Macam-Macam Istilah Metode Am âl

mengukur sesuatu dengan benda yang lain yang dapat menyamainya, berarti menyamakan diantara dua benda tersebut”. 50 Dalam istilah ilmu Uşul al-Fiqh, kata qiyâs juga terkenal sebagai salah satu metode untuk meng- istinbaţ-kan hukum Islam yang tidak ada dalam al-Qur`ân maupun as-Sunnah. Menurut Sulaiman Abdullah kata qiyâs menurut istilah ulama Uşul, “qiyâs” adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh naş, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh naş bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan naş. 51

4. Syarat-syarat Metode Amśâl

Jika dalam ilmu al-Qur`ân dikenal dengan amśâl, maka dalam istilah fiqh sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, definisi amśâl ini dapat disamakan dengan istilah qiyâs. Dalam ilmu uşul fiqh ketika membahas tentang qiyâs, maka terdapat beberapa syarat atau rukun untuk melakukan qiyâs tersebut. Dalam hal ini, penulis dapat mengatakan bahwa syarat dan rukun yang harus ada ketika akan melakukan qiyâs juga berlaku untuk melakukan amśâl, terlebih jika amśâl ini digunakan untuk pembelajaran. Sebagaimana yang dikatakan Sapiuddin, ada 4 rukun qiyâs yang harus dipenuhi: a. Al-Aşlu, Yaitu sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam na ş. Al-Aşlu juga disebut maqîs ‘alaihi yang dijadikan ukuran atau mahmul ‘alaihi yang dijadikan tangguhan atau musyabbah bih yang dibuat keserupaan. 52 50 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tolchah Mansoer, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, Cet. VIII, h. 74 51 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. III, h. 82 52 Sapiuddin Shiddiq, Op. Cit., h. 71 Dalam hal amśâl, maka al-aşlu disini lebih cocok disebut dengan musyabbah bih yang dibuat keserupaan. Yaitu suatu hal atau materi yang bersifat konkret yang dapat menjelaskan materi-materi abstrak dalam pembelajaran. b. Al-Far’u, Yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam na ş. Tetapi hukumnya dapat dihubungkan dengan al- aşlu. Al-Far’u disebut juga al- maqîs yang diukur atau al-mahmul yang dibawa atau al-musyabbah yang diserupakan. 53 Dalam pengertian amśâl, maka al-far’u ini lebih cocok disebut dengan al-musyabbah yang diserupakan. Yaitu suatu materi yang masih bersifat abstrak, yang masih sulit dipahami oleh siswa. c. Hukum aşal, Yaitu hukum syara ’ yang ada naş nya sebagai pangkal hukum bagi cabang. 54 Dalam kaitannya dengan amśâl, maka hukum aşal ini dapat dikatakan dengan persamaan yang ada antara hal yang diserupakan abstrak dan hal yang dibuat keserupaan konkret. d. ‘Illat sebab, „Illat adalah sifat yang ada pada hukum aşal. 55 Jika kita kaitkan dengan amśâl, maka „illat ini merupakan sifat yang ada dalam persamaan yang ada pada dua hal antara yang abstrak dan yang konkret. Sedangkan dalam ilmu bala ġah kata amśâl disebut dengan tasybîh. Ahli bala ġah memberikan empat syarat atau rukun amśâl tasybîh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, empat rukun tersebut antara lain: 1 Wajah Syabah, yaitu pengertian yang bersama-sama ada pada musyabbah dan musyabbah bih; 2 Âlat Tasybîh, 53 Ibid. 54 Ibid., h. 72 55 Ibid. yaitu kaf, mitsil, ka`anna dan semua lafadz yang menunjukan makna perserupaan; 3 Musyabbah, yaitu sesuatu yang diserupakan menyerupai musyabbah bih; 4 Musyabbah bih, yaitu sesuatu yang diserupai oleh musyabbah. 56 Pendapat mengenai rukun tasybîh tersebut juga dibenarkan dalam kitab al-Bala ġah al-Wađihah : ْلا : َيِ, ٌةَعَ بْرَأ ِْيِبْشمتلا ُناَكْرَأ ُم َو ,ِِب ُمبَشُمْلا َو ُمبَش ُي َس ِّم َي ِنا َط َر َِ متلا ْش ِب ْي ِ َو , َأ َد ُةا متلا ْش ِب ْي ِ َو َ و ْج ُ مشلا َب ِ َو , َِج ُب َأ ْن َي ُك ْو َن َأ ْ ق َو َو ى َأ ْظ َه َر ِ ْلا ُم َش مب ِ ِب ِ ِم ْ ُ ِ ْلا ُم َش مب ِ.

5. Tujuan Metode Amśâl dalam Pembelajaran

Adapun tujuan dari metode pembelajaran amśâl salah satunya adalah “untuk memudahkan pengertian manusia didik tentang suatu konsep dengan melalui pertimbangan akal”. 58 Maśal dapat pula diartikan kepada menggambarkan sesuatu yang abstrak secara konkret, agar yang abstrak itu mudah dipahami dan berpengaruh pada jiwa manusia. 59 Seperti halnya dalam al-Qur`ân terdapat beberapa ayat yang mengandung metode amśâl, misalnya Surat an-Nahl ayat 75-76, dalam ayat ini tidak hanya bertujuan untuk memahami sesuatu yang abstrak memahami ketauhidan dan kemusyrikan akan tetapi mempengaruhi jiwa manusia tersebut menarik jiwa manusia untuk mencintai ketauhidan. Sebagaimana pula yang dijelaskan oleh Kadir, bahwasannya melalui metode amśâl ini para peserta didik tidak hanya diharapkan memahami dan mengetahui konsep syirik, tetapi lebih dari itu mereka juga diharapkan membenci perbuatan syirik tersebut, sebagaimana mereka tidak menyukai perbudakan, bisu dan menjadi beban bagi orang lain. 60 56 Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an II, Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. II, h. 35-36 57 Ali Jarim dan Musthafa Amin., Loc Cit. 58 M. Arifin, Loc Cit. 59 Kadar. M Yusuf, Loc Cit. 60 Ibid., h. 121 Selanjutnya Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan tujuan edukatif yang terkandung dalam metode amtsâl antara lain: Pertama, Memudahkan pemahaman mengenai suatu konsep. Untuk memahami makna spiritual suatu perkara manusia itu cenderung menyukai penyerupaan persoalan-persoalan abstrak pada perkara- perkara yang kongkret. Kedua, mempengaruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan, dan untuk mengembangkan aneka perasaan ketuhanan. Ketiga, membina akal untuk terbiasa berpikir secara valid dan analogis. Pada dasarnya, hampir setiap perumpamaan bersumber pada analogi melalui penyebutan premis-premis. Selain itu, perumamaan pun mengiring akal pada kesimpulan yang kerap tidak dirinci dalam al-Qur`ân. Keempat, mampu menciptakan motivasi yang menggerakan aspek emosi dan mental manusia. Mental akan menggerakan dan mendorong hati untuk berbuat kebaikan dan menjauhi berbagai kemungkaran. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan itu ikut andil dalam mengarahkan manusia pada perbuatan baik sehingga hidup individu dan masyarakat tumbuh dalam kestabilan menuju peradaban ideal, sejahtera, dan adil. 61 Kemudian Hasani Ahmad juga menjelskan terkait tujuan dari amtsâl, antara lain: 1 menonjolkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal dapat menerimanya; 2 Amśâl lebih berpengaruh kepada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati; 3 mengungkap hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang jauh dari pikiran sebagai sesuatu yang dekat pada pikiran. 62 Senada dengan pendapat di atas, Hasbi Ash-Shidieqy juga berpendapat bahwa amśâl juga bertujuan untuk melahirkan sesuatu yang dapat dipahami dengan akal dalam bentuk rupa yang dapat dirasakan oleh panca indera, sehingga mudah diterima oleh akal. Juga untuk mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek. 63 Imam Zarkasyi juga mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Didin bahwa tujuan amśâl antara lain memperingatkan, menasehati, mendorong, melarang, menyuruh mengambil pelajaran, memantapkan, 61 Abdurrahman An-Nahlawi, Op cit., h. 254-259 62 Hasani Ahmad Syamsuri, Op Cit., h. 183-184 63 Hasbi Ash-Shidiieqy, Ilmu-Ilmu Al- Qur’an: Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al- Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 Cet. II, h. 175 menertibkan bantahan-bantahan terhadap akal dan menggambarkannya dalam bentuk sesuatu yang dapat diungkapkan oleh panca indra. Amtsâl juga bertujuan untuk menggerakan kemampuan berfikir. 64 Syekh Manna ’ al-Qaththan juga mengatakan bahwa tamśîl perumpamaan merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna- makna dalam bentuk yang hidup di dalam pikiran. Hakikat-hakikat yang tinggi dalam makna dan tujuan akan menampilkan gambaran lebih menarik jika dituangkan dalam retrorika yang indah. Dengan analogi yang benar, ia akan lebih dekat dengan pemahaman suatu ilmu yang diketahui secara yakin. 65 Kemudian beliau juga menyetujui bahwa amśâl lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. 66 Dengan mempertimbangkan beberapa pendapat di atas, dan jika amśâl diimplementasikan dalam pembelajaran maka dapat disimpulkan bahwa tujuan metode amśâl dalam pembelajaran yaitu untuk mempermudah guru untuk menjelaskan materi ajar yang bersifat abstrak sehingga menjadi lebih real dan konkret. Dengan metode ini pula dapat mempermudah siswa untuk menalar dan memahami materi ajar yang bersifat abstrak tersebut.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Cindi Pratiwi, dengan judul penelitian “Metode Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur`ân Kajian QS. An-Nahl Ayat 125- 127”. Karya ini menjelaskan tentang metode pendidikan Islam dalam perspektif Al- Qur`ân Surat An-Nahl 125-127. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat lima metode pedidikan Islam yang sudah ditafsirkan oleh ahli 64 Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al- Qur’an, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, h.167 65 Syekh Manna’ al-Qaththan., h. 352 66 Ibid, h. 362