Faktor Psikologi Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Ungkapan Emosi negatif

32 diungkapkan melalui bahasa tersebut dapat dikaji melalui kajian sosiolinguistik. Menurut Sumarsono 2004: 61, sosiolinguistik tidak hanya mengkaji tentang hubungan bahasa di dalam masyarakat, tetapi juga mengkaji hubungan antara gejala-gejala sosial fonem, kata, morfem, frase, klausa, kalimat dan gejala-gejala sosial umur, jenis kelamin, kelas sosial, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, sikap, dan sebagainya. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Di samping itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa Fishman dalam Suwito 1991: 3. Pemakaian bahasa yang dimaksud adalah pemakaian ungkapan emosi negatif yang digunakan masyarakat Karangawen Demak dalam ranah pasar. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian ungkapan emosi negatif yaitu: faktor psikologi dan faktor sosial yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya.

2.2.6.1 Faktor Psikologi

Secara etimologi, kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. Kata psyche berarti ‘jiwa, roh, atau sukma’, sedangkan kata logos 33 berarti ‘ilmu’. Jadi, psikologi secara harfiah berarti ‘ilmu jiwa’, atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa Chaer 2003: 2. Namun dalam perkembangannya, psikologi diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba mempelajari perilaku manusia. Prinsip yang terdapat dalam psikologi adalah bahwa tingkah laku itu merupakan ekspresi dari jiwa seseorang. Oleh karena itu, ekspresi mempunyai peranan yang penting dalam psikologi. Faktor psikologi yang mempengaruhi munculnya ungkapan emosi di antaranya adalah kecerdasan emosi dan latar belakang kehidupan kejiwaan pelaku bahasa. Goleman 2001: 512 mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menurut Salovey dan Mayer dalam Goleman 2001: 513, kecerdasan emosi didefinisikan sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan. Mereka menempatkan kecerdasan emosi ini dalam lima wilayah utama, yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Mengenali emosi diri merupakan kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Hal ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Mengelola emosi dimaksudkan untuk menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, sedangkan memotivasi diri sendiri adalah 34 menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Mengenali emosi orang lain, empati, merupakan keterampilan bergaul untuk dapat menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain. Terakhir, membina hubungan dengan orang lain, merupakan keterampilan untuk mengelola emosi orang lain. Pengendalian emosi diri sendiri tidak hanya meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi. Hal ini juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk tidak menyenangkan Goleman 2001: 127. Selain kecerdasan emosi, latar belakang kehidupan atau pengalaman kejiwaan seseorang juga turut menentukan cara seseorang dalam berkomunikasi. Emosi yang muncul secara spontan dalam menghadapi sesuatu yang dapat membuat seseorang marah, terkejut, kecewa ataupun kagum dan senang, dilatarbelakangi oleh pengalaman hidupnya di masa lalu. Jadi, jika pengalaman hidupnya di masa lalu dipenuhi oleh pikiran negatif yang membuat dia mudah mengungkapkan emosinya dengan cara kasar, dia akan memiliki kecenderungan untuk tidak dapat menahan dirinya dari kebiasaan memaki. Orang yang sedang marah atau dalam keadaan emosi tingkat tinggi dapat dipastikan kesulitan dalam mengontrol tuturannya. Dengan emosi yang demikian itu, si penutur akan banyak mengeluarkan kata-kata yang terlepas dari pilihan tingkat tutur. Kita hampir tidak dapat menemukan orang menggunakan tingkat tutur krama pada saat sedang marah. Tingkat tutur ngoko-lah yang paling banyak dipakai orang. Bukan itu saja, bahkan bahasa ngoko ini dicampur juga dengan berbagai macam kata-kata kasar dan tabu. 35

2.2.6.2 Faktor Sosial