Dinamika Harapan pada Penderita Kanker

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah-zadeh, Farahnaz., Agahosseine, Shima., Asvadi-Kermani, Iraj., & Rahmani, Azad. (2011). Hope in Iranian Cancer Patients. IJNMR; 16(4): 288-291.

Allifni, Maya. (2011). Pengaruh Dukungan Sosial dan Religiusitas terhadap

Motivasi untuk Berobat pada Penderita Kanker Serviks. Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah.

Bellizi, Ketih M., Blank, Thomas O., & Oakes, Claudia E. (2006). Social

Comparison Processes in Autobiographies of Adult Cancer Survivors.

Journal of Health Psychology. SAGE Publications.

Cavanaugh, John C & Blanchard-Fields, Fredda. (2006). Adult Development and

Aging. 5th Edition. Thomson Wadsworth: International Student Edition. Cohen, Sheldon. (2004). Social Relationship and Health. Carnegie Mellon

University.

Eliott, J. & Oliver, I. (2009). Hope, Llife and Death: a Qualitative Analysis of

Dying Cancer Patients' Talk about Hope. Death Studies, 33(7), 609-638.

Esbensen, Bente Appel & Thomsen, Thordis. (2011). Quality of Life and Hope in

Elderly People with Cancer. Open Journal of Nursing, 1, 26-32.

Falvo, Donna. (2005). Medical and Psychosocial Aspects of Chronic Illness and

Disability. 3rd Edition. Jones and Bartlett Publishers.

Farran, Carol J., Herth, Kaye A & Popovich, Judith M. (1995). Hope and

Hopelessness: Critical Clinical Constructs. Sage Publications.

Fitriana, Nimas Ayu & Ambarini, Tri Kuniarti. (2012). Kualitas Hidup pada

Penderita Kanker Serviks yang Menjalani Pengobatan Radioterapi.

Universitas Airlangga.

Folkman, S. (2010). Stress, Coping, and Hope. Psycho-Oncology, 19(9), 901– 908.

Gordon, Elisa J & Daugherty, Christopher K. (2003). „Hitting You Over the Head‟: Oncologist‟ Disclosure of Prognosis to Advanced Cancer Patients. Bioethics 17(2): 142-168.

Helgeson, Vicki S. & Cohen, Sheldon. (1996). Social Support and Adjustment to

Cancer: Reconciling Descriptive, Correlational and Intervention Research. Health Psychology, Vol.15, No.2, 135-148.


(2)

134 Jacoby, Rebecca & Keinan, Giora. (2003). Between Stress and Hope: from a

Disease-Centered to Health-Centered Perspective. Praeger Publishers.

United States of America.

Kodish, Eric & Post, Stephen G. (1995). Oncology and Hope. Journal of Clinical Oncology, Vol 13, No.7 (July), pp 1817-1822.

Lubis, Namora Lumongga dan Hasnida. (2009). Dukungan Sosial pada Pasien

Kanker, Perlukah?. USU Press. Medan, Indonesia.

McGonigal, Kelly. (2012). The Willpower Instinct: How Self-Control Works, Why

It Matters, and What You Can Do to Get More of It. Penguin Group (USA)

Inc. New York.

Oemiati, Ratih., Rahajeng, Ekowati., & Kristianto, AY. (2011). Prevalensi Tumor

dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya di Indonesia. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Online. http://digitaljournal.com/article/317470. Tanggal akses: 27 Oktober 2012. Online.http://health.kompas.com/read/2013/03/21/19425358/Penderita.Kanker.di.

Indonesia.Meningkat. Tanggal akses: 30 Januari 2014

Online.http://thedailybeast.com/newsweek/blogs/the-gaggle/2010/12/06/elizabeth-edwards-stops-cancer-treatment.html. Tanggal akses: 16 September 2013.

Online. www.cancer.org. Tanggal akses: 20 Desember 2012.

Online. www.youngadultcancer.ca/community/profiles_archive/elizabeth_bonnie. Tanggal akses: 30 Oktober 2012.

Pendley, Jennifer Shroff., Dahlquist, Lynnda M., & Dreyer, ZoAnn. (1997). Body

Image and Psychosocial Adjustment in Adolescent Cancer Survivor.

Journal of Pediatric Psychology.

Poerwandari, E, Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rizkiana, Ulfa & Retnaningsih. (2009). Penyesuaian Diri pada Remaja Penderita

Leukimia. Universitas Gunadarma.

Sanatani, Michael., Schreier Gil., & Stitt, Larry. (2007). Level and Direction of

Hope in Cancer Patients: an Exploratory Longitudinal Study.

Springer-Verlag.

Sarafino, Edward P & Smith, Timothy W. (2011). Health Psychology:

Biopsychosocial Interactions. 7th Edition. United States of America.


(3)

Scioli, Anthony., Samor, Cindy M., Campbell, Tamara L., Chamberlin, Christine M., Lapointe, Anne B., Macleod., Alex R., & Mclenon, Jennifer. (1997). A

Prospective Study of Hope, Optimism and Health. Pyschological Reports,

81, 723-733).

Sebastian, Julia., Manos Dimitra., Bueno, Ma Jose., & Mateos, Nuria. (2008).

Body Image and Self-Esteem in Women with Breast Cancer Participating in a Psychosocial Intervention Program. Psychology in Spain.

Snyder, C. R. (1994). The Psychology of Hope “You can Get There From Here”. The Free Press

Snyder, C. R & Lopez, Shane J. (2002). Handbook of Positive Psychology. Oxford University Press.

Stanton, Annette L., Danoff-Burg-Sharon., Cameron, Christine L., Michelle Bishop., Collins Charlotte A., Kirk, Sarah B., Sworowski Lisa A., & Twillman, Robert. (2000). Emotionally Expressive Coping Predicts

Psychological and Physical Adjustment to Breast Cancer. Journal of

Consulting and Clinical Psychology, Vol. 68, No. 5, 875-882

Zhang Jing., Gao Wei., Wang Ping., & Wu Zhong-hui. (2010). Relationships

among hope, coping style and social support for breast cancer patients.


(4)

40 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN III. A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan dinamika terbentuknya harapan pada penderita kanker.

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah pendekatan kualitatif. Maksudnya, melalui pendekatan ini, keunikan partisipan sebagai seorang individu yang berbeda dengan individu yang lain dapat lebih dipahami. Penelitian ini juga bersifat terbuka dan luwes serta berfokus pada kedalaman dan prosesnya, penelitian ini juga cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit.

Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata (Patton dalam Poerwandari, 2007)

Penelitian ini juga memungkinkan peneliti untuk dapat memahami dan mengerti gejala sebagaimana subjek mengalaminya, memahami proses-proses yang terjadi pada diri individu dan memandang individu dan lingkungannya sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, diharapkan bahwa penelitian ini bisa mendapatkan gambaran utuh dari penghayatan partisipan terhadap situasi yang dialaminya. Penelitian yang menggunakan pendekatan ini mempunyai tujuan


(5)

untuk mengembangkan pemahaman dan membantu untuk memahami dan mengintepretasikan apa yang ada dibalik suatu kejadian, bagaimana latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya dan bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi (Poerwandari, 2007).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus. Disini, yang didefenisikan sebagai kasus (Poerwandari, 2007) adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded

context), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas.

Studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe. Dalam penelitian ini tipe yang digunakan adalah studi kasus intrinsik, yaitu penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa ada upaya untuk menggeneralisasi. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk memahami dan mendalami bagaimana dinamika harapan pada penderita kanker.

III.B Metode Pengambilan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan observasi sebagai metode tambahan selama wawancara berlangsung. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum dimana dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukam urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan


(6)

42 eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Patton, 1990 dalam Poerwandari, 2007).

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan obervasi sebagai metode pendukung pengambilan data wawancara. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2007). Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pedekatan kualitatif.

III.C Responden Penelitian III.C. 1 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah penderita kanker baik wanita maupun pria yang sedang menjalani pengobatan.

III.C. 2 Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh karena itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.


(7)

Prosedur penentuan subjek atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik sebagai berikut (Sarakantos, dalam Poerwandari, 2007):

a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

c. Tidak diarahkan pada keterwakilan arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan kecocokan konteks.

Pada penelitian ini, jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak tiga orang penderita kanker yang sedang menjalani pengobatan.

III.C. 3 Prosedur Pengambilan Sampel

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan pengambilan sampel kasus kritikal. Teknik pengambilan sampel kasus kritikal ini dimaksudkan untuk memperoleh penjelasan melalui kasus-kasus yang dianggap kritis. Kritis disini yang dimaksudkan adalah istimewa, baik karena keunggulan maupun karena keterbelakangannya.

III.C. 4 Lokasi Penelitian

Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan di Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah untuk kemudahan dalam pengambilan data, karena peneliti berdomisili di daerah tersebut.


(8)

44 III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape

recorder), pedoman wawancara dan pedoman observasi. Alat bantu yang

digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada sampel. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari sampel. Selain itu, penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan


(9)

juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.

3. Pedoman Observasi

Pedoman observasi diperlukan untuk memudahkan peneliti mengamati bahasa non verbal partisipan yang mengungkapkan informasi yang tidak didapatkan saat percakapan berlangsung. Lembar observasi berisi informasi yang dapat melaporkan segala bentuk bahasa tubuh yang terlihat dari partisipan. Dimana hal ini akan sangat membantu pemahaman analisis data.

III.E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.

Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terdapat pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.


(10)

46 Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengungkapkan bahwa langkah-langkah yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian dapat dilakukan dengan cara :

a. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan mengembangkan analisis dan interpretasi.

b. Mendokumentasikan data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya secara lengkap.

c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan penelitian dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

d. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

e. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif: pemahaman tentang pola dan kecenderungan yang telah diidentifikasi akan meningkat apabila peneliti memberikan perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola umum.

f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data (checking and

rechecking) dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.


(11)

Peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis dan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.

Pada penelitian ini, hal-hal yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian yaitu berupa mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang terkait. Peneliti juga mendokumentasikan semua data-data yang terkumpul selama penelitian.

III.F Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian adalah:

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan dinamika harapan pada penderita kanker.

Peneliti mengumpulkan informasi dan teori-teori yang berkaitan dengan dinamika terbentuknya harapan, khususnya pada penderita kanker yang sedang menjalani pengobatan. Selanjutnya, peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan fenomena-fenomena yang didapat melalui komunikasi personal dengan sampel.


(12)

48 b. Menyusun pedoman wawancara dan pedoman observasi.

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori yang ada untuk menjadi pedoman wawancara. c. Persiapan untuk mengumpulkan data.

Mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti kemudian menghubungi responden, membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu wawancara.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.


(13)

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, reponden diminta untuk memahami tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Tabel 1

Jadwal Pelaksanaan Wawancara

No. Responden Tanggal Waktu Tempat

1 1 3 Oktober 2013

10.00-11.00

Kamar rumah sakit

2 4 Oktober 2013

10.00-11.30

Kamar rumah sakit

3 9 Oktober 2013

14.00-15.00

Kamar rumah sakit

4 2 13 November

2013

11.00-11.45

Ruangan Wadir RS Haji Medan

5 14 November

2013

13.00-14.00

Kamar rumah sakit

6 6 Maret 2014

11.00-12.30

Kamar rumah sakit


(14)

50

2013 16.30 Wadir RS

Haji Medan

8 11 Desember

2013

15.00 – 16.00

Ruangan Wadir RS Haji Medan

9 19 Februari

2014

14.00 – 15.00

Ruangan Wadir RS Haji Medan

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan memberikan kode-kode pada materi yang telah diperoleh. Koding dilakukan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

d. Melakukan analisa data.

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di


(15)

koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran.

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan partisipan penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

III. G. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), antara lain :

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara


(16)

52 lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.

Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhir penelitilah yang berhak dan bertanggung jawab memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari,2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk:

1. memperoleh data yang baik.

2. mendokumentasikan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisaskan adalah data mentah (data lapangan dan hasil rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik.

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema,


(17)

model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal diantara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena, dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus.


(18)

54 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN IV.A Hasil Penelitian

IV.A.1 Hasil Penelitian per Partisipan IV.A.1.1 Partisipan Pertama 1. Data Diri Partisipan:

Nama : Aisyah (bukan nama sebenarnya) Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 33 tahun

Pekerjaan : Perawat

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Jenis Kanker : Kanker Payudara Stadium Kanker : 2A

Diagnosa Pertama : Oktober 2013

2. Laporan Observasi

Pada awalnya, Aisyah direkomendasikan oleh seorang perawat di rumah sakit yang sudah dikenal oleh peneliti. Kemudian, perawat tersebut menghubungi Aisyah terlebih dahulu untuk menanyakan apakah ia bersedia diwawancara oleh mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Ia pun langsung bersedia. Selanjutnya, ia pun mengatur jadwal bertemu dan langsung disetujui oleh peneliti.


(19)

Wawancara pertama dilakukan ketika ia hendak menjalani dinas sore. Sekitar pukul 15.00, ia memasuki ruangan tempat peneliti sudah menunggu. Ruangan tersebut cukup besar, ditengahnya ada meja persegi dengan kursi-kursi yang mengelilingi meja tersebut. Ruangan tersebut tertutup dan memiliki alat pendingin ruangan. Ketika memasuki ruangan, ia tersenyum melihat peneliti yang memang sendiri di ruangan tersebut. Ia mengenakan pakaian dinas berwarna hijau dengan jilbab putih yang disematkan bros. Ia berperawakan kecil, dengan tinggi badan sekitar 155 cm dan berat badan proporsional, kulitnya berwarna sawo matang. Peneliti langsung berdiri dan menjabat tangan partisipan, kemudian mempersilakannya duduk. Ia mengatur kursi sehingga kami duduk berhadapan. Peneliti kembali mengutarakan tujuan dari wawancara ini dan partisipan bersedia untuk terlibat hingga selesai. Aisyah terlihat ramah walaupun belum lama mengenal peneliti, hal ini terlihat karena ia selalu tersenyum kepada peneliti. Secara keseluruhan, Aisyah menjawab pertanyaan dengan cukup detail dan terkesan terbuka sehingga tidak menyulitkan peneliti untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Posisi duduknya lebih sering tegak dengan tidak bersandar pada kursi dan tangannya selalu bergerak untuk membantunya dalam memberikan penjelasan. Sesekali ia meletakkan sikunya diatas meja. Hanya ketika pertanyaan terkait dengan suaminya ia bersandar, menundukkan wajahnya, tersenyum dan tidak menatap peneliti secara langsung. Ia terlihat ekspresif dalam merespon pertanyaan peneliti, terutama ketika ia merespon pertanyaan mengenai apa yang ia fikirkan ketika mendapatkan diagnosa kanker, ia


(20)

56 arah tubuh menjadi condong ke peneliti. Intonasi suaranya pun akan menjadi rendah ketika merespon pertanyaan terkait suaminya, anak-anaknya serta harapannya. Tidak ada yang mengganggu selama proses wawancara berlangsung. Pada akhir wawancara, peneliti mengemukakan rencana jadwal pertemuan berikutnya yang langsung disetujui oleh partisipan.

Pada saat wawancara kedua, ia mengenakan jilbab putih dan pakaian dinas berwarna biru. Kami bertemu sekitar pukul 15.00 dan langsung mencari tempat yang nyaman untuk melakukan wawancara. Ruangan yang dipakai untuk wawancara berukuran sekitar 3m x 2m, memiliki meja kecil dan satu sofa panjang. Ketika wawancara berlangsung, arah tubuh partisipan mengarah kepada peneliti, walaupun partisipan duduk di sebelah kiri peneliti. Tidak banyak perbedaan dari wawancara pertama dalam merespon pertanyaan peneliti. Aisyah tetap terlihat ekspresif dalam memberikan respon pertanyaan. Ia tidak banyak mengubah posisi tubuhnya yang cenderung menyamping mengarah ke peneliti. Sesekali, ia mengarahkan pandangannya keatas seolah-olah menerawang ketika memberikan respon pertanyaan mengenai masa lalunya, tidak banyak gerakan tangan yang dilakukannya.

Ketika merencanakan untuk melakukan wawancara ketiga, peneliti mengalami kendala dalam mengatur jadwal dengan Aisyah. Kendala ini dikarenakan peneliti tidak membalas pesan dan telepon dari peneliti. Kemudian, peneliti mencoba menghubungi rekan sekerjanya untuk mengetahui keadaan dari Aisyah. Ia mengatakan bahwa Aisyah mengalami penurunan kesehatan setelah menjalani kemoterapi dan dianjurkan istirahat total oleh dokter selama seminggu.


(21)

Menurut rekan sekerjanya tersebut, biasanya beberapa hari setelah menjalani kemoterapi, Aisyah akan opname untuk sekedar pasang infus karena asupan makanan dan minumannya kurang. Hari kerjanya pun semakin berkurang karena Aisyah selalu merasa sakit dan lemas yang berlangsung berhari-hari setelah kemoterapi, ia biasanya hanya bekerja sehari dua hari, kemudian mengambil cuti hingga pelaksanaan kemoterapi selanjutnya. Tetapi, ketika akan menjalani kemoterapi, ia dengan semangatnya mengurus surat-suratnya sendiri, bahkan mengambil obatnya sendiri.

Beberapa hari setelah peneliti mencoba untuk menghubungi Aisyah, akhirnya ia memberikan respon dan mengijinkan peneliti menemuinya ketika ia kembali masuk kerja. Peneliti mengajukan waktu bertemu pukul 15.00 dan disetujui oleh Aisyah. Pada hari yang telah ditentukan, peneliti telah sampai di rumah sakit sekitar pukul 11.00 dan mengetahui bahwa Aisyah juga memiliki janji bertemu dengan ibu peneliti yang merupakan direktur rumah sakit tersebut untuk berdiskusi, dikarenakan ibu peneliti adalah seorang penderita kanker yang telah melewati seluruh pengobatan kanker. Aisyah datang sekitar pukul 13.30 dan pertemuan berlangsung di ruangan yang sama digunakan ketika wawancara pertama. Ia langsung menjabat tangan peneliti dan ibu peneliti. Setelah duduk, Aisyah mulai mengeluhkan sakitnya kemoterapi dan menanyakan bagaimana ibu peneliti bisa kuat menjalani proses pengobatan. Diskusi tersebut berlangsung sekitar tiga puluh menit. Selama proses diskusi berlangsung, intonasi suaranya cenderung tinggi, arah tubuhnya condong ke depan mengarah ke ibu peneliti, sesekali ia menggerakkan tangan, tertawa dan tersenyum ketika mendengarkan


(22)

58 respon yang diberikan oleh ibu peneliti, ia juga jarang melakukan kontak mata langsung dengan ibu peneliti. Intonasi suaranya akan menjadi rendah ketika ia menegaskan efek kemoterapi yang memang ia alami setelah mendapatkan peringatan dari ibu peneliti sebelumnya. Pada saat ini juga, arah matanya melihat ke bawah seolah merenungi apa yang sedang terjadi padanya. Setelah diskusi ini selesai, dilanjutkan dengan peneliti melakukan wawancara dengan partisipan.

Ketika melakukan wawancara, peneliti meminta Aisyah untuk berpindah ruangan. Ruangan yang digunakan sama dengan ruangan ketika wawancara kedua berlangsung. Pada wawancara ketiga ini, partisipan mengenakan pakaian dinas berwarna hijau dengan jilbab putih dan disematkan bros. Sedikit berbeda dari dua wawancara sebelumnya, Aisyah cenderung kurang bersemangat dan tidak ekspresif dalam merespon pertanyaan peneliti. Walaupun peneliti tidak mengalami kesulitan dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, tetapi kontak mata yang dilakukan Aisyah berkurang dibandingkan dua wawancara sebelumnya, kali ini ia lebih sering mengarahkan pandangannya keatas seolah menerawang. Ia hanya menatap peneliti, menyunggingkan senyuman dan intonasi nadanya meningkat ketika ia merespon pertanyaan terkait dengan apa yang akan ia rencanakan selanjutnya

3. Laporan Wawancara a. Riwayat Kehidupan

Aisyah, lahir di Binjai 33 tahun yang lalu, merupakan anak ketiga dari lima orang bersaudara. Ia dan saudara-saudaranya berasal dari keluarga menengah


(23)

ke bawah. Dari kecil, ia dan saudara-saudaranya diajarkan untuk mandiri. Mereka terbiasa berbagi tugas untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Bahkan, ketika mereka menginginkan sesuatu dari orangtuanya, mereka akan dengan sabar menunggu, hingga orang tua mereka bisa mengabulkan permintaan mereka.

Ia menghabiskan masa kecilnya di kota Binjai hingga akhirnya ia pindah ke Medan untuk melanjutkan pendidikannya ke Akademi Keperawatan. Pada awalnya, ia tidak pernah berifikir untuk melanjutkan sekolah di akper, malah ia ingin melanjutkan sekolah ke Akademi Pariwisata. Tetapi, ketika menamatkan bangku sekolah menengah atas, ia diajak salah seorang temannya untuk melanjut diakademi keperawatan. Ia pun berfikir dan akhirnya menyetujui hal tersebut. Ia meminta ijin kepada orang tuanya untuk melanjutkan ke akademi keperawatan.

Pada masa awal pendidikannya di akademi keperawatan tersebut, ia mengalami stress dan tidak betah. Tetapi, ia tetap bertahan hingga berhasil menyelesaikan pendidikannya. Ia pun bertemu dengan suaminya di tempat itu. Ia pun sekarang menikmati profesinya sebagai perawat. SA sekarang telah memiliki anak sebanyak dua orang. Anak yang paling besar adalah seorang laki-laki yang masih berusia sembilan tahun dan sedang menduduki bangku kelas tiga di salah satu sekolah dasar di kota Medan, sedangkan anaknya yang kedua adalah seorang perempuan yang masih menduduki bangku taman kanak-kanak. Suaminya bekerja di luar kota dan pulang sebulan sekali untuk menemui keluarganya.


(24)

60 b. Riwayat Penyakit

Sekitar bulan April atau Mei tahun 2013, ia sedang menelfon ketika ia merasakan ada benjolan kecil di bawah ketiak kanannya disamping payudara. Langsung ia menelfon suaminya untuk berkonsultasi, dan suaminya menyarankan agar ia segera memeriksakannya. Karena perasaan takut, ia pun menunda melakukan pemeriksaan terhadap benjolan tersebut.

Kemudian, di awal bulan Juni 2013, ia merasakan benjolan tersebut sudah mulai berdenyut sekali-sekali. Ia menceritakan hal ini kepada teman-teman seprofesinya yang mengatakan bahwa kalau benjolan tersebut berdenyut berarti tidak berbahaya. Ia pun sempat merasa tidak khawatir terhadap benjolan tersebut. Tetapi, yang membuat ia khawatir adalah benjolan tersebut semakin keras, berdenyut, tidak mobile dan garis batasnya tidak jelas. Hingga bulan Oktober 2013, karena sudah merasa tidak nyaman, ia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Dokter langsung mendiagnosa kalau benjolan tersebut adalah tumor dan tidak jinak. Dokter pun menyarankan untuk melakukan USG. Dari hasil USG didapati bahwa benjolan tersebut memang tumor walaupun cenderung tidak ganas. Ia pun membawa hasil USG untuk kembali berkonsultasi dengan dokter yang mengatakan bahwa dari hasil foto, benjolan tersebut merupakan kanker payudara dan harus segera dilakukan operasi masektomi untuk membuang semuanya dan perlu dilakukan kemoterapi. Ia pun melakukan operasi pada pertengahan bulan November 2013.

Akhir bulan Desember, ia menjalani kemoterapi yang pertama. Ia merasakan rasa sakit yang teramat sangat. Bahkan, beberapa hari setelah


(25)

kemoterapi pertama selesai, ia dilarikan ke unit gawat darurat karena kurangnya cairan yang masuk disertai dengan mual dan muntah yang berkelanjutan. Ia tetap melanjutkan kemoterapi yang kedua. Pada kemoterapi yang kedua, kesulitan muncul ketika venanya sulit terlihat dan rasa sakit itu kembali dialaminya. Hal ini sempat membuatnya enggan untuk melanjutkan ke kemoterapi yang selanjutnya. Dengan dukungan dari orang-orang terdekatnya, ia kembali memutuskan untuk terus melaksanakan proses kemoterapi hingga selesai. Bahkan kemoterapi ketiga, yang membuat ia kemblai dilarikan ke unit gawat darurat, tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menjalani pengobatan walaupun fisiknya sudah semakin lemah.


(26)

62

4. Dinamika Harapan HOPE

Tidak ingin terus menerus merasa sakit.

Menjalani proses pengobatan hingga selesai.

KESEMBUHAN

Keinginan mendampingi anak-anak

Menjalani pengobatan medis

Merasakan sakit hingga ingin berhenti berobat

Keinginan untuk menjalani hidup hingga tua bersama

dengan suami

Rasa iri melihat rekan kerjanya menimbulkan semangat untuk sembuh sehingga bisa kembali bekerja

Keyakinan bahwa pemikiran yang postif akan berdampak positif juga bagi kesehatan

Keyakinan bahwa dengan berdoa, Allah akan meringankan penyakit yang ia

derita

Membandingkan diri dengan orang lain yang

berhasil berjuang melawan kanker

Secara aktif mencari informasi terkait

penyakit dan pengobatan

Menjalani pengobatan medis

Tidak ingin mengecewakan orang-orang terdekat yang sudah mendukungnya untuk

terus berobat Mendapatkan

diagnosa kanker


(27)

Kematian merupakan hal yang pertama kali terbersit di benak Aisyah ketika ia didiagnosa kanker. Sempat menunda pemeriksaan karena ia takut benjolan yang ia miliki benar kanker dan akhirnya ia juga didiagnosa kanker, memunculkan amarah pada dirinya sendiri. Sebagai seorang perawat, ia seharusnya segera memeriksakan diri begitu ia merasakan benjolan tersebut. Tetapi sebaliknya, pengetahuannya di bidang medis yang diikuti oleh rasa takut malah menahannya untuk segera memeriksakan diri. Akhirnya, hanya penyesalan lah yang muncul karena ia ternyata harus menjalani kemoterapi juga walaupun kanker yang ia derita masih berada pada stadium awal. Padahal, opsi kemoterapi mungkin bisa dihindari jika ia segera memeriksakan dirinya begitu ia merasakan adanya benjolan tersebut. Hal ini ia nyatakan sebagai berikut:

“Awalnya sih sebenarnya gak sadar ya kan, sekitar bulan empat ntah bulan lima itu kan, lagi nelfon di kamar, terasa gatal, pas diginikan, langsung teraba benjolan itu, sebelah kanan, pas di bawah ketiak ini tapi agak mendekati mammae, teraba, takut juga ya kan, tapi dia masih kecil ada teraba... siap nelfon, langsung nelfon suami, ceritakanlah ada terasa benjolan, dibilang suami periksakanlah, karena rasa takut tadi tu ga berani periksakan, cuman diceritain juga sama kawan-kawan kerja, periksa lah periksa... kemudian, sekitar bulan enam, kok kayaknya agak besar gitu, keras dia kan, udah lah mungkin ini gak papa, karena kan mulai dari bulan enam, mulai timbul rasa nyeri, sekali-sekali...” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Eee, kalau sangkaan ke kanker itu sih, ada, memang ada, itulah makanya, kita kan karena kita kerja di medis ini, pasti pikiran kita menuju kesana terus ya kan, nanti tumor, tapi iyaa, kok dia gak mobile, kok dia keras, kok diam aja di tempat, kok batasnya gak tegas.. udah berfikir kesitu, terus setelah divonis, yaudah lah makin” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Takut, takut hasilnya itu, ternyata memang itu juga toh hasilnya, kadang -kadang timbul juga penyeselan, coba pas baru tau langsung gitu diperiksakan, pastii.. walaupun dimastek, tapi kan hasilnya pasti lebih terdeteksi awal, walaupun kata dokter yang sekarang ini masih stadium


(28)

64

dua, cuman kan stadium dua pun ternyata harus kemo...” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Mati pikirannya (tanpa berpikir panjang, langsung mengucapkan “mati” dengan nada tinggi dan mata membesar menatap peneliti, badan juga menjadi condong ke arah peneliti), aduh, udahlah nggak selamat lagi ini, itu aja pikirannya, mana anak-anak masih kecil, pikirannya pas pertama kali di vonis itu ya itu, mati lah, aduh mati, aduh nggak panjang umur, begini begitu, banyaklah segalam macam, cuman yang kepikiran tadi yah itu, padahal bukan kita yang ngatur semua itu, tapi itu lah, karena divonis penyakitnya bukan penyakit yang biasa, pikirannya udah langsung kesana saja..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Pernah awalnya, ya Allah kok harus aku ya kan.. iss, kenapa aku..”

(Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

Benjolan yang semakin membesar dan rasa tidak nyaman lah yang pada akhirnya memaksa Aisyah untuk memeriksakan dirinya dan mengesampingkan rasa takutnya. Rasa takut itu muncul kembali ketika ia harus menghadapi opsi pengobatan yang disarankan oleh dokter yang menanganinya. Keputusan untuk melakukan operasi mastektomi (operasi pengangkatan payudara) untuk menghilangkan kankernya dan meminimalisir kemungkinan kanker akan muncul kembali di kemudian hari merupakan suatu keputusan yang sulit baginya. Aisyah harus ikhlas untuk menghilangkan salah satu anggota tubuhnya yang merupakan simbol kecantikan bagi banyak wanita, apalagi dengan memperimbangkan usianya masih belum cukup tua. Untungnya, suaminya tidak berkeberatan dengan keputusan tersebut karena yang terpenting baginya adalah kesembuhan Aisyah. Keberadaan anak-anaknya yang masih kecil, yang belum mengerti mengenai penyakit yang diderita oleh ibunya, semakin menguatkan keputusannya untuk menjalani pengobatan. Kesibukannya sebagai seorang perawat dan dukungan-dukungan yang ia dapat dari rekan sekerjanya berkontribusi untuk menghilangkan


(29)

rasa takutnya terhadap pengobatan yang akan ia hadapi. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa mencapai kesembuhan, agar bisa mendampingi anak-anaknya hingga besar, menikmati hidupnya dengan suaminya serta terus melakukan aktivitas sebagaimana yang ia biasa lakukan sehari-hari. Hingga pada akhirnya, ketika menjalani pengobatan, ia menjadi ikhlas dengan apa yang dia alami, ia menganggap hal ini sebagai cobaan yang pasti dapat ia atasi, walaupun sebelumnya rasa takut dan tidak percaya terus membayangi dirinya. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Syok... Iyaa.. Menangis.. tapi setelah selang beberapa hari lagi operasi bisa menjadi lebih tegar, apalagi setelah operasi ini, rasanya kok bisa lebih ikhlas, jadi ya udah, dijalani aja lah sekarang..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Pasti anak, ya kan, nengok mereka, ditambah lagi motivasi dari suami, suami pun dukung, karena susah kan ya, apalagi untuk ngambil keputusan mastek, untuk diri kita sendiri aja susah ya kan, tapi karena suami pun mendukung, ya udahlah kalau itu nya, istilahnya dia, suami nggak berfikir kesana-sini, yang penting sembuh, nggak peduli gimana caranya, apapun yang dilakukan yang penting harus sembuh, ditambah lagi liat anak-anak yang masih kecil-kecil, jadi itu lah motivasinya, itu yang buat semangat, apalagi support dari kawan-kawan, apalagi kalau lagi kerja gini, hilang stress nya, yang ada ketawa, nggak ada kepikiran kesana, yang ada jadinya lebih santai lah menghadapinya..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Waktu begitu tau hasil PA, kita kasi tau ke dokter, saya sudah tau langsung itu bakal kemo.. nah, cuman jenis kemonya kemaren kan belom tau, sekarang sudah tau, ya udah, rasanya pas dibilang dokter kemo, langsung, iya dok.. langsung bisa bilang iya.. walaupun kadang-kadang pas lagi sendiri, kepikir, aduh kok kemo sih, takut juga.. tapi sebenarnya kan lebih besar rasa ingin sembuh saya dibandingkan rasa takut saya, jadi ya udahlah, kalau kemo ya kemo, apalagi banyak yang bilang, nggak papanya kemo itu, nanti habis kemo, uda bersih, balik laginya ke awal, yang penting persiapan fisik kita untuk kemo..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Suami, kebetulan orang medis juga, yang sikit banyaknya pahamlah tentang penyakit seperti ini, jadi ya udahlah, dia sebenarnya support aja apapun dijalanin asal itu bisa sembuh, ya memang semuanya atas ijin Allah


(30)

66

ya kan, cuman kan kita usaha, kalau suami mendukung aja apapun itu...”

(Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Harapan kedepannya sih.. yang pasti.. ingin lebih tau lah, lebih tau untuk menjaga, yah pola hiduplah, pola makan, kedepannya sih kalau bisa sembuh, bersih, jangan timbul lagi penyakit begini-begitu, ya kepengennya, apapun nanti kata dokter, kalaupun itu memang untuk kedepannya, ntah nanti ada pemeriksaan ini ini ini ya udah dijalanin aja.. pokoknya intinya gimana supaya bisa sembuh, itu aja” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“...tapi ya tadi itu, balik lagi, kita nggak bisa nyalahin siapa-siapa ya kan, sekarang yang harus dijalanin adalah berobat, gimana caranya supaya sembuh, jangan salahin orang, menyalahkan Allah, mungkin Allah mengasi cobaan, mungkin dibalik ini, Allah kan ngasi cobaan pasti ada jalan keluarnya, itu aja, jalan keluarnya yah tadi itu, berobat, hidup sehat dan semangat..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

Operasi mastektomi ia jalani dengan lancar dan tidak ada kendala. Tetapi, tindakan pengobatan tersebut tetap memberi dampak psikologis terhadap dirinya. Ia menjadi kurang percaya diri terhadap bentuk tubuhnya, salah satu payudaranya sudah tidak ada lagi. Ketika menghadapi kesulitan saat mandi dan berpakaian, ia bahkan menolak suaminya yang ingin membantunya. Ia merasa malu dan tidak ingin suaminya melihat kondisinya yang sekarang setelah menjalani operasi pengangkatan. Rasa kurang percaya diri ini juga terbawa hingga ke tempat ia bekerja. Ia menggunakan jilbab yang lebih lebar dari yang ia biasa gunakan untuk menutupi daerah payudaranya yang sudah diangkat tersebut. Beruntung, hal ini tidak berlangsung lama. Suaminya tetap membantu Aisyah saat mandi dan berpakaian, tidak pernah mengeluhkan keadaan Aisyah yang sekarang. Hal ini membuat kepercayaan diri Aisyah perlahan-lahan muncul kembali. Bahkan, setelah beberapa hari menggunakan jilbab yang lebih lebar daripada yang biasa ia kenakan untuk bekerja, ia mulai menggunakan jilbab yang biasa lagi. Aisyah


(31)

menyadari bahwa anggapannya tentang orang-orang selalu memperhatikan kekurangannya setelah operasi pengangkatan hanya berada dibenaknya saja. Kekurangannya tidak akan terlihat dari baju kerjanya yang memang tidak ketat di tubuh Aisyah serta orang-orang di sekitarnya memang sudah memahami bahwa ia baru saja menjalani operasi pengangkatan dan tidak ada yang menyinggung mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, Aisyah merasa tidak perlu lagi untuk menutup-nutupi kekurangannya. Kepercayaan dirinya pun meningkat kembali. Hal ini, ia ungkapkan sebagai berikut:

“Suami sih nggak ada, nggak ada komen, mungkin karena suami juga orang medis ya kan dan mungkin support suami itu kan ya.. sedikit pun dia nggak ngeluh, padahal kadang saya sendiri yang kurang percaya diri, malu” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Iya.. kakak juga malu kalau diliat suami, pernah gitu kan pas habis operasi, mau mandi kan ngangkat tangan susah, didengar suami kakak kesakitan, tapi pas ditanya, gak papa kakak bilang, gak usah masuk. Tapi, suami tetap masuk ajah, ga peduli dia. Padahal kakak malu juga.. malu”

(Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Awal-awal iyaa.. awal-awal selesai operasi mulai masuk kerja, mulai pakai baju kerja, ih nampak kali yaa.. kurang percaya diri ya kan.. kalau bisa pakai jilbab yang besar-besar... lama-lama udah biasa gitu.. yaudahlah.. toh mereka juga udah tau apa penyakit saya, udah dibuang.. jadi ngapain harus malu..” (Wawancara Personal, 9 Pebruari 2014)

“Sehari-dua hari ajah.. ngerasa kayaknya orang ngeliatin, padahal nggak... sekarang udah biasa” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Pengobatan yang harus Aisyah jalani tidak berhenti sampai disitu. Kemoterapi merupakan tahapan pengobatan selanjutnya yang ia harus hadapi. Kemoterapi lah pemicu utama yang memunculkan rasa takut Aisyah terhadap pengobatan kanker. Oleh karena itu, ia rajin mencari informasi terkait kemoterapi. Informasi-informasi yang ia dapatkan, ia manfaatkan untuk mempersiapkan


(32)

68 dirinya untuk menghadapi kemoterapi nantinya. Tak jarang informasi-informasi tersebut malah membuat ia takut dan ragu untuk menjalani kemoterapi, bahkan suaminya hampir melarangnya untuk mencari informasi-informasi lagi jika hal tersebut hanya menguatkan rasa takut Aisyah. Tetapi, rasa penasarannya tidak membuat Aisyah berhenti mencari informasi-informasi terbaru yang bermanfaat untuknya. Nasihat suaminya terhadap Aisyah agar tidak terlalu memikirkan dampak dari kemoterapi karena jika Aisyah ingin sembuh, ia harus menghadapi hal tersebut, semakin menguatkan tekad Aisyah untuk terus menjalani pengobatan. Dukungan-dukungan yang ia dapatkan dari keluarga, suami serta keberadaan anak-anak yang masih kecil merupakan kontribusi terbesar yang membantu Aisyah untuk melawan rasa takutnya. Hal yang harus ia fikirkan adalah bagaimana caranya agar ia dapat mencapai kesembuhan. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Ada juga sih.. tanya-tanya gitu kan.. kayak orang-orang yang kena kanker, ada juga kan tante, tapi dia CA paru, paru itu kan istilahnya alat vital ya kan, dia ajah bisa bertahan udah umur sekian, kenapa aku nggak bisa, buka-buka internet berbagai macam cara ditengok.. nanti setelah, nanti, ee operasi mastektomi itu kek mana, CA itu macam mana tanda dan gejalanya, persiapan untuk kemo itu gimana, pokoknya udah saya baca lah banyak-banyak itu di internet, kadang-kadang malah setelah baca internet itu jadi sedih lagi, aduh ternyata ngeri kali membayangkan yang gitu-gitu, karena bahasa-bahasa itu kan kadang berlebihan, kadang begini ya kan, marah juga suami, udah jangan dibuka lagi internet, habis baca internet pasti tarik nafas panjang... yah wajarlah mas, namanya dibadan kita ada penyakit kanker, pasti kan kita juga mau tau gimana caranya, istilahnya buka-buka, karena rasa ingin tahu, rasa ingin sembuh yang besar itu tadi, jadi kemanapun dicari informasinya macem mana pun..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Kemaren sempat tanya, untuk menjalani kemo.. tapi dokter nggak ngasi. Mungkin gini, mungkin dokter gak ngasi, nanti pas udah pelaksanaan kemo, gak dikasi, takut obatnya berlawanan, jadi saya sekarang sih, minum-minum jus aja lah untuk persiapannya ya kan, buah yang tinggi


(33)

antioksidannya kayak wortel, tomat, buah bit, gitulah untuk persiapannya.. ..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Iya.. apalagi nanti kemo, sering saya ngeluh, nanti mas saya kemo, gundul, jelek, kayak mana itu... Tuti kok mikirin itu, kan udah dibilang, sekarang harus sembuh, apapun itu, nanti kalau udah siap kemo, udah kata dokter bersih, pastikan balik lagi keawal, yang penting persiapan kita itu tadi, siapa sih yang mau jelek, siapa sih yang mau sakit, cuman kalau kayak gini ceritanya, udah gak mikirin yang tadi itu, gimana caranya saya ingin sembuh, gimana caranya jalanin ajah..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

“Pengen sembuh yah pasti karena satu itu anak-anak, anak-anak masih kecil, mereka masih butuh mamaknya, suami.. tambah lagi.. kepengenlah, karena kan belom sempet, belom ini, gimana lah, kalau kita nggak semangat kan, kita belom sempat liat anak itu senang, menikahkan orang itu, nikmatin hidup sama suami...” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Sebenarnya saya orangnya lemah ya, lemah sih, gak usahkan kena penyakit yang gini, kadang, suami jauh, kami pisah yah, kadang untuk menghadapi semuanya sendiri ajah, kadang saya tidak sanggup menghadapi sendiri, tapi ntah kena apa, setelah ini, saya menjadi lebih kuat, lebih dekat sama yang di atas, paling nggak setiap hari saya doa, ya Allah, beri saya kesembuhan.. kalau ditanya saya sebenarnya orangnya lemah.. makanya, keluarga, suami, betul-betul ngasi support ke saya, keluarga begitu dengar saya kena kanker, nggak ada yang, biasanya kan ada keluarga yang bilang berobat dulu kesini, berobat ini, ini, ini, jangan di buang, sayang.. ini keluarga nggak ada, ya udah, yang namanya penyakit kata dokter, apa pun itu, dibuang ya dibuang, gitu supportnya, makanya , mereka ajah support saya, kenapa saya nggak semangat buat sembuh gitu..” (Wawancara Personal, 9 Desember 2013)

Setelah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kemoterapi berdasarkan informasi-informasi yang ia dapat, akhirnya Aisyah pun harus menjalani pengobatan kemoterapi tersebut. Tidak seperti operasi mastektomi yang berjalan dengan lancar, setelah kemoterapi yang kedua ia pun menghadapi sebuah hambatan, yaitu rasa sakit. Rasa sakit yang luar biasa yang ia rasakan hampir membuat Aisyah tidak ingin lagi melanjutkan pengobatan kemoterapi tersebut. Aisyah takut membayangkan bahwa ia harus menghadapi rasa sakit itu


(34)

berkali-70 kali lagi hingga proses kemoterapi itu selesai. Melihat hal tersebut, suami Aisyah tidak membiarkan rasa takut Aisyah menguasai pikirannya. Suami Aisyah serta rekan-rekan kerja Aisyah terus memberikan dukungan kepada Aisyah agar ia mau melanjutkan pengobatan, bahwa rasa sakit itu lah yang harus ia hadapi untuk mencapai kesembuhan yang ia inginkan. Bersamaan dengan itu, setelah rasa sakit berangsur-angsur berkurang beberapa hari setelah kemoterapi selesai, keinginannya untuk kembali melanjutkan pengobatan pun timbul. Walaupun, tetap saja ia terus menerus mengeluhkan rasa sakit ketika obat kemoterapi itu dimasukkan ke dalam tubuhnya hingga beberapa hari setelah itu. Beberapa hari setelah menjalani kemoterapi pertama dan ketiga, Aisyah sempat dirawat di unit gawat darurat dikarenakan ia tidak mengonsumsi makanan maupun cairan sehingga ia pingsan ketika sedang beristirahat di rumah. Suaminya yang pada saat itu masih berada di rumah untuk mendampinginya bergegas membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Setelah kemo kedua mau berhentilah, nggak mau menjalaninya lagi, karena luar biasa kali sakitnya.” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Karena sakit (suara meninggi), sakit kali, terus takut nanti pas kemo ketiga pasti kek gini lagi, terus dibilang juga sama suami, sama kawan-kawan, kan udah ngalamin sakitnya, udah tau, udah dijalanin, yaudah, nanti kemo ketiga kayak gitu juga, jalanin ajah, rasakan ajah sakitnya, toh gitu juga, emang itu yang harus dijalanin... tapi kalo udah siap selesai, udah enam hari, kayak gini kan, timbul semangatnya, kalo gak kemo gak bisa nih...” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Iyah, dilanjut (tertawa kecil), paling nanti ngeluhnya pas kemo, ngeluhlah sakit, tapi pas udah enakan gini, tetap mau” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)


(35)

“Nggak ada cairan yang masuk, makanan nggak ada yang masuk, muntahnya luar biasa, tambah lagi haid, jadi kayaknya, sempet sih pingsan, pas ngambil air minum, berdiri, pingsan, karena pakek cangkir gitu kan, cangkirnya jatuh, suami keluar, sempet juga teriak, tapi diaaam gitu, air udah beserak dibawah, di tolong juga sama suami, karena kalau apapun pasti suami yang nolong, dipapahkan, nggak bisa jalan sendiri.”.

(Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Semenjak menjalani kemoterapi, pergerakan Aisyah semakin terbatas. Ia bahkan harus sering mengambil cuti bekerja. Di rumah, Aisyah dibantu oleh suaminya untuk melakukan aktivitas-aktivitas pribadi. Ibu Aisyah yang tinggal di rumah yang berbeda, sejak Aisyah menjalani kemoterapi, ia pun ikut tinggal bersama dengan Aisyah untuk membantu Aisyah mengurus anak-anak Aisyah dan rumahnya, dikarenakan suami Aisyah yang bekerja di luar kota sehingga tidak bisa menjaga Aisyah terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Orangtua mamak ajah.. cuman kan mamak, nggak tinggal sama kami, cuman nemenin, kalau suami pulang, mamak datang..” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Iyaa.. tapi kalau pas kayak gini, mamak di rumah juga.. biar ada yang bantuin, karena kan nggak ada yang masak,” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Pengobatan kemoterapi yang sedang ia jalani, tidak ia anggap sebagai penghalang, tetapi ia anggap sebagai satu-satunya cara untuk mencapai tujuannya, yaitu untuk sembuh. Penting baginya untuk mencapai kesembuhan tersebut karena ia tidak ingin terus menerus merasakan sakit. Rasa sakit yang ia rasakan sebagai dampak dari kemoterapi harus ia hadapi sebagai satu-satunya cara untuk mencapai kesembuhan tersebut. Jika ia berhenti menjalani pengobatan, maka rasa sakit juga yang akan ia hadapi nantinya. Aisyah juga menganggap bahwa kesembuhan yang


(36)

72 ia inginkan sangat mungkin tercapai dan ia mampu mencapainya. Anggapan ini muncul karena ia menanamkan pemikiran positif di dalam dirinya, ia percaya bahwa pemikiran yang positif akan mengarahkan kita kepada hasil yang positif pula. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Sebenarnya nggak jadi penghalang sih, yah tadi itu, dialah memang jalan satu-satunya untuk sembuh, jadi yang memang harus dijalanin, memang udah itu lah pengobatannya, kalau kanker dimanapun kita tahu, memang ada yang kemo ada yang nggak, sesuai dengan hasil ya kan, tapi kalau memang hasilnya udah harus kemo, ya udah, malah dulu pas dibilang dokter harus kemo, eee... nggak ada sikitpun batin nolak, kemo dok, iya kemo, langsung meng-iya-kan gitu, karena mungkin kan belom tau sakitnya, setelah udah tau sakitnya pun ternyata sakitnya itu hanya sekian hari sajanya, habis itu biasa lagi, walaupun sakitnya memang luar biasa.. memang itu jalan satu-satunya buat sembuh, kan nggak mungkin motong jalan ya kan (tertawa)..” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Penting lah, penting kali, karena itu tadi, kepengen sembuhny itu kan karena nggak mau terus-terusan sakit, toh kalau kita biar-biarkan penyakit itu, bakal nyiksa ke diri kita juga, bakal sakit juga yang kita rasakan, jadi kenapa kita nggak ngerasakan sakit, toh efeknya untuk penyembuhan kita, daripada kita berdiam diri, membiarkan penyakit itu kemana-mana yang berujungkan toh sakit juga, yang ujungnya kehilangan nyawa, kan gitu, itu yang dipikiran sekarang, jadi memang lebih bagus, yaudah dijalanin memang kek gini lah, untuk sembuh itu memang harus sakitlah seperti ini pengobatannya, ya udahlah dijalanin ajah” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Mungkin, sangat mungkin, karena itu tadi ya kan, semua itu pasti berawal dari pikiran kita, kita bisa pasti bisa, kita berpikir sehat pasti sehat, kalaupun kita sebelumnya sudah, walaupun memang awal-awalnya, belum menjalani udah pasti sakit pasti gini, karena kalau pikiran kita gitu pasti jadi sakit betul kita, tapi kalau kita berpikir bisa lah ini bisa, walaupun akhirnya mungkin sempat syok ya kan, tapi kan mungkin yang penting kita kan udah usaha.. intinya ginilah, sehat itu berawal dari pikiran ajah..”. (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Keinginan untuk sembuh berasal dari dalam dirinya, muncul begitu saja segera setelah ia divonis kanker. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, yang memotivasi hal ini ialah keberadaan anak-anaknya yang masih kecil dan suami.


(37)

Aisyah, dengan dukungan dari suaminya, bahkan tidak ragu untuk menghilangkan salah satu anggota tubuhnya yang dianggap sebagai simbol kecantikan bagi wanita, jika menghilangkan anggota tubuh tersebut memang berkontribusi terhadap pencapaiannya untuk sembuh. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Dari pertama itu divonis sama dokter kanker, hati kecil kepikiran harus sembuh,” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Harus sembuh, malah memang sempet, divonis kanker.. biasa kan orang divonis kanker langsung down atau apa gitu, saya malah nggak, divonis kanker emang down tapi cuman harus, kata dokter kalau itu emang positif kanker, harus dibuang, yaudah buang, karena itu penyakit, buat apa disimpen-simpen, buang ya buang... karena kebanyakan, itu istilahnya apa kita yaa, itu kan kecantikan kita, apalah kata orang, kata suami, tapi saya nggak berpikir gitu, berpikir, ya udahlah kalau memang itu dibuang yah dibuang yang penting sehat.” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Oleh karena itu, rencana Aisyah untuk mencapai kesembuhan adalah menjalani proses kemoterapi ini hingga selesai. Setelah ia dinyatakan bebas kanker, maka ia ingin menjalani pola hidup sehat, agar penyakit ini tidak terulang lagi. Segera setelah pengobatan kemoterapi selesai, ia juga berkeinginan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit khusus kanker yang berada di Jakarta. Keinginannya ini mendapatkan dukungan dari seluruh keluarganya. Walaupun ada tetangga sekitar tempat tinggalnya yang merasa kasihan dan menyarankan Aisyah untuk pengobatan alternatif yang tidak melibatkan rasa sakit, Aisyah tetap berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa ia ingin pengobatan yang sedang ia jalani ini benar-benar selesai terlebih dahulu. Bahkan jika di kemudian hari penyakit tersebut muncul kembali, ia siap untuk melanjutkan pengobatan yang dapat menghilangkan penyakitnya.

“Kalau jangka pendeknya mungkin, menjalani kemo inilah sampe selesai, setelah selesai yang pasti hidup sehatlah, ya walaupun kayak kemaren lah


(38)

74

ada baca-baca buku, nggak harus sakit untuk menjadi lebih sehat.. itu ajah patokan, jadi memang harus hidup sehat, nggak mau lagi ngulang yang dulu-dulu” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Ada, kemaren sempat cerita sama suami, sama mertua juga... nanti kalau udah selesai kemo pengenlah kontrol kayak ibu, ke darmais, alhamdulillah suami itu respon, ya udah nanti kalau mau kesana dikawanin, yang penting sembuh dulu, semangat, nanti kalau memang mau kesana dikawanin, alhamdulillahnya mereka support, alhamdulillahnya pun orang-orang pun support, kayak orang tua, kakak, tetangga gitu kan... karena kasian kali ya liat itu sakit, udahlah nggak usah kemo... berobat alernatif ajah kesini.. kasian liat asal habis kemo mual muntah, tapi ada penolakan sendiri, nggak mau lah yang gitu, selesai dulu semua, banyak yang datang ke rumah menawarkan ini itu, cuman kan nggak mungkin kita bilang, nggak mau itu bukan obat, kita tolak ajah, nantilah bu, selesai kemo kita coba, pokoknya setiap yang menawarkan gitulah jawabannya, karena dokternya menyarankan nggak boleh campur-campur... itu aja.” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Aduh kalau itu nggak bisa berpikir lah.. tapi yang pasti berobat terus, kalau nanti katanya eh masih ada, ya pasti konsultasi harus gimana, kalau memang harus menjalani ntah apalagi, yah harus dijalanin dulu lah, nantinya pokoknya dijalanin dulu untuk penyembuhannya...” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Aisyah menyadari bahwa untuk mencapai tujuannya ia tidak bekerja sendiri. Mulai dari suami yang selalu berusaha menyempatkan untuk pulang dan mendampingi istrinya ketika akan menjalani operasi, kemoterapi bahkan tetap tinggal hingga beberapa hari setelah Aisyah menjalani kemoterapi. Keluarga, yaitu ibu dan saudara-saudara kandungnya, yang selalu mendukung dan tidak menghalang-halangi keinginannya untuk menjalani pengobatan, walaupun merasa kasihan ketika melihat Aisyah kesakitan ketika menjalani kemoterapi. Hingga anak-anak sedikit banyaknya mulai memahami bahwa ibu mereka sedang sakit sehingga mereka tidak banyak mengeluh ketika harus ditinggal ibunya ke rumah sakit menjalani pengobatan. Kerinduan untuk bekerja dan dukungan yang ia dapat dari rekan-rekan sekerjanya membantu Aisyah untuk sejenak melupakan apa yang


(39)

sedang ia hadapi. Hal-hal ini lah yang berkontribusi untuk terus mempertahankan semangat Aisyah untuk mencapai tujuannya. Dukungan yang paling ia rasakan ialah tenaga yang suaminya habiskan selama ia menjalani pengobatan ini. Suaminya yang harus bolak-balik rumah dan tempat kerja, membelikan apa saja yang Aisyah inginkan walaupun itu sudah tengah malam hingga mengajak Aisyah jalan-jalan ketika Aisyah merasa bosan berada di rumah terus menerus, setelah sebelumnya memastikan kondisi Aisyah memang bisa untuk diajak jalan-jalan, walaupun Aisyah tidak menghabiskan waktu yang lama di luar. Tentu saja hal ini semakin menambah semangat Aisyah untuk sembuh. Tak lupa ia berdoa kepada Allah untuk diberikan kesembuhan dan terus mencari informasi-informasi yang dapat membantunya mengurangi rasa sakit ataupun menguatkannya secara fisik. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Yang pasti keluarga lah.. suami, suami yang begitu semangatnya untuk menyembuhkan istrinya ini yang sakit, sampai-sampai nggak waktunya pulang pun diusahakan dia untuk pulang, karena sangking kepengen dia itu liat istrinya sembuh, keluarga, kakak-kakak mereka pun selalu support.. dari pertama divonis, mereka nggak yang jangan dioperasi, jangan dibuang, kesini ajah, nggak begitu, yaudah operasi ya operasi, yah mereka semua support, yah memang pas mereka liat saya habis kemo, yah kasian mereka liat saya, sampek kakak yang pertama bialng juga ya udahlah nggak usah kemo, tapi kalau udah liat semangat gini, sehat nya yaah, ya udahlah kemo ajah lagi, jadi semangat lagi, jadi kemo lagi lah ya, ya iya lah, bilang sama suami pun, aku kemo lagi yah mas, nah gitu lah semangat, mas ajah semangat masa tuti nggak, terakhir timbul juga semangat, ditambah lagi anak-anak, mereka pun udah ngerti, mama mau kemo, iyaa.. buat sembuh kan ma.. iyaa.. sedih rasanya gitu kan, mereka ajah ditinggal gitu nggak nangis, itu lah semangat itu, makanya nanti ni tanggal 25 ini, kemo keempat dijalanin ajah...” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Banyak, dukungan semangat satu... yah tenagalah pasti dari suami karena harus pulang-pulang, finansial yah pasti lah ya.. walaupun pake askes, itu kan untuk pengobatan, bukan masalah, tapi setelah pulang, kita ini, mau makan ajah pun rasanya nggak enak, pengen ini, belik, padahal bukan dimakan nantik, kepengen ini belik, sampek nantik suami udah hari gini


(40)

76

ngajak refreshing biar ga bosan di rumah, biar ga nampak kali sakitnya, yah itu tadi, finansial di luar pengobatan, semua diusahakan, yang penting nggak bileh berpikir banyak, padahal kadang-kadang berpikir juga, kasian kali, malam-malam nanti, mas pengen ini, dibeli, padahal bukan dimakan, yang dimakan pun sikit, karena yang dimakan sikit, mungkin pun suami berpikiran, capek aku beliknya yang dimakan pun cuman segini, tapi dia nggak menunjukkannya, yaudah kalau nggak mau lagi udah, walaupun kita tahu gitu... itu lah rasanya tadi, semangatnya buat kita, nggak kenal waktu, nggak kenal capek, ngurusin anak, masa kita nggak mau ya kan, orang itu ajah udah berusaha, ya udahlah, walaupun sakit harus dijalanin, itu pula lah jalan satu-satunya” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Anak-anak, dukungan dari keluarga, dukungan teman-teman, tambah lagi, pengen sembuh, pengen cepat-cepat kerja gini, udah berapa hari di rumah ajah, rindu sama situasi kerja, sama kawan-kawan, itu yang buat semangat, apalagi kalau opname, liat orang itu kerja, aduh, cepatlah aku sembuh, kayak orang itu enak,” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Iyah, lebih banyak yang buat semangat, itu lah tadi mungkin enaknya kita kerja, kalau kita di rumah aja, situasinya ajah, apalagi anak-anak ya kan, anak-anak ini kan labil, bandel, apalagi pas kita sakit pun emosi kita labil ya kan, apa nggak semakin down kita, liat tetangga lagi yang mengasihani, kita sebenarnya nggak kepengen sih dikasihani, pengennya disemangatin, kalau kerja gini kan situasinya ganti, jumpa kawan, semangat lagi, pulang liat anak, semangat lagi, nanti liat hari-hari jelang suami pulang, semangat lagi,” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Yang pertama pasti doa ya, minta dikasi yang terbaik, dimudahkan jalannya, dikasi kekuatan, keikhlasan, sabar, yah walaupun sabar nggak ada batas, tapi kita minta lah yang lebih lagi.. selain itu, pengobatan, minum obat, walaupun kadang-kadang, bosan juga minum obat, untuk nelannya ajah susah, dengan mulut yang sariawan, sakit, tapi kan kalau bukan kita yang semangat buat diri kita sembuh, siapa lagi” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Suka, via internet, kemaren itu sempat juga liat efek dari kemo, ternyata yang diinternet pun nggak jauh beda sama yang dialami, memang sakit, untuk mengatasinya itu yah minum obat penghilang rasa sakit, walaupun nggak respon, banyak minum jus buah, walaupun nggak keminum, banyaklah, memang setelah kemo itu, kita nggak bisa langsung yang kita harapkan dari yang kita baca itu nggak bisa kita buat untuk diri kita, makanya kek suami kadang, dilawan, kek gini, nggak bisa, kadang sempat juga terucapkan karena nggak mengalami, tuti yang ngalamin sakitnya luar biasa, kadang suami bilang, memang cuman ini lah yang bisa dikasi, support karena memang betul mas nggak ngalamin, cuman ini lah yang bisa dikasi” (Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)


(41)

Penyakit kanker yang ia derita ini ia anggap sebagai berkah dari Yang Maha Kuasa, teguran agar Aisyah lebih mendekatkan diri kepadaNya. Banyak hikmah yang ia rasakan, antara lain: suami yang semakin sayang, keluarga yang semakin dekat, hubungan silaturahmi antar saudara yang terjalin kembali setelah sebelumnya mereka disibukkan dengan urusan keluarga masing-masing, sekarang mulai sering berkunjung ke rumah Aisyah ataupun menyempatkan diri untuk menanyakan keadaan Aisyah di tengah-tengah kesibukan mereka. Semua hal ini ia dapatkan, setelah ia menderita kanker. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Yah kanker itu mungkin dianggap sebagai berkah, rejeki, ujian..”

(Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Yah mungkin, Allah ngasi ini karena ini yang terbaik, ini ada rencana lain, mungkin dengan adanya penyakit ini, bisa lebih dekat ke Dia, otomatis kan kita selalu doa ke Dia, minta yang terbaik, amaknya kita jadi dekatlah sama dia, kita terus menjalani hidup sehat, yah mungkin ini lah, rejekinya, dikasi ini biar tau bahwasanya kalau nggak hidup sehat itu yah beginilah jadinya, berkahlah, memang ada lah hikmahnya, memang dirasakan hikmahnya itu, suami makin sayang makin perhatian, anak-anank makin pengertian, keluarga makin dekat, karena silaturahmi terus, ke rumah terus liat kondisi, itu tadi, terkadang kalau lagi sendiri, ini lah hikmahnya, berkahnya...”

(Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

“Nggak jarang, cuman kan ita jauh-jauhan, kalau datang cuman pas lagi ada acara, nanti kita pun sibuk kerja, tapi dengan sakit gini, apalagi habis kemo, rutin itu, nelfon, dateng gitu, jadi istilahnya, karena kita kalau udah bekeluarga gini kan beda, masing-masing punya urusan sendiri-sendiri, nanti pas malem dateng gitu kan kakak, seneng gitu, ada waktunya liat adeknya sakit, kalau dulu kan nggak, main yah main sesekali aja, banyak urusannya masing-masing, kalaupun memang sebenarnya selama ini bukannya nggak dekat dalam arti lain, tapi karena sibuk ajah sama urusan masing-masing, kalau sekarang sibuk pun masih disempat-sempatin”

(Wawancara Personal, 19 Pebruari 2014)

Pada akhirnya, dengan semua hal ini, ia merasa mampu untuk mencapai kesembuhan yang ia inginkan. Jika ia berhasil sembuh, ia ingin membeli rumah


(42)

78 yang sejak dulu ia idam-idamkan dan menghabiskan sisa waktunya dengan suami berdua.

IV.A.1.2 Partisipan Kedua 1. Data Diri Partisipan

Nama : Ratna (bukan nama sebenarnya) Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 46 tahun

Pekerjaan : Pedagang

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Jenis Kanker : Kanker Payudara Stadium Kanker : 2B

Diagnosa Pertama : sekitar tahun 2005

2. Laporan Observasi

Pada pagi hari, tanggal 13 November 2013, sekitar jam 10.00, peneliti sudah berada di rumah sakit untuk mencari pasien kanker lagi. Setelah meminta izin dan dengan bantuan perawat yang sedang bertugas, peneliti mencari pasien-pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan pada hari itu. Terdapat empat pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan. Dari keempat pasien tersebut, hanya ibu Ratna ini lah yang bersedia untuk menjadi partisipan.

Ketika bertemu, ibu Ratna sedang berbaring di tempat tidurnya, seperti tertidur. Dengan bantuan kepala ruangan, peneliti memperkenalkan diri. Ia


(43)

bersedia diwawancara setelah peneliti mengemukakan tujuan dari penelitian ini. Ibu Sri berperawakan kurus, tidak terlalu tinggi, kulit berwarna kecoklatan dan terdapat bintik-bintik.

Wawancara pertama berlangsung pada saat itu juga, sekitar pukul 11.00. Ruangan tempat wawancara adalah ruangan tempat ia mendapatkan perawatan. Dalam satu ruangan, terdapat sekitar 12 orang pasien. Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang menemaninya. Ia mengenakan baju tidur sederhana panjang dan mengenakan penutup kepala. Selama wawancara berlangsung, suasana di ruangan tersebut cukup ramai dan ribut. Ia memilih untuk melakukan wawancara di ruangan tersebut saja, karena ia merasa sakit jika harus berpindah. Selama wawancara berlangsung, ia duduk bersila di atas tempat tidurnya dan peneliti berdiri dihadapannya. Pada awal wawancara, partisipan jarang melihat ke arah peneliti dan ia pun menjawab pertanyaan dengan singkat. Beberapa saat kemudian, ia mulai menjawab pertanyaan dengan panjang dan menatap peneliti. Wawancara diakhiri karena ia sudah mulai merasa sakit.

Wawancara kedua berlangsung keesokan harinya, sekitar pukul 10.00. Ruangan tempat wawancara berlangsung masih sama dengan yang sebelumnya. Kali ini, ada anak dan keponakan yang menemaninya. Ketika melihat peneliti, ia pun tersenyum dan menyuruh anaknya untuk menyalam peneliti. Setelah menyerahkan buah tangan dan meminta izin, wawancara pun dimulai. Wawancara berlangsung dengan ia duduk bersila di atas tempat tidurnya dan partisipan berdiri berhadapan dengannya. Kali ini, ia mulai menjawab pertanyaan dengan lancar dan jelas walaupun nadanya cenderung datar dalam merespon seluruh pertanyaan,


(44)

80 tersenyum, menatap peneliti dan sesekali menggerakkan tangannya untuk membantu menjelaskan apa yang ia maksud. Wawancara berjalan dengan lancar.

Saat merencanakan wawancara ketiga, peneliti kesulitan untuk menemui partisipan kembali. Peneliti mencoba mendatangi rumah partisipan sesuai dengan alamat yang diberikan dan ternyata rumah itu telah kosong. Menurut pendapat tetangga, sudah beberapa bulan rumah itu kosong. Belakangan baru diketahui, ia telah tinggal di rumah saudara iparnya semenjak Januari. Partisipan tidak memiliki nomer telepon yang bisa dihubungi. Kemudian, peneliti berusaha mencari tahu kapan terakhir kali partisipan mengunjungi rumah sakit dan memperkirakan kapan ia akan kembali ke rumah sakit lagi. Salah seorang perawat bersedia membantu untuk mengabari jika partisipan tersebut kembali ke rumah sakit. Sekitar dua minggu kemudian, sekitar pukul 09.00, peneliti mendapatkan kabar bahwa partisipan telah kembali ke rumah sakit untuk melaksanakan kemoterapi. Sekitar pukul 11.00, peneliti tiba di rumah sakit dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara dengan partisipan.

Wawancara ketiga berlangsung di sebuah ruangan tempat ia akan menjalankan perawatan. Ruangan tersebut berukuran sekitar 8m x 5m, ada dua tempat tidur pasien, tetapi pada saat itu hanya partisipan yang dirawat di dalam ruangan tersebut. Pada saat peneliti memasuki ruangan, partisipan langsung menyambut dengan senyuman dan menyapa peneliti. Pada saat itu, partisipan sedang ditemani oleh kedua anaknya. Wawancara dilakukan dengan partisipan berbaring ditempat tidur mengenakan pakaian sederhana dan ditutupi dengan selimut, penutup kepala yang biasa ia kenakan diletakkan disamping tempat tidur


(45)

sehingga menunjukkan kepalanya yang tidak memiliki rambut, wajahnya pun terlihat membengkak sehingga berukuran lebih besar dari yang terkahir kali peneliti menemuinya. Peneliti melakukan wawancara dengan berdiri di samping tempat tidur partisipan. Wawancara berlangsung dengan cukup lancar, walaupun ada televisi yang sedang dinyalakan, tetapi suara televisi tidak sampai mengganggu proses wawancara. Setelah itu, wawancara pun dilanjutkan kembali. Selama memberikan respon terhadap pernyataan, partisipan memberikan jawaban dengan lancar, menatap peneliti sambil sesekali matanya menatap ke langit-langit seolah-olah sedang menerawang sesuatu ketika merespon pertanyaan terkait dengan penyakit dan dukungan yang ia terima dari saudara-saudaranya. Ketika merespon pertanyaan terkait dengan dukungan yang ia terima dari saudaranya pun, nada suaranya cenderung meninggi sementara ketika merespon pertanyaan lain, nada suaranya cenderung datar. Wawancara sempat terpotong ketika ada dokter beserta dua orang perawat yang melakukan kunjungan ke partisipan.

