Tingkat Pendidikan Faktor Sosial

91 payu] ‘Alu alu Jualan sekarang semakin lama kok ya semakin nggak laku’ P2 : “He eh og, Mbak. Dhuit kok ra aji men yo?” [he εh ⊃? mba? duwIt k⊃? ra aji mən y⊃] ‘Iya og, Mbak. Uang kok tidak berharga ya?’ P1 : “Lha yo piye, pasar sepi terus Sing dodol tambah akeh.” [lha y ⊃ piye pasar səpi tərUs sIη d⊃d⊃l tambah akεh] ‘Lha bagaimana, pasar sepi terus Yang jualan semakin banyak.’ P2 : “Lha yo kuwi.” [lha y ⊃ kuwi] ‘Lha ya itu.’ P1 : “Kere hore tenan ki.” [kere hore t ənan ki] ‘Miskin bahagia benar ini.’ Data 42 Wacana percakapan 44 di atas merupakan pemakaian ungkapan emosi negatif yang dipengaruhi oleh faktor status sosial. Tuturan “Alu alu Dodolan saiki saya suwe kok yo saya ra payu” dan “Kere hore tenan ki.” diucapkan oleh penjual sembako P1 yang mengeluh dengan keadaan ekonominya yang miskin. Menurutnya, semakin lama keadaan pasar semakin sepi, sehingga dia khawatir pendapatan yang dia peroleh secara otomatis menjadi berkurang. Melalui ungkapan emosi negatif itu, penutur bisa mengungkapkan perasaan hatinya.

4.3.2.2 Tingkat Pendidikan

Dasar pendidikan pada setiap orang akan membawa pengaruh pada cara seseorang berbicara. Dia cenderung memiliki kemampuan untuk dapat menahan 92 diri tidak berbicara hal-hal yang seharusnya tidak perlu, termasuk mengungkapkan emosinya dengan perkataan yang kasar. Salah satu data pemakaian ungkapan emosi negatif masyarakat pasar Karangawen Demak yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan dapat dilihat pada konteks di bawah ini. 45 KONTEKS : SEORANG KULI PASAR MENGHINA TEMANNYA SAAT ANGKAT BARANG P1 : “Kakekane Tibo ik dhuse” [kak ε?ane tib⊃ i? duse] ‘Kakekane Jatuh kardusnya’ P2 : “Pekoke ki lho Ngono wae kok yo ra kuat. Keple po kowe?” [p ək ⊃?e ki lho ηono wae ra kuat keple p⊃ kowe] ‘Tololnya itu lho Begitu saja kok tidak kuat. Kamu lemah ya?’ P1 : “Asu yo, Ndhes Po yo tak sengaja?” [asu y ⊃ ndεs p⊃ y⊃ ta? səη⊃j⊃] ‘Anjing ya, Ndhes Apa ya aku sengaja?’ ..... Data 13 Tuturan di atas merupakan bentuk pemakaian ungkapan emosi negatif yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Umpatan kakekane, pekoke, keple, asu dan ndhes diucapkan oleh para kuli barang P1 dan P2 yang hanya berpendidikan tamat SD. Bahkan salah satu dari mereka ada yang hanya lulus sampai bangku kelas dua SD. Pemilihan umpatan tersebut sama sekali tidak ditutup-tutupi. Apa yang mereka lihat atau mereka rasakan, akan diungkapkan tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Data lain tuturan yang mengandung ungkapan emosi negatif dipengaruhi oleh faktor pendidikan dapat dilihat pada konteks berikut. 46 KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA SEORANG ISTRI 93 YANG SEDANG BERTANYA KEPADA SUAMINYA P1 : “Mas, kowe ndak sida kulakan rokok?” [mas kowe nda? sid ⊃ kula?an r⊃k⊃?] ‘Mas, kamu jadi kulakan rokok?’ P2 : “Durung. Ra kober.” SAMBIL TERSENYUM [durU η ra k ⊃bər] ‘Belum. Tidak ada waktu.’ P1 : “Alah OT Nek ngomong nggedabul Wingi jare arep kulakan.” [alah OT n ε? η⊃m⊃η ηgədabul wiηi jare arəp kula?an] ‘Alah OT Kalau bicara suka bohong Kemarin katanya mau kulakan.’ P2 : “Lha aku ning Sila og, Dek” [lha aku nI η sila ⊃? dε?] ‘Lha aku di tempatnya Sila og, Dek’ Data 44 Tuturan “Alah OT Nek ngomong nggedabul Wingi jare arep kulakan.” merupakan ungkapan emosi negatif yang diucapkan oleh seorang istri P1 kepada suaminya P2. Sang istri menganggap suaminya kalau bicara suka bohong tidak sesuai dengan kenyataan. Pemilihan kata makian OT dan nggedabul menunjukkan kalau sang istri masih menghormati suaminya. Karena tingkat pendidikan yang tinggi pula, maka si istri itu bisa menggunakan kata makian yang tepat. OT adalah singkatan dari omong thok yang artinya ‘suka bicara’ namun pada kenyataannya tidak dilaksanakan sedangkan nggedabul adalah pelesetan dari kata ndobol yang artinya ‘bohong’. Pemilihan kata OT dan nggedabul ini terkesan lebih halus.

4.3.2.3 Usia