BAB IV PENGARUH PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP
KEDAULATAN NEGARA PENERIMA MODAL ASING DALAM PENGATURAN PENANAMAN MODAL
Kegiatan pengaturan penanaman modal menjadi kedaulatan penuh negara penerima modal asing host country, negara penerima modal asing sebenarnya
berkuasa untuk mengatur segala bentuk kegiatan pengaturan di dalam wilayah negaranya, karena itu merupakan kedaulatan internal negara tersebut untuk
mengorganisir dirinya secara bebas dan juga merupakan otonominya untuk melaksanakan kekuasaan tersebut di dalam wilayahnya.
Ternyata di dalam prakteknya, kedaulatan negara penerima modal asing dalam pengaturan penanaman modal tersebut tidak sebebas yang dibayangkan.
Konsep kebebasan absolut didalam pengaturan, merupakan konsep kedaulatan lama yang ternyata sudah tidak relevan dan sulit untuk dipertahankan pada era
sekarang ini. Pada masa sekarang ini, dimana kondisi batas non fisik antarnegara yang sulit dibedakan akibat arus informasi dan teknologi, kesadaran negara yang
saling membutuhkan satu sama lain, serta berbagai perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral yang telah disepakati dan mengikat negara, mempengaruhi
kedaulatan negara tersebut untuk melakukan suatu pengaturan, hal-hal tersebut secara langsung atau tidak langsung membatasi kedaulatan negara khususnya di
dalam membuat suatu regulasi atau aturan.
A. Pengaturan Penanaman Modal sebagai Bagian dari Kedaulatan Negara
Secara umum kegiatan penanaman modal asing di suatu negara dibatasi oleh peraturan-peraturan dari negara asal investor asing tersebut governance by
Universitas Sumatera Utara
the home nation , negara tuan rumah dimana investor asing menanamkan
modalnya governance by the host dan juga hukum internasional yang terkait governance by multination organization and international law.
163
Pengaturan termasuk pembatasan-pembatasan di bidang penanaman modal asing oleh negara
tuan rumah pada dasarnya merupakan kewenangan negara tersebut yang berasal dari kedaulatannya sovereignty.
164
Namun demikian kedaulatan negara tuan rumah tersebut juga dibatasi oleh hukum internasional termasuk konvensi-
konvensi internasional di mana negara tersebut menjadi pesertanya, seperti kesepakatan World Trade Organization di bidang Trade Related Investment
Measures .
165
Perdebatan mengenai kedaulatan negara ini bukanlah merupakan suatu hal yang baru, bahkan sejak Putaran Uruguay, saat perundingan multilateral mengenai
perdagangan internasional terkait penanaman modal berlangsung, masalah kedaulatan negara merupakan perdebatan yang pertama kali muncul. Dalam
perundingan itu, negara-negara sedang berkembang mempertahankan argumentasi untuk menolak masuknya beberapa bagian dari kebijakan penanaman modal
dalam peraturan perdagangan multilateral, dengan mengedepankan dalil bahwa pengaturan penananaman modal adalah non-cross border issues yang tunduk
langsung kepada kedaulatan internal sebuah negara. Sementara disisi lain, negara - negara maju khususnya amerika serikat dan jepang tetap menginginkan agar
forum perdagangan multilateral menetapkan sebuah disiplin yang komprehensif mengenai penanaman modal asing, dengan pertimbangan bahwa sejumlah
163
Ralph H. Folsom, Michael W. Gordon John A. Spanogle, Jr., Principles of International Business transaction, Trade Economic Relation
, dalam David Kairupan., Op. Cit
., hlm. 65.
164
M. Sornarajah, dalam David Kairupan., Ibid.
165
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
persyaratan penanaman modal yang diterapkan pemerintah host country telah menghambat dan mendistorsi aliran modal dan perdagangan. Pakar-pakar yang
mendukung gagasan negara maju mengedepankan sejumlah argumentasi tentang pergeseran makna kedaulatan.
166
Kedaulatan negara untuk mengatur dan menentuntukan sendiri kegiatan ekonomi di wilayah yurisdiksinya sudah sejak lama diterima dalam hukum
internasional. Kedaulatan yang permanen ini dijamin pelaksanaannya dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB No. 3281 XXIX
tanggal 12 Desember 1974 tentang Charter of Economic Rights and Duties of State
. Article 2 1 Resolusi ini menyebutkan : “Every state has and shall freely exercise full permanen sovereignty,
including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”
Konsep kedaulatan permanen negara yang menyangkut sumber daya alam dan aktifitas-aktifitas ekonomi, sebenarnya merupakan perluasan dari konsep
kedaulatan negara yang diberikan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 1803 XVII tahun 1962 yang hanya mencakup masalah yang berkaitan dengan sumber
daya alam.
167
Oleh karena perluasan ini juga mencakup hak kedaulatan negara mengatur sendiri kegiatan ekonomi di wilayah teritorialnya, maka resolusi ini
dapat menjadi alasan pembenar bagi negara untuk membatasi kegiatan ekonomi warga negara asing maupun perusahaan asing di wilayah hukum mereka.
168
166
Mahmul Siregar., Op. Cit., hlm. 150.
167
Hans Van Houte, The Law of International Trade, dalam Mahmul Siregar, GATS dan Kedaulatan Hukum di Bidang Ekonom
i. Hlm 3.
168
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kedaulatan permanen atas sumber daya alam dan kegiatan ekonomi dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2.2 Charter of Economic Rights and Duties of
State sebagai berikut :
2. Each State has the right : a To regulate and exercise authority over foreign investment within
its national jurisdiction in accordance with its laws and regulations and in conformity with its national objectives and priority. No State
shall be compelled to grant preferential treatment to foreign investment .
169
Jadi sebenarnya tindakan negara berkembang untuk menerapkan pembatasan-pembatasan tertentu bagi aktivitas perusahaan asing mempunyai
dasar hukum secara internasional. Hanya saja dalam praktek penerapannya terdapat variasi dari segi ketat tidaknya batasan-batasan tersebut. Sornarajah
menyatakan bahwa tingkatan dari ketat atau tidaknya hambatan tersebut sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dalam ideologi, rasa nasionalisme dan perubahan
dalam arah kebijakan industri.
170
International Law Association pada Kongres di Seoul pada tahun 1986
menerima dengan suara bulat bahwa kedaulatan negara atas sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi di wilayah hukum mereka merupakan asas hukum
internasional yang harus dipatuhi oleh negara-negara. Konsep mana sebenarnya telah lama dikemukakan oleh Jean Bodin yang menegaskan bahwa sovereignty as
the absolute and perpetual power bagi suatu negara. Seperti juga dikemukakan
169
United Nations, General Assembly Resolution, December,12
nd
, 1974, No. 3281 XXIX., dalam Mahmul Siregar., Ibid.
170
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, dalam Mahmul Suregar., Ibid.
Universitas Sumatera Utara
oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa kedaulatan adalah konsep yang sangat fundamental dalam suatu negara. Hanya dengan adanya kedaulatanlah suatu
negara dikatakan merdeka. Tanpa kedaulatan yang harus dihormati oleh negara lain, maka tidak ada artinya suatu negara.
Persyaratan negara yang harus memiliki capacity to enter in to relation with other states
hanya dapat dipenuhi jika negara memiliki kedaulatan.
Namun patut dipahami pula bahwa sebesar apapun penghormatan hukum internasional terhadap kedaulatan suatu negara, bukanlah berarti pelaksanaan
kedaulatan tersebut tidak mempunyai batasan-batasan. Salah satu batasan dalam pelaksanaan kedaulatan adalah kewajiban negara pemilik kedaulatan yang
ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional. Seperti disebutkan dalam Article 4 Charter of Economic Rights and Duties of State sebagai berikut :
“…every State is free to choose the form of organization of its foreign economic relations and and to enter into bilateral and multilateral
arrangement consistent with its international obligations and with the need of international economic co-operation.
Kedaulatan negara untuk menata sendiri kegiatan pelaku usaha asing di wilayah hukumnya harus memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional dari
negara tersebut. Salah satu contohnya adalah World Trade Organization atau WTO yang
merupakan wadah multilateral bagi negara-negara di dunia, dimana dalam perundingannya menghasilkan berbagai kesepakatan multilateral yang menjadi
hukum bagi negara anggotanya baik dibidang perdagangan internasional maupun juga investasi. Terdapat dua aspek dalam hubungan antara hukum WTO dengan
Universitas Sumatera Utara
hukum nasional yaitu pertama adalah penempatan hukum nasional dalam hukum WTO dan kedua penempatan hukum WTO dalam hukum tata hukum nasional
atau domestik. Penempatan hukum nasional dalam hukum WTO terdapat dalam Article
27 dari perjanjian atau kesepakatan WTO yang menyatakan : “Each member shall ensure the conformity of its law, regulation and
administrative procedure with its obligation as provided in the annexed agreement.”
Berdasarkan hal tersebut diatas, negara-negara anggota WTO berkewajiban melaksanakan dan merealisasikan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam GATTWTO kedalam hukum nasionalnya, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dalam melaksanakan kewajibannya negara-
negara anggota WTO harus sesuai dengan ketentuan GATT 1994. Ketentuan hukum GATTWTO mempunyai efek atau dampak langsung
direct effect dan harus dilaksanakan terhadap tindakan-tindakan hukum nasional yang sah. Efek langsung dari ketentuan WTO merupakan suatu kebutuhan yang
ditujukan untuk mengantisipasi tindakan negara-negara pemerintahan nasional yang mengganggu atau membatasi hak untuk berdagang secara bebas dengan
pihak asing. Hal ini mendukung direct effect menjadi suatu hak yang fundamental.
171
Jadi, sebenarnya pengaturan penanaman modal dari suatu negara ditentukan oleh negara itu sendiri, namun, pengaturan tersebut tidak bisa
dilakukan secara semena-mena dengan dalil bahwa hal tersebut merupakan
171
An An Chandrawulan., Op. Cit., hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
kedaulatan dari negara, dalam pengaturan tersebut harus memperhatikan kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah disepakati negara tersebut
dengan negara-negara lain. Kesepakatan internasional tidak lah menghilangkan kedaulatan suatu negara melainkan mengakomodasi kepentingan-kepentingan
negara yang telah bersepakat dalam suatu kesepakatan internasional.
B. Prinsip-prinsip Perdagangan internasional yang Membatasi Pengaturan Penanaman Modal Negara Penerima Modal Asing
Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan penanaman modal dan peraturan perdagangan internasional sebenarnya telah menjadi pembahasan
masyarakat internasional pada saat berlangsungnya United Nations Conference on Trade and Employment
tahun 1948 di Havana. Konferensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada negara-negara peserta agar menghindari
perlakuan yang diskriminatif terhadap investor asing.
172
Namun kegagalan ratifikasi menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian.
173
Keterkaitan yang erat antara keduanya pun mengakibatkan prinsip-prrinsip perdagangan
internasional harus diterapkan dalam kegiatan perdagangan dalam bentuk penanaman modal sebagai prinsip dasar yang harus dikembangkan dalam
pengaturan penanaman modal asing di host country, prinsip-prinsip tersebut yaitu: 1.
Prinsip Non-diskriminasi Dasar pemikiran dari perlunya diterapkan prinsip nondiskriminasi ini
adalah karena host country dengan menggunakan alasan-alasan yang sah, dapat
172
United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures : Theory, Evidency and Policy Implication,
dalam Mahmul Siregar, Peraturan Penanaman Modal dalam Undang- undang Penanaman Modal di Indonesia, Jurnal, Medan, hlm. 2.
173
Lebih lanjut John H. Jackson, The World Trading System : Law and Policy of International Economic Relations,
dalam Mahmul Siregar., Ibid.
Universitas Sumatera Utara
memberikan perlakuan yang berbeda kepada para penanam modal dengan cara yang berbeda pula. Hukum kebiasaan internasional tidak ada mewajibkan kepada
host country untuk menjamin perlakuan yang bersifat nondiskriminasi terhadap
penanaman modal asing yang berkeinginan untuk mengembangkan aktivitas bisnisnya dalam wilayah teritorialnya, atau bahkan kepada mereka yang telah
mendirikan aktifitas bisnisnya.
174
Sebaliknya, sekarang ini host countries secara konsisten telah menghilangkan hambatan-hambatan yang sifatnya diskriminasi terhadap masuk dan beroperasinya
penanam modal asing di wilayah teritorialnya. Lebih dari itu, dengan kerasnya kompetisi untuk mendorong FDI, beberapa negara juga bahkan memutuskan
untuk memberikan insentif tertentu kepada penanam modal asing tetapi hal ini sebaliknya menciptakan diskriminasi melawan perusahaan lokal atau nasionalnya
sendiri. Meskipun banyak juga negara yang telah memberikan insentif baik itu kepada perusahaan domestik maupun perusahaan asing berdasarkan prinsip
nondiskriminasi. Perlakuan
nondiskriminasi dalam
penanaman modal
internasional adalah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan alokasi modal dan meminimalisir distorsi-distorsi dalam perdagangan. Diskriminasi berdasarkan
nasionalitas atau kewarganegaraan dari pemilik, pengontrol, atau residen dari penanam modal akan tidak berarti jika diberikan pada perusahaan multinasional
yang mempunyai struktur organisasi yang sangat komplek pada saat ini.
175
174
Working Group The Relationship between Trade and Investment, “Concept Paper on Non-Discrimination
”, World Trade Organization, WTWGTIW122, Original: English, diakses dari
http:trade-info.cec.eu.intdoclibdocs2003apriltradoc_111121.pdf h. 1 . diakses pada 4
Maret 2015.
175
Muchammad Zaidun, Keterkaitan Prinsip-Prinsip Hukum Antara Penanaman Modal Asing dengan Perdagangan Internasional, Jurnal, Unair, Vol. 21 No. 1, Surabaya : Yuridika,
Mei –Juni 2006, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
Lebih jauh lagi, rupanya, semua negara mulai menyadari bahwa untuk menarik penanaman modal asing mereka harus mempromosikan, misalnya,
adanya kondisi awal yang dapat diprediksikan, kerangka pengaturan yang transparan dan nondiskriminasi, diluar kondisi makro ekonomi dan stabilitas
politik, infrastruktur, labour skills, dan lain-lainnya. Sebagaimana dalam perdagangan internasional, didalam pengaturan penanaman
modal asing, prinsip nondiskriminasi pun dibagi menjadi dua prinsip utama yaitu prinsip Most Favoured Nation dan Prinsip National Treatment.
a. Prinsip Most Favoured Nation MFN
Berdasarkan aturan MFN, host country harus memberikan perlakuan kepada penanam modal dari sebuah negara asing, sama
seperti perlakuan yang telah mereka berikan kepada penanam modal dari negara asing lainnya.
176
Prinsip MFN ini bisa diatur secara sendiri dalam suatu peraturan atau dikombinasikan dengan prinsip national treatment
dalam pengaturannya. Dengan dikombinasikannya kewajiban untuk menerapkan prinsip national treatment dan prinsip MFN, maka
diharapkan bisa memberikan keuntungan atau insentif FDI yang lebih baik kepada penanam modal.
177
b. National Treatment
Berdasarkan prinsip ini, host country disyaratkan untuk memperlakukan penanam modal asing dan penanaman modalnya yang
beroperasi di
wilayah teritorialnya
sama seperti
mereka
176
Ibid.
177
Muchammad Zaidun., Op. Cit. hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
memperlakukan penanam modal domestik dan penananaman modalnya.
Dalam UUPM prinsip ini dijadikan sebagai kebijakan dasar penanaman modal di Indonesia.
178
Dalam Pasal 4 ayat 2 menegaskan bahwa :
Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal
asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Hal ini berarti bahwa UU penanaman modal telah mengakomodir prinsip MFN, yang diwajibkan oleh GATT, Agreement on TRIMs
maupun GATS.
179
Prinsip National Treatment ini secara reguler dimasukkan di dalam bilateral investment treaties yang melibatkan baik negara-
negara maju developed countries maupun negara-negara yang sedang berkembang developing countries.
2. General Prohibition on Quantitative Restriction
GATT melarang adanya peraturan domestik yang menerapkan kebijakan pemabatasan kuantitatif terhadap barang impor. Dalam peananaman modal,
kebijakan ini umumnya diterapkan dalam persyaratan penanaman modal dalam bentuk pembatasan secara langsung, misalnya dalam bentuk kebijakan
keseimbangan perdagangan trade balancing policy, pembatasan impor dengan membatasi akses terhadap devisa foreign exchange limitation. Tidak satupun
dari kebijakan tersebut yang ditetapkan sebagai syarat penanaman modal di
178
Asmin Naution, Transparansi dalam Penanaman Modal Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 101.
179
Asmin Nasution., Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Dengan kata lain, larangan pemabatasan kuantitatif telah terakomodasi dalam peraturan penanaman modal di Indonesia.
180
C. Pengaruh Perjanjian Internasional terhadap Kedaulatan Negara Penerima Modal Asing dalam Pengaturan Penanaman Modal
Pada prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap kegiatan di
wilayah negaranya. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan ekonomi atau investasi di wilayahnya tersebut. Kewenangan negara tuan rumah untuk
mengatur segala kegiatan penanaman modal yang ada di negaranya, baik itu syarat masuk maupun syarat-syarat operasionalnya.
Sehingga lingkup pengaturan penanaman modal negara penerima modal asing meliputi segala aspek penanaman modal, mengingat bahwa kegiatan
penanaman modal sangat berkaitan erat dengan kedaulatan suatu negara, yaitu terkait dengan kekayaan alam dan non alam dalam wilayah negara penerima
modal asing. Pakar hukum ekonomi internasional Schrijver mengemukakan bahwa, dalam hal kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya, suatu negara
memiliki hak-hak sebagai berikut :
181
1. Memiliki, menggunakan dan kemerdekaan untuk memanfaatkan kekayaan
alamnya. 2.
Kebebasan untuk menentukan dan mengawasi potensi, ekslorasi, pembangunan, eksploitasi, pemanfaatan dan pemasaran kekayaan alamnya.
180
Ibid., hlm. 102.
181
Asif Qureshi, Internatinal Economic law dalam Huala adolf, Loc. Cit., hlm. 232.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam negara sesuai dengan
kebijakan pembangunan nasional dan lingkungannya. 4.
Pengaturan penanaman modal, termasuk pengaturan terhadap masuknya penanaman modal asing dan kegiatan para investor, termasuk aliran keluar
penanaman modalnya. dan 5.
Hak untuk menasionalisasi atau ekspropriasi harta milik, baik milik warga negaranya atau warga negara asing dengan memberikan ganti rugi.
Hak-hak tersebut di atas pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan isi Pasal 2 ayat 1 Charter of the Economic Rights and Duties of States Piagam
CERDS
182
yang berbunyi sebagai berikut : “ every state has and shal freely exercise full permanent sovereignty,
including possession, use and disposal over all its wealth, natural resources and economic activities.”
183
Kata full penuh dan permanent tetap atau permanen dalam Piagam CERDS di atas memiliki arti berbeda. Kata full penuh menunjukkan arti bahwa
kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya tidak dapat dibatasi oleh adanya fakta bahwa kekayaan tersebut dibutuhkan oleh negara lain. Kata permanent
tetap atau permanen berarti bahwa suatu negara dapat memanfaatkan kedaulatannya setiap saat.
182
Adalah piagam yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomi Negara-negara yang di usulkan oleh presiden meksiko Luis Echeverria Alvarez pada tahun 1972. Latar belakang
Alvarez mengusulkan pembentukan piagam ini adalah karena semakin terpuruknya perekonomian Negara sedang berkembang pada tahun 1960-an. Keadaan perekonomian yang
buruk ini bahkan tidak berubah meskipun berbagai upaya telah dilakukan khusunya upaya di bawah forum PBB. Sehingga beliau berpendapat bahwa aktivitas ekonomi internasional harus
diatur oleh suatu dasar hukum yang kuat firm legal footing. Sehingga lahirlah piagam ini.
183
Ibid. hlm. 231.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat sarjana tersebut dan apa yang disebutkan dalam Pasal Piagam CERDS diatas, maka jelas, pengaturan penanaman modal menjadi
hak penuh dari negara penerima modal, dimana pengaturan tersebut meliputi segala lingkup dan aspeknya, mulai dari masuknya penanam modal tersebut
kedalam suatu negara, bagaimana dia melakukan kegiatan penanaman modal di dalam negeri dan bagaimana keluarnya modal tersebut dari negara penerima
modal, seluruh pengaturannya menjadi hak dari negara penerima modal asing. Hak pengaturan penuh tersebut tentunya dengan tetap memperhatikan
asas-asas hukum internasional dan juga prinsip-prinsip dalam kesepakatan- kesepakatan internasional yang telah disepakati oleh negara penerima modal asing
dalam setiap perjanjian internasional yang dibuatnya, karena kedaulatan negara penerima modal asing sangat erat hubungannya dengan perjanjian-perjanjian
internasional. Perjanjian internasional dewasa ini dipandang sebagai sumber hukum
paling penting yang digunakan masyarakat internasional untuk memformulasikan aturan-aturan hukum ekonomi internasional. Ia juga digunakan untuk menetapkan
hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan internasional, khususnya hubungan di bidang ekonomi yang melintasi batas-batas negara. Perjanjian
internasional digunakan pula untuk membentuk lembaga-lembaga ekonomi internasional baik yang bersifat global atau multilateral. misalnya GATTWTO,
atau yang regional, misalnya Uni Eropa, NAFTA dan AFTA. Pada prinsipnya, perjanjian internasional hanya mengikat para pihak negara-negara yang
Universitas Sumatera Utara
mengadakannya serta menundukkan dirinya kepadanya. Ia tidak mengikat negara ketiga kecuali dengan kesepakatannya.
184
Manakala suatu negara menjadi terikat, maka prinsip hukum umum yang berlaku adalah bahwa negara tersebut harus melaksanakan perjanjian dengan
itikad baik pacta sunt servanda. Sehingga keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional merupakan konsekuensi hukum dari keinginan dan
tindakan berdaulat negara untuk membuat perjanjian. Mahkamah Internasional Permanen PCIJ menyatakan bahwa
“…the right of entering into international engagement
s is an attribute of state sovereignty”. Kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam perjanjian merupakan komitmen negara tersebut untuk
melaksanakannya dan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut akan melahirkan pertanggung jawaban internasional kepada negara-negara yang telah sepakat atau
menjadi anggota dari suatu perjanjian internasional.
185
Keterkaitan suatu negara bukan berarti bahwa kekuasaan tertinggi kedaulatan negara tersebut menjadi hilang atau tergerogoti. Setiap perjanjian
yang membatasi jurisdiksi atau kewenangan suatu negara demi untuk tujuan bersama dengan subyek hukum internasional lainnya berarti membatasi
pelaksanaan kedaulatannya. Namun di sini negara tersebut tetap berdaulat. Hanya untuk tindakan-tindakan tertentunya saja yang terkait dengan kesepakatan yang
diberikan, negara tersebut terikat untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kesepakatannya. Seorang pekerja yang mengadakan kontrak kerja dengan
184
Ibid, hlm. 234.
185
Ibid, hlm. 235.
Universitas Sumatera Utara
majikannya tidak berrarti bahwa ia telah “kehilangan” kemerdekaannya sebagai manusia.
Pada prinsipnya dalam suatu perjanjian internasional dan keinginan suatu negara untuk turut serta pada suatu perjanjian internasional terdapat di dalamnya
suatu kepentingan negara yang bersangkutan. Kepentingan itu biasanya berupa adanya sesuatu yang ia harapkan atau akan dapatkan. Namun dibalik itu iapun
harus “menyerahkan” sesuatu untuk mendapatkannya. Dalam hal ini sesuatu yang hendak didapatkannya itu dapat berupa peluang atau keuntungan ekonomi yang
dituangkan dalam perjanjian atau kesepakatan ekonomi, akses pasar yang lebih terbuka, perlakuan khusus dari negara maju,peluang alih teknologi dan lain-lain.
Sesuatu yang harus “diserahkannya” itu dalam hal ini antara lain adalah “kekuasaan” atau sebagian kedaulatan negara tersebut terhadap obyek yang
diatur dalam kesepakatan.
186
Keterkaitan suatu negara terhadap suatu perjanjian internasional mensyaratkan negara tersebut untuk menyesuaikan peraturan hukum nasionalnya.
Misalnya, Pasal XXVI 4 perjanjian WTO, yang menyatakan bahwa : “each
member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed agreements.”
Kewajiban serupa antara lain tampak juga dalam nasihat hukum PCIJ yang menyatakan :
“…a state which has contracted valid international obligations is baound to make in its legislation such modifications as may be necessary to
ensure the fulfillment of the obligations undertaken.”
186
Cf., Jhon H. Jackson, Testimony Prepared for the U.S. Senate Committee on Foreign Relations
dalam Huala Adolf, Ibid, hlm. 236.
Universitas Sumatera Utara
Karena itu tidak ada alasan manakala suatu negara menyatakan bahwa ia tidak akan melaksanakan suatu kesepakatan internasional yang ditandatanganinya
karena kesepakatan tersebut bertentangan dengan kedaulatannya.
187
Konvensi Wina 1969 menyatakan pula bahwa suatu negara tidak dapat menggunakan
hukum nasionalnya sebagai alasan pembenaran untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian. Hal ini termuat dalam Pasal 17 Konvensi Wina yang menyatakan
bahwa : “A state may not invoke the provisions of its internal law as a
justification for its filure to perform a treaty”.
188
Pengaturan penanaman modal merupakan kedaulatan penuh dari negara penerima modal asing, karena kegiatan penanaman modal merupakan kegiatan
yang menyangkut pemanfaatan suatu wilayah negara, sehingga hal ini menjadi kedaulatan penuh negara tersebut. Masyarakat internasionalpun sepakat bahwa
kedaulatan suatu negara atas wilayah dan kekayaan alamnya merupakan kedaulatan penuh dari negara tersebut, hal ini terbukti dari berbagai kesepakatan
internasional yang menyatakan hal tersebut didalam isi kesepakatannya serta pakar-pakar hukum ekonomi yang berpendapat senada. Hal ini membuktikan
bahwa hal tersebut memang diakui. Namun, kedaulatan negara dalam pengaturan tersebut ternyata terbatas,
tidak seabsoluut atau sepenuh yang dibayangkan. Kedaulatan negara dalam membuat suatu regulasi atau pengaturan penanaman modal dibatasi diantaranya
oleh, prinsip-prinsip perdagangan internasional terkait dengan penanaman modal
187
Dalam sengketa Alabama Claims 1872, Mahkamah Arbitrase dengan tegas menolak alsan inggris untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian karena tidak adanya atau kurangnya
sarana- sarana hukum di dalam negeri. Selengkapnya Mahkamah menyatakan : “Whereas the
government oh Her Brittanic majesty cannot justify itself for a failure in due diligence on the plea of insufficiency of the legal means of action which it possessed
” Lord McNair, Treaties and Souvereignty
dalam Huala Adolf, Ibid, hlm. 237.
188
Lord McNair dalam Huala Adolf, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan juga perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan penanaman modal yang dibuat dan ditanda tangani oleh negara tersebut.
Dalam liberalisasi penanaman modal sektor jasa contohnya, negara masih mempunyai kemampuan untuk mengatur dalam Domestic Regulation, Pasal VI
GATS memeberikan kewenangan mengatur kepada negara-negara, khususnya untuk menetapkan persyaratan dan prosedur standar lisensi dan persyaratan
perizinan terhadap bidang usaha jasa yang masuk dalam daftar komitmen khusus negara tersebut.
189
Jadi negara penerima modal asing tetap berdaulat untuk membuat regulasi penanaman modal, namun kedaulatannya tersebut dibatasi dan harus
memperhatikan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang terkait dengan penanaman modal dan juga perjanjian-perjanjian internasional yang di
sepakatinya, karena prinsip-prinsip dan juga perjanjian-perjanjian tersebut mengikat para pihak yang menandatanganinya. Selain itu juga, keikutsertaan
negara dalam menyepakati suatu kesepakatan multilateral dan juga membuat suatu perjanjian internasional merupakan bentuk tindakan berdaulat suatu negara, oleh
karena itu, manakala negara telah melakukan tindakan berdaulatnya, maka tidak ada alasan lagi bagi negara tersebut untuk menyatakan bahwa tindakannya
tersebut telah melanggar kedaulatannya.
189
Mahmul Siregar, GATS dan Kedaulatan Hukum di Bidang Ekonomi., Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan