Dampak A. 2 Kesimpulan Hasil Penelitian dari Seluruh Partisipan No.

116 d. Mempertanyakan sebab ia terkena penyakit kanker. e. Membandingkan diri dengan orang lain dengan penyakit serupa.

4. Hambatan

a. Merasakan sakit sehingga ia hampir tidak ingin melanjutkan pengobatan lagi a. Ketiadaan biaya pengobatan. b. Kanker muncul kembali. a. Hasil pengobatan tidak sesuai dengan yang diharapkan. b. Tidak tahan menjalani pengobatan sehingga ingin nyawanya dicabut saja.

5. Reaksi terhadap

penyakit a. Pertama kali mendapatkan diagnosa: denial, marah. Langsung terfikir tentang kematian. b. Setelah menjalani pengobatan: acceptance. a. Penyakit dianggap sebagai cobaan. b. Ikhlas menerima bahwa ia menderita kanker. a. Pertama kali mendapatkan diagnosa: kecewa, merasa lalai. b. Pernah merasa tidak percaya bahwa ia mengidap kanker.

6. Dampak

psikososial yang a. Kurang percaya diri setelah operasi pengangkatan. a. Aktivitas sehari-hari menjadi terhambat. a. Berfikir bahwa usianya tidak panjang lagi. Universitas Sumatera Utara 117 dialami b. Menjadi pribadi yang lebih kuat. c. Mempererat hubungan antar saudara. b. Mendapatkan perhatian yang lebih dari saudara-saudaranya. Tabel 2. Kesimpulan Hasil dari Seluruh Partisipan Universitas Sumatera Utara IV.B Pembahasan Snyder 1994 mengungkapkan ada tiga komponen mental dasar pada harapan. Pertama adalah tujuan goals. Tujuan sebagai komponen harapan harus berada diantara yang sangat mungkin untuk tercapai dan sangat tidak mungkin untuk tercapai. Ketiga partisipan dari penelitian ini memiliki kesamaan tujuan, yaitu kesembuhan. Menurut data dari National Cancer Institute yang dilakukan pada pasien dari tahun 1998-2001, kesempatan untuk sembuh bagi penderita kanker ovarium stadium 3C adalah 35 sedangkan untuk penderita kanker payudara stadium 2 adalah 93 cancer.org, tanggal akses 30 Januari 2014. Dengan menganggap bahwa kesempatan untuk sembuh akan menjadi relevan jika memiliki presentase diantara 0 - 100, kita dapat menyimpulkan bahwa, secara objektif, tujuan partisipan untuk sembuh merupakan hal yang relevan. Secara subjektif, ketiga partisipan merasa mampu dan mungkin untuk mencapai kesembuhan tersebut. Perasaan mampu dan mungkin untuk mencapai kesembuhan ini terkait dengan dua komponen selanjutnya yang akan dibahas, yaitu waypower ketiga partisipan mengungkapkan bahwa mereka akan menjalani serta mencari informasi mengenai pengobatan yang diharapkan akan memberikan perkembangan positif terhadap kesehatan mereka dan willpower keyakinan- keyakinan yang berasal dari dalam diri mereka yang memunculkan semangat mereka untuk menjalani pengobatan kanker. Keringanan penyakit yang diungkapkan oleh partisipan ketiga dan keinginan untuk melihat anak-anak tumbuh besar yang diungkapkan oleh partisipan kedua, akan sejalan dengan pencapaian kesembuhan itu sendiri. Tujuan yang dikemukakan oleh ketiga partisipan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanatani dkk 2007 Universitas Sumatera Utara 119 yang menempatkan kesembuhan pada posisi teratas dan diiringi oleh tujuan-tujuan lainnya. Komponen kedua yang membentuk harapan adalah willpower atau yang sekarang disebut dengan agency thinking Snyder, 1994; Snyder Lopez, 2002, yaitu tenaga pendorong yang mengarahkan kita untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ketiga partisipan dari penelitian ini telah menikah dan memiliki anak. Mereka mengaku mendapatkan dukungan sosial, baik dari keluarga, teman-teman maupun lingkungan sekitar. Dukungan sosial merujuk pada segala sumber daya psikologis maupun material yang disediakan oleh jaringan sosial yang bermanfaat terhadap kemampuan individu untuk menghadapi situasi stress Cohen, 2004. Sarafino 2011 mengungkapkan bahwa dukungan sosial tidak hanya merujuk pada tindakan yang memang dilakukan oleh orang lain received support, tetapi juga merujuk pada persepsi atau perasaan bahwa kenyamanan, kepedulian dan pertolongan tersedia jika diperlukan perceived