Jurnal Sosiologi D
I
L
E
M
A
Eva Agustinawati Siany Indria Liestyasan “Kemiskinan Berperspektif Gender di Kota Surakarta”
134
menjadi fenomena langganan yang tidak lagi ditakuti keberadaannya meskipun
berbahaya.
Masyarakat masih meyakini bahwa penyebab utama kemiskinan bersumber
dari mentalitas masyarakat yang ber- sangkutan sehingga sampai ada istilah
“memiskinkan diri” dalam masyarakat ketika ada pendataan bantuan. Sutrisno
1995:18-19 menjelaskan bahwa pemikiran demikian biasanya terdiri dari para pejabat
yang melihat bahwa inti dari masalah kemiskinan adalah masalah budaya. Orang
menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa
wiraswasta, dan pendidikannya rendah.
F. Perspektif Gender dalam Kemiskinan
di Kota Surakarta Data statistik tentang kemiskinan di
Kota Surakarta belum secara spesifik terpilah secara jenis kelamin karena yang
disurvey adalah rumah tangga, sehingga data yang muncul adalah banyaknya Kepala
Keluarga. Kalaupun ada data yang terpilah yaitu jumlah jiwa kategori miskin dan
jumlah perempuan yang lebih banyak di- sebabkan karena jumlah penduduk
perempuan yang memang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Jika melihat kemiskinan dari perspektif gender, maka kita perlu melihat bagaimana
aktivitas, akses dan kontrol dari suatu sumber daya bagi laki-laki dan perempuan.
Ketidakseimbangan dalam aktivitas, akses dan kontrol terhadap sumber daya atau
pemanfaatan sumber daya oleh salah satu jenis kelamin tertentu menyebabkan
kemiskinan hanya melanda salah satu jenis kelamin saja. Akibatnya, muncullah apa
yang disebut sebagai ketimpangan gender. Akses yang sama belum tentu melahirkan
kontrol yang sama pula. Faktor kebudayaan sering dijadikan dasar adanya perbedaan
ini. Masyarakat dalam kategori miskin,
hampir miskin, dan sangat miskin di Kota Surakarta identik dengan satu persoalan
yakni tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendasar. Kalaupun bisa
mencukupi itupun dengan kondisi yang sangat pas-pasan. Penyebabnya tentu saja
ada beragam faktor namun yang utama adalah karena penghasilan yang tidak
seimbang dengan pengeluaran kebutuhan, meskipun untuk kebutuhan sehari-hari
bertahan hidup. Pekerjaan mereka tidak pasti atau kalaupun pekerjaan menetap
penghasilannya cukup rendah. Selain itu, tanggungan hidup mereka cukup besar,
misalnya harus membiayai sekian orang dalam keluarga. Dengan demikian, peme-
nuhan kebutuhan dasar tidak bisa ter- cukupi dengan penghasilan yang tidak
memadai.
Pekerjaan produktif banyak dilakukan oleh laki-laki terkait ranah mereka di
domain publik yang lebih besar dibanding- kan dengan perempuan. Berdasarkan
kategori pembagian kerja berdasarkan seksual yang terbungkus dengan ideologi
gender membuat perempuan lebih banyak bertanggung jawab terhadap pekerjaan
domestik dan reproduktif.
Pada beberapa keluarga miskin, tang- gungan hidup mereka cukup besar.
Seorang ibu misalnya yang suaminya ter- kena stroke dan praktis tidak bisa bekerja,
harus menanggung keempat anaknya yang masih sekolah. Atau seorang anak laki-laki
yang harus menanggung enam orang dalam keluarganya yakni: ayah, ibu, istri, seorang
anak, dan dua orang adiknya. Penghasilan para pencari nafkah utama ini tentu saja
tidak bisa mencukupi kebutuhan seluruh keluarga sehingga banyak kebutuhan dasar
yang tidak bisa dipenuhi. Kasus lain misalnya seorang laki-laki dan perempuan
suami istri bekerja namun penghasilan bersih mereka tidak lebih dari tiga puluh
ribu sehari dengan berjualan gorengan,
ISSN : 02159635, Vol 27 No. 2 Tahun 2011
135
Eva Agustinawati Siany Indria Liestyasan “Kemiskinan Berperspektif Gender di Kota Surakarta”
itupun apabila laku dijual. Ketika jualan sepi pembeli tidak jarang mereka pulang tanpa
membawa hasil apapun malah dikatakan merugi.
Memang ada sebagian besar masya- rakat miskin perempuan yang berprofesi
sebagai ibu rumah tangga, namun mereka mengasuh cucu-cucunya selagi anaknya
ibu si cucu bekerja sehari-hari. Pekerjaan momong
ini dilakukan sebagai kompensasi karena mereka hidup menumpang di
keluarga si anak atau sebaliknya si anak menumpang dalam rumah milik mereka
tetapi si anak membiayai seluruh penge- luaran keluarga. Apabila melihat profil
aktivitas, sebetulnya laki-laki dan perem- puan sama-sama mengambil peran aktif
dalam pekerjaan. Hanya saja pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan terkesan
sebagai pekerjaan sampingan, yang dilakukan sambil lalu atau dilakukan untuk
mengisi waktu senggang saja sehingga seringkali tidak bernilai ekonomis.
Mengasuh anak didefinisikan sebagai tugas reproduktif ‘perempuan’ sehingga tidak
dibayar, tidak bernilai ekonomis oleh karena itu tidak didefinisikan sebagai pekerjaan
karena tidak menghasilkan uang. Kompen- sasinya, seperti kasus di atas, misalnya
dengan ditanggung oleh si anak untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ideologi
gender yang berakar di benak masyarakat turut mendefinisikan suatu perilaku
dianggap sebagai pekerjaan atau bukan pekerjaan.
Akses terhadap sumber daya juga dilihat dari faktor tenaga kerja. Beban
pekerjaan domestik pada perempuan membuatnya memiliki sedikit waktu untuk
bisa mengakses sumber daya ekonomi di ruang publik. Perbedaan akses jelas terlihat
di sini karena laki-laki lebih bisa mengakses sumber daya ekonomi dibandingkan
dengan perempuan. Laki-laki tidak dibe- bani dengan tugas domestik yang digaris-
kan secara kultural, dengan demikian dia lebih banyak memiliki waktu untuk
mengakses sumber daya dibandingkan dengan perempuan. Akses perempuan
terhadap sumber daya ekonomi produktif terbatas karena peran domestiknya.
Kalaupun perempuan bisa mengakses sum- ber daya bekerja di ruang publik, maka
dia akan mengalami beban kerja ganda. Tanggung jawabnya menjadi berlipat yakni
mencari uang dan mengurus rumah tangga.
Aktivitas sosial yang diikuti oleh perem- puan hanya sebatas PKK dan arisan RT.
Perkumpulan semacam ini digunakan oleh kaum perempuan untuk mengakses
pinjaman atau memanfaatkan arisan sebagai sarana tabungan. Jumlah yang ditabung
juga tidak menentu karena simpan pinjam lebih dimanfaatkan sebagai simpanan
menjelang hari raya tiba karena tabungan ini biasa dibagikan menjelang hari raya.
Ketika hari raya tiba, harga kebutuhan pokok akan melambung sementara kebu-
tuhan semakin banyak, tabungan merupa- kan antisipasi perempuan untuk mensiasati
pengeluaran yang membengkak menjelang hari raya tiba. Meminjam dalam arisan juga
dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan men-
desak lainnya, misalnya untuk SPP anak. Sebagian juga memanfaatkan simpan
pinjam sebagai tambahan modal bagi usaha dagang kecil-kecialnnya. Murahnya biaya
angsuran pinjaman membuat simpan pinjam arisan PKK atau RT menjadi sumber
daya ekonomi lain bagi perempuan.
Penyebab kemiskinan secara gender juga terlihat dalam perbedaan kontrol atas
sumber daya dan manfaat oleh laki-laki maupun perempuan. Penghasilan yang
diperoleh baik oleh suami atau istri seringkali dibedakan cara pengelo-laannya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, apabila seorang ibu bekerja maka penghasilannya
dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan dapur seperti membeli beras, minyak, gula
Jurnal Sosiologi D
I
L
E
M
A
Eva Agustinawati Siany Indria Liestyasan “Kemiskinan Berperspektif Gender di Kota Surakarta”
136
dan lain sebagainya. Rata-rata gambaran pengelolaan keuangan penghasilan dalam
keluarga dipegang oleh suami sementara istri biasanya hanya diberi jatah harian saja
untuk membeli kebutuhan makan sehari- hari. Jumlahnya pun bervariasi. Bagi
keluarga yang berpenghasilan tidak tetap, kepiawaian si istri dalam mengelola
keuangan jatah belanja merupakan hal yang mutlak diperlukan. Sampai disini bisa
digambarkan bahwa perempuan tidak bisa mengontrol hasil dan manfaat sumber daya.
G. Kesimpulan