Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum

Bagaimana pun juga, ’urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya hukum-hukum digali. Para mujtahid, mufti, dan qadhi harus memperhatikannya. 19 Kita dapat menemukan kemaslahatn yang telah ditetapkan oleh syari‟ah agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyat, dan tahsinat. 20 Adapun beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah dengan „urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu: 1. Firman Allah pada surah al- A‟raf 7: 199 يلهاجْلا ع ْ ْعأو فْ عْلاب ْ مْأو وْفعْلا ّخ Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” Kata al- ‘urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. 21 2. Firman Allah pada surah al-Baqarah 2: 233 19 Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Jakarta: Robbani Press, 2008, cet. 1, h. 260. 20 Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al- Qur’an dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, Jakarta: Robbani Press, 1996, h. 27. 21 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, cet. 1, h. 155. ا عْسو اإ سْفن فلكت ا فو ْعمْلاب توْسكو قْ ر هل دولْومْلا لعو .… Artinya : “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…” Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu. 22 3. Firman Allah pada surah al-Baqarah 2: 180                  Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk ibu bapak dan karib kerabatnya serta ma’ruf.” 4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang sebidang tanah yang didapatinya: Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khothob mendapatkan sebidang tanah di daerah Khoibar, maka beliau mendatangi Rasulullah seraya berkata: “Saya telah mendapatkan sebidang tanah yang selama ini saya belum pernah memiliki harta seberharga semacam ini, maka bagaimanakah perintahmu kepadaku? Maka Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, maka engkau tahan pokoknya lalu engkau shodaqohkan hasilnya.” Maka Umar pun menshodaqohkannya, namun tanah tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan juga 22 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, cet. 1, h. 158. tidak boleh diwarisi, hasilnya dishodaqohkan untuk orang-orang faqir, kerabat dekat, budak, mujtahid, tamu dan musafir, tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sedikit hasilnya atau memberi makan pada orang lain secara ma’ruf serta bukan untuk memperkaya diri.” HR. Bukhori 2772 Muslim 1632 23 5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud: ،ع م ب محأ بأ ث ح ، ح ب محأ ب ها ع ا ث ، ع لا فعج ب محأ ا خأ ب كب بأ ا ث :ااق : اق ها ع ع ، ع ، اع ا ث ، ا ع د ا ح م ملا أ ام ٌ ح لا ع ف Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah. 6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil member nafkah: لا ف س ع لا لا لإ ا فس بأ ةأ ما ءاج : لاق ة ئاع ع ابأ إ : ا فس ا ل ا ف ؟ ل ع ع قف أف ، لام م ب أ أ ٌحا ج ع ف ،ٌح حش ٌ ج ف ف ا فس بأ ام م خأ أ ع ج ح ال : س ع لا لا ع ل ع ف عملاب 24 Artinya : Dari Aisyah sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit, dia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang ambil saya sendiri tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut „urf. 23 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, t.t: Pustaka Al Furqon, 2009, cet. 1, h. 106. 24 Ibnu Hibban, al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban Beirut: Muassasatu al- Risalah,1408 H1988 M. Juz 10. h. 72. Al Qurtuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdapat pengakuan terhadap „urf dalam penetapan hukum. 7. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukan bahwa dengan melakukannya, mereka akan memperoleh mashlahat atau terhindar dari mafsadah. 25 Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkait an dengan „urf di antaranya adalah yang paling mendasar: 1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum. 2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat. 3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi syarat. 4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash ayat dan atau hadits. 26

D. Syarat-syarat ‘Urf

Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al- Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung 25 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika: 2007, cet. 3, h. 78. 26 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008, cet. 1, h. 216 al-mudharabah. Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan: 27 1. Adat atau „urf itu dinilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup bersama-sama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular. 2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan: ا ما ع علا دا ةا طاا د ف ا ل دف ا Artinya : Sesungguhnya adat yang diperhatikan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak kan diperhitungkan. Umpamanya kalau adat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam satu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada 27 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, cet. 1, h. 156. kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku ini yang dimaksud dengan kacau, maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata uangnya. 3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada berlaku pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: علا ف لا ئ ح م ع اا لف ا ا ما ملا ا لا با ق د ملا ا خ Artinya : ‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz ketentuan hukum hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian. Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang- orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadiya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut. 4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih, karena kalau adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’