Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Secara teoritik hukum- hukum syari‟at didasarkan pada serangkaian
manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki kemampuan untuk secara mandiri menemukan manfaat-manfaat dan mudarat-
mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal mampu menemukan maksud-maksud dan kriteria-kriteria hukum agama melalui
ijtihad dan ra’yu.
6
Dalam menjelaskan hukum, Al- Qur‟an menggunakan beberapa cara dan
ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
7
Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih.
Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang
lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan maqashid
dari Syari‟at Islam itu.
8
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al- Qur‟an sebagai sumber utama atau
pokok Hukum Islam, berarti Al- Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al- Qur‟an,
maka harus sesuai dengan petunjuk Al- Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Al- Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber
6
Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010, cet. 1, h. 64.
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 4, h. 77.
8
Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010, cet. 1, h. 107.
hukum selain Al- Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-
Qur‟an.
9
Dengan demikian, bila Al- Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.
10
Kedudukan Sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-
Qur‟an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi
ditugaskan Allah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-
Qur‟an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
11
Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu; pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul
fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum takhrijal-ahkam dari sumbernya, Al-
Qur‟an danatau Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah- kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan
pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah
ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya al-
Qur‟an dan sunnah. Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 4, h. 86.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 4, h. 99.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 4, h. 111.
digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
12
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan
dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.
13
Semua hukum-hukum ini didasarkan kepada dalil al-dalil, terdiri dari firman khitab Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang
menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari unit-
unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum- hukum syari‟ah yang jalan
penetapannya melalui ijtihad. Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya, maupun melahirkan
hukum yang baru disebut dengan ijtihad al-ijtihad. Perkembangan dan perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu
terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan pula.Segala aturan yang dikeluarkan mujtahid maka hukum tersebut adalah
Hukum Islam.
14
12
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, cet. 2, h. 4.
13
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012, cet. 2, h. 14.
14
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, Jakarta: Dian Rakyat, 2010, cet. 1, h. 31.
Hukum- hukum ijtihadiyah yang ditentukan berdasarkan „urf akan
mengalami perubahan jika ’urf yang menjadi dasar mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan atas hukum- hukum yang dibina atas „urf berubah menurut
masa dan tempat, asal tetap dalam bidang-bidang perbuatan-perbuatan yang dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada
’urf yang terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli
fikih bertentangan dengan sebagian imam atau ulama mutaqaddimin, yang berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda
dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena perubahan masa, dan perbedaan pendapat di antara mereka terjadi karena
perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian, berfatwa dengan hukum tersebut hukum-hukum yang dibina para fuqoha
berdasarkan ‘urf pada masa kini yang urf’nya sudah berubah merupakan suatu
kesalahan dalam agama.
15
Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan pada saat adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu
individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang
terutama adalah perkembangan. Sebagai makhluk hidup manusia bersifat berkembang.
Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya tata nilai, struktur- struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini
15
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, cet. 1, h. 49.
Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang dikaitkan dengan waktu.
Persoalan waktu menjadi bagian penting dari sebuah perubahan.Dalam Perspektif Evoluionis perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu yang
alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realitas sosial.
16
Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena perubahan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian alam dan bisa terjadi karena usaha-usaha
manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam bentuknya yang disimpulkan oleh Ibnu Qayyim dengan ungkapannya:
دئاْ علاو اِّنلاو ا ْحاْلاو ن ْماْلا و نمْ اْلا ّْغت بْسحب ْتفْلا ِّْغت Artinya:
“fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”
17
Dalam kajian hukum Islam terutama dalam masalah-masalah kontemporer
masalah perubahan sosial sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah
tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi oleh para ahli hukum Islam dari
nash’syara, seperti contoh kaidah berikut: ٌ حم ةد اعل ا
Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi hukum.”
18
16
Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, Jakarta: Dian Rakyat, 2010, cet. 1, h. 37.
17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, cet. 2, h. 108.
18
Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1991, h. 50.
Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat, berfungsi sebagai salah satu syarat dalam
suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga hubungannya dengan masalah perubahan sosial adalah
امْ اا ّغتب ما ْح اا ّغت ْنتا Artinya:
“tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum itu disebabkan oleh perubahan sosial zaman.”
19
Yang dimak sud dengan “al-ahkam” di sini adalah al-ahkam al-ijtihadiyah
al-mabniyah ala al-urf wa al-mashlahah hukum-hukum berdasarkan hasil pemikiran dengan mempertimbangkan tradisi yang baik dan kemashlahatan
masyrakat.
20
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai
akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi
merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna
kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat
ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
19
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, Damaskus: Dar al-
Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979, h. 62.
20
Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010, cet. 1, h. 208.
Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.
Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonesiaan.
21
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat
itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.
Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan diharuskan membawa seserahan ketika akad nikah dimana
dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari perkawinan adat betawi. Sebuah perkampungan Betawi yaitu Kampung Pisangan
yang terletak di Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan
menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang pernikahan mereka yang menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini
harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah skripsi yang berjudul sebagai
berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
21
Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari https:iqbal1.wordpress.com20100419ilmu-fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1
Pernikahan Perspektif Hukum Islam Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan
”. B.
Pembatasan dan PerumusanMasalah
1. Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh
penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat Betawi dalam konteks pernikahan yang menggunakan roti buaya dalam
seserahannya. 2.
Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalahnya sebagai berikut : a.
Bagaimana perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai sekarang?
b. Bagaimana pandangan Ulama tentang „urf atau adat ?
c. Bagaimana status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya
dalam seserahan pernikahan ?