support. Ada empat jenis dukungan sosial Cutrona Gardner, 2004; Uchino, 2004 dalam Sarafino, 2011, yaitu dukungan emosional seperti empati, kepedulian, menyemangati, dukungan instrumental bantuan langsung, seperti memberikan ataupun meminjamkan uang atau menolong pekerjaan rumah pada saat-saat stress, dukungan informasional memberikan nasihat dan saran, ataupun umpan balik mengenai apa yang sedang individu kerjakan serta companionship support kebersediaan orang lain untuk menghabiskan waktu dengan individu. Beberapa literatur penelitian menyatakan bahwa dukungan sosial berasosiasi dengan penyesuaian diri yang lebih baik terhadap penyakit kanker dan dukungan emosional merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap penyesuaian yang lebih baik pada penderita kanker Universitas Sumatera Utara 120 Helgeson Cohen, 1996. Ketiga partisipan mengaku mendapatkan dukungan sosial dari berbagai sumber, mulai dari orang-orang yang terdekat seperti: suami, anak-anak, orang tua hingga dukungan yang didapat dari lingkungan sekitar dan rekan sekerja. Dukungan sosial yang didapat pun beragam, mulai dari dukungan tenaga dan materi, membantu mencari informasi terkait penyakit hingga empati. Pengaruh dukungan sosial terhadap tingkat harapan juga didukung oleh penelitian Abdullah-zadeh dkk 2011 yang menemukan bahwa dukungan keluarga berkorelasi positif terhadap tingkat harapan. Berdoa, seperti yang dilakukan oleh partisipan pertama, juga dapat meningkatkan energi mental willpower individu untuk mencari cara agar dapat mencapai tujuan Snyder, 1994. Berdasarkan analisa kualitatif dari hasil wawancara dengan ketiga partisipan, ditemukan bahwa dukungan emosional merupakan hal yang paling banyak mereka dapatkan serta paling berpengaruh untuk memunculkan keinginan mereka menjalani pengobatan kanker, bahkan setelah sempat menolak untuk menjalani pengobatan tersebut setelah merasakan sakit yang luar biasa sebagai dampak dari pengobatan. Keberadaan anak-anak, dengan sendirinya, menjadi penyemangat serta kekuatan mereka untuk menjalani pengobatan. Hal ini terutama sangat terlihat dari partisipan pertama dan kedua, dikarenakan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Keinginan mereka untuk melihat anak-anaknya tumbuh besar menjadi kekuatan terbesar mereka untuk menjalani pengobatan agar dapat mencapai kesembuhan yang mereka inginkan. Sedikit berbeda dengan kedua partisipan lainnya, partisipan ketiga memang juga memiliki anak-anak, tetapi seluruh anak-anaknya sudah beranjak dewasa, sehingga kekuatan yang ia dapatkan dari anak-anaknya lebih kepada dukungan informasional. Peneliti menganggap bahwa keyakinannya Universitas Sumatera Utara 121 terhadap Tuhan merupakan kekuatan terbesarnya untuk mencapai kesembuhan. Anggapan ini muncul dikarenakan suasana religiusitas sangat kental terasa selama melakukan wawancara dengan partisipan ketiga ini. Dukungan sosial dan keberadaan anak-anak menjadi bahan bakar utama yang memicu keyakinan dan keinginan partisipan untuk sembuh, untuk menjalani segala proses yang dibutuhkan agar tujuannya bisa tercapai. Komponen ketiga terkait dengan harapan adalah waypower, yaitu kapasitas mental untuk menemukan cara mencapai tujuan kita Snyder, 1994. Selama proses mencapai tujuan, tidak jarang hambatan muncul. Individu yang memiliki harapan, akan mampu mengatasi hambatan tersebut dengan membentuk cara baru untuk mencapai tujuan Snyder, 1994. Secara aktif mencari informasi akan membantu kita untuk menemukan jalan yang efektif dalam mencapai tujuan Snyder, 2002. Pada partisipan pertama dan kedua, mereka secara aktif mencari informasi terkait hal-hal yang dapat berkontribusi positif bagi kesembuhan mereka. Sedikit berbeda pada partisipan ketiga, informasi tersebut disediakan oleh anak-anaknya dukungan informasional, bukan dia sendiri yang secara aktif mencari informasi tersebut. Informasi yang dikumpulkan oleh partisipan ketiga juga lebih kepada pemahaman mengenai