HUBUNGAN PENDIDIKAN MORAL DAN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA DENGAN PERILAKU SOSIAL ANAK KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI DI GUGUS III BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA.

(1)

i

HUBUNGAN PENDIDIKAN MORAL DAN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA DENGAN PERILAKU SOSIAL ANAK KELAS V

SEKOLAH DASAR NEGERI DI GUGUS III BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh:

Ulin Nuskhi Muti’ah NIM 13108241180

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017


(2)

ii

HUBUNGAN PENDIDIKAN MORAL DAN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA DENGAN PERILAKU SOSIAL ANAK KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI DI

GUGUS III BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

Oleh:

Ulin Nuskhi Muti’ah NIM 13108241180

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V sekolah dasar di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan model korelasi. Populasi dalam peelitian ini adalah siswa kelas V sekolah dasar di Gugus III Banguntapan Bantul yang berjumlah 142 anak. Teknik pengumpulan data menggunakan angket untuk mengumpulkan data mengenai pendidikan moral dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga, dan perilaku sosial anak. Uji validitas menggunakan validitas konstruk dan validitas butir dengan bantuan SPSS sedangkan uji reliabilitas menggunakan teknik uji reliabilitas alpha cronbach. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi.

Hasil analisis menunjukkan: (1) Ada hubungan signifikan dan positif antara pendidikan moral dalam keluarga dengan perilaku sosial anak, dengan nilai signifikansi = 0,000 < 0,05 Hasil dari R2 = 0,505 yang berarti pendidikan moral dalam keluarga memberikan sumbangan sebesar 50,5% terhadap perilaku sosial anak, sedangkan 49,5% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. (2) Ada hubungan signifikan dan positif antara komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak, dengan signifikansi 0,000 < 0,05. Hasil dari R2 = 0,443, hal in berarti komunikasi dalam keluarga meberikan sumbangan 44,3% terhadap perilaku soisal anak. Sisanya 55,7% dippengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. (3) Ada hubungan yang signifikan dan positif antara pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak, dengan signifikansi 0,000 < 0,05. Hasil dari R2 = 0,552, hal ini berarti pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 55,2% terhadap perilaku sosial anak. Sisanya 44,8% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian.


(3)

iii

THE RELATIONSHIP OF MORAL EDUCATION AND COMMUNICATION IN FAMILY WITH THE CHILDREN SOCIAL BEHAVIOR IN 5TH GRADE OF

ELEMENTARY SCHOOL AT CLUSTER III BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

By:

Ulin Nuskhi Muti’ah NIM. 13108241180

ABSTRACT

This Research aims to find out the relationship of moral education and communication in family with the children social behavior in 5th grade students in cluster III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

This research used quantitative approach with correlation model. The population in this study are the students in 5th grade students in cluster III Banguntapan Bantul Yogyakarta, wich amounts to 142 children. Questionnaires used to collect the data about moral education in family, communication in family, and children sosial behavior. The validity test used construct validity and for reliability test used alpha cronbach reliability test. Data analysis technique used regression analysis.

The results of the analysis show: (1) There is a significant and positive correlation between moral education in family and social behavior of children, with the value of significance = 0,000 <0.05 The result of R2 = 0,505, it means moral education in family contributes 50.5% in children social behavior, while 49.5% influenced by other variables outside the research. (2) There is a significant and positive relationship between communication in the family and children social behavior, with significance of 0.000 <0.05. Results from R2 = 0.443, it means that communication in the family gives 44.3% contribution to children social behavior. The remaining 55.7% is influenced by other variables outside the research. (3) There is a significant and positive relationship between moral education and communication in the family with the social behavior of children, with a significance of 0.000 <0.05. The result of R2 = 0,552, this means moral education and communication in family together contributes 55,2% to children social behavior. The remaining 44.8% is influenced by other variables outside the research.


(4)

iv


(5)

v


(6)

vi


(7)

vii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. Bapak, ibu, keluarga besar, dan teman-teman tercinta yang telah memberikan doa dan dukungan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Alamamater Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Agama, Nusa dan Bangsa.


(8)

viii MOTTO

“Setiap bayi yang lahir adalah fitrah maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani ataupun Majusi”


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Hubungan Pendidikan Moral dan Komunikasi dalam Keluarga dengan Perilaku Sosial Anak Kelas V Sekolah Dasar di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Aprilia Tina Lidyasari, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing TAS yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Ibu Aprilia Tina Lidyasari, M. Pd; Bapak Fathurrohman, S. Pd, M. Pd; dan Bapak Dr. Dwi Siswoyo, M. Hum selaku Ketua Penguji, Sekertaris, dan Penguji utama yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap TAS ini. 3. Bapak Suparlan, M. Pd. I selaku ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar dan

ketua Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini.

4. Bapak Dr. Drs. Haryanto, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi.


(10)

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

SURAT PERNYATAAN... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

MOTTO ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 9

1. Pendidikan Moral dalam Keluarga ... 9

2. Komunikasi dalam Keluarga ... 26

3. Perilaku Sosial Anak ... 34

4. Perkembangan Anak SD Kelas 5 ... 40

B. Penelitian yang relevan ... 44

C. Kerangka Pemikiran ... 46

D. Hipotesis ... 49

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 51

B. Tempat dan waktu penelitian ... 51

C. Subyek Penelitian ... 52

D. Variabel Penelitian ... 52

E. Populasi Penelitian ... 54

F. Teknik Pengumpulan Data ... 55


(12)

xii

H. Teknik Analisis Data ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian ... 67

B. Deskripsi Subyek Penelitian ... 67

C. Hasil Analisis Deskriptif ... 67

D. Pengujian Persyaratan Analisis ... 79

E. Pengujian Hipotesis ... 82

F. Pembahasan Hasil Penelitian ... 85

G. Keterbatasan Penelitian ... 89

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hubungan Antar Variabel... 49

Gambar 2. Grafik Skor Indikator Pendidikan Moral dalam Keluarga... 70

Gambar 3. Grafik Skor Indikator Komunikasi dalam Keluarga... 73

Gambar 4. Grafik Skor Indikator Perilaku Sosial Anak... 77


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah Populasi ... 55

Tabel 2. Rangkuman Hasil Validasi Pendidikan Moral dalam Keluarga... 61

Tabel 3. Rangkuman Hasil Validasi Komunikasi dalam Keluarga... 61

Tabel 4. Rangkuman Hasil Validasi Perilaku Sosial Anak ... 62

Tabel 5. Hasil Analisis Reliabilitas Instrumen... 63

Tabel 6. Rumus Perhitungan Kategori... 65

Tabel 7. Hasil Analisis Deskriptif... 68

Tabel 8. Skor Indikator pendidikan Moral dalam Keluarga... 69

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Pendidikan Moral dalam Keluarga... 71

Tabel 10. Rumus Klasifikasi Pendidikan Moral dalam Keluarga... 71

Tabel 11. Klasifikasi Pendidikan Moral dalam Keluarga... 72

Tabel 12. Skor Indikator Komunikasi dalam Keluarga... 73

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Komunikasi dalam Keluarga... 74

Tabel 14. Rumus Klasifikasi Komunikasi dalam Keluarga... 75

Tabel 15. Klasifikasi Komunikasi dalam Keluarga... 75

Tabel 16. Skor Indikator Perilaku Sosial Anak... 76

Tabel 17. Distribusi frekuensi Perilaku Sosial Anak... 78

Tabel 18. Rumus Kasifikasi Perilaku Sosial Anak... 79

Tabel 19. Klasifikasi Perilaku Sosial Anak... 79

Tabel 20. Hasil Uji Normalitas... 80

Tabel 21. Hasil Uji Linieritas... 80

Tabel 22. Hasil Uji Multikolinieritas... 81


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrumen Penelitian... 96

Lampiran 2. Data Hasil Uji Coba Instrumen... 109

Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 121

Lampiran 4. Data hasil Penelitian... 126

Lampiran 5. Hasil Analisis Deskriptif... 152

Lampiran 6. Hasil Uji Prasyarat Penelitian... 154

Lampiran 7. Hasil Ananlisis Regresi Ganda... 159


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak dapat lepas dari interaksi dengan manusia lain. Interaksi manusia terjadi dikarenakan adanya hubungan saling membutuhkan. Interaksi antarmanusia di masyarakat terikat oleh norma yang disepakati di masyarakat. Norma tersebut diantaranya yaitu saling menghormati, tolong menolong, saling menghargai, empati atau teposliro, jujur dan sebagainya.

Keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat merupakan tempat pertama bagi setiap individu untuk berinteraksi. Di dalam keluarga, anak pertama kali memperoleh pendidikan. Menurut Fahrudin (2014:44) dari interaksi di dalam keluarga individu memperoleh akhlak, nilai-nilai, dan emosi dengan itu ia merubah banyak kemungkinan-kemungkinan, kesanggupan-kesanggupan, dan kesediaanya menjadi kenyataan dalam hidup dan tingkah laku yang tampak. Keluarga bagi seorang individu merupakan simbol nilai yang mulia, keimanan yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban untuk kepentingan kelompok, cinta pada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain.

Keluarga memiliki beberapa fungsi. Menurut M.I. Soelaeman fungsi keluarga ada delapan jenis yaitu: (1) fungsi edukasi, (2) fungsi sosialisasi, (3) fungsi proteksi, (4) fungsi afeksi, (5) fungsi religius, (6) fungsi ekonomi, (7) fungsi rekreasi, (8) fungsi biologis (Fahrudin; 2014:46). Berdasarkan pada fungsi keluarga di atas terlihat bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi pendidikan atau sosialisasi.


(17)

2

Sosialisasi dari orang tua sangat penting bagi anak karena dia masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri (Yusuf, 2014: 126). Oleh karena itu sangat penting peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga dalam mendidik anak-anaknya termasuk pendidikan nilai moral.

Interaksi keluarga juga melibatkan proses komunikasi antara orang tua dengan anak. Komunikasi keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komunikasi keluarga yang baik akan membantu anak untuk mengembangkan konsep diri positif yang akhirnya berpengaruh pada perilaku anak. Menurut Devito (Abriyoso, Karimah, dan Benyamin, 2013:6) komunikasi yang baik ditandai dengan adanya keterbukaan, simpati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan.

Setiap orang tua tentunya ingin anaknya menjadi anak yang berperilaku baik dan luhur, namun terkadang hal yang tidak diharapkan dapat terjadi pada anak-anak mereka. Orang tua terkadang akan meyalahkan pihak lain sebagai faktor penyebab kenakalan anak-anak mereka. Padahal sangat mungkin yang menjadi penyebab anak melakukan kenakalan adalah keluarga itu sendiri. Contohnya banyak orang tua yang ingin anaknya menjadi anak yang jujur namun sebagai orang tua mereka justru melakukan kecurangan di hadapan anak-anaknya. Banyak orang tua berharap anaknya memiliki karakter yang baik namun dihadapan anak orang tua justru berbuat hal buruk seperti menyerobot antrian, bertutur yang kasar, berpakaian seronok, dan sebagainya. Tanpa orang tua sadari mereka telah mengajarkan anak untuk berperilaku


(18)

3

buruk. Berdasarkan fase perkembangannya, anak-anak pada usia Sekolah Dasar masih dalam tahap meniru. Meniru yang mereka lakukan yaitu meniru perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang – orang disekitarnya. Dalam hal ini, orang-orang terdekat anak adalah orang-orang tua (keluarga). Mereka meniru namun belum bisa menentukan antara tidakan yang baik dan buruk.

Ketika melaksanakan observasi pada waktu PPL yang dilaksanakan pada bulan Juli- Agustus 2016 di SD N 1 Sekarsuli ( tempat peneliti PPL ) diperoleh hasil observasi dan wawancara bahwa anak-anak usia sekolah dasar banyak yang menunjukkan perilaku yang tidak baik, diantaranya, berbicara kasar (misuh) pada guru dan teman, tidur-tiduran saat diajar oleh guru, memanggil nama guru tanpa sebutak ibu, bahkan peneliti mengalami sendiri di-misuhi oleh siswa di sekolah tersebut saat melaksanakan PPL. Selain itu ada beberapa siswa yang mengajak temannya merokok saat pulang sekolah. Setelah melakukan wawancara dengan wali kelas, dieroleh informasi bahwa orang tua dari para siswa banyak yang mengkonsumsi minum-minuman keras sehingga minuman keras bukan hal asing bagi anak-anak di sekolah tersebut. Hasil dari wawancara dengan siswa yang bermasalah juga menyatakan bahwa mereka jarang bicara dengan orang tua karena orang tua bekerja.Wali kelas juga menyampaikan beberapa anak yang menunjukkan perilaku tidak baik di sekolah adalah anak-anak yang tidak tinggal dengan orang tua melainkan dengan saudara. Anak-anak tersebut menyampaikan kekecewaan dan kesedihannya kepada peneliti karena jarang bisa bertemu dan berkomunikasi dengan orang tua mereka. Anak-anak menyatakan keluarga membebaskan mereka untuk


(19)

4

bermain dimana saja dan dengan siapa saja tanpa pengawasan dari keluarga. Berdasarkan hasil observasi anak-anak yang mengalami hal tersebut menunjukkan perilaku yang tidak baik yaitu mudah tersinggung saat ditegur yang ditunjukkan dengan membalas perkataan guru, menggebrak meja, dan meremehkan apa yang guru sampaikan.

Kenakalan-kenakalan pada anak menunjukkan bahwa nilai moral di masyarakat mengalami kemerosotan. Menurut Zakiah Drajat dalam Fahrudin (2014:48) dijelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan moral yaitu: (1) kurang tertanamnya nilai-nilai keimanan pada anak-anak, (2) lingkungan masyarakat yang kurang sehat, (3) pendidikan moral tidak berjalan menurut semestinya, baik di rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat, (4) suasana rumah tangga yang kurang baik, (5) diperkenalkannya secara populer obat-obat terlarang dan alat-alat anti hamil, (6) Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan tuntunan moral. Jadi kurang tertanamnya nilai-nilai keimanan pada anak-anak dan suasana rumah tangga yang kurang baik akan mempengaruhi kemerosotan moral anak.

Lingkungan terdekat anak adalah keluarga khususnya orang tua. Oleh karena itu kehangatan hubungan antara orang tua dan anak juga sangat penting. Kehangatan hubungan antara orang tua dan anak dapat ditunjukkan dari komunikasi yang terjadi antara keduanya. Komunikasi dengan orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan perilaku anak. Seperti yang disampaikan oleh Ashley Montagu (dalam Jalaludin Rahmat (2013:2) bahwa komunikasi merupakan perantara yang paling


(20)

5

penting untuk mendidik anak menjadi manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang tua yang dikarenakan harus bekerja sehingga sering kehilangan waktu bersama anak. Selain itu dengan adanya kemajuan teknologi yang pesat membuat orang tua lebih asik dengan gadgetnya sehingga kurang berkomunikasi dengan anak. Kondisi rumah tangga yang tidak baik seperti berpisahnya orang tua, dan anak harus tinggal terpisah dengan orang tua juga menjadi penyebab buruknya komunikasi antara orang tua dan anak. Seperti salah satu kasus yang ditemukan pada waktu PPL ada siswa yang sering bicara kasar dan menggebrak meja. Oleh peneliti didekati, sering diajak bicara, dan didengarkan. Setelah beberapa waktu ada perubahan pada anak tersebut menjadi agak tenang bahkan sering ( jawa: nglendoti peneliti). Ternyata setelah peneliti mencoba menannyakan pada wali kelas, anak tersebut tinggalnya tidak dengan orang tuanya. Berdasar pada pengalaman tersebut maka komunikasi sangat penting untuk anak. Melalui komunikasi dengan orang tua, anak bisa berbagi cerita atau pengalaman yang tidak mengenakkan dan bertanya mengenai hal-hal yang tidak mereka ketahui. Banyak persoalan anak yang disebabkan karena mereka tidak menemukan seseorang dalam keluarga yang bisa menjadi tempat berbagi untuk bercerita dan memahami masalah serta kebutuhan mereka.

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang seharusnya memiliki akhlak mulia dan bermoral. Setiap siswa diharapkan menjadi anak yang cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, dan bertindak sesuai moral yang berlaku di masyarakat, tapi kenyataannya tidak semua bisa bersikap demikian. Secara kodrati anak (manusia) bukanlah makluk yang mampu hidup sendiri, antarmanusia harus saling berinteraksi


(21)

6

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu perkembangan perilaku sosial anak sangatlah penting untuk diperhatikan. Tentunya permasalahan perilaku sosial siswa tersebut banyak yang mempengaruhi. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti “hubungan pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak Kelas V Sekolah Dasar di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa pemasalahan yaitu 1. Pendidikan moral dalam keluarga belum terlaksana dengan baik. 2. Komunikasi dalam keluarga belum berjalan dengan baik.

3. Perilaku sosial anak usia Sekolah Dasar banyak yang negatif disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu keluarga.

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini dibatasi pada:

1. Hubungan antara pendidikan moral dalam keluarga dengan perilaku sosial anak Sekolah Dasar.

2. Hubungan antara komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak Sekolah Dasar.

3. Hubungan antara pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak Sekolah Dasar.


(22)

7 D. Rumusan Masalah

Mengacu pada permasalahan yang dikemukakan di atas, penelitian ini berfokus pada masalah yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara pendidikan moral dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

2. Apakah ada hubungan antara komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta. 3. Apakah ada hubungan antara pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga

dengan perilaku sosial anak kelas V Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan Ruman masalah, tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan moral dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

3. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.


(23)

8 F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis: Temuan hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmiah dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan dalam keluarga terutama berkenaan dengan cara menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk perilaku sosial kepada anak usia Sekolah Dasar.

2. Manfaat Praktis. a. Bagi orang tua

Temuan hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi orang tua untuk memperbaiki komunikasi dengan anak di dalam keluarga dan lebih meningkatkan perannya sebagai pendidik pertama dan utama kepada anak khususnya dalam menanamkan nilai-nilai moral sehingga anak dapat mengembangkan perilaku sosial sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

b. Bagi guru:

1) Menambah wawasan guru mengenai hubungan pendidikan moral keluarga dan komunikasi keluarga dengan perilaku sosial siswa.

c.Bagi kepala sekolah

2) Dapat digunakan oleh sekolah sebagai masukan kepada orang tua mengenai pentingnya peran orang tua dalam pembentukan perilaku sosial siswa.


(24)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pendidikan Moral dalam Keluarga a. Pengertian Pendidikan Moral

Pendidikan sangat penting dalam kehudapan manusia. Melalui pendidikan seseorang dapat memperoleh pengetahuan, mendapat karir yang baik, meningkatkan status sosial, dan berperilaku sesuai norma di lingkungannya. Tanpa pendidikan proses perkembangan dalam diri manusia akan terhambat. Pendidikan merupakan, proses sepanjang hayat yang artinya harus diberikan sejak individu lahir hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu pendidikan sangat penting untuk diberikan pada setiap anak yang sudah dimulai sejak ia lahir. Ki Hajar Dewantara menyebutkan pendidikan pada umumnya merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (itelek), dan tubuh anak. Sedangkan Crow and Crow menyampaikan bahwa pendidikan merupakan proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosial dan meneruskan adat dan budaya dari generasi ke generasi (Ihsan, 2008:4). Definisi mengenai pendidikan juga disampaikan oleh Rohman (2009:5) bahwa pendidikan berarti membantu anak agar optimal dalam pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dari keluarga atau masyarakat.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha keluarga dan masyarakat untuk mengembangkan potensi anak yaitu


(25)

10

kekuatan spiritual, pengetahuan, keterampilan, pengendalian diri, kepribadian, dan nilai serta adat dan budaya yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat.

Pendidikan yang diberikan kepada anak harus diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas sehingga mampu bersaing, berbudi pekerti yang luhur dan memiliki moral yang baik. Untuk menghasilkan manusia (anak) yang berkualitas dibutuhkan pendidikan yang berkualitas pula. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu mengoptimalkan potensi-potensi yang ada pada anak. Pendidikan dilaksanakan untuk mengembangkan tiga aspek pada diri siswa yaitu aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotor (keterampilan). Ketiga aspek tersebut harus dikembangkan secara seimbang sehingga dapat menciptakan generasi muda yang berkualitas.

Seperti yang dijelaskan di atas, salah satu tujuan dari pendidikan adalah mengembangkan kesadaran moral pada diri anak. Istilah moral kadang-kadang digunakan sebagai kata yang sama artinya dengan etika. Menurut Lorens Bagus (1996) dalam Sjarkawi (2008:27) moral berasal dari bahasa latin, yaitu kata mos (adat istiadat,kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Secara etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat istiadat, hanya bahasa asalnya yang berbeda, yaitu etika berasal dari bahasa Yunani sedangkan moral berasal dari bahasa Latin. Menurut Bertens etika (moral) memiliki tiga arti yaitu

pertama etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua etika


(26)

11

dalam artian kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang yang baik dan buruk (Sjarkawi,2008:27-28). Maka dapat disimpulkan bahwa moral sama dengan etika yaitu nilai-nilai atau norma mengenai baik dan buruk yang mengatur mengenai tingkah laku seseorang atau kelompok.

Fahrudin (2014:46) menyatakan istilah moral memiliki maksud yang sama dengan istilah akhlak dalam terminology Islam, karakter, etika, budi pekerti, dan susila dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnnya Sofyan Sauri (dalam Fahrudin 2014:46) mengklasifikan pengertian moral sebagai berikut:

1) Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat. 2) Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.

3) Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.

Keberadaan moral mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Di masyarakat, apabila manusia bertindak seperti menolong tetangga yang kesusahan, menghormati tetangga, dan mengucapkan terimakasih saat dibantu oleh orang lain maka orang tersebut dianggap baik secara rmoral, sedangkan apabila seseorang melakukan tindakan berbohong, menghina, dan mencuri maka orang tersebut dianggap jelek secara moral. Hal itu sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sjarkawi (2008:28) bahwa moral dapat diartikan sebagai sarana


(27)

12

untuk mengukur benar tidaknya atau baik tidaknya tindakan manusia. Melalui moral manusia mampu menilai perilaku orang lain baik atau buruk serta memiliki pedoman dalam berperilaku di masyarakat.

Dalam pendidikan moral terdapat dua faktor penting yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal meliputi lingkungan sosial sekitarnya sedangkan faktor internal yang berasal dari dalam diri individu. Dijelaskan oleh Piaget (dalam Sjarkawi 2006:39) bahwa pertimbangan moral seseorang dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu pengaruh dari orang tua (keluarga) dan teman sebaya dan internal yaitu tingkat perkembangan intelektual. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena perkembangan moral anak memerlukan keseiringan antara dua faktor tersebut.

Pertimbangan moral seseorang nantinya akan mempengaruhi perilaku moralnya. Perilaku moral merupakan perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial (Hurlock, 2013:74). Kohlberg (dalam Sjarkawi, 2006:39) menyebutkan perilaku moral seseorang lahir dari tingkat peritimbangan moralnya. Sedangkan perkembangan tingkat pertimbangan moral seseorang dipengaruhi oleh suasana moralitas di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat luas. Oleh karena itu pendidikan moral di lingkungan rumah harus dilaksanakan sehingga dapat meningkatkan pertimbangan moral anak yan akhirnya akan menghasilkan perilaku moral pada anak.

Pendidikan moral memiliki makna yang sama dengan pendidikan nilai. Menurut Oyserman, (dalam Lestari, 2012:71) nilai (values) dalam level individu dinyatakan sebagai representasi sosial atau keyakinann moral yang diinternaslisasi


(28)

13

dan digunakan orang sebagai dasar rasional terakhir dari tindakan-tindakannya. Huitt menyatakan pendidikan nilai merupakan upaya nayata untuk mengajarkan nilai-nilai dan melatih keterampilan melakukan penilaian (Lestari, 2012:84). Lestari (2012:86) menjelaskan pendidikan nilai melibatkan dua proses yaitu sosialisasi dan enkulturasi. Sosialisasi merupakan pengajaran nilai dan norma secara sengaja dan melekukan pengawasan terhadap individu, sedangkan enkulturasi merupakan proses penyerapan norma dan nilai secara tidak langsung melaui paparan dan observasi.

Berdasarkan pembahasan di atas moral merupakan nilai-nilai mengenai baik dan buruk yang mengatur tingkah laku seseorang atau kelompok. Nilai-nilai tersebut diajarkan dari generasi ke generasi di dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga dan masyarakat harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk tumbuh dan mengembangkan pemahaman moralnya. Melalui keluarga dan masyarakat anak belajar nilai-nilai moral yang akhirnya mempengaruhi tingkat pertimbangan moralnya. Tingkat pertimbangan moral yang tinggi akan melaihrkan perilaku moral yang baik sedangkan tingkat pertimbangan moral yang rendah akan melahirkan perilaku moral yang buruk. Pendidikan moral dapat diperoleh anak melalui pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh orang dewasa atau dapat melalui hasil pengamatan anak terhadap tingkah laku orang dewasa di sekitarnya. Nilai-nilai tersebut nantinya akan diinternalisasi dan digunakan sebagai dasar bagi anak untuk bertindak. Oleh karena itu orang tua dan masyarakat perlu untuk berhati hari dalam berperilaku karena apa yang mereka lakukan merupakan pendidikan moral bagi anak. Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan pendidikan moral


(29)

14

adalah upaya keluarga dan masyarakat untuk mengajarkan nilai-nilai mengenai baik dan buruk pada anak sehingga dapat meningkatkan tingkat pertimbangan moral anak yang diwujudkan dalam perilaku moralnya.

b. Pendidikan Moral dalam Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Reiss (dalam Lestari, 2012:4) mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru. Sedangkan Weigert dan Thomas berpendapat bahwa keluarga merupakan suatu tatanan utama yang mengkomunikasikan pola-pola nilai yang bersifat simbolik (komponen budaya) kepada generasi baru. Berns (dalam Lestari, 2102:22) juga menjelaskan beberapa fungsi keluarga sebagai berikut.

1) Reproduksi : keluarga mamiliki tugas mempertahankan populasi yang ada di masyarakat.

2) Sosialisasi atau edukasi : keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya kepada generasi yang lebih muda.

3) Penugasan peran sosial : keluarga memebrikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.

4) Dukungan ekonomi: keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, jaminan kehidupan.


(30)

15

5) Dukungan emosi atau pemeliharaan: keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.

Dari pendapat ahli di atas menunjukkan bahwa keluarga memiliki tugas utama yaitu untuk mensosialisasikan atau mendidik anak-anaknya mengenai nilai-nilai, aturan, dan budaya yang ada di masyarakat.

Keluarga merupakan institusi pendidikan pertama bagi anak karena anak pertama kali memperoleh pendidikan di lingkungan keluarga sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas. Pendidikan dalam keluarga termasuk dalam pendidikan informal. Pendidikan dalam keluarga berjalan sepanjang masa dan terjadi melalui interaksi dan sosialisasi di keluarga. Isi pendidikannya tersirat dalam komunikasi antarsesama anggota keluarga dan dalam tingkah laku keseharian orang tua atau anggota keluarga yang lain (Fahrudin, 2014: 42). Oleh karena itu setiap saat orang tua harus memberikan contoh kebiasaan yang baik karena apa yang dilakukan orang tua akan dilihat anak dan ditirukan.

Terkait dengan pendidikan dalam keluarga, menurut Lestari (2012: 87) sosialisasi dapat didefinisikan sebagai proses yang diinisiasi oleh orang dewasa untuk mengembangkan anak melalui insight, pelatihan, imitasi, guna mempelajari kebiasaan dan nilai-nilai yang kongruen. Melalui sosialisasi diharapkan anak dapat memiliki kebiasaan yang adaptif, nilai-nilai yang relevan dengann budaya setempat.

Pendidikan keluarga merupakan proses yang dinisiasi oleh orang dewasa (orang tua) untuk mengembangkan kemampuan anak dalam memahami kebiasaan dan nilai


(31)

16

nilai yang relevan dengan budaya setempat melalui insight, pelatihan, dan imitasi. Pendidikan dala keluarga terjadi melalui interaksi antaranggota keluarga. Pendidikan dalam keluarga ada untuk mentransmisikan nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi sebelumnya kepada yang lebih muda serta memberikan identitas pada apara anggota keluarga mengenai ras, agama, peran gender, sosial, dan ekonomi. Melalui keluarga anka akan memperoleh pengalaman berinteraksi sebelum akhirnya turun ke masyarakat.

Pendidikan moral yang telah dilakukan sejak kecil harus lebih dikukuhkan keberadaannya pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Suparno dkk (dalam Zuriah, 2011:36-61) menjelaskan nilai-nilai oral yang perlu ditanamkan pada anak usia sekolah dasar sebagai berikut.

1) Religiusitas

Menanamkan nilai religiusitas dapat dilakukan dengan membiasakan berdoa sebelum emulai kegiatan, mengenalkan hari-hari besar agama di Indonesia dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh sesuai agama yang dianut, mengenakan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia melalui kegiatan mendongeng atau bercerita, mengenalkan anak pada macam-macam agama di Indonesia dan ditumbuhkan sikap saling menghormati antarumat beragama. Melalui kegiatan berdoa anak-anak dibiasakan mengenal kekuatan dan kekuasaan yang lebih dari manusia yaitu Tuhan yang Mahakuasa. Juga perlu ditanamkan kepercayaan bahwa Tuhan maha baik dan maha segalanya karena apa yang manusia butuhkan sudah diciptakan oleh Tuhan


(32)

17

berupa tanah yang subur, kekayaan alam yang melimpah yang harus selalu dijaga dengan baik.

Taubah (2015: 116-136) juga menyatakan keluarga merupakan ladang terbaik dalam menyemai nilai-nilai agama. Pendidikan dan penanaman nilai - nilai agama perlu diberikan sedini mungkin pada anak salah satunya melalui keluarga. Pendidikan yang utama yang perlu diberikan pada anak merupakan pendidikan ruhani yaitu mencakup pendidikan agama. Pemberian pendidikan agama pada anak dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual agar manjadi manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia.

2) Sosialitas

Nilai sosialisasi dapat ditanamkan mealalui kegiatan yang melibatkan kerja bersama atau kelompok. Misalnya gotong royong, saling membantu, saling memperhatikan, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Selain itu anak juga dibiasakan menaati aturan dan tata tertib sehingga anak dapat dibiasakan untuk hidup bersama secara benar, abaik, dan tertib.

3) Gender

Semangat kesetaraan gender harus dilakukan sejak dini dan dimulai dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga, kemudian lingkungan sekolah dan masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan. Anak-anak harus diperkenalkan bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam hal jenis kelamin, namun dalam hal peran gender jangan dibeda-bedakan, yang membedakan hanya soal kemampuan saja. Anak harus ditunjukkan bahwa perempuan juga bisa


(33)

18

melakukan aktivitas laki-laki sehingga tidak muncul anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah, lembek, dan hanya mampu melakukan kegiatan yang ringan.

4) Keadilan

Pada anak kelas 4, 5, 6 (kelas tinggi) pengertian keadilan sudah mulai pada perbedaan hakiki antara laki-laki dan perempuan. Budaya berpakaian dan berperilaku “pantas dan baik” untuk laki-laki dan perempuan yang mempunyai perbedaan fisik dan fungsi fisik mulai ditanamkan dalam konsep yang agak luas dan rinci. Anak diberi pemahaman bahwa perbedaan fisik laki-laki dan perempuan menyebabkan perlakuan lahiriah yang berbeda, namun tetap diimbangi sikap dasar dan prinsip hidup bahwa keadilan tetap berlaku sama bagi semua orang tanpa membedakan jenis kelamin.

5) Demokrasi

Anak mulai dikenalkan konsep demokrasi dengan menumbuhkan sikap menghargai adanya perbedaan pendapat secara wajar, jujur dan terbuka. Anak juga mulai diajak membuat kesepakatan bersama secara besama dan saling menghormati. Anak harus diajarkan bahwa tidak boleh memaksakan kehendaknya pada orang lain. 6) Kejujuran

Jujur (kejujuran) akan tercermin dalam perilaku yang diikuti dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai dengan kenyataan, berbuat sesuai bukti dan kebenaran (Emosda, 2011:154). Penanaman nilai kejujuran tidak bisa hanya diajarkan secara teoritis seperti hafalan definisi atau pendapat para ahli. Penanaman nilia-nilai


(34)

19

kejujuran menuntut tata kehidupan sosial yang merealisasikan nilai-nilai tersebut. Keteladanan dari orang di sekitarnya khususnya orang tua sangat penting bagi anak sehingga bisa dijadikan model oleh anak.

7) Kemandirian

Anak diberi kesempatan untuk menentukan keputusan. Kemandirian bukan berarti tidak membutuhkan orang lain melainkan justru di dalam kebersamaan dengan orang lain. Takriawan (2015) menyatakan beberapa cara melatih kemandirian anak di rumah.

a) Biarkan anak melakukan pekerjaan mereka sendiri walaupun hasilnya kurang sempurna, misalnya dengan membiarkan anak menyiapkan keperluan sekolah sendiri seperti menyusun jadwal, menentukan seragam, dan memakai sepatu. Meskipun memakan waktu yang lebih lama, namun penting bagi penanaman jiwa kemandirian anak.

b) Berikan pujian atas usaha mereka. Dengan pujian anak akan merasa dihargai dan mendorong anak untuk melakukan dengan lebih baik.

c) Berikan tanggung jawab pada anak, misalnya dengan memberikan tanggung jawab menjaga kebersihan dan kerapian kamarnya dan mencuci alat makan setelah menggunakan.

d) Jangan cepat membantu kesulitan mereka. Anak perlu dilatih menyelesaikan permasalahannya sendiri. Misalnya saat anak mengerjakan PR, biarkan anak mengerjakan sesuai kemampuan mereka. Apabila mereka kesulitan maka berikan arahan, bila masih kesulitan maka beri bantuan sebatas yang diperlukan.


(35)

20

e) Memberi motivasi pada anak misalnya dengan menceritakan kisah-kisah para tokoh.

f) Disiplin dalam menerapkan pembelajaran.

g) Ajak anak berdiskusi. Orang tua bisa mengajak anak berdiskusi mengenai manfaat dan kegurian dari tindakan yang mereka lakukan.

h) Ajari anak peduli lingkungan.

i) mengajak anak merancang masa depan. 8) Daya Juang

Daya juang menurut Stoltz (dalam Herawaty dan Wulan, 2013:140) adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk bertahan dalam menghadapi dan mengatasi dalam segala kesulitan yang terjadi dengan terus ulet dan tekun dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

9) Tanggung Jawab

Tanggung jawab menurut Barbara adalah sikap yang dapat diandalkan, ketekunan, terorganisasi, tepat waktu, menghormati komitmen, perencanaan (dalam Hamidah dan Palupi, 2012:145). Salah satu macam tanggung jawab yaitu tanggung jawab terhadap keluarga. Setiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab pada keluarganya. Setiap anak perlu ditanamkan tanggung jawab untuk menjaga nama baik keluarga. Tanggung jawab terhadap keluarga juga meliputi kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.


(36)

21

Penanaman nilai penghargaan terhadap lingkungan dapat diberikan melalui kegiatan kerja bakti. Dalam kegiatan kerja bakti bukan hanya mengenai menyapu namun juga merawat tumbuh-tumbuhan. Anak ditunjukkan bahwa lingkungan alam yang hijau dan asri sangat membantu kesehatan dan kenyaman hidup manusia.

Pendidikan moral dalam keluarga ada untuk mengembangkan tingkat pertimbangan moral anak yang akan diwujudkan dalam perilaku moral anak. Pendidikan keluarga akan membantu anak untuk mempersiapkan diri sebelum berinteraksi dan menyesuaikan diri di masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakat. Jadi pendidikan moral keluarga adalah proses yang diinisiasi oleh orang tua untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan anak mengenai nilai baik dan buruk sesuai budaya di lingkungannya. Berdasarkan pembahasan di atas indikator yang dijadikan dasar dalam menyusun instrumen untuk mengukur pendidikan moral dalam keluarga menurut Suparno dkk diantaranya yaitu nilai religiusitas, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggung jawab, penghargaan terhadap lingkungan. Pemberian pendidikan moral pada anak harus seimbang pada semua materi agar anak memiliki pedoman dalama bertingkah laku baik sebagai makhluk Tuhan, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai sesama makhluk hidup.

c. Tujuan pendidikan moral

Pendidikan moral bertujuan membina terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap orang (Sjarkawi 2008:38). Artinya pendidikan moral bukan hanya memahami tentang aturan baik dan buruk melainkan meningkatkan perilaku moral


(37)

22

seseorang. Frankena (dalam Sjarkawi 2008:49) mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut.

1) Mengusahakan suatu pemahaman “pandangan moral” ataupun cara-cara moral dalam mempertimangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya dikerjakan.

2) Membantu mengembangkan kepercayaan satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide, nilai sebagai suatu pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral dalam menentukan suatu keputusan.

3) Membantu mengembangkan kepercayaan pada norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktikan.

4) Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.

5) Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental spiritual, meskipun bisa membuatorang menjadi pengkritik terhadap prinsip-prinsip, ide-ide, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral adalah agar anak mengetahui dan memahami nilai yang baik dan buruk dan mewujudkannya dalam perilaku moral sehari-hari. Pendidikan moral yang diberikan bukan hanya untuk mengenalkan nilai-nilai baik dan buruk melainkan dapat meningkatkan perilkau moral anak. Maksudnya dengan memperoleh pendidikan


(38)

23

moral yang baik maka akan meningkatkan pemahaman moral anak sehingga mengendalikan diri anak untuk berperilaku yang baik secara moral.

d. Metode Pendidikan Moral

Dalam menanamkan nilai-nilai moral pada anak dibutuhkan cara yang sesuai sehingga tujuan dari pendidikan moral dapat tercapai. Menurut Abdullah Nashih Ulwan (dalam Fatchurrohman:2015) ada lima metode dalam mendidik moral anak dalam keluarga yaitu keteladanan, adat kebiasaan, nasihat, memberikan perhatian, hukuman.

1) Keteladanan

Yang dimaksud keteladanan yaitu memberikan teladan atau contoh perlaku yang baik dari orang dewasa kepada anak-anak dalam berbagai relasinya. Sebagian besar perilaku anak diperoleh dari akumulasi berbagai tingkah laku yang mereka lihat dari orang dewasa disekitarnya. Dalam teori belajar sosial disampaikan bahwa anak-anak belajar dari hal-hal pokok melalui pengamatan dan dan model yang ditampilkan orang lain di sekitarnya. Penelitian penelitian Bandura menyebutkan bahwa anak lebih suka tingkah laku yang mereka lihat dari orang yang memiliki kemmapuan, memiliki kekuasaan, orang yang suka mensuport, dan memberikan penguatan kepadanya.

Tingkah laku seseorang merupakan alat paling efektif untuk mempengaruhi orang lain. Perilaku merupakan bahasa tubuh (body language) bagi orang lain untuk mengkomunikasikan nilai moral kepadanya.


(39)

24 2) Pembiasaan

Orang tua dapat mementuk moral anak melalui pembiasaan yang baik kepada mereka. Pembiasaan penting untuk pembentukan moral dan juga untuk merubah moral. agar pembiasaan dapat berhasil, perlu diperhatikan hal-hal berikut:

a) Pembiasaan harus dimulai sedini mungkin b) Pembiasaan hendaknya terus menerus

c) Pembiasaan seharusnya tegas, jangan sampai memberikan peluang pada anak untuk melanggar pembiasaan.

d) Pembiasaan yang semula mekanis harus diarahkan pada kesadaran diri. 3) Nasihat

Nasihat merupakan petuah yang dimaksudkan agar seseorang melaksanakan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Pemberian nasihat dari orangtua pada anak dimaksudkan agar anak tidak melakukan keburukan atau melanggar norma.

Orang tua perlu memberikan nasihat pada anaknya sedini mungkin karena anak-anak masih belum memahami dengan baik akan kebaikan. Nasihat yang diberikan orang tua kepada anaknya meliputi tata krama kepada diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Tuhannya. Orang tua dalam memberikan nasihat kepada anak sebaiknya tidak dalam keadaan marah melainkan penuh dengan tenag, senang, dan penuh kesadaran.

4) Memberikan perhatian

Pemberian perhatian orang tua kepada anaknya merupakan wujud kasih sayang kepada anak-anaknya. Bagi anak, perhatian orang tua merupakan daya dorong untuk


(40)

25

mengekspresikan diri dan tumbuh sewajarnya.oleh karena itu sangat penting untuk orang tua memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

Pemberian perhatian orang tua kepada anaknya dapat dilakukan dengan memperhatikan keadaannya, memenuhi kebutuhannya, membantu segala kesulitannya, meluruskan kesalahannya, menerima keadaanya, mendengarkan keluhannya, mendengarkan ceritanya dengan sungguh-sungguh, dan selalu mendampinginya. Apabila orang tua mampu memberikan perhatian dengan cara yang hangat maka akan memungkinkan bagi orang tua untuk dapat mengendalikan anaknya dengan mudah. Namun apabila orang tua tidak memberikan perhatian yang cukup maka akan sulit untuk mengendalikan anak-anaknya. Jika anak merasa kurang perhatian maka anak akan berusaha mencari perhatian di luar rumah. Menurut Munif, orang tua harus memiliki visi dan bersedia menyediakan waktu, energi, pikiran, dan materi untuk mewujudkan anak yang bermoral.

5) Hukuman

Dalam pendidikan, hukuman merupakan penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan secara sengaja oleh guru kepada siswa karena yang bersangkutan melanggar tata tertib. Dalam keluarga, yang bertindak sebagai guru adalah orang tua dan siswa merupakan anak. Syarat hukuman yang baik diantaranya:

a) Dapat dipertanggung jawabkan b) Bersifat memperbaiki

c) Tidak boleh berupa ancaman dan balas dendam d) Jangan menghukum ketika marah


(41)

26

e) Hukuman diberikan dengan penuh kesadaran dan perhitungan f) Hukuman bersifat individual

g) Bukan hukuman badan

h) Tidak merusak hubungan pendidik dan terdidik i) Pendidik bersedia memaafkan kesalahan terdidik j) Hukuman relevan dengan kesalahan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan menurut Abdullah Nashih Ulwan terdapat 5 metode mendidik moral pada anak yaitu keteladanan, pembiasaan, nasihat, memberikan perhatian, dan hukuman. Orang tua tidak bisa hanya menggunakan salah satu metode dalam menanamkan moral pada anak, misalnya orang tua hanya menasihati tanpa memberikan teladan atau hanya menghukum anak tanpa memberikan perhatian. Penggunaan kelima metode tersebut secara bersamaan akan memperkuat penanaman moral pada anak.Oleh karena itu orang tua harus cerdas menggunakan metode-metode pendidikan moral yang disesuaikan dengan kondisi dan situai anak.

2. Komunikasi dalam Keluarga

a. Pengertian komunikasi dalam Keluarga

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya kesamaan makna.

Woolman (1973) menyebutkan salah satu definisi komunikasi adalah penyampaian atau penerimaan signal atau pesan oleh organisme. Sebelumnya Dance


(42)

27

(1967) mengartikan komuniksi sebagai usaha menimbulkan respon melalui lambang-lambang verbal (Rahmat, 2013:4). Maka komunikasi dapat diartikan sebagai penyampaian atau penerimaan pesan oleh manusia yang menimbulkan respon.

Komunikasi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia. Menurut Davis (1940); Wasserman (1924) dalam Rahmat (2013:2), para ahli ilmu sosial telah menyatakan bahwa kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian. Ashley Montagu (1967) menyatakan dengan tegas bahwa komunikasi merupakan perantara yang paling penting untuk mendidik anak menjadi manusia. Oleh karena itu komunikasi yang dilakukan oleh individu saat masik anak-anak memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupannya di masa selanjutnya. Komunikasi terjadi pertama kali pada anak adalah komunikasi dengan orang terdekatnya yaitu keluarga khusunya orang tua.

Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Keluarga merupakan orang terdekat bagi setiap anggota keluarga. Menurut Galvin & Brommel (1966) Keluarga adalah sebuah kelompok manusia yang memiliki hubungan yang akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga dan identitas kelompok, lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan emosi, dan mengalami sejarah, dan menatap masa depan (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:169). Selanjutnya Ahmadi (2002:240) menjelaskan sifat khusus keluarga adalah dasar emosional, artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggan suatu ras. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan kelompok manusia yang memiliki hubungan


(43)

28

akrab dan emosional yang mengembangkan rasa berumah tangga, ikatan yang kuat mengenai kesetiaan, mengalami sejarah dan menatap masa depan.

Manusia lahir belum memiliki diri. Melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya seseorang belajar secara bertahap. Menurut Charles H. Cooley (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011: 181), konsep diri seseorang berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Melalui interaksi dengan orang lain seorang anak membangun pengetahuannya mengenai konsep dan cara berpikir yang akhirnya berpengaruh pada tingkah lakunya sehari-hari.

Ahmadi (2002:241) juga dijelaskan sifat khusus lainnya dari keluarga memberi yaitu pengaruh yang normatif, artinya keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama-tama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak dari individu. Sebagai lingkungan sosial pertama bagi setiap individu, keluarga tentu memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pembentukan kepribadian anak. Interaksi yang dilakukan di dalam keluarga akan membentuk persepsi dan cara pandang anak mengenai cara bertingkah laku. Orang tua sebagai guru di rumah memegang peranan penting dalam proses interaksi di dalam keluarga.

Interaksi dan komunikasi antara orang tua dan anak sangatlah penting bagi perkembangan sosial anak. Riyanto (2002) menyatakan dalam mengasuh anak, orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak (dalam Yunita, 2010:101). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa komunikasi antara orang tua dan anak mempengaruhi pembentukan perilaku anak termasuk perilaku sosial.


(44)

29

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi keluarga (orang tua dan anak) adalah proses penyampain atau penerimaan pesan antara orang tua dan anak yang dapat membentuk pola perilaku. Komunikasi dalam keluarga sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk perkembangan perilaku sosialnya.

b. Tujuan Komunikasi dalam Keluarga

Menurut Verdeber, 2007 (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:107), komunikasi keluarga memiliki sedikitnya tiga tujuan utama bagi para anggota keluarga individual. 1) Komunikasi keluarga berkontribusi bagi pembentukan konsep-diri

Konsep diri para anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh komunikasi di dalam keluarga. Komunikasi yang dilakukan antara anggota keluarga dapat berupa komunikasi verbal maupun nonverbal. Keduanya sangat berpengaruh dalam pembentukan dan peningkatan konsep diri terutama anak-anak muda. Konsep diri dapat ditingkatkan dengan beberapa cara yaitu pernyataan pujian, pernyataan sambutan dan dukungan, dan pernyataan kasih

2) Komunikasi keluarga memberikan pengakuan dan dukungan yang diperlukan Anggota keluarga bertanggung jawab untuk saling berinteraksi dengan cara-cara yang saling mengakui dan mendukung para sanak secara-cara individual. Pengakuan dan dukungan dapat membuat anggota keluarga merasa diri mereka berarti dan membantu mereka menghadapi masa-masa sulit. Namun sayangnya tanggung jawab keluarga ini sering dilupakan disebabkan karena kesibukan hidup sehari-hari. Sangat penting bagi setiap anggota keluarga untuk diberitahu apabila mereka melakukan


(45)

30

sesuatu dengan baik dan dijamin bahwa mereka dapat saling mengandalkan satu sama lain. Apabila orang tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari keluarga, maka ia akan mencari hal tersebut di luar keluarga.

3) Komunikasi keluarga menciptakan model-model

Tanggung jawab yang ketiga dari para anggota keluarga adalah berkomunikasi demikian rupa yang dapat bertindak sebagai model atau contoh mengenai komunikasi yang baik bagi para anggota keluarga yang lebih muda. Orang tua bertindak sebagai model bagi anak-anaknya. Dari apa yang diperankan oleh orang tuanyalah anak-anak belajar. Namun masih banyak orang tua yang belum sadar mengenai tanggung jawab ini. Fenomena tersebut sama dengan ungkapan “berbuatlah seperti apa yang saya katakan bukan yang saya lakukan”. Hal tersebut sama saja mengajarkan kemunafikan pada anak. Hanya dengan menyampaikan pada anak apa yang harus mereka lakukan kemudian mencontohkan perilaku yang berlawanan justru akan menjadikan anak bingung.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan tujuan komunikasi dalam keluarga menurut Verdeber yaitu membentuk konsep diri anggota keluarga, memberi pengakuan dan dukungan yang diperlukan, dan memberikan model- model. Tujuan di atas dapat tercapai apabila ada kerjasama yang baik antaranggota keluarga khususnya orang tua sebagai pemimpin di dalam keluarga.

c. Komunikasi keluarga yang baik

Komunikasi dalam keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Dengan komunikasi keluarga yang baik maka


(46)

31

membantu anak untuk mengembangkan konsep diri positif yang akhirnya berpengaruh pada perilaku anak. Untuk menghasilkan anak berperilaku baik maka orang tua harus berupaya menjaga agar komunikasi dalam keluarga berjalan dengan baik. Menurut Devito (Abriyoso, Karimah, dan Benyamin, 2012: 6-8) komunikasi antar individu yang efektif ditandai dengan adanya keterbukaan, simpati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan.

a.) Keterbukaan

Keterbukaan dalam komunikasi mencakup tiga aspek yaitu yang kesediaan komunikator untuk terbuka pada orang yang diajak berinteraksi, kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang sehingga tidak acuh, dan mengakui bahwa pendapat yang dilontarkan adalah hasil pikirannya dan bersedia bertanggung jawab atasnya.

b.) Bersikap positif

Orang tua dalam berkomunikasi dengan anak diharapkan menunjukkan sikap yang positif. Orag tua dapat bersikap positif misalnya dengan berpikiran positif mengenai dirinya sebagai orang tua dan terhadap anak-anaknya. Sikap positif dapat ditunjukkan dengan memberikan kepercayaan kepada anak-anaknya untuk melakukan kegiatannya sendiri tanpa selalu diawasi dan selalu meberikan contoh sikap-sikap positif seperti memberikan pujian terhadap pekerjaan anak. Dengan bersikap postif dalam komunikasi maka akan tercipta suasana yang menyenangkan dalam komunikasi orang tua dan anak.


(47)

32 c.) Empati

Empati berarti merasakan apa yang orang lain rasakan dari sudut pandang seseorang tanpa kehilangan identitas kita. Dalam KKBI, empati merupakan keadaan yang membuat diri seseorang dapat merasakan hal yang dirasakan orang lain baik secara emosional maupun intelektual. Dalam penelitian ini sikap empati adalah bagaimana orang tua dapat merasakan dan mengerti kondisi fisik anak serta memahami kondisi psikis anak dalam setiap situasi.

d.) Sikap mendukung

Komunikasi keluarga yang efektif adalah apabila ada sikap mendukung.Sikap mendukung dalam komunikasi antara orang tua dan anak dapat meningkatkan ketercapaian pesan antara orang tua dan anak. Sikap mendukung dapat diperlihatkan dalam sikap:

1.) Deskriptif

Orang tua sebaiknya menunjukkan sikap deskriptif yang bisa dilakukan dengan memberikan pendapat atau kesan orang tua terhadap keadaan atau pembicaraan anak dibandingkan mengevaluasi apa yang disampaikan anak. Orang tua sebaiknya tidak menilai apa yang dilakukan atau disampaikan anak. Sikap deskriptif akan membuat anak merasa didukung sedangkan evaluatif akan menimbulkan keinginan pada anak untuk membela diri.


(48)

33 2.) Spontan

Saat anak berkomunikasi dengan orang tua, anak akan senang apabila orang tua mau menunjukkan respon yang jujur yang sesuai dengan apa yang disampaikan karena. Itu menunjukkan bahwa orang tua mendengarkan dan tidak acuh pada pembicaraan anak. 3.) Provisional

Anak akan menghargai orang tua yang saat berkomunikasi daengan mereka mau menanyakan pendapat dan pemikiran mereka mengenai suatu hal. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapat dan pemikiran anak penting bagi orang tua.

e.) Kesetaraan

Setiap situasi memungkinkan adanya ketidaksetaraan termasuk dalam proses komunikasi antara orang tua dan anak. Namun, apabila itu terjadi maka tujuan dari komunikasi di dalam keluarga tidak dapat tercapai. Karena itu dalam komunikasi antara orang tua dan anak perlu mengakui kesetaraan yaitu ada sesuatu untuk saling disumbangkan dari kedua pihak. Kesetaraan dalam komunikasi antara orang tua dan anak ditunjukkan dengan kesediaan orang tua untuk menerima masukan dari anak. Orang tua tidak merasa lebih kuasa dari anak sehingga ada yang disumbangkan dari kedua pihak.

Komunikasi antara orang tua dan anak memerlukan usaha dari orang tua untuk mau memberikan waktu dan tenaga sehingga dapat menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Berdasarkan pembahasan di atas bahwa indikator yang digunakan dalam menyusun instrumen untuk mengukur komunikasi dalam keluarga menurut Devito yaitu keterbukaan, sikap positif, empati, sikap mendukung, dan kesetaraan.


(49)

34 3. Perilaku Sosial Anak

a. Definisi Perilaku Sosial

Perilaku selalu muncul dalam kehidupan sehari-hari setiap individu. Perilaku bersifat nyata atau dapat diamati oleh indra. Watson (dalam Sarwono, 2010: 13) menyatakan bahwa setiap tingkah laku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan terhadap rangsang. Pernyataan tersebut menunjukk an bahwa perilaku muncul sebagai akibat dari pengaruh di luar diri individu. Selanjutnya Perilaku merupakan pengejawantahan atau aktualisasi diri (Sunarto dan hartono, 2008:64). Perilaku muncul sesuai dengan rangsangan yang diterima. Artinya perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar diri individu.

Perilaku sosial merupakan aktivitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan social (Hurlock, 2013:262). Artinya perilaku sosial dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup di masyarakat. Seseorang tidak akan bisa lepas dari perilaku sosial karena selama orang tersebut masih hidup maka orang tersebut masih membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Chaplin (2011:35) menjelaskan perilaku sosial sebagai bentuk perilaku, perbuatan, dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan kecepatan dan ketepatan sehingga memberikan kenyamanan pada orang yang ada di sekitarnya.


(50)

35

Perilaku sosial terbentuk melalui proses yang cukup panjang, melalui tahap -tahap perkembangan. dari pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perilaku sosial muncul karena ada interaksi sosial. Perilaku sosial terbentuk dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa ahli menyatakan faktor internal yang mempengaruhi perilaku individu diantaranya motivasi, dorongan dan lain-lain. Sedangkan beberapa ahli lainnya menyampaikan bahwa perilaku seseorang terbentuk dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari luar diri individu. Salah satunya Skinner menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan hasil belajar (Feist & Feist, 2012:163). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa faktor eksternal sangat mempengaruhi pembentukan perilaku individu.

Besarnya pengaruh lingkungan khusunya keluarga terhadap perilaku sosial anak juga disampaikan oleh Yusuf (2014:122) yaitu perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhad ap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta memberikan contoh menerapkan norma dalam kehidupan sehari-hari.

