penyebaran
Morisita yang secara umum termasuk ke dalam pola sebaran mengelompok Ip lebih besar dari nol sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.9. Hasil penelitian
ini selaras dengan penelitian populasi jenis yang sama di wilayah lainnya Herawati et al. 2005; Heryati et al. 2009; Sylviani dan Elvida 2010.
Gambar 3.9 Pola sebaran Morisita L. cubeba di Gunung Papandayan
Kelimpahan abundance
Kelimpahan populasi L. cubeba bervariasi, pada lokasi-lokasi tertentu dijumpai sangat banyak populasinya, namun pada lokasi lainnya cenderung kurang,
bahkan pada kelompok umur tertentu tidak dijumpai Gambar 3.10.
Gambar 3.10 Kelimpahan L.cubeba pada berbagai tingkat pertumbuhan A: kelimpahan tingkat semai dan pancang; B: kelimpahan
tingkat tiang dan pohon
-0,1 0,1
0,2 0,3
0,4 0,5
0,6 0,7
0,8 0,9
1 1,1
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
17
Ip M
o risit
a in
d ex
o f
D istrib
u tio
n
Habitat
5000 10000
15000
Rumpang Bekas
perambahan Bekas
kebakaran Hutan mati
R ata
-r ata
Kelim p
ah an
b tg
Ha A
semai pancang
100 200
300 400
Rumpang Bekas
perambahan Bekas
kebakaran Hutan mati
R ata
-r ata
Kelim p
ah an
b tg
Ha B
tiang pohon
ST GW PT BR LP TL BR2 CB LT TB CA BK BK2 SB TP TA PW
Kelimpahan populasi suatu spesies sangat dipengaruhi oleh kecocokan habitat sebagaimana dibahas sebelumnya, spesies-spesies yang lebih kompetitif
akan selalu mempertahankan kelimpahannya dan meningkatkan produksi buahbiji untuk menghasilkan persebaran yang lebih besar Buckley dan Freckleton 2010.
Hal ini merupakan bentuk hubungan yang erat antara persebaran, kelimpahan dan kemampuan okupasi areal.
Berdasarkan Gambar 3.10 diketahui bahwa rata-rata kelimpahan L. cubeba terlihat sangat tinggi pada kelompok umur muda stadium permudaan tingkat
semai, diikuti oleh pancang, kemudian mengalami penurunan pada tingkat tiang dan pohon. Dari seluruh tipe lokasi yang diamati, areal bekas kebakaran memiliki
kelimpahan tingkat semai tertinggi, sedangkan areal bekas perambahan memiliki kelimpahan tertinggi pada tingkat pancang dan tingkat tiang.
Kelimpahan tingkat tiang cenderung cukup memadai pada sebagian besar lokasi, kecuali pada lokasi rumpang sama sekali tidak dijumpai. Kelimpahan
tingkat pohon terlihat secara umum sangat rendah bahkan pada lokasi hutan mati tidak dijumpai. Gambaran secara visual mengenai kemelimpahan L. cubeba pada
areal-areal bekas kebakaran dan bekas perambahan ditunjukkan pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Hamparan tegakan L. cubeba pada areal bekas kebakaran a dan bekas perambahan b
Dominasi tingkat okupasi
Berdasarkan hasil penghitungan dominasi luas bidang dasar per satuan luas terhadap pohon-pohon L. cubeba yang berdiameter 10 cm ke atas stadium
pertumbuhan tingkat tiang dan pohon diketahui bahwa L. cubeba memiliki kemampuan mengokupasi areal yang cukup baik, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 3.12.
Gambar 3.12 Tingkat okupasi m
2
Ha dan dominasi relatif L. cubeba di lokasi penelitian A: tingkat dominasi m
2
Ha; B: dominasi relatif terhadap seluruh populasi dalam komunitas pohon-pohonan
0,00 2,00
4,00 6,00
8,00
R BP
BK HM
D o
mi n
asi m2
H a
A
20 40
60 80
100
R BP
BK HM
D o
mi n
asi r
el at
if
B a
b
Dari Gambar 3.12 terlihat bahwa L. cubeba pada areal rumpang dan bekas perambahan memiliki tingkat dominasi yang tinggi daripada lokasi lainnya. Hal ini
didukung oleh kelimpahan dan diameter batang pohon-pohon pada kedua areal lebih besar bila dibandingkan dengan areal bekas kebakaran dan hutan mati.
Apabila ditinjau dari segi kemampuan okupasi relatif terhadap seluruh populasi jenis pohon, terlihat bahwa L. cubeba memiliki kemampuan okupasi yang lebih
baik daripada areal bekas perambahan dan hutan mati.
Asosiasi interspesifik
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada areal-areal terbuka bekas gangguan, selain L. cubeba juga dijumpai beberapa jenis pohon dan tumbuhan
bawah. Pada lokasi-lokasi bekas kebakaran umum dijumpai secara bersamaan L. cubeba dan Paraserianthes lophanta haruman, pada lokasi bekas perambahan
umum dijumpai L. cubeba bersama Schima wallichii puspa; pada rumpang lebih banyak dijumpai secara bersamaan L. cubeba, Homalanthus populneus kareumbi
dan anakan-anakan pohon primer seperti Engelhardtia spicata ki Hujan dan berbagai jenis Litsea huru.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis asosiasi interspesifik diperoleh nilai variance ratio VR sebesar 3.2 1. Hal ini menunjukkan bahwa antara L. cubeba
dengan jenis-jenis lainnya terjadi asosiasi positif yang ditunjukkan oleh nilai W = 54.4 berada di luar batas x
2
0.5 N W x
2
0.95 N. Janson dan Vegelius 1981 dan Begon et al. 1996 menjelaskan bentuk-bentuk interaksi positif yang terjadi
diantara spesies pada areal-areal bekas gangguan ini mencakup tiga kemungkinan, yaitu: 1 masing-masing spesies mempunyai respon yang sama terhadap suplai
sumberdaya yang terbatas; 2 spesies yang satu dengan lainnya saling mempertinggi daya survivalnya; dan 3 spesies berfluktuasi selaras dengan
terbatasnya sumberdaya.
3.3.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum areal-areal yang telah mengalami gangguan dalam kurun waktu sekitar 5
–7 tahun sejak gangguan terjadi, memiliki struktur dan komposisi jenis pohon yang berbeda dengan kondisi sebelum
mengalami gangguan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa areal-areal tersebut sedang mengalami proses suksesi yang didominasi oleh jenis-jenis pohon
pionir.
Berdasarkan pada indikator kehadiran jenis-jenis pohon pionir, empat lokasi bekas gangguan yang diamati menunjukkan respon yang berbeda terhadap
gangguan. Taraf gangguan yang sama terkadang menghasilkan respon yang berbeda, namun disisi lain pada taraf tertentu juga memberikan respon yang sama.
Kondisi tersebut diduga terkait dengan kualitas tapak dan iklim mikro pada masing- masing lokasi. Hasil penelitian Ramires-Marcial et al. 2001 pada tiga tipe hutan
bekas gangguan antropogenik di pegunungan Chiapas Meksiko menunjukkan respon yang berbeda tergantung pada intensitas gangguan dan faktor tapak. Bentuk
respon paling jelas dari areal-areal terganggu adalah perubahan struktur dan komposisi flora selama kurun waktu tertentu.
Hasil penelitian Shono et al. 2006 di Singapura juga menunjukkan hal yang sama, yaitu pada hutan tropika bekas gangguan yang telah berumur empat tahun,
mengalami perubahan dominasi spesies yang sangat berbeda dengan hutan-hutan
primer di sekitarnya. Hal tersebut ditunjukkan juga oleh Liebsch et al. 2008 pada hutan tropika tiga wilayah di Brazil, yaitu hutan-hutan terdegradasi mengalami
kehilangan spesies non pionir yang tinggi 80 dan menjadi beralih kepada jenis- jenis pionir yang invasif. Hasil penelitian terkini di hutan dipterocarpaceae
Kalimantan ditunjukkan oleh Aoyagi et al. 2013, areal-areal terbuka selama ini hampir selalu didominasi oleh pohon pionir Macaranga, tetapi pada perkembangan
saat ini muncul jenis-jenis non-Macaranga yang cenderung lebih melimpah. Hal ini disebabkan oleh kondisi lemahnya akumulasi bahan organik di bawah tegakan
Macaranga yang berhasil didekomposisi, sehingga menjadi tidak kondusif bagi Macaranga sendiri dan bagi anakan dipeterocapaceae. Hal ini membuktikan bahwa
dinamika perubahan struktur komunitas dan komposisi jenis tumbuhan sangat tinggi akibat berubahnya hutan oleh gangguan.
Goodale et al. 2012 menjelaskan, kondisi hutan konservasi Sinharaja Sri Lanka yang telah mengalami gangguan cenderung mengalami perubahan secara
signifikan. Hal ini berkaitan dengan intensitas keterbukaan areal, yaitu pada areal- areal yang semakin tinggi memancing kehadiran delapan jenis tumbuhan pionir,
terutama dominasi anakan Trema orientalis dan Macaranga peltata. Kedua jenis tersebut berkurang pada areal-areal yang mulai tertutup, digantikan oleh
Macaranga indica, Dillenia triquerta dan Wendlandia bicuspidata. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa tipe gangguan lebih
berpengaruh terhadap komposisi jenis dibandingkan dengan pengaruh sejarah dan intensitas gangguan.
Rumpang yang merupakan areal dengan intensitas gangguan pada taraf ringan memiliki kemampuan pemulihan lebih cepat dibandingkan areal-areal
terganggu lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh kondisi struktur tegakan yang sudah terisi oleh permudaan. Selain permudaan dari jenis pionir seperti
Homalanthus, areal rumpang juga diisi oleh anakan-anakan pohon yang sudah ada. Faktor luasan rumpang dan tingkat peneduhan diduga memiliki peran penting untuk
regenerasi anakan-anakan pohon asli penyusun hutan yang sudah ada tersebut memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang. Kondisi yang demikian
mengakibatkan tidak ada atau kurangnya invasi jenis-jenis pionir yang umumnya membutuhkan cahaya penuh.
Hasil penelitian Dupuy dan Chazdon 2008 pada rumpang di hutan sekunder Costa Rica memberikan gambaran bahwa pola regenerasi merupakan hubungan
interaksional antara tingkat keterbukaan areal, tumpukan serasah dan vegetasi di bawah tegakan understory vegetation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rumpang tetap didominasi oleh anakan dari pohon-pohon yang sudah ada daripada anakan-anakan pohon pionir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada
intensitas rumpang yang sama, keberadaan serasah daun menjadi penentu tingkat regenerasi yang terjadi.
Hasil penelitian terkini yang dilakukan oleh Zilliox dan Gosselin 2014 pada hutan pegunungan di Perancis memberikan informasi bahwa keanekaragaman jenis
tumbuhan bawah berhubungan erat dengan luas bidang dasar pohon-pohon besar, semakin tinggi luas bidang dasar suatu tegakan berimplikasi terhadap semakin
meningkatnya keanekaragaman jenis tumbuhan bawah tegakan. Hal ini sangat terkait dengan penelitian Dupuy dan Chazdon 2008 bahwa pada areal rumpang
cenderung didominasi anakan-anakan pohon primer disebabkan karena adanya
dukungan penutupan areal oleh pohon-pohon besar, sehingga tingkat keterbukaannya menjadi rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya gangguan berdampak terhadap penurunan tingkat keanekaragaman jenis pohon. Hal ini terlihat pada areal bekas
perambahan, bekas kebakaran dan hutan mati memiliki nilai H ’ yang secara umum
rendah H’ 2. Hasil penelitian Huang et al. 2003 di hutan pegunungan Tanzania juga mengindikasikan hal yang sama, yaitu meskipun tidak ada perbedaan nyata
dari segi jumlah pohon, tetapi nilai keanekaragaman jenis pada areal-areal terganggu berada pada kategori
sangat rendah H’ rata-rata 1. Areal rumpang dengan taraf gangguan ringan memiliki nilai keanekaragaman
yang relatif sama dengan hutan tidak terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa rumpang dengan intensitas keterbukaan yang rendah tidak mengakibatkan
perubahan keanekaragaman jenis pohon. Kennard et al. 2002 menjelaskan mengenai hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bolivia bahwa pada
areal-areal rumpang tidak banyak terjadi perubahan keanekaragaman jenis pohon.
Areal bekas kebakaran memiliki variasi respon yang tinggi, ditandai dengan adanya perbedaan tipe penutupan vegetasinya. Kondisi areal pasca kebakaran
umumnya menjadi terbuka secara total. Sebagian areal hanya membentuk hamparan semak belukar yang didominasi tumbuhan kirinyuh Chromolaena spp.,
tetapi sebagian lagi membentuk tegakan pohon-pohon pionir seperti L. cubeba, Paraserianthes lophantha dan Schima wallichii. Tingkat keanekaragaman jenis
pada areal ini hanya berada pada tingkat rendah
H’ = 1.68. Hasil penelitian Kennard et al. 2002 di hutan pegunungan wilayah Bolivia menunjukkan bahwa
areal-areal yang terbuka akibat kebakaran dengan intensitas tinggi mengalami perubahan yang sangat besar sampai pada tahun pertama ditandai adanya
penurunan viabilitas benih-benih pada tanah 50 hingga 94 . Di samping hal tersebut, kematian anakan alami pada tahun pertama sesudah kebakaran juga sangat
tinggi. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya jenis-jenis pohon yang semula menjadi penyusun hutan.