3. Laporan Wawancara a. Riwayat Kehidupan

Ibu Ratna, lahir 46 tahun yang lalu, merupakan anak ketujuh dari delapan orang bersaudara. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan, yaitu berjualan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Partisipan bersuku Jawa, sedangkan suaminya memang berasal dari Medan. Ia sekarang telah memiliki dua orang anak. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan, yang masih menduduki bangku kelas 8 di salah satu sekolah


(46)

82 menengah pertama di kota Medan. Sedangkan, anaknya yang bungsu masih menduduki bangku kelas 4 di salah satu sekolah dasar di kota Medan. Suaminya, baru saja bekerja kembali sebagai seorang sales di salah satu perusahaan yang menjual minuman di kota Medan setelah sempat mengundurkan diri selama sekitar dua tahun untuk membantu istrinya berjualan.

b. Riwayat Penyakit

Ibu Ratna adalah seorang penderita kanker payudara. Ia telah didiagnosa menderita kanker payudara sekitar delapan tahun yang lalu. Pada saat itu, dia merasakan ada benjolan kecil di payudara sebelah kirinya, tetapi ia tidak merasakan sakit ataupun berdenyut. Kemudian, ia berkonsultasi mengenai hal tersebut dengan ibunya (sekarang sudah meninggal), dan ia disarankan untuk meminum jahe merah karena diduga benjolan tersebut hanya masuk angin saja. Setelah meminum jahe merah, ia pun merasa menjadi lebih baik.

Selang beberapa bulan, ia mulai merasa ada benjolan kembali, sedikit lebih besar dan berdenyut. Tidak berapa lama, kakaknya (sekarang sudah meninggal), merasakan hal yang sama di payudara sebelah kanannya dan mengajaknya untuk berobat ke dokter. Setelah berkonsultasi ke dokter, didapati bahwa, ia dan kakaknya menderita kanker payudara yang harus segera dioperasi untuk pengangkatan. Mendengar kata operasi, karena ketidaksiapan diri dan tidak adanya biaya, ibu Ratna pun memutuskan untuk menunda melakukan operasi. Sedangkan kakaknya langsung melanjutkan operasi dengan menggunakan jaminan kesehatan suaminya yang ditanggung oleh perusahaan tempat suaminya


(47)

bekerja. Kakaknya pun menjalani operasi pengangkatan benjolan. Setelah itu, kakaknya memeriksakan diri ke laboratorium untuk mendapati bahwa benjolan tersebut ganas dan dokter menyarankan untuk segera dilakukan kemoterapi. Ketika dokter menjelaskan kemungkinan dampak-dampak yang akan dialami selama menjalani kemoterapi, kakaknya mundur dan tidak melanjutkan pengobatan lagi.


(48)

84

4. Dinamika Harapan HOPE

Bisa kembali melakukan kegiatan sehari-hari, serta mendampingi anak-anak dan suami.

Menjalani proses pengobatan.

KESEMBUHAN

Pemikiran bahwa anak-anaknya yang masih kecil masih membutuhkan sosok

ibu untuk mendampingi mereka hingga tumbuh besar

Menjalani pengobatan alternatif Merasakan sakit hingga

ingin berhenti berobat

Keyakinan bahwa pengobatan media memberika hasil yang

baik bagi kesehatannya

Keyakinan bahwa dengan berdoa, Allah akan meringankan penyakit yang

ia derita

Menjalani pengobatan medis

Keinginan untuk mendampingi anak-anak Mendapatkan

diagnosa kanker

Tidak punya biaya untuk melanjutkan pengobatan

Pengobatan alternatif tidak memberikan hasil

positif, kanker muncul kembali

Menjalani pengobatan medis


(49)

Kaget, tidak menyangka bisa terkena penyakit kanker, merupakan reaksi pertama yang didapatkan Ratna dari suami dan keluarganya ketika ia mendapatkan diagnosanya. Walaupun begitu, ia ikhlas dengan penyakit yang ia derita, menganggap hal ini merupakan cobaan dan memiliki keinginan untuk menjalani serangkaian pengobatan agar penyakit tersebut segera hilang dari tubuhnya. Hal ini ia ungkapkan sebagai berikut:

“Nggak, cuman gini aja.. kok bisa kenak yaa.. gitu lah... tapi yang namanya apa gitu ibu ambil kesimpulan.. oh ini cobaan, coba ibu jalanin lah.. ibu.. cemana bilangnya yaa.. ya istilahnya kan, bakal kesana semuanya yaa... gitu” (Wawancara Personal, 13 November 2013)

“Dia? Yah terkejut juga lah dia.. Kok bisa kenak gini ya dek.. katanya.. gak tau awak, saya bilang gitu lah.. tapi adek nyusuin nya.. iya nyusuin, tapi kan bersihkannya itu nggak bersih, hanya sekedar, ini diisap sedangkan yang sebelahnya hanya ngalir gitu ajah, nggak diperas-peras kali.. oh iya iya.. tapi cobalah kita berobat juga, dia bilang gitu.. udah itu lah terus, ke alternatif aja ibu ya kan..” (Wawancara Personal, 14 November 2013)

Keinginan tersebut tidak berjalan dengan lancar. Rasa takut menghalangi Ratna untuk segera menjalani operasi, kemudian ia mencari pengobatan alternatif yang disarankan oleh ibunya dengan harapan bahwa benjolan tersebut akan segera hilang. Ibu beliau merasa bahwa Ratna tidak berusaha keras untuk menyembuhkan penyakitnya. Bahkan, ia baru memeriksakan benjolan yang sudah lama ia rasakan setelah kakaknya mengajaknya untuk berobat. Tetapi, pengobatan alternatif tersebut tidak menghasilkan hal yang diharapkan. Malah membuat benjolan yang dulunya masih kecil menjadi semakin besar yang memaksanya untuk melakukan operasi. Ibu beliau juga lah yang pertama kali menyarankan agar Ratna segera menjalani operasi pengangkatan dan berkonsultasi dengan suaminya mengenai hal tersebut. Keinginan untuk mendampingi anak-anak yang masih


(1)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... iv

Daftar Bagan... viii

Daftar Tabel... ix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

I.A Latar Belakang Masalah... 1

I.B Perumusan Masalah... 11

I.C Tujuan Penelitian... 11

I.D Manfaat Penelitian…... 11

I.E Sistematika Penulisan...12

BAB II. LANDASAN TEORI... 13

II.A Harapan... 13

II.A.1 Defenisi Harapan... 13

II.A.1.1 Goals (Tujuan)... 15

II.A.1.2 Willpower (Kemauan)... 17

II.A.1.3 Waypower (Upaya)... 18

II. A.1 4 Hope = Mental Willpower + Waypower for Goals... 19

II. A. 2 Karakteristik Orang dengan Harapan Tinggi... 20

II. A. 3 Harapan untuk Mengatasi Permasalahan... 22

II.A.4 Pengaruh Harapan bagi Kesehatan Fisik... 24


(2)

II.B.1 Defenisi Kanker... 25

II.B.2 Jenis Penanganan Kanker... 28

II.B.3 Efek Samping Pengobatan Kanker... 30

II.B.4 Dampak Psikososial Kanker………...…... 32

II.C Dinamika Harapan pada Penderita Kanker... 36

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 40

III.A Pendekatan Kualitatif... 40

III.B Metode Pengambilan Data... 41

III.C Responden Penelitian... 42

III.C.1 Karakteristik Responden... 42

III.C.2 Jumlah Responden...42

III.C.3 Prosedur Pengambilan Sampel... 43

III.C.4 Lokasi Penelitian... 43

III.D Alat Bantu Pengumpulan Data... 44

III.E Kredibilitas Penelitian... 45

III.F Prosedur Penelitian... 47

1. Tahap Persiapan Penelitian... 47

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... 48

3. Tahap Pencatatan Data... 51

III.G Metode Analisis Data... 51

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 54

IV.A Hasil Penelitian... 54


(3)

IV.A.1.1 Partisipan Pertama... 54

1. Data Diri Partisipan...54

2. Laporan Observasi... 54

3. Riwayat Kehidupan... 58

4. Riwayat Penyakit... 60

5. Dinamika Harapan... 62

IV.A.1.2 Partisipan Kedua... 78

1. Data Diri Partisipan... 78

2. Laporan Observasi... 78

3. Riwayat Kehidupan... 81

4. Riwayat Penyakit... 82

5. Dinamika Harapan... 84

IV.A.1.3 Partisipan Ketiga... 97

1. Data Diri Partisipan... 97

2. Laporan Observasi... 97

3. Riwayat Kehidupan... 101

4. Riwayat Penyakit... 102

5. Dinamika Harapan... 105

IV.A.2 Kesimpulan Hasil Penelitian Seluruh Partisipan... 114

IV.B Pembahasan... 118

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 129

V.A Kesimpulan... 129


(4)

(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Dinamika Harapan pada Penderita Kanker... 36

Bagan 2. Dinamika Harapan pada Partisipan 1... 62

Bagan 3. Dinamika Harapan pada Partisipan 2... 84


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara... 49 Tabel 2. Kesimpulan Hasil Penelitian Seluruh Partisipan... 114