24
b. Mendengarkan
Kemampuan untuk mendengarkan orang lain, merupakan suatu hal yang  penting  untuk  membina  hubungan  dalam  keluarga.  Pada
hakikatnya mendengar adalah menerima sampai suatu cerita berakhir, serta berusaha untuk menyusun kembali dalam pikiran kita peristiwa-
peristiwa  dan  pengalaman-pengalaman  orang  lain.  Pada  saat  anak menghadapai  suatu  masalah  orang  tua  hendaknya  mendengarkan
cerita anak sampai selesai sebelum orang tua memberikan solusinya.
c. Berempati
Berempati  berarti  mau  merasakan  apa  yang  dirasakan  orang  lain. kunci  untuk  membesarkan  anak  yang  sehat  dan  bertanggung  jawab
adalah  dengan  berusaha  untuk  melihat  apa  yang  dilihat  anak, memikirkan  apa  yang  dipikrkan  anak,  dan  merasakan  apa  yang
dirasakan  anak.  melalui  empati  akan  dapat  memahami  keinginan  dan kebutuhan anak.
Berdasarkan  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  komunikasi keluarga  dapat  berjalan  efektif  apabila  ada  keterbukaan  dalam  keluarga,
rasa  empati  antar  anggota  keluarga,  suportifitas  atau  saling  mendukung antar  anggota  keluarga,  adanya  sikap  positif,  kesamaan,  saling  bercerita,
dan saling mendengarkan.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Keluarga
Syaiful  Bahri  2004:  62-73,  menyebutkan  ada  sejumlah  faktor- faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga, yaitu:
25
a. Citra Diri dan Citra Orang Lain
Ketika orang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, dia  mempunyai  citra  diri,  dia  merasa  dirinya  sebagai  apa  dan
bagaimana.  Setiap  orang  mempunyai  gambaran  tertentu  mengenai dirinya,  statusnya,  kelebihan,  dan  kekurangannya.  Gambaran  itulah
yang  menentukan  apa  dan  bagaimana  dia  berbicara,  menjadi penyaring  dari  apa  yang  dilihatnya,  didengarnya,  bagaimana
penilaiannya terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya. Dengan kata lain, citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang.
Citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang dalam  berkomunikasi.  Orang  lain  mempunyai  gambaran  yang  khas
bagi  dirinya.  Jika  seorang  ayah  mencitrakan  anaknya  sebagai  orang yang lemah, ingusan, tidak tahu apa-apa, harus diatur, harus diawasi,
maka  ia  berbicara  kepada  anaknya  itu  secara  otoriter,  yaitu  lebih banyak  mengatur,  melarang,  dan  memerintah.  Tetapi,  jika  seorang
ayah  mencitrakan  anaknya  sebagai  manusia  cerdas,  kreatif,  dan berpikiran sehat, maka ia mengkomunikasikan sesuatu pada anaknya
dalam  anjuran  daripada  perintah,  pertimbangan  daripada  larangan, kebebasan terpimpin daripada banyak mengatur. Akhirnya, citra diri
dan citra orang lain saling berkaitan, lengkap melengkapi. Perpaduan kedua citra itu menentukan gaya dan cara berkomunikasi.