Copenhaver dan Tinker 2014 telah meneliti bentuk perubahan struktur tegakan pinus pasca kebakaran berumur 11 dan 24 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kerapatan tegakan dan umur areal bekas kebakaran banyak menimbulkan variasi pohon yang tinggi. Setelah tegakan berumur 24 tahun,
dinamika komunitas tumbuhan masih tinggi. Hal ini ditandai oleh masih tingginya permudaan alam jenis-jenis pohon, sehingga berpengaruh nyata terhadap struktur
dan peran dari pohon-pohon secara individual.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Cerda et al. 2012 pada hutan sekunder bekas terbakar dan yang tidak terbakar di wilayah Nikaragua. Perbedaan sangat
terlihat jelas ditinjau dari segi survivalitas spesies-spesiesnya. Indikasi terlihat setelah dua tahun sejak kejadian kebakaran, areal bekas kebakaran lebih rendah
survivalitas jenisnya, tetapi dari segi mortalitas diketahui bahwa hutan-hutan sekunder yang tidak terbakar justru tinggi mortalitasnya. Secara umum hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis pohon pionir lebih rendah mortalitasnya dibandingkan jenis-jenis tumbuhan bawah naungan under canopy.
Areal bekas perambahan pada umumnya masih terdapat sisa-sisa pohon yang sengaja tidak ditebang pada saat kegiatan perladangan hingga areal tersebut
ditinggalkan. Jenis-jenis yang mendominasi areal ini relatif sama dengan areal
bekas kebakaran. Pada tingkat pohon, Schima wallichii merupakan jenis yang paling dominan, sebaliknya pada tingkat permudaan lebih didominasi oleh L.
cubeba, Vaccinium varingifolium dan Paraserianthes lophantha. Keanekaragaman jenis pada areal ini juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan areal
bekas kebakaran, yaitu berada pada tingkat rendah
H’ = 1.47. Hutan mati bekas terpaan abu vulkanik memiliki kondisi yang sangat spesifik,
seluruh areal cenderung mengalami suksesi sekunder yang lambat ditandai dengan hanya sedikit jenis-jenis pionir yang mampu tumbuh. Areal ini memiliki
karakteristik dominasi yang relatif terpusat pada satu jenis, yaitu Vaccinium varingifolium. Hal ini disebabkan selain oleh kondisi areal yang berada pada radius
0 sampai 1 km dari sumber letusan sekitar kawah yang merupakan tegakan Vaccinium, juga diduga karena dampak abu vulkanik menyulitkan tumbuh-
tumbuhan untuk berkembang secara normal. Tingkat keanekaragaman jenisnya juga tergolong sangat rendah
H’ 1. Hal ini menunjukkan tidak stabilnya komunitas tumbuhan pada areal ini. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diduga
bahwa areal ini masih membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk dapat pulih menjadi ekosistem hutan sekunder.
Terkait dengan perkembangan komunitas tumbuhan pada areal hutan mati, hasil penelitian sebelumnya dilakukan oleh Rahayu 2006 telah mengindikasikan
bahwa pada areal-areal yang terkena dampak letusan tahun 2002 terlihat bahwa areal-areal bekas aliran lahar justru lebih cepat dalam melakukan regenerasi
dibandingkan dengan areal-areal yang terkena terpaan abu vulkanik. Perkembangan terkini dilaporkan oleh Nursiamdini 2014 yang telah melakukan
penelitian mengenai struktur dan komposisi jenis pada areal-areal bekas gangguan, menunjukkan bahwa areal-areal hutan mati cenderung tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Hal ini sangat berbeda dengan areal-areal bekas perambahan dan bekas penebangan liar yang telah berkembang menjadi hutan-
hutan sekunder.
Perubahan komposisi jenis pohon dari hutan tidak terganggu ke areal-areal bekas gangguan membentuk hutan sekunder muda, juga berdampak pada kondisi
struktur hutan, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal areal- areal bekas perambahan dan bekas kebakaran lebih didominasi pohon-pohon
berdiameter kecil rata-rata 17 cm. Hal ini disebabkan areal sedang dalam proses regenerasi yang didominasi pohon-pohon pionir. Secara vertikal terlihat hampir
seluruh pohon menempati stratum C tinggi tajuk pohon = 10
–20 m dan D tinggi tajuk pohon = 4
–10 m. Hal ini menunjukkan bahwa pohon-pohon pada areal bekas gangguan umumnya merupakan pohon-pohon berhabitus pohon kecil sampai
sedang. Kondisi di atas menggambarkan bahwa areal-areal belum mengalami
pergantian komunitas tumbuhan dari pohon-pohon pionir ke pohon-pohon fase berikutnya. Hal berbeda di Gunung Gede Pangrango sebagaimana hasil penelitian
Utomo et al. 2007 diketahui bahwa profil vegetasi hutan pegunungan yang pernah terganggu relatif tampak masih terdiri dari tiga strata tajuk, yaitu stratum A tinggi
total pohon
≥ 30 m, stratum B tinggi total pohon 20–30 m dan stratum C tinggi total 4
–20 m. Hal ini diduga bahwa gangguan di wilayah ini tidak sampai menimbulkan keterbukaan secara total terhadap areal, sehingga pohon-pohon hutan
primer masih bertahan.
Salah satu jenis yang menjadi penciri areal-areal terganggu adalah pohon L. cubeba. Jenis pohon ini umum dijumpai pada areal-areal bekas perambahan dan
kebakaran. Kehadiran L. cubeba dengan INP yang umumnya tinggi pada kedua areal, mengindikasikan jenis ini sebagai salah satu jenis pohon pionir yang
dominan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis ini memiliki peran yang kuat terhadap proses suksesi yang terjadi, sehingga dapat dinyatakan bahwa L. cubeba
beserta jenis-jenis pionir lainnya dapat dijadikan sebagai indikator ekologi proses pemulihan ekosistem hutan yang terganggu yang disebabkan oleh perambahan dan
kebakaran.
Tingkat dominasi dan kekayaan L. cubeba memiliki kaitan dengan faktor- faktor tempat tumbuhnya. Hal ini dijelaskan oleh Kessler dan Kluge 2008 bahwa
pola dominansi tumbuhan dan kekayaan spesies cenderung ditentukan oleh perubahan gradien elevasi ketinggian tempat, tingkat kekayaan maksimum
dijumpai pada ketinggian menengah terutama antara 500 –2000 mdpl. Faktor-
faktor yang menyebabkan pola-pola ini terbentuk adalah variabel iklim seperti suhu dan kelembaban, ketersediaan energi dan produktivitas ekosistem, proses sejarah
dan evolusi, dan keterbasan daerah sebaran.
Pola distribusi L. cubeba yang cenderung mengelompok menunjukkan bahwa populasi pohon ini mampu berkolonisasi di areal-areal terbuka bekas gangguan.
Buckley dan Freckleton 2010 menjelaskan, kemampuan dispersal suatu spesies sangat ditentukan oleh peluang kecocokan dengan habitat, berimplikasi pada
kelimpahan suatu spesies. Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Verheyen dan Hermy 2001 tentang kemampuan penyebaran 18 spesies tumbuhan pada berbagai
umur hutan 6
–32 tahun di Hutan Muizen wilayah Belgia Utara, dijumpai variasi kecepatan kolonisasi, terdapat spesies-spesies tertentu yang lebih mampu
berkolonisasi pada hutan sekunder muda.
3.4 Simpulan
Perubahan hutan alam Gunung Papandayan akibat gangguan berimplikasi pada perubahan komunitas pohon-pohon, meliputi: 1 perubahan komposisi jenis
pohon, ditandai dengan dominasi jenis-jenis pionir seperti L. cubeba, Homalanthus populneus, Paraserianthes lophantha dan pada areal tertentu didominasi oleh
Vaccinium varingifolium, sedangkan Schima wallichii selalu dijumpai baik pada hutan tidak terganggu maupun areal bekas gangguan; 2 dominasi jenis-jenis pionir
secara jelas terlihat pada stadium permudaan semai, pancang dan tiang, sedangkan stadium pohon lebih didominasi oleh Schima wallichii ; 3 keanekaragaman jenis
pohon mengalami penurunan, yaitu dari kategori sedang
H’ 2 pada hutan tidak terganggu menjadi rendah sampai sangat rendah
H’ 0.69–1.63 pada areal bekas gangguan. Hal ini mengindikasikan stabilitas ekosistem hutan mengalami
penurunan, 3 struktur pohon-pohon secara horizontal didominasi kelas diameter kecil 10
–20 cm dan secara vertikal berada pada stratum C tinggi 10–20 m dan D 4
–10 m. Kehadiran L. cubeba yang hanya dijumpai pada areal-areal bekas gangguan
mengindikasikan jenis ini merupakan pionir yang memiliki kemampuan tumbuh pada areal terganggu. Pohon ini memiliki karakteristik populasi berupa pohon-
pohon kecil sampai sedang diameter rata-rata 17.13 cm dengan tinggi pohon umumnya rendah rata-rata 7.7 m, pola sebarannya mengelompok indeks Morisita
IP 0, kelimpahan sangat tinggi pada tingkat semai 500 –25.000 batangha,
namun semakin menurun pada tingkat tiang dan pohon. Tingkat okupasi areal lebih tinggi pada stadium tingkat tiang daripada tingkat pohon. Hal ini ditunjukkan oleh
nilai dominasi tingkat tiang sebesar 3.26 m
2
ha atau 36.29 dominasi relatif terhadap seluruh areal, sedangkan pada tingkat pohon hanya mencapai rata-rata
dominasi sebesar 1.15 m
2
ha atau 9.45 dominasi relatif terhadap penutupan seluruh areal. Pohon L. cubeba juga berasosiasi secara positif dengan jenis-jenis
lainnya, seperti Schima wallichii, Engelhardtia spicata dan Paraserianthes lophantha, yang artinya pohon ini dapat hidup berdampingan dengan jenis-jenis
lainnya tanpa saling mengganggu, tetapi masing-masing meningkatkan daya survivalitasnya.
Keberadaan pohon L. cubeba di Gunung Papandayan ini sekaligus melengkapi informasi tentang sebaran potensi keberadaannya di wilayah Jawa
Barat. Hal ini didasarkan pada publikasi-publikasi yang selama ini disampaikan bahwa pohon ini hanya dijumpai pada hutan-hutan pegunungan di wilayah
Bandung Selatan dan Kuningan.
4 RENDEMEN DAN KOMPOSISI MINYAK LEMO
DARI BEBERAPA TIPE HABITAT L. cubeba
4.1 Pendahuluan
Minyak atsiri dari pohon L. cubeba dikenal dengan minyak lemo atau minyak kranggean Indonesia atau secara internasional dikenal dengan nama “may chang
oil ”. Minyak lemo banyak dibutuhkan untuk keperluan industri farmasi, kosmetika,
sabun, penyegar ruangan dan industri pangan. Kebutuhan pasar internasional terhadap minyak lemo ini mencapai sekitar 500 tontahun, importir terbesar adalah
Amerika, Jepang dan negara-negara di Eropa Barat Heryati et al. 2009. Negara- negara produsen terbesar adalah Cina dengan produksi mencapai 500
–600 tontahun Sylviani dan Elvida 2010, yang ditandai dengan adanya industri besar
dan kegiatan budi daya dalam skala besar di Cina Luo et al. 2005; Zhao et al. 2010; Wang dan Liu 2010.
Di Indonesia, industri minyak lemo masih belum berkembang. Hal ini disebabkan antara lain karena: 1 masih sangat terbatasnya dukungan penelitian
bidang ekologi untuk mengkaji karakteristik habitat dan preferensi ekologis L.cubeba dan hubungannya dengan kuantitas dan kualitas minyak atsiri; 2 belum
dilakukannya budi daya tanaman L. cubeba, baik dalam skala kecil maupun besar. Permasalahan tersebut menyebabkan Indonesia belum menjadi negara produsen
minyak atsiri maupun produk-produk berbahan baku L. cubeba. Padahal, bidang farmasi dan teknologi industri minyak atsiri telah berkembang pesat, termasuk
penelitian aspek genetika dan molekuler Chang dan Chu 2011; Wang et al. 2009.
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan pada Bab 3 diketahui bahwa pohon L. cubeba dijumpai di Gunung Papandayan dengan potensi yang
besar. Pohon ini tersebar pada areal-areal bekas gangguan, terutama pada areal bekas perambahan dan bekas kebakaran. Keberadaan populasi L. cubeba di
wilayah ini melengkapi informasi mengenai potensi pohon ini di Jawa Barat. Hal ini mengingat pada penelitian-penelitian sebelumnya hanya diketahui bahwa
keberadaan populasi jenis pohon ini umum dijumpai di wilayah Bandung Selatan dan Kuningan, serta tegakan berupa hutan tanaman di Cikole Lembang dan Gunung
Gede Pangrango Rostiwati et al. 2010
Dalam kaitannya dengan nilai manfaat pohon L. cubeba terutama sebagai sumber penghasil minyak atsiri potensial, penelitian mengenai kandungan minyak
atsiri dari pohon-pohon L. cubeba yang berasal dari Gunung Papandayan menjadi penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa selain baru
diketahui keberadaannya dengan potensi populasi yang tinggi, juga didasarkan pada hal-hal berikut : 1 sebagai pembanding sekaligus penambah informasi terhadap
hasil-hasil penelitian di wilayah lainnya baik di Indonesia maupun dunia; dan 2 lokasi tempat tumbuh habitat sangat bervariasi yang diduga berpengaruh terhadap
variasi kandungan minyak atsiri yang dihasilkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengujian kandungan minyak atsiri yang diambil dari pohon L. cubeba
yang berasal dari berbagai habitat menjadi penting untuk dilakukan, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka studi-studi lebih lanjut.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji rendemen dan komposisi minyak lemo dari tiga bagian pohon L. cubeba daun, buah dan kulit batang dan dari empat tipe
habitat rumpang, areal bekas perambahan, areal bekas kebakaran dan hutan mati di Gunung Papandayan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi
bagi para peneliti bidang ekologi, silvikultur dan bidang-bidang lain terkait minyak atsiri. Penelitian ini juga dapat memberikan pertimbangan bagi para praktisi
minyak atsiri dan pembudidaya tanaman.
4.2 Metode Penelitian 4.2.1
Lokasi dan lama penelitian
Penelitian ini dilakukan secara simultan pada dua tempat, yaitu: 1 di Gunung Papandayan pada beberapa habitat L. cubeba; dan 2 Laboratorium
Terpadu Politeknik Kesehatan Poltekkes, Kementerian Kesehatan RI, di Bandung Jawa Barat. Penelitian berlangsung mulai Desember 2012 sampai Mei 2013.
4.2.2 Bahan dan peralatan
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa simplisia bagian-bagian pohon L. cubeba yang meliputi daun, buah dan kulit batang serta
bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian minyak atsiri sesuai standar yang berlaku pada Laboratorium Poltekkes Bandung.
Peralatan yang digunakan berupa peralatan pengambilan simplisia bagian tumbuhan, seperti gunting ranting, parang, kantong plastik, timbangan, kertas label
dan keranjang. Selain peralatan lapangan, penelitian ini juga menggunakan peralatan pengujian di laboratorium mencakup satu paket peralatan distilasi dan
peralatan untuk analisis gas chromatography mass spectrometry GC-MS menggunakan agilent technologies GC 7890 dan 5975 C XLEICI MSD.
4.2.3 Prosedur penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan: eksplorasi dan observasi lapangan untuk memperoleh informasi kondisi tempat-tempat tumbuh L. cubeba dilanjutkan
dengan pengelompokan habitat berdasarkan tipe gangguannya, pengambilan simplisia bagian pohon dari masing-masing habitat, dan pengujian laboratorium.
4.2.3.1 Pengelompokan habitat
Pengelompokan habitat dilakukan untuk mengetahui perbedaan tipe-tipe tempat tumbuh L. cubeba yang kemudian digunakan untuk menetapkan
keterwakilan sampel yang diambil. Lokasi-lokasi pengambilan sampel bagian- bagian pohon disajikan pada Tabel 4.1.
4.2.3.2 Pengambilian simplisia bagian pohon
Untuk memperoleh data variasi rendemen dan komponen kimia minyak lemo berdasarkan variasi habitat, dilakukan pengambilan sampel pada bagian-bagian
pohon, meliputi daun, buahbiji, dan kulit batang. Selanjutnya dalam rangka menguji variasi minyak atsiri antar bagian pohon pada habitat yang berbeda,
pengambilan sampel dilakukan berdasarkan keterwakilan areal menurut tipe habitat. Berdasarkan hal tersebut ditetapkan 6 lokasi dengan variasi kondisi fisik
lahan yang berbeda, yaitu : 1 rumpang, satu lokasi diwakili oleh blok Lutung; 2 areal bekas perambahan, mencakup dua lokasi, yaitu blok Sorok Teko dan Batu
Kasang; 3 areal bekas kebakaran, mencakup dua lokasi, yaitu blok Gn Walirang dan Bungbrun; dan 4 hutan mati, satu lokasi diwakili oleh blok Tegal Alun.
Tabel 4.1 Lokasi tempat tumbuh L. cubeba berdasarkan tipe habitat
Tipe Habitat No
Nama Lokasi Sampel yang diambil
Rumpang 1
Lutung D, B, K
2 Batu Kasang
D 3
Supa beureum D
4 Tegal Panjang
D Bekas perambahan
1 Sorok TekoTgl Puspa
D, B, K 2
Pada AwasLutung-Pondok Serok D
3 Pada AwasTibet-Lutung
D 4
Lembah Cibeureum D
5 Tibet
D 6
Lereng Curug Angklong D
7 Batu Kasang 2
D,B,K Areal bekas
kebakaran 1
Gn Walirang D, B, K
2 Puntang S. Cibeureum
D 3
Bungbrun D,B,K
4 Tegal Bungbrun
D Hutan mati
1 Tegal Alun
D, B, K 2
Puncak Waternimen D
D: daun; B: buah; K: kulit batang
Selanjutnya untuk mengetahui variasi rendemen dan komposisi minyak lemo secara keseluruhan maka dalam penelitian dilakukan pengujian terhadap 17
lokasi yang mewakili seluruh tempat tumbuh L. cubeba di Gunung Papandayan. Dalam kasus ini, pengujian dibatasi pada pengambilan sampel bagian daun saja.
Sampel daun diambil pada salah satu pohon dewasa diameter 10 cm dan sudah pernah berbuah minimal satu kali di setiap plot dengan cara memotong
ranting daun sepanjang 30 cm dari pucuk pada berbagai sisi empat arah mata angin dan posisi kanopi bagian atas, tengah dan bawah untuk memperoleh berat
1 kg, sampel daun ini kemudian dicampur menjadi sampel komposit. Sampel buahbiji diambil secukupnya 200
–400 gr, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan kondisi segar. Sampel kulit batang diambil dari beberapa
pohon dalam satu plot, kemudian pada masing-masing pohon diambil sampel dengan menggunakan pisau atau cutter ukuran 5 x 5 cm dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang berbeda.
4.2.3.3 Perlakuan sampel
Sampel-sampel yang diambil kemudian diberi identitas berupa pemberian label dengan kode lokasi dan keterangan yang jelas, mencakup titik koordinat plot,
tipe habitat, nama lokasi spesifik dan atribut lainnya yang diperlukan. Setiap sampel dikemas pada keranjang yang berbeda, kemudian dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis lebih lanjut.
Perlakuan sampel sebelum dilakukan pengujian di laboratorium penting dilakukan mengingat sampel-sampel harus berada pada kondisi yang secara umum
seragam. Tahapan pertama yang dilakukan adalah pemisahan sampel dari bagian- bagian lain yang terikut saat pengambilan sampel. Sampel daun cukup diambil
bagian helaian dan sampel buah cukup pada bagian buah utama dan dipilih buah-
buah tua atau matang dipisahkan dari bagian ranting. Khusus sampel kulit batang harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan lumut atau bagian lain yang
menempel dengan menggunakan sikat atau kuas.
Sampel buah disimpan selama dua sampai tiga hari sampai diperoleh kematangan yang merata, sedangkan sampel daun dan kulit batang
dikeringanginkan kering udara pada tempat yang kering di luar ruangan. Pengeringan udara masing-masing sampel berbeda-beda sesuai kondisi. Sampel
daun membutuhkan pengeringan rata-rata berlangsung selama tiga hari dan kulit batang mencapai lima sampai tujuh hari.
Sebelum proses distilasi dilakukan, sebagian kecil sampel diambil untuk digunakan dalam penentuan kadar air. Kadar air diperlukan untuk menghitung
rendemen minyak atsiri yang dihasilkan. Tahapan penentuan kadar air ini dilakukan melalui: 1 penimbangan berat wadah cawan kosong, 2 penimbangan
berat wadah yang berisi sampel, 3 penentuan berat sampel awal, 4 pengeringan sampel menggunakan oven pada suhu 60
o
C selama dua jam, 5 penimbangan wadah berisi sampel kering, 6 penentuan berat sampel akhir. Tahapan alur
penentuan kadar air sampel disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Tahapan proses penentuan kadar air sampel
Sampel-sampel yang sudah kering udara, selanjutnya siap diproses lebih lanjut ke tahap distilasi. Sebelumnya sampel-sampel disiapkan untuk dua kali
ulangan proses distilasi, masing-masing ditimbang untuk memperoleh berat awal dibuat per 200 gr atau disesuaikan volume tabung distilasi.
4.2.3.4 Distilasi uap steam distillation
Sampel-sampel diuji di Laboratorium Terpadu Poltekkes Bandung Kementerian Kesehatan untuk memperoleh rendemen minyak atsiri. Dalam
pengujian ini, sampel-sampel diperlakukan dengan prosedur penyulingan distilasi, yang sebelumnya telah dikeringudarakan.
Penyulingan ini menggunakan sistem distilasi uap steam distillation dengan waktu 2 sampai 3 jam per sampel daun, dan 4 sampai 6 jam per sampel buah dan
kulit Gambar 4.2. Prosedur distilasi uap dilakukan sesuai standar yang berlaku di Laboratorium Poltekkes
1
, Bandung yaitu mengalirkan uap air yang dihasilkan oleh steam generator ke wadah simplisia dan membawa minyak atsiri bersama dengan
uap air tesebut. Minyak lemo yang dihasilkan ditampung pada wadah, kemudian dipindahkan ke dalam botol dan diberi label sesuai kode sampel. Distilasi uap ini
merupakan metode yang paling baik karena dapat menghasilkan minyak atsiri dengan kualitas yang tinggi karena tidak bercampur dengan air Suryani 2012:
komunikasi pribadi; Zulnely et al. 2005.
1
Laboratorium Terpadu, Politeknik Kesehatan, Kemenkes di Bandung telah terstandar ISO 9001: 2008