penyakit yang ia derita, bukan mengenai hal-hal apa saja yang dapat membantu meningkatkan kesembuhannya, karena dia sangat fokus pada pengobatan medis saja dan akan mengikuti semua yang disarankan oleh dokter yang menangani penyakitnya. Pengobatan medis merupakan pilihan utama yang paling efektif, menurut partisipan. Pada partisipan ketiga, walaupun ia tidak merasakan adanya peningkatan kesembuhan setelah menjalani pengobatan medis yang pertama, ia kembali memilih untuk menjalani Universitas Sumatera Utara 122 pengobatan medis dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik. Pada partisipan kedua, ia mengalami kendala keuangan jika harus menjalani pengobatan medis, sehingga ia memilih untuk menjalani pengobatan alternatif terlebih dahulu. Namun, hasil yang tidak kunjung membaik dan dirasakan semakin parah, memaksanya untuk menjalani pengobatan medis walaupun harus meminjam dana dan mengurus Jamkesda. Pada partisipan pertama, ia mendapatkan hasil yang memuaskan dari pengobatan medis yang dijalaninya dan ia belum mendapatkan hambatan yang berarti selama menjalani pengobatan medis. Keinginannnya untuk mengonsumsi pengobatan herbal dicegah oleh dokter karena takut bertentangan dengan obat kemoterapi yang akan diterimanya. Snyder 1994 juga membagi harapan menjadi dua kategori, yaitu orang- orang dengan harapan tinggi dan orang-orang dengan harapan rendah. Orang dengan harapan tinggi adalah orang yang memiliki willpower dan waypower yang tinggi. Sedangkan, jika salah satu dari willpower atau waypower rendah atau kedua-duanya rendah, maka individu tersebut termasuk orang dengan kategori harapan rendah. Untuk mengukur tinggi rendahnya willpower dan waypower, Snyder 1994 membuat Hope Scale. Peneliti tidak memberikan Hope Scale pada ketiga partisipan dalam penelitian ini, sehingga kategorisasi dilakukan berdasarkan kriteria dari orang-orang yang memiliki harapan tinggi dan orang- orang yang memiliki harapan rendah. Partisipan ketiga termasuk kategori orang dengan harapan rendah, hal ini disebabkan karena ia tidak dapat membentuk ide baru yang lebih efektif setelah mendapatkan hambatan. Ia tetap memilih menjalani pengobatan medis kembali, setelah pengobatan medis sebelumnya tidak memunculkan hasil yang diinginkan. Padahal, keinginannya untuk mencapai Universitas Sumatera Utara 123 tujuan dan dorongan yang diterimanya sangat tinggi. Oleh karena itu, tujuannya untuk sembuh, secara subjektif, menjadi tidak relevan. Partisipan kedua termasuk kategori orang dengan harapan tinggi. Ketika ia mendapatkan masalah keuangan, ia terus mencari pengobatan alternatif yang berbeda juga berusaha mencari bantuan Jamkesmas dari tetangganya, serta mengurus Jamkesda untuk mendapatkan pengobatan medis. Keinginannya untuk sembuh dan dukungan yang didapatkannya juga tinggi. Oleh karena itu, tujuannya untuk sembuh, secara subjektif, menjadi relevan. Partisipan pertama juga termasuk orang dengan harapan tinggi. Ia telah memikirkan alternatif pengobatan herbal untuk mendukung pengobatan medis yang dijalaninya, walaupun untuk sementara idenya tersebut dicegah oleh dokter. Keinginan dan keyakinannya untuk sembuh juga tinggi. Ia sempat merasakan sedih, tetapi menurut Snyder 1994, orang- orang dengan harapan tinggi tidak terlepas dari rasa cemas dan depresi, hanya saja mereka dapat mengatasinya dengan pemikiran willpower dan waypower. Oleh karena itu, tujuannya untuk sembuh, secara subjektif, menjadi relevan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Stanton dkk 2000 yang mengemukakan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat harapan yang tinggi cenderung untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang penyakit mereka. Hal ini dilakukan untuk memperoleh pemahaman terhadap situasi, mengontrol reaksi emosi serta memilih cara untuk coping. Harapan berkaitan dengan pemahaman mengenai penyakitnya yang kemudian menjadi kekuatan untuk menambah semangat dalam menjalani perawatan Sidabutar, 2008. Dinamika harapan pada partisipan pertama dapat dilihat setelah operasi mastektominya selesai dan ia menjalani kemoterapi. Ketika ia mendapatkan Universitas Sumatera Utara 124 diagnosa hingga selesai menjalani operasi dengan lancar, harapannya untuk mencapai kesembuhan itu masih berada di puncak. Dia merasa sangat yakin akan mencapai kesembuhan tersebut. Tetapi, di tengah perjalanan menghadapi kemoterapi, keyakinan ini sempat runtuh. Rasa sakit yang luar biasa, yang ia rasakan menjadi hambatan terbesarnya untuk mencapai kesembuhan. Bahkan, membuatnya tidak ingin melanjutkan pengobatan kemoterapi kembali. Jika, ia tidak melanjutkan pengobatan, sangat mungkin harapannya untuk sembuh tidak akan pernah tercapai. Beruntung baginya, ia dikelilingi oleh orang-orang yang perduli kepadanya. Keinginannya untuk kembali menjalani pengobatan dipicu oleh dukungan-dukungan yang ia dapatkan, yang ia olah untuk menjadi energi penyemangatnya untuk mencapai kesembuhan. Melihat anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak menangis ketika ia tinggal untuk menjalani pengobatan merupakan motivasi terbesarnya untuk kembali menjalani pengobatan. Anak-anak dan suami memicu keyakinannya bahwa ia harus sembuh dan ia bisa sembuh Keinginannya untuk kembali bekerja, beraktivitas, yang selama menjalani kemoterapi membuat aktivitasnya semakin terbatas, juga berkontribusi memunculkan kembali semangatnya untuk menjalani pengobatan. Pada akhirnya, ia kembali menjalani pengobatan yang sempat terhenti. Dengan kembalinya partisipan pertama untuk menjalani pengobatan, maka harapannya untuk sembuh kembali berada di puncak setelah tadinya sempat runtuh. Dinamika harapan pada partisipan kedua sudah terlihat rumit dari awal perjalanannya menghadapi penyakit kanker. Biaya merupakan hambatan terbesar yang ia hadapi sepanjang perjalanannya menjalani pengobatan. Biaya lah yang menghalangi ia untuk segera menjalani operasi, biaya lah yang memaksanya Universitas Sumatera Utara 125 untuk berhenti di tengah jalan ketika sedang menjalani, akhirnya biaya juga lah yang mengharuskannya untuk menghentikan pengobatan alternatifnya ketika ia rasakan kondisinya sudah semakin baik. Baginya, harapan untuk sembuh itu mungkin lebih sulit untuk dicapai, tetapi dia terus berusaha semampunya untuk mencapai harapan tersebut. Ia terus mencari cara bagaimana agar ia dapat menjalani pengobatan. Ketika kendala biaya tidak memungkinkannya untuk menjalani operasi dan kemoterapi pertama kali, ia meminjam Jamkesmas tetangganya untuk ia manfaatkan. Ketika pengobatannya pertama kali harus berhenti di tengah jalan, ia segera beralih ke pengobatan alternatif yang lebih terjangkau. Harapan untuk sembuh itu juga semakin memudar ketika, setelah berhenti sama sekali dari pengobatan alternatif pertama kali, kankernya muncul kembali. Walaupun ia segera mengobati kanker tersebut melalui pengobatan alternatif, ternyata hasilnya malah semakin membuat kondisinya buruk. Memaksanya untuk kembali menjalani pengobatan medis. Tetapi, kali ini ia memanfaatkan fasilitas kesehetan yang disediakan oleh negara, yaitu Jamkesda. Kebutaan yang ia alami sebagai dampak pengobatannya yang sekarang, tidak menghalangi niatnya untuk, kali ini, menjalani pengobatan medis hingga selesai. Pada saat ini, harapannya untuk sembuh perlahan-lahan meningkat. Yang menjadi kekuatann terbesarnya untuk sembuh adalah keberadaan anak-anaknya. Ia ingin hidup cukup lama untuk mendampingi anak-anaknya yang masih kecil. Ketika ia sudah kehilangan kedua orangtuanya dan kakaknya yang memiliki peranan penting dalam perjalanannya menghadapi kanker, suami dan anak-anaklah tempat ia bergantung. Ketika ia butuh biaya pengobatan, tidak ada seorang pun anggota keluarganya yang masih hidup membantunya. Ketika ia butuh curahan perhatian Universitas Sumatera Utara 126 dari saudara-saudaranya, ia hanya sedikit mendapatkannya. Dengan seluruh hal- hal tersebut yang terjadi sepanjang perjalanannya menghadapi kanker, ia masih berjuang mencapai kesembuhan dengan didampingi oleh suami dan anak- anaknya. Keinginannya yang begitu kuat untuk mendampingi anak-anaknya hingga tumbuh besar meyakinkannya bahwa ia harus dan bisa untuk mencapai kesembuhan tersebut. Harapan untuk sembuh bagi partisipan kedua ini, walaupun tidak selalu berada di puncak, tetapi tidak pernah sirna dengan apa pun kendala yang ia hadapi. Dinamika harapan dari partisipan ketiga terlihat cukup rumit dikarenakan apapun yang ia jalani, tidak membuat kondisinya menjadi semakin baik dan tidak memuaskan baginya. Dimulai dari tumor marker nya yang terus meningkat ketika ia menjalani kemoterapi pertama kali, bahkan hingga selesai menjalani kemoterapi tersebut. Hingga akhirnya, ia didiagnosa mengalami penumpukan cairan dan harus menjalani kemoterapi kembali. Harapan untuk sembuh yang pada awalnya berada di puncak, perlahan-lahan menurun karena ia merasa tidak mendapatkan hasil pengobatan yang positif sepanjang pengobatan yang ia jalani. Ia merasa pengobatan tersebut gagal untuk mengobati penyakitnya. Harapan tersebut sempat sirna ketika ia memohon kepada Tuhan untuk segera mencabut nyawanya karena ia sudah tidak tahan menghadapi rasa sakit yang diakibatkan oleh pengobatan yang ia jalani. Tetapi, dengan dukungan-dukungan yang ia dapat, dengan keyakinan agamanya, ia mendapatkan kekuatan kembali. Ia perlahan- lahan bangkit kembali dan membangun harapannya. Ia tahu bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Tuhan dan ia sebagai umat Tuhan, ketika diberikan cobaan harus berusaha semampunya untuk mengatasi cobaan tersebut. Universitas Sumatera Utara 127 Harapannya pun telah terbangun kembali seiring dengan pengobatan yang ia terus jalani. Pada saat seseorang mendapatkan diagnosa kanker, sebetulnya tidak ada yang dapat dilakukan selain menerima kenyataan tersebut dan belajar untuk hidup dengan penyakit tersebut. Namun, berbagai macam reaksi emosional ketika mendapatkan diagnosa kanker telah diungkapkan oleh partisipan. Kecewa anger yang diungkapkan oleh partisipan pertama merupakan reaksi yang wajar bagi pasien penderita terminal illness Kubler-Ross, 1969 dalam Cavanaugh, 2006. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua cenderung pasrah acceptance terhadap cobaan yang diterimanya, sedangkan partisipan ketiga, sampai ketika dilakukan wawancara, masih tidak percaya bahwa ditubuhnya terdapat penyakit kanker denial. Kata „semangat‟ untuk melawan kanker fighting spirit seringkali diucapkan oleh ketiga partisipan. Banyak orang yang meyakini bahwa sikap mental yang positif merupakan salah satu senjata untuk melawan kanker. Tetapi, seorang psikolog kesehatan, Dr. Jill Graham, menyatakan di salah satu laman berita bahwa walaupun penelitian-penelitian sebelumnya mengungkapkan fighting spirit akan membantu memperpanjang rentang kehidupan, tapi penelitian di area ini sangat sedikit dan menjadi tidak relevan dalam dailymail.co.uk, tanggal akses: 30 Januari 2014. Fighting spirit bersamaan dengan denial merupakan dua respon psikologis yang teridentifikasi pertama kali dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti Inggris terhadap 69 pasien kanker payudara stadium awal dalam Reynolds dkk, 2000 . Dalam penelitian ini, dua dari tiga partisipan yang memiliki tingkat harapan tinggi, menunjukkan fighting Universitas Sumatera Utara 128 spirit yang besar. Fighting spirit inilah yang membantu mereka untuk terus berusaha mencapai tujuan mereka. Kemudian, kata „anak-anak‟ seringkali muncul dari partisipan. Tidak ada penelitian sebelumnya yang menyebutkan secara spesifik bahwa anak-anak berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang lebih baik bagi penderita kanker. Hanya saja, dalam penelitian ini, pemikiran dan keberadaan anak-anak diakui menjadi motivasi terbesar untuk terus menjalani pengobatan kanker. Universitas Sumatera Utara 129

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN