Syarat-syarat ‘Urf TINJAUAN UMUM
kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku ini yang
dimaksud dengan kacau, maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata uangnya.
3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada berlaku
pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka
tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
علا ف
لا ئ
ح م
ع اا
لف ا
ا ما
ملا ا
لا با
ق د
ملا ا
خ
Artinya : ‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz ketentuan hukum
hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad
nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi
seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang- orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang
menyebabkan terjadiya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut.
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih, karena kalau adat itu
bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’
yang pasti, maka ia termasuk adat yang fasid yang telah disepakati ulama untuk menolaknya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan Ulama atas adat itu
bukanlah karena semata- mata ia bernama adat atau „urf atau adat itu bukanlah
dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada yang
mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijm a’ atau maslahat.
Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak
langsung telah terjadi ijma’ walaupun dalam keadaan sukuti.
28
‘Urf yang berlaku yang di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash ayat dan atau hadits dan adakalanya bertentangan
dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan bertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:
1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus rinci.
Apabila pertentangan ’urf dengan nash khusus menyebabkan tidak
berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima.
Misalnya, kebiasaan dizaman Jahilliyah dalam mengadopsi anak, di mana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka
mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan
tidak dapat diterima.
28
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 5, h. 401.
2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.
Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, apabila ‘urf telah ada ketika
datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafdhi
dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafdhi maka ‘urf bisa
diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafdhi yang
telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh
‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna
’urf kecuali ada indikator yang menunjukan bahwa kata-kata yang itu dimaksudkan sesuai dengan arti
etimologisnya. Apabila
‘urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu adalah
‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat Ulama tentang kehujjahannya. Menurut Ulama Hanafiyyah, apabila
‘urf al-‘amali itu bersifat umum, maka
‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan.
Pengkhususan itu, menurut Ulama Hanafi, hanya sebatas ‘urf al-‘amali yang
berlaku, di luar itu nash yang betsifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah, saw:
ع ب ع لا ف خ ا ا ل س لام
Artinya : Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan. HR. al-Bukhari dan Abu Daud
Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beii
pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna’ akad yang berkaitan
dengan produk suatu industri. Akan tetapi, karena akad istitsna’ ini telah menjadi
‘urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh termasuk Jumhur Ulama membolehkannya sesuai dengan
‘urf yang berlaku. Akan tetapi Imam al-Qarafi berpendapat bahwa
‘urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.
1. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan
dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum
dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi ucapan maupun yang bersifat
’amali praktik, sekalipun ’urf itu bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum
syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika
nash syara’ telah menentukan hukum secara umum. Apabila ada
‘urf yang datang setelah ada nash umum dan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan
‘urf itu men-naskh-kan membatalkan nash; sedangkan
‘urf tidak bisa men-naskh-kan nash. Dalam
masalah ini p ara ulama fikih mengatakan. “’urf yang datang kemudian dari nash
tidak bisa dijadikan patokan.” Akan tetapi, apabila „illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam
arti turunnya nash didasarkan atas „urf al-‘amali sekalipun „urf itu baru tercipta
maka ketika „illatnash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian, apabila
‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam
sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak
perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukan kerelaannya, karena sudah
menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para
wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.
29
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang
lebih luas lagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah- masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh
mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang
dimaksud oleh para Ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah w. 751 H
29
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008, cet. 1, h. 217.
bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktudan tempat.
30
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaedah ini menurut istilah para Ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan „urf itu bisa
dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat
nash syar’i atau lafadz shorih tegas yang bertentangan dengannya.
Berkata Syaikh As Sa‟di dalam al Qawa‟id Al Jami‟ah hal: 35: “’urf dan adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum
syar’i yang belum ada ketentuannya.”
31
Oleh sebab itu, seluruh Ulama mazhab menjadikan ‘urf sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan
‘urf dengan metode ijtihad lainnya, para Ulama mazhab juga menerima
‘urf sekalipun kuantitas penerimaan tersebut berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menetapkan konsep
‘urf secara jelas, tetapi Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabillah tidak demikian.
Ungkapan para Ulama bahwa:
ة كمالا ة م اا غ ب اكحااٌ غ
32
Artinya : Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat.
Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan
dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan
30
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh Jakarta: Kencana, 2005, cet. 1, h. 157.
31
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009, cet. 1, h. 105.
32
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, Damaskus: Dar al-
Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979, h. 62.
ijtihad, sperti qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath
’i, tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya
riba.
33