dengan perumpamaan biasanya lebih melekat di hati bahkan peserta didik lebih memahaminya.
Sebagai contoh, seorang guru PAI menjelaskan manfaat berpakaian muslim atau muslimah kepada siswanya. Guru tersebut
mengibaratkan seorang wanita muslimah yang berpkaian sesuai syaria`at Islam seperti sebuah kue mahal yang di jual dan diletaan di
etalase sebuah toko, yang hanya bisa dilihat oleh orang lain dari luar kaca dan tidak bisa menyentuhnya, hanya orang yang siap membelinya
saja yang boleh menyentuh dan membawanya pulang. Begitu juga seorang wanita muslimah yang berpakaian islami, mereka terjaga dari
kejahatan manusia yang jahil dan tidak bertanggung jawab, hanya orang yang siap untuk menjadi seseorang yang halal baginyalah yang
bisa menyentuhnya. Dan wanita yang berpakaian tidak sesuai syari`at Islam bahkan terkesan seksi, diibaratkan seperti kue yang di jual di
pinggir jalan tanpa penutup dan etalase yang bisa saja dihinggapi lalat. Sama halnya dengan kue tersebut, wanita yang berpakaian minim
mereka rentan terhadap godaan manusia yang jahil dan tak bertanggungjawab.
Contoh lain ketika seorang guru memberi motivasi kepada peerta didiknya tentang kesabaran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu.
Guru tersebut mengumpamakan belajarnya seorang murid di sekolah dengan seorang bayi yang belajar berjalan. Bayi yang belajar berjalan
tidak serta merta lansung dapat berjalan dan berlari begitu saja, melainkan melaui proses dari mulai belajar duduk, merangkak, berdiri,
melangkah perlahan selangkah demi selangkah, hingga akhirnya dapat berjalan dan berlari. Terkadang dalam beberapa tahapan dan proses itu
pula banyak terjadi kesulitan seperti rasa sakit pada lutut ketika merangkak, jatuh ketika belajar berdiri, kesulitan melangkah dan
kemudian jatuh lagi. Akan tetapi, hal semacam itu akan terlewati dan membuahkan hasil. Begiu juga para persta didik yang sedang belajar,
tidak serta merta akan dengan mudahnya memahami materi dan bahan
ajar. Tidak instan langsung bisa mendapatkan hasil yang baik, semua itu perlu proses tahapan demi tahapan, dan tak jarang akan menemui
kesulitan. Tapi dari kesulitan tersebut, peserta didik bisa belajar arti kesabaran dan kesungguhan sehingga akan mendapatkan hasil yang
memuaskan. Setelah penulis uraikan analisis dan beberapa contoh, dapat
dikatakan bahwa amśâl yang terkandung seperti pada ayat 18 Surat
Ibrâhîm ini merupakan jenis perumpamaan yang jelas, dan tergolong dalam kategori
amśâl yang ringan, sehingga siapapun yang diberikan perumpamaan seperti ini maka akan mudah memahami maksud yang
terkandung di dalamnya.
2. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Al-Baqarah Ayat 68
Selanjutnya dalam Surat al-Baqarah ayat 68 terkandung
amśâl, meskipun jika dilihat secara kasar dalam ayat ini tidak dicantumkan
secara jelas perumpamaannya. Berdasarkan penjelasan para mufassir, potongan ayat dari surat al-Baqarah ayat 68 ini, yang mengandung
amśâl adalah kalimat
ي ا ع ا ف ا
. Bila ditinjau secara
lafżi, dalam ayat ini pun tidak menjelaskan sebagai bentuk perumpamaan terhadap suatu makna, namun
kandungan dari ayat ini menunjukan suatu bentuk perumpamaan. Sebagaimana yang dikatakan Hasani: “Perlu dicatat disini, bahwa
sebenarnya al-Qur`ân sendiri tidak menjelaskan sebagai bentuk perumpamaan terhadap makna tertentu, hanya saja isi kandungannya
menunjukan salah satu bentuk perumpamaan. Tegasnya, amśâl
kâminah ini termasuk maśal ma’nawî yang tersembunyi, bukan amśâl
lafżî yang jelas.”
82
Kalimat tersebut mengindikasikan adanya amśâl meskipun tidak
dicantumkan dengan jelas lafaż tamśîlnya, tetapi kalimat ini
82
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, Jakarta: Penerbit Zikra Press, 2009, Cet. I,
h. 179
menunjukan makna yang indah dan menarik. Kalimat ini senada dengan perumpamaan orang Arab “sebaik-baik perkara adalah yang
tidak berlebihan, adil, dan seimbang. Atau dalam bahasa Arab disebut
طس أ مْ يخ
.
83
Menurut Hasani, seorang ulama pernah mengatakan bahwa orang Arab tidak mengucapkan suatu perumpamaan, kecuali karena ada
persamaanya di dalam al- Qur’an.
84
Maka ungkapan Arab
مْ يخ طس أ
ada persamaannya dengan ayat al- Qur’an.
Pada potongan ayat
ي ا ع ا ف ا
, terkandung makna
طس أ مْ يخ
yakni sapi yang dimaksud adalah sapi betina yang tidak tuaberumur dan tidak juga muda, akan tetapi sapi betina
yang pertengahan diantara tua dan muda. Jadi yang dikehendaki dalam ayat ini adalah pertegahan dari dua perkara yaitu antara yang tua dan
yang muda. Berdasarkan penjelasan para mufassir, ungkapan seperti ini
termasuk jenis amśâl kâminah. Untuk memahami jenis amśâl seperti
ini membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam dibandingkan jenis amśâl sebelumnya yaitu amśâl muşarrahah, karena seperti yang sudah
dijelskan sebelumnya bahwa dalam amśâl kâminah ini tidak terdapat
lafaż tamśîl dan perumpamaan yang ditunjukan pun tidak disebutkan dengan jelas.
Dalam al-Qur`ân ada beberapa ayat lagi yang memiliki persamaan makna dengan ayat 68 Surat al-Baqarah ini. Pertama, pada ayat 67
Surat al-Furqân
ما ق ا ي ا
ي م ا ف سي م ا أ ا ا ي َ ا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebihan, dan tidak pula kikir, adalah pembelanjaan itu di tengah-
tengah antara yang demikian”.
83
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustka Al-Kausar, 2005, Cet.I, h. 358
84
Hasani Ahmad Syamsuri, Loc Cit.
Kedua, terdapat pada ayat 29 Surat al-Isrâ
غم ي ع ا ا س َم م م ع ف س ا َ طس ا ع
“Dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu ada lehermu, dan jangan pula kamu
terlalu mengulurkannya agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal”. Maksud dari ayat ini adalah, hendaknya agar manusia
tidak terlalu kikir dan tidak juga teralalu pemurah boros. Dan ketiga, terdapat pada ayat 110 dalam surat yang sama yaitu
Surat al-Isrâ
س اء سْا ه ف ا ع م َيأ َ ا ا ع ا أ ه ع ا ق
ا ي غ ا ف ا اَ ا
اي س
, “Katakanlah, „Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman dengan nama yang mana saja
kamu seru. Dia mempunyai al-asmâul husnâ dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula kamu
merendahkannya, dan carilah jalan tengah dari kedua itu.” Menurut Syamsuri, ungkapan “tidak berlebihan” dan “tidak
boros”, ungkapan “tidak kikir” dan “tidak terlalu boros”, dan ungkapan “mengeraskan suara” dan “merendahkannya”, menurut
sebagian ulama disebut dengan amśâl kâminah, karena memiliki
makna yang sesuai dengan ungkapan sebaik-baik perkara itu yang pertengahan
طس أ مْ يخ
.
85
Dengan adanya ayat-ayat amśâl kâminah seperti ini, maka akan
terkumpul makna-makna yang indah, singkat, padat dan menarik dalam ungkapannya. Selain itu ayat-ayat seperti ini juga dapat
membantu melatih penalaran dan pemahaman seseorang. Terlebih bagi siswa, jika seorang guru menggunakan perumpamaan yang
sejenis dengan amśâl kâminah ini, maka siswa juga akan berlatih
menalar dan memahami apa yang dikatakan oleh guru. Ketika seorang guru hendak mengimplementasikan metode
amśâl dari jenis
amśâl kâminah ini, secara sederhana misalnya: seorang guru
85
Hasani Ahmad Syamsuri, Op Cit., h. 181
memberikan nasehat kepada murid-muridnya berkaitan dengan strategi belajar mereka, kemudian guru tersebut memberikan saran
agar muridnya belajar tidak dengan terlalu memforsir waktu mereka untuk belajar sehingga melupakan hal-hal lainnya, tetapi tidak juga
bermalas-malasan dalam belajar, akan tetapi pertengahan diantara keduanya. Karena yang demikian adalah cara yang terbaik.