Perilaku sosial manusia terus mengalami perkembangan. Dimulai dari masa bayi dan kanak-kanak. Perkembangan sosial pada anak merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat diartikan pula sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi; meleburkan diri dalam kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.


(51)

36

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan perilaku sosial adalah bentuk perilaku, perbuatan, dan sikapindividu ketika berinteraksi dengan orang lain yang sesuai dengan aturan di masyarakat. Dalam penelitian ini perilaku sosial anak yang dimaksudkan adalah tingkah laku anak dalam hubungannya dengan guru dan teman di lingkungan sekolah.

b. Macam-Macam Perilaku Sosial

Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dalam diri anak. Faktor tersebut yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan di luar diri individu memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan kepribadian anak. Seperti yang dijelaskan oleh Skinner bahwa semua perilaku manusia merupakan hasil belajar. Dari hasil belajar sosial nantinya akan membentuk perilaku sosial yang baik dan buruk. Hurlock membagi perilaku sosial menjadi perilaku sosial yang baik disebut sebagai perilaku sosial, sedangkan perilaku sosial yang buruk disebut sebagai perilaku yang tidak sosial.

Perilaku sosial anak pada masa usia sekolah dasar merupakan pengembangan dari pola perilaku sosial pada masa usia kanak-kanak awal. Perilaku sosial pada masa kanak-kanak awal masih sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan orang tua. Sedangkan memasuki usia sekolah dasar anak sudah banyak melakukan interaksi dengan teman-teman sebayanya. Berikut bentuk-bentuk perilaku sosial pada masa kanak-kanak menurut Hurlock (2013:262) :


(52)

37 1) Kerja sama

Kerja sama yaitu kemauan untuk bekerja sama dengan kelompok (Yusuf, 2014: 125).Menurut Hurlock semakin banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan cara bekerja sama. Kerjasama pada siswa dapat ditunjukkan pada saat melakukan kerja kelompok. Huda (2015: 24-25) menjelaskan bahwa ketika siswa bekerjasama melakukan kerja kelompok mereka memberikan dorongan, anjuran, dan informasi pada teman sekelompoknya yang membutuhkan bantuan.

2) Persaingan

Persaingan yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain (Yusuf, 2014:125). Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal itu diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan, akan mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk. Sebagai bentuk perilaku sosial, persaingan siswa diwujudkan dalam upaya untuk berperilaku sibaik-baiknya di lingkungannya.

3) Kemurahan hati

Kemurahan hati sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.


(53)

38 4) Hasrat dan penerimaan sosial

Jika hasrat untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial. Hasrat untuk diterima oleh orang dewasa biasanya timbul lebih awal dibandingkan dengan hasrat untuk diterima oleh teman sebaya.

5) Simpati

Simpati merupakan sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhdadap orang lain, mau mendekati, atau bekerja sama dengannya (Yusuf, 2014:125). Anak kecil tidak mampu berperilaku simpatik sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan dukacita. Mereka mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.

6) Empati

Empati kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain.

7) Ketergantungan

Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian, dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial. Anak yang berjiwa bebas kekurangan motivasi ini.

8) Sikap ramah

Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan mengekspresikan kasih sayang kepada sesama.


(54)

39 9) Sikap tidak mementingkan diri sendiri

Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapatkan dorongan untuk membagi apa yang mereka miliki dan yang tidak terus-menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan berbuat untuk orang lain dan bukanya hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik mereka sendiri. 10) Meniru

Dengan meniru sesorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anak-anak mengembangkan sifat yang yang menambah penerimaan kelompok terhadap diri mereka.

11) Perilaku kelekatan

Dari landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatkala bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini kepada anak/ orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka.

Perilaku sosial anak merupakan hasil belajar anak dari ingkungan sekitar. Berdasarkan pembahasan di atas dasar yang digunakan dalam menembangkan instrumen untuk meneliti mengenai perilaku sosial anak menurut Hurlock yaitu kerja sama, persaingan yang sehat, kemurahan hati, hasrat penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, dan perilaku kelekatan.


(55)

40 4. Perkembangan Anak SD Kelas 5 a. Masa Remaja Awal

Anak SD kelas 5 sudah dapat dikategorikan sebagai remaja awal. Harold Alberty (1957) (dalam Nurihsan dan Agustin, 2013:67) mendefinisikan periode masa remaja secara umum sebagai suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang semenjak berakhirnya masa kanak-kanaknya sampai datang awal masa dewasanya. Para ahli umumnya sependapat bahwa rentangan masa remaja itu berlangsung sekitar 11-13 tahun sampai 18-20 tahun menurut umur kalender kelahiran seseorang.

b. Ciri Masa Remaja

1) Masa Remaja sebagai periode yang penting

Disebut sebagai periode yang penting karena masa remaja memberikan pengaruh secara langsung paada sikap dan perilaku, dan pengaruh yang didapatpada masa remaja akan berakibat untuk jangka panjang dalam kehidupan seseorang. Pada masa remaja individu juga akan mengalami banyak kejadian yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik. Perkembangan fisik yang cepat penting disertai dengan perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

2) Masa Remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya melainkan sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.


(56)

41

Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan berkasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Apabila anak-anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak-anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan paerilaku dan sifat yang ditinggalkan. Osterrieth menyatakan bahwa psikis anak remaja berasal dari masa kanak-kanak dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas remaja awal telah ada pada masa kanak-kanak akhir.

Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan menimbulkan keraguan akan peran yang harus dilakukan. Namun status remaja yang tidak jelas juga menguntungkan karena memberi waktu pada individu untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai dengannya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisiknya. Selama awal masa remaja ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan sikap dan perilaku juga berlangsung pesat, begitu pula sebaliknya.

Ada empat perubahan yang sama yang hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perkembangan fisik dan psikologis. Meningginya emosi menonjol pada masa remaja awal. Kedua, Perubahan tubuh, minat, dan perang yang diharapkan oleh keompok sosial untuk


(57)

42

diperankan menimbulkan masalah baru bagi remaja. Ketiga, berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Misalnya remaja sudah tidak menganggap jumlah teman itu penting melainkan kualitas pertemanannya. Keempat, sebagian remajabersikap ambivalen pada setiap perubahan. Artinya mereka menuntut perubahan namun takut bertanggung jawab sehingga meragukan kemampuan mereka untuk bertanggung jawab.

4). Masa Remaja sebagai usia bermasalah

Masalah pada masa remaja terjadi dibsebabkan karena pertama pada masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman menyelasaikan msalah. Kedua, karena remaja mrasa mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalah

c. Perkembangan Sosial Remaja

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit yaitu yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Nurihsan dan Agustin, 2013:79). Remaja harus membuat banyak penyesuaian baru untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin. Pada masa remaja awal remaja ada ketergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat konformitas yang tinggi.


(58)

43

Remaja awal memiliki ambivalensi (perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau tehadap sesorang pada waktu yang sama) antara keinginan lepas dari dominasi pengaruh orang tua dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya. Pada masa ini, remaja juga mengalami kecenderungan untuk menyendiri dan ingin bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat temporer.

d. Perkembangan Moral Remaja

Salah satu tugas perkembangan yang penting untuk dikuasi oleh remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelopok terhadap dirinya dan mau mebentuk perilakunya sesuai harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti saat kanak-kanak (Nurihsan dan Agustin, 2013:85).

Mitchell meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:

1) Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.

2) Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.

3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja menjadi lebih berani menganalisis kode sosial dan kode pribadi daripada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya. 4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.


(59)

44

5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis. (Nurihsan dan Agustin, 2013:85)

Para remaja banyak yang tidak berhasil dan bahkan membentuk kode moral berdasarkan konsep moral yang secara sosial tidak dapat diterima saat proses mencapai moralitas dewasa. Pada masa remaja, mereka ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep tentang benar dan salah yang telah diubah dan diperbaiki agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan yang telah dilengkapi dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orang tua, guru, bahkan dari ajaran agamanya.

Abin Syamsudin menyampaikan bahwa secepat individu menyadari sebagai anggota dari suatu kelompok, secepat itu pula pada mumnya individu menyadari bahwa terdapat aturan perilaku-perilaku yang boleh, harus, dan terlarang melakukannya. Proses penyadaran tersebut berlangsung melalui interaksinya dengan lingkungan dimana mungkin ia mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau celaan, merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau mengecewakan dari perbuatan yang dilakukannya.

B. Penelitian yang relevan

1. Penelitian Siti Nilna Faizah (2014) Pendidikan Moral Remaja dalam keluarga Single Parent di Desa Klepu Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Diperoleh hasil cara mendidik moral yang digunakan para responden dalam mendidik moral yaitu menggunakan metode teladan metode pembiasaan yang baik, metode nasihat,


(60)

45

metode khiwar, metode hukuman. Faktor-faktor yang menghambat pendidikan moral yaitu pendidikan agamayang rendah, faktor ekonomi, faktor kesibukan, faktor kurang harmonisnta keluarga sehingga anak menjadi krisis moral akibat salah cara mendidiknya.

2. Penelitian Yuliatun (2011) tentang “Pemahaman moral orang tua dan Perhatian orang tua dengan Perilaku Deviasi Social Remaja di Panti Rehabilitasi Narkoba Sehat Mandiri Yogyakarta”. Menyatakan bahwa orang tua yang memahami nilai baik buruk dalam keseharian mengkondisikan dengan nilai kejujuran, tanggung jawab, tepa selira, pemaaf, mandiri, tahu berterima kasih dsb; maka anak akan mempunyai perilaku yang baik tidak gampang hanyut pada perilaku yang menyimpang. Diperoleh kesimpulan ada hubungan yang negative antara pemahaman moral orang tua dan perhatian orang tua dengan perilaku deviasi social remaja di Panti Rehabilitasi Narkoba Sehat Mandiri Yogyakarta.

3. Penelitian Herien Puspita Wati (2009) tentang ”Pengaruh Komunikasi Keluarga, Lingkungan Teman Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar dan Nilai Pelajar Pada sekolah Menengah di Kota Bogor Tahun 2009”, diperoleh kesimpulan bahwa orang tua maupun teman secara bersama-sama berpengaruh pada kenakalan remaja. Hasil penelitian membuktikan bahwa komunikasi orang tua dan anak dapat mengurangi pengaruh teman ke arah perilaku anti sosial.

4. Penelitian Rio Ramadhani (2013) tentang “Komunikasi Interpersonal Orang Tua Dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Positif Anak Pada Murid SDIT Cordova Samarinda”. Diperoleh hasil bahwa proses komunikasi antara orang tua dan anak


(61)

46

dalam menanamkan perilaku positif berlangsung secara tatap muka dan berjalan dua arah artinya ketika orang tua mengkomunikasikan pesan-pesan yang berisi nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif, dalam menanamkan perilaku positif ada hal-hal yang dapat mendukung orang tua untuk memudahkannya dalam menyampaikan pesanpesan tentang nilai-nilai positif tersebut.

C. Kerangka Pemikiran

1. Hubungan Pendidikan Moral dalam Keluarga dengan perilaku Sosial Anak

Pengenalan dan pembiasaan nilai nilai moral oleh orang tua melalui nasihat, memberikan perhatian, pembiasaan, keteladanan, dan hukuman akan memungkinkan anak memahami nilai-nilai moral seperti yang diajarkan orang tuanya. Pemahaman moral yang baik akan meningkatkan pertimbangan moral anak. Tingkat pertimbangan moral yang tinggi akan melahirkan perilaku moral yang baik sedangkan tingkat pertimbangan moral yang rendah akan melahirkan perilaku moral yang buruk.

Pendidikan moral yang diberikan orang tua akan membantu anak mempersiapkan diri untuk terjun di masyarakat. Dengan pendidikan moral yang baik anak akan belajar untuk menjadi manusia yang bertingkah laku sesuai dengan kode moral di masyarakat, baik sebagai makhluk Tuhan, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai sesama makhluk hidup. Melalui pendidikan moral dalam keluarga anak akan belajar berperilaku yang baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di masyarakat sehingga dapat menyesuaikan diri dan diterimaoleh masyarakan.


(62)

47

2. Hubungan Komunikasi dalam Keluarga Dengan Perilaku Sosial Anak

Komunikasi dalam keluarga sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Komunikasi dalam keluarga mempengaruhi pembentukan konsep diri pada anak, memberikan pengakuan dan dukungan pada anak, dan memberikan model-model. Dengan komunikasi keluarga yang baik akan mementuk konsep diri positif pada anak sehingga akan mempengaruhinya dalam berperilaku. Anak dengan konsep diri yang positif akan menunjukkan perilaku yang baik dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan di masyarakat. Pengakuan yang diperoleh dari keluarga akan membuat anak merasa berharga dan diakui keberadaannya. Anak yang merasakan dukungan dari keluarga akan lebih mampu menghadapi masa-masa sulit. Melalui komunikasi dalam keluarga anak juga akan belajar bertingkah laku dari kebiasaan orang tua. Kebiasaan orang tua dalam berkomunikasi akan diamati oleh anak dan ditirukan dalam kehidupaan sehari-hari, misalnya jika orang tua mau menghargai saat anak berbicara maka anak juga akan menghargai orang lain sedangkan apabila orang tua sering mendominasik komunikasi dengan anak maka anak juga akan kurang mengarhargai orang lain. Komunikasi yang baik dalam keluarga ditunjukkan dengan adanya keterbukaan, sikap positif, sikap mendukung, empati, dan kesetaraan.


(63)

48

3. Hubungan Pendidikan Moral dan Komunikasi dalam Keluarga dengan Perilaku Sosial Anak

Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak termasuk di dalamnya mengembangkan pemahaman anak akan nilai-nilai moral. Pendidikan moral dalam keluarga terwujud dalam komunikasi antarsesama anggota keluarga dan dalam tingkah laku keseharian orang tua atau anggota keluarga yang lain. Dengan pendidikan moral yang baik akan meningkatkan pertimbangan moral anak dan mendorong anak untuk berperilaku sesuai dengan kode moral dan ketentuan di masyarakat.

Selain pendidikan moral, komunikasi keluarga juga mempengaruhi pembentukan perilaku sosial anak. Dalam mengasuh anak, orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak termasuk perilaku anak.

Pembiasaan orang tua untuk berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari dengan meberikan contoh, memgarahkan dan mengingatkan anak dalam perilaku moralnya, mau mendengarkan pembicaraan anak sehingga mengetahui permasalahan dan situasi anak, dan mau menerima pendapat anak sehingga anak merasa dihargai akan dimungkinkan anaknya memiliki perilaku yang menghargai orang lain, empati, tidak mementingkan diri sendiri, senang menjalin pertemanan dan taat pada aturan di masyarakat.


(64)

49

Berikut gambaran hubungan antarvariabel pada penelitian ini:

Gambar 1. Hubungan antar variabel Keterangan:

X1: Pendidikan moral orang tua X2: Komunikasi dalam keluarga Y: Perilaku sosial anak

D. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir tersebut di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara pendidikan moral dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V sekolah dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul yogyakarta. 2. Ada hubungan antara komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak

kelas V sekolah dasar negeri di gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

X1

X2


(65)

50

3. Ada hubungan antara pendidikan moral dan komunikasi dalam keluarga dengan perilaku sosial anak kelas V sekolah dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.


(66)

51 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berdasarkan metodenya termasuk penelitian kuantitatif model korelasi. Menurut Sugiyono (2012:7) metode kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode penelitian. Metode ini disebut sebagai metode ilmiah scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit, empiris, obyektif, terukur, rasional dan sistematis. Penelitian korelasi merupakan suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih (Sukardi, 2014:166). Data pada penelitian ini berupa angka-angka. Analisis data menggunakan statistik. B. Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian bulan Desember 2016 sampai dengan Juni 2017. Konsultasi pertama dengan dosen pembimbing dilaksanakan pada bulan Desember 2016. Pengumpulan data dilaksanakan pada Mei 2017.


(67)

52 C. Subyek Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (2010:172) sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Subyek dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas 5 di Sekolah Dasar negeri di Gugus III Banguntapan Bantul Yogyakarta tahun ajaran 2016/2017.

D. Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2012:38) Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas (independent) disebut sebagai X dan variabel terikat (dependent) disebut sebagai Y. Variabel X1 dalam penelitian ini adalah pendidikan moral dalam keluarga dan variabel X2 yaitu komunikasi dalam keluarga. Variabel Y dalam penelitian ini yaitu perilaku sosial anak. Berikut batasan operasional variabel pada penelitian ini.

1. Pendidikan Moral dalam Keluarga

Berdasarkan pendapat para ahli pendidikan moral adalah proses yang diinisiasi oleh orang dewasa untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan anak mengenai nilai baik dan buruk sesuai budaya di lingkungannya. Dalam penelitian ini pendidikan moral yang dimaksud adalah yang terjadi di lingkungan keluarga. Pendidikan moral dalam keluarga ada untuk mengembangkan tingkat pertimbangan moral anak yang akan diwujudkan dalam perilaku moral anak. Artinya pendidikan moral bukan hanya


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN PERILAKU SOSIAL ANAK KELAS V SD NGERUKEMAN KASIHAN BANTUL YOGYAKARTA

0 4 76

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN TINGKAT PERKEMBANGAN PERSONAL SOSIAL PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI TK PDHI BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

0 2 84

HUBUNGAN PERILAKU BULLYING DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR NEGERI MINOMARTANI 6 NGAGLIK SLEMAN YOGYAKARTA.

0 3 112

HUBUNGAN KOMUNIKASI KELUARGA DENGAN PERILAKU SOSIAL SISWA KELAS V SD SE-GUGUS BINTANG KECAMATAN TEMPURAN KABUPATEN MAGELANG.

1 3 135

Kemitraan Sekolah dan Keluarga dalam Pendidikan Moral bagi Anak

0 0 14

HUBUNGAN INTENSITAS COOPERATIVE PLAY DENGAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS TINGGI SEKOLAH DASAR SE-GUGUS IV KECAMATAN PLERET BANTUL YOGYAKARTA.

0 0 133

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI SMA NEGERI 1 BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Seksual pada Remaja di SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta Tahun 2015 - DIGILIB UNISAYO

0 0 15

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI SMA NEGERI 1 BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Seksual pada Remaja di SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta Tahun 2015 - DIGILIB UNISAYO

0 0 15

HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM KELUARGA DENGAN PERNIKAHAN DINI DI KUA BANGUNTAPAN BANTUL

0 0 13

PENGARUH PENYULUHAN DENGAN MULTIMEDIA TERHADAP PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT ANAK SD KELAS III DI SDN 2 JAMBIDAN BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA

0 0 16