Jika di analogikan proses belajar yang baik adalah yang tidak terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu jarang belajar malas. Sebuah
botol, ketika hendak diisi air dengan menggunakan gayung, maka cara mengisi yang paling tepat adalah dengan mengisinya secara perlahan,
tidak terburu-buru dan sekaligus menuangkan semuanya, maupun tidak juga setetes demi setetes. Isilah botol tersebut dengan perlahan
dan sabar, maka botol itu akan terisi penuh tanpa ada air yang terbuang sia-sia.
Jenis amśâl kâminah ini merupakan perumpamaan yang memiliki
persamaan makna yang terkandung dalam uşlub Arab. Jika
diiplementasikan dalam pembelajaran, maka boleh jadi dalam menggunakan
amśâl kâminah ini, seorang guru dapat mengutarakan suatu maksud tertentu dengan mengatakannya sesuai dengan
uşlub atau peribahasa dalam bahasa Indonesia.
Contoh sederhananya misalnya, peribahasa Indonesia yang berbunyi “bagai tulisan di atas air”. Peribahasa ini mengandung arti
seseorang yang mengerjakan sesuatu tapi hasilnya sia-sia. Contoh, seorang guru memberi nasehat kepada muridnya agar senantiasa
menjaga kebersihan, akan tetapi guru tersebut juga tidak menjaga kebersihan dan perilaku itu terlihat oleh muridnya, maka nasehat dari
guru itu pun hasilnya bagaikan tulisan di atas air, sia-sia tak berarti. Setelah penulis uraikan tentang metode
amśâl yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 68 ini, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa amśâl yang terkandung pada ayat ini termasuk jenis amśâl
kâminah atau amśâl yang tersembunyi, dan tergolong pada amśâl
dengan tingkat sedang. Sehingga seseorang yang mendapatkan amśâl
seperti ini tidak dengan mudah memahaminya seperti jenis amśâl
sebelumnya yaitu amśâl muşarrahah, melainkan perlu pemahaman
yang lebih mendalam, karena jenis amśâl muşarrahah ini
mengandung pengertian yang serupa dengan uşlȗb bahasa Arab atau
yang dapat disamakan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia.
3. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Yȗsuf Ayat 41
Pada ayat 41 dari Surat Y ȗsuf, di dalamnya terdapat potongan ayat
yang juga berlaku sebagai amśâl. Sama seperti jenis amśâl sebelumnya
yaitu amśâl kâminah, amśâl dalam ayat 41 Surat Yȗsuf ini juga tidak
memiliki lafaż tamśîl secara jelas, namun tetap berlaku dan dihukumi
sebagai amśâl.
Menurut para mufassir, amśâl pada ayat 41 Surat Yȗsuf ini
termasuk dalam jenis amśâl mursalah. Yaitu “kalimat-kalimat bebas
yang tidak menggunakan lafaż tasybîh secara jelas. Tetapi kalimat-
kalimat itu berlaku sebagai amśâl.”
86
Karena jenis amśâl seperti ini tidak memiliki lafaż tasybîhlafaż
tamśîl, dan juga tidak memiiki persamaan makna dengan ungkapan- ungkapan tertentu, maka untuk memahami jenis
amśâl seperti membutuhkan pemikiran dan penalaran yang lebih mendalam
dibandingkan memahami jenis amśâl sebelumnya, yaitu amśâl
muşarrahah dan amśâl kâminah. Meskipun jenis
amśâl mursalah dan amśâl kâminah merupakan jenis
maśal ma’nawiy, yaitu jenis amśâl yang tidak nampak perumpamaan, dan
lafaż tamśîlnya, akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Pada
amśâl kâminah, yang dijadikan amśâl adalah potongan ayat yang memiliki persamaan makna dengan beberapa
ungkapan Arab.
86
Manna’ Al-Qaththan, Op Cit., h. 359